Hari itu, seperti biasa, cuaca cerah dan udara terasa segar setelah hujan semalam. Farhan dan Aisyah sedang duduk di beranda rumah, menikmati secangkir teh hangat sambil menatap anak-anak yang bermain di halaman yayasan. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari satu sosok-Safira.
Anak kecil itu, meskipun baru saja muncul dalam hidup mereka, rasanya sudah mengisi ruang yang kosong di hati Farhan. Setiap kali ia menatap Safira, ada perasaan yang sulit dijelaskan, seperti sebuah ikatan yang tak terlihat, namun sangat kuat. Aisyah pun merasakannya, meskipun dengan cara yang berbeda."Aisyah," Farhan memulai, suaranya pelan namun penuh makna. "Kamu merasa apa dengan anak itu?"Aisyah yang duduk di sampingnya menatap Safira yang sedang duduk di dekat meja belajar, sibuk menggambar dengan pulpen warna-warni. Safira tampak tenang dan jauh dari kesan gelisah seperti yang pertama kali mereka lihat."Aku merasa dia seperti anak kita sendiri," jawab Aisyah sambiSudah beberapa hari berlalu sejak Farhan dan Aisyah memutuskan untuk mengadopsi Safira. Keputusan yang tampaknya membawa kebahagiaan itu, lama kelamaan, justru memunculkan perasaan-perasaan yang tak terduga. Mereka merasakan ikatan yang semakin kuat dengan Safira, namun ada juga rasa kebingungan yang tak bisa dijelaskan. Safira, yang baru berusia empat tahun, ternyata memiliki kebiasaan-kebiasaan yang mengingatkan Farhan pada dirinya sendiri. Setiap kali mereka makan bersama, Safira seakan-akan tahu apa yang harus ada di meja. Tanpa kata-kata, hanya gerakan tangannya yang gemetar saat ia menunjuk hidangan tertentu. Seperti Farhan, Safira menyukai hidangan pedas dengan porsi yang tak sedikit, dan mereka bahkan memilih makanan yang sama tanpa saling mengingatkan.****Pagi itu, Aisyah sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Farhan duduk di meja makan, menatap anak perempuan yang duduk di depannya. Safira sibuk dengan sendok dan piringnya, sesekali menole
Malam itu, Aisyah terjaga lebih lama dari biasanya. Di luar, udara sejuk menembus jendela kamar mereka, sementara Farhan sudah terlelap di sampingnya. Namun, mata Aisyah tidak bisa terpejam. Pikirannya berkelana jauh, menyusuri segala yang telah terjadi selama beberapa minggu terakhir. Safira. Anak kecil yang baru datang ke dalam hidup mereka, yang kini sudah menjadi bagian dari keluarga mereka. Ia mengingat betul bagaimana mereka pertama kali bertemu di panti asuhan. Safira yang cemas, tampak takut untuk percaya pada orang lain, dan tentu saja, Aisyah tahu perasaan itu. Tetapi sekarang, setelah beberapa waktu berlalu, ada perasaan yang mulai mengganjal di hati Aisyah. Perasaan yang sulit dijelaskan, tapi jelas ada.Sudah beberapa hari ini, Aisyah merasa ada sesuatu yang aneh antara Farhan dan Safira. Sesuatu yang tak terucapkan. Sesuatu yang lebih dari sekadar ikatan orang tua dan anak. Mungkin itu hanya perasaannya saja, atau mungkin ia hanya terlalu sensitif. T
Farhan menggenggam surat itu erat-erat. Tulisan tangan di atas kertas tua itu seperti bergema di pikirannya. "Dia adalah milikmu ...." Kalimat itu terus terulang, memenuhi hatinya dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Safira. Anak kecil yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya. Siapa sebenarnya dia? Setelah beberapa saat termenung di ruangan sederhana itu, Farhan mengembalikan surat itu ke dalam amplop dan menatap Pak Arman dengan tatapan penuh tekad. "Pak Arman," suara Farhan bergetar, tapi tetap tenang, "saya ingin tahu lebih banyak. Apa ada yang pernah bertanya tentang Safira sebelumnya? Atau mungkin ada seseorang yang meninggalkan pesan lain tentang dia?" Pak Arman menggeleng perlahan, raut wajahnya menyiratkan keraguan. "Setahu saya, tidak ada, Pak Farhan. Tapi, ada satu hal aneh. Waktu itu, beberapa bulan setelah Safira datang, seorang pria tua pernah bertanya tentang bayi perempuan yang ditinggalkan di panti ini. Dia hanya bertanya sebentar, tidak memberikan nama atau i
