Plak!
Wajah Irina terlempar ke samping setelah tamparan keras dari Dewi, ibu dari Kevin, mendarat sempurna di pipinya.
“Mama!” Kevin berseru karena tak percaya dengan apa yang sudah dilakukan ibunya. Bahkan, dia segera menarik tubuh Irina ke belakangnya, menengahi karena dia tidak mau ibunya berbuat lebih jauh lagi pada Irina.
“Perempuan kurang ajar! Inikah balasan yang kamu berikan pada keluarga saya?! Kamu sudah melempar kotoran pada keluarga besar saya!” Dewi sangat marah. Sungguh.
Kevin adalah putra satu-satunya dari Keluarga Diningrat. Sejak dulu, Dewi ingin memiliki anak lain, jika bisa anak perempuan. Karena Tuhan tidak memberikan kesempatan tersebut, ia akhirnya menganggap Irina sebagai anaknya sendiri. Dewi membiayai Irina karena dia tahu, Irina adalah anak yang baik dan pintar. Ditambah, Irina mau bekerja keras. Saat Irina terjun di dunia permodelan dan sukses di sana, Dewi juga mendukung penuh.
Kini, Dewi tidak menyangka bahwa Irina akan mempermalukan keluarga besarnya sampai seperti ini. Andai saja Kevin belum memiliki tunangan, jika saja pernikahannya tak dilakukan bulan depan, mungkin Dewi tidak akan semarah ini.
“Maafkan saya, Ibu.”
“Jangan panggil saya Ibu! Saya bukan ibu kamu!” Emosi masih menyelimuti Dewi.
“Ma, udah, dong. Ini enggak akan selesein masalah.” Ayah Kevin akhirnya membuka suaranya. “Semua sudah terjadi, sekarang yang bisa kita pikirkan adalah apa yang harus dilakukan selanjutnya.”
“Gugurkan saja bayi itu!” Dewi berseru keras, membuat Irina dengan spontan melindungi perutnya. Sudah hampir enam bulan ia ditemani oleh bayinya, Irina sudah merasa sayang dengan bayinya.
“Mama!” Kevin mulai marah dengan ucapan ibunya.
“Kenapa? Kamu mau belain dia?”
“Ma, kehamilan Irina sudah cukup besar, tidak mungkin kita membunuh nyawa yang tak berdosa.” Ayah Kevin kembali menengahi. “Satu-satunya jalan adalah mereka harus menikah.”
“Papa gimana, sih?! Kevin bulan depan harus menikah dengan Rani!”
“Apa Rani masih mau menikah dengan Kevin setelah semua ini? Ma, semua ini sudah terjadi. Hubungan Rani dan Kevin sudah pasti berakhir.”
“Sampai kapan pun, Mama enggak akan mau mengakui dia sebagai menantu di rumah ini!” Setelah itu, Dewi pergi begitu saja meninggalkan ruang keluarga.
***
Sepanjang perjalanan menuju kembali ke apartemen, Irina hanya diam. Begitu pun dengan Kevin. Irina mengalihkan pandangan ke luar jendela, jemarinya tak berhenti mengusap lembut perut buncitnya. Sedangkan, air matanya sendiri tak berhenti menetes.
Irina benar-benar telah kehilangan semuanya. Tidak seperti dulu, ketika dia mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tua Kevin dan Kevin, cinta dari Max, kasih sayang dari keluarga Max, karier yang bagus, dan semuanya.
Kini, semua berubah seratus delapan puluh derajat. Orang tua Kevin, yang sudah seperti orang tua kandungnya, kini sangat kecewa dan marah padanya. Begitu pun dengan Kevin yang makin bersikap dingin. Max sudah meninggalkannya, begitu pun dengan keluarga pria itu. Kariernya mungkin juga akan ikut hancur setelah ini.
Sampailah mereka di apartemen Irina. Masih tanpa bicara, Irina keluar dari mobil Kevin dan segera menuju ke apartmennya. Rupanya, Kevin ikut serta di belakang.
“Istirahatlah. Besok kita akan mengurus semuanya di kantor catatan sipil.”
Irina menatap Kevin seketika. “Maafkan aku.”
“Enggak perlu.” Hanya itu jawaban dari Kevin.
“Kevin, kita bisa berpisah setelah bayinya lahir, dan aku bersumpah aku tidak akan menuntut apa pun dari kamu. Maafkan aku, aku ingin hubungan kita seperti dulu lagi.” Irina tidak mampu menahan tangisnya. Dia benar-benar merasa sendiri sekarang.
