Bulan-bulan berlalu dengan begitu lambat seiring keberadaan Lira yang tak di ketahui.Mencoba mengikhlaskan sambil terus berharap,jika suatu saat Lira akan pulang dalam keadaan baik dan selamat.
Kejahatan sempurna yang tak pernah terbayang. Sesempurna hari ini ketika Johan di nyatakan lulus dengan predikat cumlaude.
Ia terlihat gagah dan semakin bersinar dengan baju dan topi toganya. Beberapa teman dan junior mengerubuti mengucapkan selamat dan meminta foto.
Ah,Johan memang terlalu memikat bagi siapa pun. Apa lagi jika ia tersenyum dan menunjukkan keramahannya.
"Selamat Kak."
"Kak Johan,selamat."
"Hilang satu alasanku untuk berangkat kuliah."
Dan masih banyak lagi.
&
"Sepi sekali. Di mana semua orang?" tanya Sonia saat memasuki rumah keluarga Prawira."Papa dan Mama lebih sering tinggal di luar negeri setelah kedua saudara ku meninggal dan Lira tak ada kabar." Johan menjawab.Rumah mewah nan luas itu memang terasa kosong. Hampir seperti tak ada kehidupan. Senyap dengan hawa yang tak nyaman meskipun segala sesuatu bersih dan tertata."Aku pikir dia mengajakku ke rumah karena ingin mengenalkanku secara resmi kepada orang tuanya." Sonia berkata dalam hati. Ia menunduk, sesikit kecewa."Papa menyerahkan beberapa anak perusahan kepada ku. Termasuk milik James yang terbengkalai."Johan berkata saat mereka menaiki anak tangga."Benarkah?" Sonia ikut senang. "Akhirnya Papa mu mempercayakan semua padamu."
Hancur.Iya,itu lah yang di rasakan Sonia. Tangannya tak henti gemetar dengan air mata yang hanpir tumpah.Di hari istimewa,yang seharusnya menjadi hari di mana masa depan sesungguhnya ia tapaki. Berharap bisa menitinya bersama orang terkasih, di leburkan begitu saja oleh kejutan yang di beri.Ia tak peduli sekalipun Lira menghilang,di culik atau bahkan mati sekalipun. Dari dasar hatinya, ia malah tertawa. Berkurang satu wanita yang berada di lingkaran pujaan hati.Mengingat kedekataan mereka. Sonia sedikit curiga, karena Johan tak terlihat kehilangan atas lenyapnya adik tirinya tersebut. Tapi ia menganggap begitu lah Johan,kejiwaanya agak 'berbeda' dengan orang kebanyakan.Tak ia sangka,setelah ia hampir melupakan dan memilih mengabaikan. Ia di lihatkan keadaan Lira yang bak barang bekas. Di simpan di dalam peti
Air mata Lira meleleh mendengar pembicaraan dua orang itu. Pandangan matanya jauh menatap langit-langit kamar yang redup.Hari apa,tanggal berapa,siang atau malam. Tak lagi ia tahu. Rasanya tubuhnya begitu berat,bahkan untuk mengangkat tangan pun ia kesusahan.Tak terhitung banyaknya Johan menyuntikan obat ke lengannya,membuat lengan itu membiru dan bengkak.Membuatnya kadang kala berhalusinasi jika Sang Ibu datang dan memeluknya. Namun kenyataannya, pelukan iblis yang melingkari tubuhnya. Menimbulkan sakit tak berperi,kemudian hilang dan menjadi mati rasa."..Ta,tapi Jo..itu..bukankah itu anakmu?"Dalam kesadarannya yang timbul tenggelam,Lira mendengar suara perempuan itu berkata lagi.Johan tersenyum. Sonia bergidik saat senyum i
Mungkin otak Sonia yang ikut gila,atau cintanya yang memang gila.Sehingga sudah di perlihatkan hal paling menyakitkan pun,ia tetap setia di samping Johan.Demi Johan pula Sonia yang bekerja di sebuah klinik kesehatan kembali kuliah dan mengambil spesialis kebidanan.Johan sendiri begitu lulus langsung mendapat jabatan sebagai Manager pusat di bawah Ayahnya langsung. Entah Aji yang telah putus asa karena anak-anak nya yang lain telah tiada atau ia memang percaya pada kemampuan Johan dalam membina dan mengembangkan bisnis.Lelaki yang sekarang mulai menumbuhkan jambangnya itu di beri wewenang penuh untuk mengatur dan mengembangkan perusahaan sesuai dengan yang dia inginkan tanpa perlu menunggu persetujuan Ayahnya lagi."Terimakasih,Pah." Johan yang mengenakan setelan kemeja cokelat lengkap dengan dasi yang menyemp