"Ada apa, Sayang?" tanya Aisyah dengan suara lembut, mencoba menenangkan.Safira mengangkat wajahnya yang basah, matanya masih terlihat bingung dan ketakutan. "Safira takut, Ummi," jawabnya dengan suara yang terisak. "Ada yang bilang ... ada yang bilang kalau Safira bukan anak siapa-siapa."Aisyah merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu seperti menembus jantungnya. "Siapa yang bilang seperti itu, Sayang?"Safira menggigit bibirnya, tidak tahu bagaimana menjelaskan. Aisyah merasakan ada sesuatu yang aneh. Ini bukan pertama kalinya Safira mengungkapkan hal-hal yang sulit dimengerti. Biasanya anak sekecil itu tidak akan memikirkan hal-hal seperti itu. Tetapi kali ini, ada sesuatu dalam tatapan Safira yang tidak bisa ia abaikan.Farhan, yang sedari tadi hanya mengamati dari pintu, akhirnya masuk dan duduk di sisi lain Safira. Ia menarik anak itu ke pelukannya. "Apa yang kamu rasakan, Sayang?" tanya Farhan dengan suara yang penuh kasih sayang, mencoba m
Farhan berdiri tegak di depan pintu, matanya berkilat tajam menatap pria tua itu. Suasana malam yang sunyi mendalam, hanya terdengar suara angin yang berdesir lembut di luar. Aisyah berdiri di belakangnya, matanya memandang pria itu dengan curiga, seolah setiap gerakannya bisa mengungkapkan sesuatu yang lebih besar.Pria itu menghela napas panjang, seakan-akan mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan sesuatu yang tak bisa dihindari lagi. Wajahnya yang keriput itu terlihat lelah, namun ada sesuatu yang tajam di balik mata tuanya. Sesuatu yang Aisyah rasakan, tapi tak bisa ia jelaskan."Ada apa, Pak?" Farhan akhirnya membuka suara, meski suaranya terdengar serak, seperti ada ketegangan yang menyesakkan dada.Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan lebih lama, seolah mengukur, mencoba melihat apakah lelaki muda di depannya ini benar-benar siap mendengar kebenaran yang akan diungkapkannya. Aisyah bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang besar, yang j
Aisyah duduk di sudut ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Pagi itu, matahari menyinari rumah mereka dengan lembut, tetapi di dalam hati Aisyah, gelap yang lebih dalam dari hujan sekalipun menguasai segalanya. Dunia terasa begitu berat. Farhan, suaminya, yang dulu begitu dekat dan bisa ia percayai, kini seperti sosok asing yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.Setiap kali ia melihat Farhan, ia merasakan ada tembok tak terlihat di antara mereka. Tembok yang semakin tinggi, semakin lebar, dan semakin sulit untuk dihancurkan. Ia ingin bicara, tetapi kata-kata terasa menyakitkan untuk diucapkan. Sementara di sisi lain, Farhan terus berusaha, seolah ingin memperbaiki segala sesuatu. Namun, Aisyah merasa semakin jauh. Farhan memerhatikan Aisyah dari jauh.Di luar, Aisyah berdiri, wajahnya tampak jauh, seolah-olah memandang dunia yang jauh darinya. Farhan merasakan perasaan cemas yang semakin tumbuh di dalam dadanya. Ia tahu, ia harus menjelaskan semuanya pa