Melihat Irina yang menangis, Kevin segera merengkuh tubuh perempuan itu hingga masuk ke dalam pelukannya. Dia tidak mampu berkata-kata lagi. Kevin tahu, kini Irina sedang merasa sendiri.
***
Mereka akhirnya menikah di sebuah kantor catatan sipil. Tidak ada siapa pun yang menghadiri pernikahan mereka selain mereka berdua dan tentunya para petugas pencatatan sipil. Irina tidak bisa menuntut lebih. Saat ini, status hukum untuk anaknya saja sudah cukup.
“Kita akan makan siang di rumahku.” Irina menatap Kevin seketika saat pria yang sudah berstatus sebagai suaminya itu membuka suaranya dan mengutarakan niatnya.
Sejujurnya, Irina merasa trauma kembali ke rumah Kevin setelah kejadian itu. Bukan karena Irina takut ditampar lagi, sungguh bukan karena hal itu. Irina hanya khawatir jika ibu Kevin atau yang lainnya akan mencelakai bayinya.
“Um, apa tidak bisa di rumah saja? Maksudku….”
“Aku mau pamit sama Mama dan Papa, sekalian mengemas pakaian.” Kevin memotong kalimat Irina.
“Um, sejujurnya, kamu tidak perlu sampai meninggalkan rumah. Maksudku, pernikahan ini hanya untuk bayi, jadi kupikir….”
“Kamu pikir bahwa lebih baik kita tinggal sendiri-sendiri?” tanya Kevin kemudian.
Irina mengangguk. “Aku sudah siapkan surat kontrak yang lain sebenarnya.”
“Apa gunanya? Perjanjian pertama yang kamu buat saja tidak bisa kamu tepati.”
“Aku ngerti kamu masih kecewa dengan keputusanku yang jujur di depan publik. Maafkan aku.”
Kevin memalingkan wajahnya ke arah lain. “Sudahlah, lupakan semuanya. Kita akan tetap dengan rencanaku.”
Pada akhirnya, Irina tidak bisa menolak. Bagaimanapun juga, Kevin adalah suaminya dan entah mengapa, dia tidak bisa membantah jika Kevin yang memintanya.
***
Makan siang terjadi dengan suasana yang tidak enak, bahkan bisa dibilang, suasananya sangat canggung dan sunyi. Hanya ada Kevin, Irina, dan ayah Kevin saja. Sedangkan Dewi, ibu Kevin, ia memilih tidak makan daripada harus satu meja makan dengan Irina. Ya, Dewi benar-benar membenci Irina saat ini dan perempuan itu tak sungkan untuk menunjukkannya.
“Jadi, kamu akan menempati rumah kita yang satunya?” Pertanyaan ayah Kevin membuat Irina menghentikan pergerakannya. Dia tahu bahwa pertanyaan itu ditunjukkan pada Kevin, bukan padanya.
“Ya, Pa.” Kevin menjawab pendek. “Apartemen tidak cukup besar untuk bayi.”
“Apa ada yang bisa Papa bantu?” tanya ayahnya lagi.
“Papa sudah membantu banyak hal. Kevin hanya mau Papa jagain dan tenangin Mama. Kevin akan sering-sering pulang.”
Ayahnya hanya menghela napas panjang. “Bagaimana dengan Rani dan keluarganya? Ada kabar?”
Irina membeku setelah mendengar pertanyaan itu. Sedangkan Kevin, ia tampak menggeleng. Irina merasa bersalah, sungguh. Rani adalah orang yang baik dan Irina merasa ia telah menghancurkan impian perempuan itu.
Irina harus menemui Rani dan meminta maaf secara langsung padanya. Masalahnya, maukah perempuan itu bertemu dengannya lagi?
