"Putus?" Alih-alih bersedih, Fahri terkekeh mendengar kalimat yang baru saja diucapkan kekasihnya—Priska. Ini bukan kali pertama gadis itu mengucapkan kata putus, dan Fahri sudah terbiasa mendengar hal itu. Biasanya dia akan memberikan Priska waktu untuk berpikir, lalu beberapa hari berikutnya mereka kembali bersama.
"Kali ini beneran udah final, nggak akan ada lagi kata balikan." Priska mengerti kenapa Fahri malah menertawakan kalimatnya. Track record-nya sebagai ratu putus-nyambung, membuat Fahri hanya menganggap permintaannya kali ini sebagai lelucon.Fahri kembali terkekeh. Dia terlalu percaya diri, Priska tak akan pernah benar-benar bisa pergi darinya. "Ayo aku antar pulang, kamu pasti lagi PMS," pungkasnya masih tak menganggap serius apa yang diucapkan kekasihnya.Priska bergeming dengan mata berembun. Membuat gerakan Fahri yang hendak bangkit dari duduk, terhenti. Alisnya bertaut. Biasanya Priska akan langsung menurut. Fahri sudah paham sifat kekasihnya itu. Namun, kali ini gelagat Priska agak lain dari biasa, dan hal itu membuatnya mulai gusar.Priska mendongak, menatap cowok jangkung dengan tinggi 183 senti itu. "Aku serius. Nggak akan ada lagi istilah balikan. Kita benar-benar end."Fahri mengacak gusar rambutnya dengan sebelah tangan berkacak pinggang. Ia tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari bibir gadis yang duduk di hadapannya. Padahal bulan depan ia telah berencana akan melamar kekasih yang telah bersamanya semenjak awal gadis itu menjadi mahasiswi. "Kamu serius?" tanyanya pelan. Memindai sorot mata bening yang kini tak lagi menatapnya.Gadis yang duduk di seberangnya itu menghela napas panjang. "Iya. Kayanya kita nggak bisa lanjut, mamah masih nggak mau kasih restu." ia menunduk, tak mau menatap Fahri yang menatapnya dengan tatapan tak percaya dan mulut ternganga. Fahri kembali duduk di hadapan Priska. "Neng ... kita udah jalan tujuh tahun. Masa sekarang nyerah gitu aja?" ia terdengar putus asa, dia begitu mencintai Priska. Tujuh tahun bersama, perjalanan mereka tak mudah. Selama ini, dia yang selalu menurunkan ego demi gadis yang ia cintai. "Kata mamah orang Padang sama Sunda henteu¹ bisa bersatu. Dari pada nanti udah nikah malah cerai, lebih baik dari sekarang saja kita putus," beber mojang priangan berwajah sendu itu.Fahri melongo. "Kenapa masih aja mempermasalahkan suku, Neng? Kita tuh udah merdeka sekian puluh tahun! Buyut aku tuh ampe bertaruh nyawa buat mempersatukan bangsa, kenapa sekarang kita malah dicerai beraikan suku seperti ini?"Priska hanya membuang napas panjang. Gadis itu pun tak tau harus berkata apa lagi. Dia tau pemuda yang ada di hadapannya itu sangat mencintainya. Selama tujuh tahun mereka merenda kasih, tak sekali pun pemuda itu mengecewakannya. Jika pun mereka pernah putus-sambung selama menjalani hubungan, selalu Priska yang meminta putus. Seperti sekarang ini. Dan seperti hari yang lalu, Fahri bersikukuh tidak mau putus."Besok aku ke rumah nemuin mamah kamu. Aku nggak mau nyerah gitu aja," pungkas Fahri, ia masih ingin memperjuangkan hubungan mereka.Priska menjangkau telapak tangan Fahri, merangkum dengan kedua tangannya. "Ayang, please. Yang ada mamah bakal meradang. Kalaupun kita maksa nikah, siapa yang