Angin malam berhembus lembut, seperti bisikan yang tak bisa dimengerti, menyentuh wajah Farhan yang kini berdiri di balkon rumahnya. Matanya kosong, menatap ke arah kegelapan yang terhampar di depan. Hatinya sedang berkecamuk, terbagi antara dua dunia yang begitu bertolak belakang. Di satu sisi, ada Aisyah, istrinya, yang dia cintai dengan sepenuh hati. Di sisi lain, ada Safira, anak yang kini dia yakini sebagai darah dagingnya, anak yang harus ia lindungi, meskipun kenyataan itu datang begitu tiba-tiba."Farhan ...," Suara Aisyah memecah keheningan malam, lembut namun penuh pertanyaan.Farhan menoleh. Aisyah berdiri di ambang pintu, matanya yang biasanya penuh cahaya kini tampak redup, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Farhan menahan napas. Ia tahu, Aisyah sedang berjuang melawan perasaan yang sama beratnya."Aisyah ...," Farhan menyebut nama istrinya pelan, hampir seperti bisikan. "Kita harus bicara."Aisyah mengangguk pelan, lalu me
Ponsel di tangan Farhan terdiam setelah suara Aisyah menghilang. Bibirnya kering, jantungnya berdegup kencang. Itu bukan percakapan yang diharapkannya, dan Farhan merasa ada sesuatu yang hilang. Sebuah ketidakpastian yang mengambang, lebih berat dari apapun yang ia rasakan sebelumnya. Aisyah meminta waktu. Waktu untuk berpikir, untuk menilai. Tetapi Farhan tahu, waktu itu bukan hanya miliknya, bukan hanya milik Aisyah. Waktu itu adalah milik mereka berdua, dan siapa yang bisa menjamin bahwa waktu akan menjawab semua keraguan?Farhan melemparkan ponselnya ke meja dengan pelan, kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi. Pandangannya kosong, menatap layar komputer yang terletak di depannya. Setiap detik terasa semakin lama. Seolah dunia berjalan lebih lambat. Seperti ada ruang yang terbuka begitu lebar di antara dirinya dan Aisyah. Ruang yang harus mereka lewati dengan hati-hati, karena satu langkah salah bisa membuat semuanya runtuh.****Di sisi lain, Aisy
Suasana di ruang tunggu rumah sakit masih dipenuhi ketegangan. Farhan duduk dengan pandangan kosong, sementara Arman bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat di dada. Wajah lelah mereka terlihat jelas, tetapi pikiran mereka terlalu sibuk untuk memikirkan rasa kantuk atau kelelahan fisik. Kabar dari dokter tadi masih terngiang di kepala mereka."Safira selamat ... tetapi kondisinya sangat kritis."Farhan menghela napas panjang, kedua tangannya mengepal erat di lutut. Ia memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri. Pikirannya berputar-putar, memutar kembali semua yang terjadi malam itu. Jamil yang gugur, Safira yang terluka, dan Arman yang akhirnya berhasil ia selamatkan. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang belum berakhir.Arman menatap saudaranya. Ia tahu Farhan sedang menyalahkan dirinya sendiri. "Farhan," panggilnya pelan.Farhan membuka matanya perlahan, menoleh ke arah Arman. "Ya?" suaranya terdengar berat."Aku tahu ap
Udara malam terasa dingin menusuk tulang, tetapi itu tidak mengurangi tekad Farhan dan timnya. Mereka berjalan dengan langkah hati-hati di sekitar pabrik tua yang gelap dan sunyi, hanya ditemani suara angin yang berdesir pelan. Cahaya bulan samar-samar menerangi area sekitar, cukup untuk membuat mereka melihat jalan, tetapi tidak terlalu terang hingga keberadaan mereka mudah terdeteksi.Farhan berhenti di belakang sebuah dinding beton yang sudah mulai retak. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat kepada timnya untuk berhenti. "Haris," bisiknya pelan. "Cek area sekeliling. Pastikan tidak ada penjaga yang berkeliaran."Haris mengangguk tanpa suara, lalu bergerak dengan tubuh merendah ke arah yang ia tuju. Sementara itu, Farhan, Adnan, dan Jamil tetap di tempat, mengawasi dengan penuh kewaspadaan. Waktu terasa berjalan sangat lambat, setiap detiknya membuat ketegangan di dada mereka semakin berat.Ketika Haris kembali, wajahnya tampak serius. "Ada dua penjaga