-TBC-
Irina menatap rumah besar di hadapannya dengan penuh kekaguman. Itu adalah rumah lain dari Keluarga Diningrat. Ini adalah pertama kalinya Irina diajak mengunjungi rumah ini.Berbeda dengan rumah utama yang bergaya modern, rumah yang satu ini cenderung lebih klasik. Yang membuat Irina senang adalah halaman rumah ini sangat lebar dan ditumbuhi pepohonan, hingga tidak merasa bahwa rumah ini berada di pinggiran kota metropolitan. Suasananya terasa nyaman dan asri, membuat siapa saja akan merasa tenang berada di area rumah ini.“Kenapa sampai ternganga gitu?” Pertanyaan itu diajukan oleh Kevin yang kini menatap Irina yang kini sedang menampilkan ekspresi lucunya.“Aku kagum sama rumahnya.”“Bagus, ya?” tanya Kevin kemudian. “Ini akan menjadi rumah masa depanku.”“Maksudmu?” Irina tak mengerti.“Kalau aku menikah nanti, aku mau tingggal di sini dengan istri dan anak-anakku. Kamu lihat di sana, halamannya sangat luas. Nah, aku bisa buat lapangan bola mini di sana.”Irina tersenyum lembut. “P
Irina menunggu cukup lama sembari meremas kedua belah telapak tangannya. Hari ini, dia tengah berada di sebuah rumah sakit. Bukan untuk memeriksakan diri, melainkan untuk menemui Rani yang bekerja menjadi dokter di sana.Irina sudah beberapa kali menghubungi Rani. Dia memiliki kontaknya karena dia dan Rani memang saling mengenal dengan baik. Namun, Rani seakan tak ingin mengangkat teleponnya. Perempuan itu seakan menutup semua komunikasi yang dilakukan Irina padanya. Hingga akhirnya, Irina memutuskan untuk menemui Rani di tempat kerjanya saja hari ini, beberapa hari setelah ia dan Kevin sudah resmi menikah.Irina berharap bahwa Rani mau menemuinya. Bagaimanapun juga, dia berutang maaf pada Rani. Irina bahkan berencana untuk mengembalikan Kevin pada Rani setelah dia melahirkan. Dan semoga saja, Rani bersedia menerima niatannya tersebut hingga semua bisa berjalan seperti sebelumnya.Pintu ruang tunggu dibuka, menampilkan sosok Rani yang sudah berdiri di ambang pintu dan menatap Irina de
Kevin baru saja selesai rapat saat tiba-tiba dia merasa sangat merindukan Irina. Sebenarnya, hal seperti ini sering dirasakan oleh Kevin, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Bahkan, menganggap bahwa perasaannya yang merindukan Irina adalah perasaan yang tak seharusnya dia rasakan.Kini, Kevin merasa bahwa perasaan seperti ini wajar dia rasakan. Irina adalah istrinya dan perempuan itu sedang mengandung anaknya. Jadi, sangat wajar saja jika dia mengkhawatirkan atau bahkan merindukan Irina.Kevin tidak bisa menghentikan niatannya untuk menghubungi Irina. Dalam sekejap mata, Kevin sudah terhubung dengan Irina melalui saluran telepon.“Kamu di mana?”“Aku sedang di kafe dengan temanku. Ada apa? Tumben kamu telepon?”“Bisa ke kantorku?”“Ada masalah?” tanya Irina.“Enggak. Cuma mau pulang bersama saja nanti.” Kevin menjawab seadanya. Dia juga tidak tahu kenapa dia ingin sekali Irina berada di sekitarnya saat ini.“Oke, kalau gitu aku ke sana.” Kemudian panggilan ditutup. Kevin hanya men
Irina sedikit terkejut saat tiba-tiba mobil yang ditumpanginya bersama Kevin membelok menuju ke sebuah tempat yang cukup ia kenal. Itu adalah tempat di mana dia akan pergi menggunakan jet pribadi. Irina tahu karena dia pernah melakukannya dengan Kevin juga Max. Kenapa Kevin mengajaknya ke tempat ini?“Kita … mau ke mana?” tanya Irina saat mobil mereka berhenti.“Aku ada kerjaan di luar kota.” Kevin menjawab pendek dengan nada setengah mendesis.“Kamu akan menginap di sana?” tanya Irina kemudian.Kevin menatap Irina dengan sungguh-sungguh. “Bukan hanya aku, tapi kita.”“Tapi, aku enggak bawa baju. Maksudku….” Irina bahkan baru ingat jika baju yang dia gunakan di balik coat ini masih kotor akibat jus yang ditumpahkan Rani padanya. Bagaimana mungkin dia bepergian menggunakan pakaian seperti itu?“Kamu tidak bisa menolak.” Kevin tak bisa diganggu gugat. Irina menghela napas panjang. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengikuti apa pun kemauan Kevin. Keduanya lalu turun dari mobil dan disambut