bakal jadi wali nikah aku? Aku nggak mau nikah tanpa restu.""Kenapa suku dijadikan alasan, Neng. Abang aku juga nikah sama gadis Sunda, nggak ada masalah kok mereka. Masalah suku itu bukan hal yang krusial, Neng. Masih bisa dinego."Priska bergeming. Menunduk dalam tanpa berniat membantah.Rahang Fahri mengeras. Ia menarik tangannya kasar. Pemuda berkulit sawo matang itu menatap tajam gadis di hadapannya. Memindai mata sayu berbulu lentik itu."Kalau bakal tau nggak akan direstui, kenapa selama ini kamu masih mau jalan sama aku? Apa selama tujuh tahun ini cuma kamu anggap main-main aja?" Dia kembali mengajukan pertanyaan untuk mencari alasan logis dari permintaan kekasihnya itu.Priska meringis, menangkupkan kedua tangannya di bawah dagu dengan tatapan memohon. "Aku kan sudah berkali-kali bilang sama kamu, mamah nggak pernah kasih izin aku jadian sama kamu, cuma aku selama ini nggak tega aja gitu. Aku benar-benar minta maaf." Mata bening itu terlihat mulai basah. Bibirnya bergetar.Fahri mendengkus, selama ini dia mengira Priska masih mau diajak balikan karena gadis itu memang masih sayang. Namun, mendengar pernyataan gadis itu, hatinya seakan dihantam begitu keras, sakit. Bahkan ia sendiri dengan tak tau malunya terisak, merendahkan harga diri di hadapan gadis yang ia cintai. Berharap gadis itu sedikit berbaik hati dan berubah pikiran."Ayo aku antar pulang." Fahri tidak ingin berlama-lama duduk saling berhadapan dengan perasaan kacau seperti ini.Ia sebenarnya tak ingin menyerah, tetapi melihat wajah pasrah sang gadis, hatinya menjadi patah. Untuk apa ia terus berjuang, jika yang ia perjuangkan justru malah menyerah. Sia-sia perjalanan mereka selama ini.****Perjalanan mereka menuju rumah Priska terasa makin panjang. Waktu tempuh yang normalnya hanya memakan waktu tiga puluh menit itu, memanjang tiga kali lipat karena macet, di tambah lagi kebisuan yang membuat jarak mereka terasa makin jauh. Kendati mereka duduk bersisian, Fahri merasa Priska kini merentang jarak dengannya.Fahri makin frustrasi menunggu macet mengurai. Ini akhir minggu, Bandung selalu menjadi tempat favorit pelancong dari kota sekitarnya. Jika bukan karena permintaan Priska untuk bertemu di luar, tak akan Fahri mau keluar rumah untuk terjebak dalam keadaan macet dan situasi yang canggung seperti ini.Tak sepatah kata pun terucap dari bibir mereka berdua. Baik Fahri maupun Priska sama-sama bungkam. Priska hanya menatap keluar jendela. Kendati demikian, pikirannya tak benar-benar berada di luar sana. Isi kepalanya terasa penuh dengan segala keruwetan hubungannya dengan lelaki yang kini berada di sampingnya.Awal mula menjalin hubungan, Priska mengira hubungan mereka tak akan bertahan selama ini. Dia menerima Fahri hanya karena pemuda itu merupakan kakak tingkat idola angkatannya. Lalu di saat Fahri menyatakan perasaannya, Priska tak menyia-nyiakan kesempatan itu."Sambar, Ka!" Begitu ucap Widya sobat karib Priska semenjak duduk di sekolah menengah pertama, kala itu.Tak peduli latar belakang suku, dia menerima Fahri begitu saja. Toh, nanti seiring berjalannya waktu, Priska mengira mereka akan menemukan ketidak cocokan, dan mengakhiri hubungan. Nyatanya, Fahri menjatuhkan pilihan pada gadis berparas ayu