Di ruang kerjanya yang sederhana namun rapi, Farhan duduk dengan wajah serius. Di meja, peta besar dan beberapa dokumen berserakan. Matanya menelusuri setiap detail, seolah-olah mencari celah untuk menyusun strategi yang sempurna. Di seberang meja, Adnan, salah satu teman kepercayaannya, duduk sambil memegang lembaran kertas yang sama. "Farhan, rencana ini terlalu berisiko," ujar Adnan, suaranya penuh kekhawatiran. "Kita bahkan belum tahu pasti lokasi tempat Arman ditahan. Kalau sampai salah langkah, akibatnya bisa fatal." Farhan mendongak. Tatapannya tajam, tetapi tidak kehilangan kelembutan yang selalu ada dalam dirinya. "Adnan, ini bukan soal risiko. Ini soal keluarga. Arman adalah saudara saya, dan saya tidak bisa diam saja sementara dia ada di tangan orang-orang seperti itu." Adnan menghela napas panjang. "Aku tahu, Han. Tapi kita harus realistis. Kalau kita gegabah, mereka bisa bertindak lebih ekstrem. Bahkan nyawa Arman bisa teranc
Farhan berdiri di depan pintu rumahnya, memandangi jalanan yang mulai gelap. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Pikirannya penuh, bercampur aduk antara kekhawatiran dan harapan. Pria yang tadi menemuinya di gudang telah memberikan informasi yang mengguncang hatinya: Arman, saudara kembarnya yang selama ini dianggap hilang, ternyata masih hidup. Namun, kabar itu datang dengan harga yang mahal. Di dalam rumah, Aisyah duduk di ruang tamu, memandangi pintu yang baru saja ditutup oleh Farhan. Ia tahu suaminya sedang menghadapi sesuatu yang besar, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih tasbih di meja dan mulai berdoa. "Ya Allah, lindungi dia. Berikan dia kekuatan untuk menghadapi apa pun yang ada di depannya," bisiknya pelan. Farhan akhirnya masuk ke dalam rumah, langkahnya berat. Ia melihat Aisyah yang menatapnya dengan penuh tanya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Aisyah lembut. Farhan mengangguk, mesk
Farhan menatap Aisyah, berharap menemukan jawaban di matanya. Tapi Aisyah hanya diam. Tatapan lembutnya menyimpan kebimbangan yang sama. Ia tahu, di satu sisi, Arman adalah saudara kandung Farhan, darah daging yang harus diselamatkan. Tapi di sisi lain, situasi ini menyeret mereka semakin dalam ke dalam bahaya. Aisyah ingin bicara, tapi kata-katanya seolah tercekat di tenggorokan.Yusuf memecah keheningan. "Farhan, waktu terus berjalan. Kalau kamu terus terjebak dalam kebimbangan ini, kita bisa kehilangan dua hal sekaligus-Arman, dan mungkin, kesempatan untuk memperbaiki semuanya."Farhan menarik napas dalam-dalam. Ia menunduk lagi, kedua tangannya masih mengepal erat. "Aku tahu, Yusuf. Tapi bagaimana aku bisa membuat keputusan ini? Safira masih kecil. Dia butuh aku di sini. Di sisi lain, aku tidak bisa membiarkan Arman begitu saja. Kalau dia benar-benar dalam bahaya, apa aku tega membiarkannya?"Aisyah akhirnya membuka suara, suaranya tenang, tapi sarat d