Ciuman yang dilakukan Kevin makin intens, makin menuntut. Apalagi ketika Irina dengan spontan membalas ciumannya. Kevin menginginkan lebih, Kevin ingin menyentuh dan memiliki Irina sepenuhnya. Kemudian, dalam sekejap mata semuanya berakhir ketika Irina meremas dada Kevin lalu mendorongnya menjauh.Kevin menghentikan aksinya, dia tahu bahwa Irina menolaknya. Ekspresinya mengeras seketika, bahkan Kevin merasa sedikit malu saat sadar dirinya mendapatkan penolakan dari istrinya sendiri.“Kevin, kupikir….” Irina menggantung kalimatnya, dia ragu menyatakan alasan kenapa ia menolak pria ini.Kevin tak butuh alasan itu, dia tahu pasti kenapa Irina menolaknya. Irina tak menginginkannya. Irina menikah dengannya hanya karena kehadiran bayi itu. Irina masih mencintai mantan suaminya, dan mungkin saja perempuan ini kini sudah kembali menjalin kasih dengan mantan kekasihnya.Kevin marah. Ekspresinya mengeras, tetapi dia tak bisa melampiaskan kemarahannya pada Irina. Secepat kilat Kevin menjauhi Iri
Jam sepuluh malam, Kevin dan Irina sudah kembali ke cottage mereka. Sebenarnya, Kevin hanya akan mengantar Irina, sedangkan dia akan menghabiskan waktunya di bar lalu tidur di hotel yang terpisah dengan Irina seperti kemarin. Namun, saat Kevin akan berbalik, Irina bertanya, “Kamu akan pergi?” “Ya.” Kevin menjawab pendek.“Kamu akan ninggalin aku?” tanya Irina lagi.“Ya.” Sekali lagi Kevin menjawab pendek. Dia bersiap melangkah menjauh, tetapi Irina dengan cepat sudah menggapai lengannya dan menghentikan langkah Kevin.“Tidak bisakah kamu di sini saja?” tanya Irina kemudian.“Kalau aku di sini, kita tidak hanya akan tidur.” Kevin mendesis tajam.“Kevin.”“Lepaskan aku, Irina.” Kevin membuka suaranya. Namun, cekalan Irina makin erat. “Kamu bisa melakukan apa pun padaku. Asalkan jangan tinggalkan aku,” ucapnya setengah melirih.Tubuh Kevin membeku seketika, dia tidak menyangka bahwa Irina akan mengucapkan kalimat itu. Segera dia menatap ke arah Irina, Kevin mendapati perempuan itu yang
Pagi itu, Irina terbangun sendiri. Dia sempat terkejut mendapati tubuhnya telanjang bulat di bawah selimut tebal. Kemudian Irina baru mengingat bahwa semalam dia telah melakukan hubungan intim dengan Kevin. Irina merasakan pipinya memanas seketika ketika mengingat kejadian itu. Segera dia menggosok pipinya, yang mungkin saat ini sudah terlihat memerah. Semalam, Kevin begitu bergairah, meski begitu, pria itu sangat lembut memperlakukannya. Seakan-akan dia adalah sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Kevin begitu menjaganya, bahkan pria itu tak menuntut banyak hal padanya. Irina menggeleng. Seharusnya dia tak mengingat tentang semalam lagi. Bisa-bisa wajahnya tak berhenti memerah seperti tomat nantinya.Irina kemudian mengalihkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Dia mencari keberadaan Kevin yang mungkin saja masih di dalam kamar. Nyatanya, pria itu tak ada di sana.Irina menuju ke kamar mandi dengan tubuh yang masih berbalutkan selimut. Irina harus mandi, dia ingin bertemu dengan Ke
Malamnya, Kevin kembali ke kamar dan mendapati Irina masih belum tidur. Perempuan itu duduk di pinggiran ranjang seakan sedang menunggunya. Kevin mencoba untuk bersikap sebiasa mungkin, walau pada akhirnya gagal setelah bayangan Irina menyebutkan nama mantan suaminya semalam kembali mengusik pikirannya. Kevin tak dapat mengungkapkan kekesalannya, di sisi lain, Kevin merasa sakit hati. “Kamu baru pulang?” tanya Irina sembari bangkit dan mendekat ke arah Kevin.“Ya.” Kevin menjawab singkat. Dia menuju lemari dan mengeluarkan pakaian. “Tapi aku akan keluar lagi.”“Ke mana?” tanya Irina dengan cepat.“Ada janji.”“Sama siapa?” Dengan spontan, Irina menanyakan hal itu.Kevin menghentikan aksinya. Dia berbalik kemudian menatap Irina penuh tanya. “Tampaknya kamu sangat penasaran.” Kevin berkomentar.“Aku … um, aku enggak mau ditinggal sendiri. Memangnya kamu ke mana?” tanya Irina lagi.Kevin melirik jam tangannya, dia berpikir sebentar kemudian menjawab, “Arsen ada acara, ulang tahun pernik