itu bukan hanya semata-mata untuk berpetualang sebelum nanti ia dewasa dan menemukan pelabuhan hati terakhir.Priska gadis pertama yang membuat Fahri mantap menyatakan perasaan. Sebelum bertemu Priska, Fahri tak pernah mau menjalin hubungan yang serius. Tak ada kata main-main dalam kamus percintaan Fahri. Jika ia melabuhkan hatinya pada seorang gadis, maka ia akan pertahankan sesulit apa pun jalannya. Meski semenjak pertama berkenalan dengan orangtua Priska, Fahri tak mendapat tanggapan yang begitu baik, ia tak peduli. Ia akan berjuang demi mendapatkan restu.Namun, kini setelah tujuh tahun perjalanan mereka, Priska memilih untuk menyerah. Tak ada jalan tengah. Ibunya masih memegang pantangan adat lama."Hah! Omong kosong apaan ini."Priska terlonjak saat Fahri memukul keras kemudi mobil, rahangnya terlihat mengeras. Memutus lamunan Priska akan perjalanan kisah mereka beberapa tahun ini."Dua minggu lagi aku mau nikah—""Hah?" Fahri memotong kalimat Priska. Lagi-lagi gadis itu terlonjak kaget. Tatapan Fahri seakan hendak mengulitinya hidup-hidup. "Ya Allah, Neng! Apa lagi ini?" Pemuda itu tak lagi dapat mengontrol nada suaranya."Mamah sudah lama menjodohkan aku sama anak kenalannya." Priksa menunduk, jarinya saling meremas."Jadi selama ini aku cuma jagain jodoh orang?" Fahri tertawa getir."Hampura², Yang."Fahri berdecih. Menyadari betapa perjuangannya untuk mendapatkan restu selama ini hanyalah kesia-siaan belaka. Untuk pertama kalinya Fahri memberanikan diri memberikan hatinya, dan ternyata pilihannya itu salah. Hatinya dipatahkan oleh orang pertama yang menerima hatinya.***.__________________________________________________Note:1. Henteu = Tidak2. Hampura = Maafkan"Ari! Sampai kapan mau mengurung diri di kamar? Itu kerjaan kamu sudah numpuk! Om Johan sudah berkali-kali nelpon mama nanyain kondisi kamu." Rentetan omelan panjang perempuan akhir baya menyertai tersibaknya gorden kamar yang terlah berhari-hari ditutup Fahri. Semenjak putus dengan Priska, ia seakan tak mempunyai tujuan hidup. Selama ini, gadis manis mojang priangan itu lah yang menjadi penyemangatnya mengurus bisnis keluarga. "Ya Allah! Sudah pantas jadi sumando³, kelakuan masih saja seperti anak-anak."Emi—ibunya Fahri— menarik selimut yang membungkus tubuh bongsor anak laki-lakinya itu. "Jagolah waang!⁴" Kali ini Emi berdiri dengan berkacak pinggang, menatap tajam anak laki-lakinya yang terlihat kacau. "Mi, Ari lagi patah hati," rengek Fahri seperti bocah kecil yang mengadu pada ibunya karena diganggu teman sepermainan. "Terus kalau patah hati, boleh tidur seharian? Percuma Umi sekolahin sampai ke luar negeri kalau otaknya nggak berkembang seperti ini. Perempuan masih banyak,
"Kasih salam dulu sama etek, jangan bikin malu Umi dengan sikap kurang ajar ang¹ itu." Emi berbisik gemas setelah menyusul putranya ke ruang tengah."Lagian Umi main jodoh-jodohin anak tanpa persetujuan gitu. Memangnya Ari mau nikah sekarang?" Fahri memberengut. "Mau nikah kapan lagi?" Emi melotot sambil berkacak pinggang. "Sudah bujang lapuk begini." Sebuah pukulan melayang di lengan Fahri. Pemuda itu meringis sambil mengusap lengannya yang terasa panas. Kemudian tangannya sontak melindungi kepala saat ibunya kembali mengangkat telapak tangan. "Sana mandi! Gara-gara padusi² saja kau seperti orang stress begini.""Umi nggak ngerti perasaan Ari!" Kembali pemuda itu merengek sambil memberengut. "Waang itu laki-laki, Ri! baru karena patah hati sajo jadi cengeng seperti ini! Buyut ang kena tembak peluru Balando indak cengeng seperti ini, Ri!" Emi kembali meradang mendengar keluhan putranya. "Dari mana Umi tau kalau buyut kita nggak nangis kena tembak.""Ondeh! Banyak tanyo waang! Sana