"Itu artinya,sampai mati pun kau tak mungkin bisa bebas dari Johan." Sonia menatap sinis sambil melipat kedua tangannya.Lira meringis memegangi kepalanya yang terasa pedih dengan rambut panjangnya yang rontok berjatuhan.Sonia mendengus melihat Lira yang menangis meratapi nasib."Kau beruntung tak mati seperti Anya." ia mengambil piring serta gelas minum dari atas meja dan menaruh begitu saja di atas nakas samping ranjang.Lira tertegun. Ia berhenti menangis dan balik memandang Sonia dengan mata begetar oleh rasa ngeri yang merayap.Sonia duduk di sampingnya kesal.Kalau bukan karena impiannya bisa membuat Johan sembuh dan mereka bisa hidup normal selayaknya pasangan lain. Tentu ia tak akan sudi melakukan hal ini.Apa lagi jika mel
"Kau..kau menyukai Kak Johan..?" ragu Lira bertanya.Sonia tersenyum lebar.Seharusnya Lira tak perlu bertanya. Karena tanpa itu pun,semestinya dia tahu.Dari dulu,Kakak nya memang punya banyak penggemar wanita.Tapi dari sekian banyak,hanya Sonia sajalah yang tetap ada di samping Johan.Bahkan ketika dulu Kakaknya tersebut bersanding dengan Anya,wanita itu tetap tak berpaling."Bukan menyukai." Sonia menatapnya. Wajahnya terlihat sendu. "Tapi mencintai.Seolah aku ingin melebur di dalamnya kalau bisa." ia tertawa.Lira tertegun.Tawa Sonia terhenti saat memandang Lira yang menatap aneh padanya. "Sayang Jo malah terobsesi padamu." ia berkata.Lira terdiam. Ia merasa ada yang aneh dari Sonia. Entah lah apa itu.Mereka sudah saling kenal
Club itu bertambah malam semakin ramai oleh pengunjung. Suara musik yang berdentum dan keriuhan memenuhi tempat yang di dominasi warna merah dengan sorotan lampu disko tersebut. Di tempat paling sudut,segerombolan muda-mudi bersorak menyemangati dua orang lelaki yang sedang berlomba menghabiskan satu botol vodka dalam sekali tengak. Rendy duduk di antara orang-orang yang heboh dengan kedua orang yang mati-matian menghabiskan vodka langsung dari botolnya tersebut. Rendy mendesis sambil memijit keningnya melihat Andreas menjadi salah satu dari orang konyol yang berlomba tersebut. Wajah Tuan mudanya sudah memerah.Sampai otot-otot lehernya bertonjolan,tapi dia terus mengelontorkan air yang rasanya tidak lebih buruk dari soda dengan rasa pahit dan panas di tenggorokan tersebut.
"Surprise,Ren." Johan berjalan pelan ke arah mereka. "Kau membicarakan ku?" ia tersenyum sambil merangkul pundak Rendy yang terdiam seolah tengah terpergok mencuri."Bukan seperti itu Kak,saya..""Baru beberapa bulan nggak ketemu,kenapa penampilanmu jadi kayak Bapak-bapak gini?" kalimat Rendy terpotong oleh celetukan konyol yang keluar dari mulut Andreas."Astaga..orang ini.." Rendy mengerang dalam hati.Hanya mampu dalam hati,karena begitu hormatnya pada lelaki seumurannya itu."Aku sudah bekerja dan kini membawahi langsung salah satu Perusahan milik keluarga ku,jadi sudah sepantasnya aku berpenampilan seperti ini." Johan tersenyum ramah,seperti tidak tersinggung dengan kata-kata Andreas.Keramaian Club masih terdengar jelas dari tempat mereka berada. An