Andi melangkah masuk ke dalam kamar dengan jantung yang berdegup kencang. Di kepalanya sudah tercipta berbagai macam kata yang akan dia ucapkan, dan tentu saja permohonan maaf pada sang istri atas kesalahan yang dia ciptakan.Hanum masih saja duduk di kursi rias dan menatap tajam suaminya, yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Tiba-tiba saja dia merasa jijik pada Andi. Rasa cintanya yang semula begitu besar pada pria itu, kini perlahan mulai terkikis. Apalagi kini teringat tentang kalung yang berliontin permata biru safir. Hatinya panas karena menduga kalung itu diberikan oleh Andi pada Tania.“Hanum, tolong jangan curiga yang macam-macam. Aku dan Tania nggak ada hubungan apa-apa, sungguh!” ucap Andi ketika sudah berada di hadapan sang istri. Dia duduk bersimpuh di kaki Hanum dengan tatapan memelas.Hanum menatap sebal pada pria yang sedang memainkan sandiwara di hadapannya kini. Dia tepis tangan Andi yang menyentuh kakinya. Jijik rasanya bersentuhan dengan pria itu, meski hanya kak
Andi dan Hanum pun terkesiap melihat Amelia. Rupanya putri bungsu mereka telah menguping pembicaraan kedua orang tuanya.Amelia berlari menghambur ke pelukan Hanum. Di dekapan sang bunda, gadis yang masih duduk di bangku kelas satu SMA itu menangis tersedu-sedu.Hanum menghela napas panjang dan mengusap rambut Amelia dengan lembut. Dia tahu yang dirasakan oleh putrinya saat ini. Namun dia pura-pura tak tahu, dan ingin agar Amelia mengatakan di hadapannya serta Andi.“Ada apa, Sayang?” bisik Hanum.“Mama mau bercerai sama Papa, iya?” ucap Amelia dengan suara parau.“Oh nggak, Sayang! Itu nggak akan terjadi. Papa jamin itu. Jadi kamu tenang saja, ya,” sahut Andi cepat.Hanum menatap tajam suaminya tanpa sepengetahuan Amelia. Dia tampak geram sekali pada pria itu, yang sepertinya mencari kesempatan agar dia luluh.Amelia lalu mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Hanum dengan tatapan penuh tanya.“Betul, Ma?”“Kamu mulai menguping di bagian yang mana? Apa dari awal atau setengah-seten
Sementara itu dari depan pintu kamar mandi, Andi rupanya mendengar percakapan istri dan anaknya. Dia mengusap wajahnya kasar dan menarik napas berulang kali. Dia frustrasi, dan ada yang merintih perih di hatinya. Dia sendiri tak tahu apa yang menyebabkan perasaan itu kini hadir. Apakah rasa bersalah? Namun yang pasti, dia tak sanggup kalau harus kehilangan semua yang dimiliki saat ini. Hanum, ketiga anaknya, dan tentu saja aset yang mereka miliki karena semua akan menjadi milik Hanum apabila mereka berpisah.‘Aku harus bisa membujuk Hanum supaya mengurungkan niatnya untuk bercerai. Aku nggak bisa dan nggak siap,’ ucap Andi dalam hati.Egois memang. Namun, itulah laki-laki yang memiliki ego yang cukup tinggi. Sudah melakukan kesalahan, tapi tak mau menerima risikonya. Selain egois, Andi pun ternyata seorang pecundang yang takut akan risiko yang akan dihadapi.-Malam harinya-Ruang makan tak seperti biasanya. Anggota keluarga makan dengan khidmat. Kalau biasanya Amelia akan berceloteh p
Kedua bola mata Hanum terus tertuju pada perhiasan nan indah itu. Mungkin kalau ada yang menyadari dan memperhatikan arah pandang Hanum, orang akan mengira kalau Hanum tertarik dengan kalung tersebut. Tidak, bukan itu yang ada di pikiran Hanum. Dia bisa membeli sendiri perhiasan indah tersebut atau bahkan yang lebih indah dan mahal sekalipun. Tapi, Hanum hanya sedang sibuk dengan praduganya sendiri, karena kalung yang pernah dia lihat di celah pakaian suaminya, mirip dengan yang dikenakan model itu.‘Kenapa di saat aku sedang sibuk mencari tahu tentang siapa si penerima kalung dari Mas Andi, tiba-tiba ada perempuan lain yang mengenakan kalung yang sama? Dugaanku memang menjurus pada teman si Rafi. Tapi, kenapa sekarang hatiku meragu?’ ucap Hanum dalam hati.Kepala Hanum terasa berdenyut ketika banyak sekali yang menumpuk di kepalanya saat ini. Hingga dia tak mendengar Anita yang berbisik di telinganya. Hanum terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.Anita tampak heran ketika Hanum tak