"Oh! Nggak bisa main bawa-bawa aja, calon gue jilbaber. Nggak akan mau diajak gitu aja kalau belum halal." Di saat situasi kepepet, otak Fahri memang bisa diandalkan untuk merangkai kata biar bisa bersilat lidah. Dan dia tersenyum puas setelah mengatakan alasan kuat agar tak perlu membawa calon istri yang dikarangnya mendadak, demi harga diri itu."Gue yakin kalau kalian udah nikah, bini lo bakal rajin baca ayat-ayat ruqyah!" celetuk Pian sambil lalu. "Anjir! Lo pikir gue setan!" "Kelakuan lo yang kayak setan!" balas Pian sambil terkekeh-kekeh."Lo tuh yang kayak setan, ngerayu cewek ngalahin setan ngerayu nabi Adam! Gue mah orangnya setia, buktinya sampai kemarin gue putus sama Priska, gue nggak gandeng sana gandeng sini kayak lo!""Iya, itu karena Priska cemburuan. Lo kan bucin. Makanya gue nggak yakin lo punya calon bini!" timpal Pian tak mau kalah. Fahri kembali tersulut emosi. Enggak di rumah, enggak di lingkungan sahabatnya, kenapa semua meributkan masalah pendamping hidup. F
Fahri mengembus napas pelan. Dia harus bisa mengontrol emosi. Bagaimana pun, dia butuh bantuan Dinda saat ini. Tolong bersabarlah, pinta Fahri pada diri sendiri. Ia kembali mengatur napas untuk meredakan emosi yang mendadak naik mendengar pertanyaan Dinda tadi. "Tolong jangan bilang seperti itu lagi. Aku nggak ditinggal nikah. Aku dan Priska putus baik-baik, okay?" Fahri melebarkan matanya dengan senyum yang justru terlihat seperti seringaian. "Oh, okay!" Dinda membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Nda minta maaf," ucapnya bersungguh-sungguh dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di bawah dagu. Hingga Fahri malah melihat kemiripan antara Dinda dan Goofy saat melihat tatapan mata gadis di hadapannya. "Lalu kenapa Uda harus minta ditemenin ke kondangan Teh Priska? Biar disangka udah move on?" selidik Dinda dengan polosnya. Fahri mengepalkan tangan, kembali mengatur napas agar tak meledak menanggapi pertanyaan adik sepupunya yang terdengar seolah mengejek. Pertanya
"Eh, Ri! Tunggu dulu!"Langkah Fahri terhenti ketika mendengar suara iparnya memanggil. "Kenapa lagi, Teh? Keburu kelar acaranya." Fahri melirik arloji di pergelangan tangannya tak sabar.Dena mencebik dengan kesal. "Ya elah, nggak sabar banget ketemu mantan. Paling lo juga ntar dicuekin," gerutu Dena sembari mendekati Fahri dan Dinda yang telah berada di luar salon. "Sini gue fotoin dulu!" Dena mengacungkan ponselnya ke arah Fahri. "Buat apaan pake foto-foto segala," ketus Fahri dengan wajah ditekuk. "Buat kenang-kenangan aja, sih. Anggap aja ucapan terima kasih lo ke gue." Dena menarik Dinda berdiri di samping Fahri. Mengabaikan dengkusan kesal sang adik ipar. Fahri dengan terpaksa menuruti kemauan Dena, berdiri di samping Dinda dengan wajah cemberut. "Mahal banget senyum lo ya, Ri! Senyum dikit doang napa, sih! Nggak bakal mati juga lo!" Mendengar gerutuan kakak iparnya, Fahri menurut, supaya ia bisa bergegas meninggalkan tempat itu. Dena membidikkan kamera ponselnya beberap