"π ππ πππΎπππ, π ππππΊπ. π ππ ππππΊ πππΎππΊππΊ ππΊπ ππΊππ ππΊππΊ. π³πΊππ ππππΊ ππππΊπ π»ππ πΎπ πππΎππΊπ. πͺπππΊ ππΊπππ πππΊπ." π ππππΊπ ππΎπππΊπππππ ππΎπΌππ , ππΎπππ ππΊπππππΊ ππΊπππ π½πππΎππππ ππΎππΊπππΊπ. π¨πΊ ππΊππ π»πΎππΊππΊ π»πΎππΊπ πΌππππΊ π₯πΊπππΊπ ππΎππΊπ½πΊ π πππΊπ, ππΊππ½πΊππΊ ππΎππ»πΊππππΊ. π³πΊππ πππππΊππ πππ ππΊππ π πΎπ»ππ πππππ π½πΊππππΊπ½πΊ ππΊππ ππΎπππΊπ ππΊ π»πΊππΊππππΊπ. π²ππΊππΊππΊ ππΎππππ π πΊππ. π§πΊπππΊ πππΊππΊ π½πΎππΊπ ππΊπ π½πππ½πππ ππΊππ ππΎππ½πΎπππΊπ, ππΎππ»ππΊπ ππΊπ πΊπ ππΎππΊππΊ ππΎππΊπππ π πΊππ»πΊπ. **** π―πΊππ ππΊπππππΊ, π₯πΊπππΊπ ππΎππΎππππΊ ππΎπ»ππΊπ ππΎππΊπ ππΊπ π½πππΎππΊπ ππΎπ πΊπ ππ πππππΎπ πππΊ. πππππ πππ πππ½πΊπ ππΎππππππΊπ, π½πΊπ πππ
Malam itu begitu sunyi, hanya suara angin yang sesekali berdesir di antara dedaunan. Aisyah berdiri di belakang Farhan, tubuhnya sedikit gemetar. Pintu depan rumah mereka diketuk lagi, kali ini lebih keras, seperti seseorang yang tidak sabar menunggu. "Mas, hati-hati," bisik Aisyah, suaranya nyaris tak terdengar. Farhan menoleh sebentar, memberikan senyuman tipis yang seolah ingin menenangkan istrinya. Tapi Aisyah tahu, di balik senyuman itu, ada kegelisahan yang sama. Farhan melangkah perlahan ke pintu, tangannya terulur ke gagang pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka pintu itu.Dan di sana, berdiri seorang pria dengan wajah yang tak asing. Rambutnya sedikit berantakan, matanya tajam, dan tubuhnya terlihat kurus. Farhan tertegun, mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. "Kamu ...?" bisiknya, nyaris tak percaya.Pria itu tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak membawa kehangatan. Ada sesuatu yang dingin di
Langit malam mulai gelap, menyelimuti kota dengan keheningan yang terasa berat. Di ruang tamu rumah sederhana mereka, Farhan duduk di sofa dengan wajah tegang. Aisyah berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan tatapan kosong. Suasana di antara mereka terasa berbeda malam itu, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang tak terucapkan."Mas," suara Aisyah memecah keheningan. Ia berbalik, menatap Farhan yang masih diam. "Aku nggak ngerti kenapa semua ini terjadi. Rasanya ... seperti kita nggak bisa percaya siapa pun lagi."Farhan menghela napas panjang, lalu menatap Aisyah dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku juga nggak ngerti, Aisyah. Tapi aku janji, aku akan cari tahu siapa yang ada di balik semua ini. Aku nggak akan biarkan Safira terus dalam bahaya."Aisyah mendekat, duduk di samping Farhan. Ia menggenggam tangan suaminya, mencoba mencari kekuatan dari kehangatan itu. "Tapi, Mas ... kalau ternyata orang yang kita percaya selama i
Pagi itu terasa berbeda. Udara di luar jendela sejuk, dengan cahaya matahari yang lembut menyusup ke dalam rumah melalui celah-celah tirai yang terbuka. Farhan duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pikirannya masih berkelana, namun kali ini ada rasa tenang yang menyelimuti hatinya. Setelah berbulan-bulan melalui ketegangan, ada secercah harapan yang mulai muncul di antara mereka.Aisyah datang dari arah dapur, membawa sepiring roti bakar dengan selai stroberi kesukaan Farhan. Dia tersenyum pelan, meski senyum itu belum sepenuhnya menghapus kelelahan di wajahnya. Sudah lama sekali mereka tak merasakan ketenangan seperti ini-waktu yang benar-benar hanya untuk mereka berdua."Aku buat roti bakar. Pasti kamu lapar, kan?" Aisyah duduk di sebelah Farhan, menatapnya dengan mata yang penuh harapan. Matanya yang dulu penuh keraguan kini mulai terbuka, meskipun tak semua pertanyaan sudah terjawab.Farhan memandang Aisyah, lalu menat