Hanum memegang dadanya yang kini berdetak cukup kencang, seolah sentuhan tangannya bisa meredakan dentuman keras di hatinya. Ah, Hanum seperti orang yang tak memiliki semangat lagi. Punggungnya dia sandarkan di sandaran kursi sambil terus menekan dadanya. Dirinya juga heran dengan sikapnya ini. Aneh memang, dia tak mengenal Larasati. Namun kenapa dia tampak lunglai ketika mendengar Larasati dilamar seseorang. Bukankah wajar karena Larasati berstatus single? Hal itu juga bisa terjadi pada siapa saja, bukan?‘Kenapa aku ini? Kenapa aku kayak orang frustrasi begini? Ah, Hanum coba deh jangan begini! Jangan karena melihat kalung itu, kamu beranggapan kalau Mas Andi yang memberikannya pada Larasati. Lagi pula Mas Andi punya skandal dengan temannya Rafi, bukan dengan Larasati. Mungkin saja tunangan Larasati adalah seorang pria yang berstatus duda, bukan suami orang. Sudahlah Hanum, jangan berburuk sangka,’ ucap Hanum dalam hati, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Anita yang rupanya mempe
“Mencari tahu? Apa nggak berlebihan ini namanya, Nit?” sahut Hanum balas bertanya.Anita tersenyum seraya berkata, “Memang berlebihan sih, Num. Apalagi Larasati kan seorang selebriti. Kalau ada apa-apa pasti langsung jadi konsumsi publik. Em, maaf, kalau bener Andi terlibat dengan dia, posisi kita ada di atas angin karena mereka yang salah. Tapi, kalau nggak ada hubungan apa-apa, dia pasti akan menuntut kita.”“Nah, itu yang membuat aku ragu, Nit,” cetus Hanum dengan helaan napas panjang. Tampak jelas kalau hati wanita itu sangat gundah gulana.Anita terdiam beberapa saat. Dia mengerutkan keningnya, berpikir jalan terbaik untuk membantu sahabatnya itu. Tak lama, wajah Anita tampak berseri-seri. Jari tengah dan jempol dia adu hingga menimbulkan bunyi. Dia sepertinya mendapat sebuah ide cemerlang.“Aku ada ide ini, Num,” ucap Anita dengan sorot mata berbinar.“Ide apa?” tanya Hanum antusias.“Kita lupakan dulu si Larasati ini. Kita fokus dulu ke temannya si Rafi. Bisa jadi kan kalung it
Hanum melangkah mendekati Gilang dengan tatapan nanar, karena kelopak matanya telah berembun.“Kamu sudah sejak kapan mendengarkan percakapan kami?” tanya Hanum dengan suara bergetar.Gilang terdiam. Dia hanya merengkuh tubuh Hanum ke dalam pelukannya. Memberikan perlindungan dari sang Mama, dan juga ketenangan untuk wanita yang telah melahirkan dirinya ke dunia ini.“Nggak penting soal sejak kapan aku mendengarkan percakapan Mama dengan Kak Rafi. Yang terpenting, aku sudah tahu kalau Papa ternyata seorang pengkhianat, dan aku benci pada seorang pengkhianat. Aku berjanji akan membalaskan sakit hati Mama ini. Jangan sebut aku Gilang, kalau nggak bisa membuat seorang pria bernama Andi Sanjaya kelabakan nantinya,” bisik Gilang, yang masih terdengar oleh Rafi yang berada tak jauh dari sang adik.Rafi terkejut mendengar ucapan Gilang yang terdengar sebagai ancaman untuk papanya. Adiknya yang masih duduk di bangku kelas tiga SMA, memang cukup tempramen sikapnya. Apalagi Gilang memiliki keah
“Kamu mungkin lupa taruh kunci mobilnya, Mas. Coba diingat-ingat dulu, terakhir menaruh kuncinya di mana?” ucap Hanum yang sudah terdengar jelas oleh Rafi dan Gilang.“Ya aku bawa ke kamar dan aku letakkan di laci nakas, seperti biasanya. Tapi, tadi aku cari di laci nakas ternyata nggak ada. Makanya aku coba cek ke mobil, barangkali ketinggalan di dalam mobil,” sahut Andi, yang kini sudah ada di ambang pintu garasi mobil.“Lagiannya tiba-tiba terbangun di tengah malam begini, kamu mau ke mana kok langsung cari kunci mobil? Mau pergi ke tempat selingkuhan kamu, iya? Terus kamu kaget saat kunci mobil nggak ada. Lebih kaget lagi saat aku belum tidur, begitu?” cecar Hanum ketus.Andi terkesiap mendengar omelan Hanum di tengah malam begini. Dia langsung mengusap wajahnya dengan kasar. Dia menatap Hanum dengan tatapan frustrasi.“Aduh, Num, kamu jangan suudzon begitu dong sama aku. Tadi itu terbangun karena perutku mulas, mungkin karena makan sambal tadi saat makan malam. Terus setelah dari