"Dinda! Kamu di mana?" tanya Fahri gusar saat Dinda menjawab teleponnya. "Lho, Uda udah nyimpan nomor, Nda?" tanya Dinda dengan polos, alih-alih menjawab pertanyaan Fahri. "Nda aja nggak nyimpan nomor Uda.""Aku nanya kamu di mana? Malah nanya balik." Fahri makin meradang mendengar suara tak bersalah gadis itu. Gedung tempat acara pernikahan digelar, sudah mulai sepi. Tamu undangan pun telah berangsur pergi, tetapi Fahri tak menemukan Dinda, meskipun dia telah mencari ke seluruh area gedung. "Udah di jalan pulang," sahut Dinda dengan santai. "Pulang sama siapa? Kok nggak ngomong sama aku? Kamu kan ke sini bareng aku, kenapa malah pulang sendiri?" Fahri mencak-mencak. "Lho, kan tadi Uda yang suruh Nda pulang sendiri.""Kapan?""Itu, tadi Uda bilang pas aku ngasihin siomay.""Astaghfirullah, Nda! Kamu ngerti becanda nggak, sih?" Kepala Fahri mendadak pening. "Oh! Tadi Uda Ari becanda?" "Turun sekarang juga! Share loc, biar aku jemput!" Telepon berakhir dengan embusan napas kasar F
Dinda kesulitan menelan ludah saat Emi menyambut kedatangannya bersama Fahri. Masih dengan mulut yang mendadak terasa kering, Dinda menoleh pada Fahri yang berlalu dengan tergesa dan wajah memerah meninggalkan ruang tengah. "Ari! Duduk di sini dulu!" Emi terpaksa meninggikan suara agar didengar oleh anak laki-lakinya itu. "Umi, Ari lagi nggak mau bahas masalah yang di group dulu. Kasih Ari waktu," tepis Fahri, tak seperti biasanya yang ikut meninggikan suara ketika berhadapan dengan uminya. "Mau berapa lama lagi? Umi nggak mau kamu jadi gangguan jiwa mikirin Priska setiap hari. Berkurung di kamar seperti segan saja untuk hidup."Fahri mendengkus dan mengembus napas panjang. "Ari baru patah hati, Mi! Apa Umi nggak bisa ngertiin perasaan Ari. Tolong ngertiin juga perasaan Dinda. Belum tentu juga dia mau sama Ari. Kenapa Umi selalu saja memaksakan kehendak seperti ini." Kali ini Fahri berbalik menatap uminya dengan tatapan memohon. Namun, alih-alih iba, Emi malah tertawa. "Ri! Masih
Entah ke berapa kali Dinda membolak balikkan badan untuk mencari posisi tidur yang nyaman, tetapi matanya seolah enggan untuk terpejam. Pikirannya seakan mengajak untuk terus terjaga. Memikirkan masa depan yang tak lagi seindah angan. Umurnya masih 22 tahun, ia masih ingin menikmati hidup sendirian. Membahagiakan ibu, atau menjelajahi belahan bumi lain sebelum mengabdi menjadi seorang istri. Bagi Dinda, menikah adalah proses di mana ia merelakan seluruh hidupnya untuk dibagi dengan orang yang ia cintai. Di mana ia tak lagi memprioritaskan ambisinya, tetapi menjadi pendorong bagi anggota keluarganya untuk menggapai apa yang mereka cita-citakan. Tiba-tiba kamar yang gelap sedikit menjadi lebih terang karena cahaya yang berasal dari layar ponsel Dinda yang menyala. Dinda menoleh ke arah meja di mana ia meletakkan ponsel. Awalnya ia hendak mengabaikan tetapi ponselnya terus menerus menyala dengan getaran yang cukup mengganggu. Gadis itu bangkit dengan gerakan malas, menoleh sekilas ke s