Share

Pulang Ka Bako
Pulang Ka Bako
Penulis: Alfarin

Putus

Penulis: Alfarin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-25 05:58:20

"Putus?" Alih-alih bersedih, Fahri terkekeh mendengar kalimat yang baru saja diucapkan kekasihnya—Priska. Ini bukan kali pertama gadis itu mengucapkan kata putus, dan Fahri sudah terbiasa mendengar hal itu. Biasanya dia akan memberikan Priska waktu untuk berpikir, lalu beberapa hari berikutnya mereka kembali bersama.

"Kali ini beneran udah final, nggak akan ada lagi kata balikan." Priska mengerti kenapa Fahri malah menertawakan kalimatnya. Track record-nya sebagai ratu putus-nyambung, membuat Fahri hanya menganggap permintaannya kali ini sebagai lelucon.

Fahri kembali terkekeh. Dia terlalu percaya diri, Priska tak akan pernah benar-benar bisa pergi darinya. "Ayo aku antar pulang, kamu pasti lagi PMS," pungkasnya masih tak menganggap serius apa yang diucapkan kekasihnya.

Priska bergeming dengan mata berembun. Membuat gerakan Fahri yang hendak bangkit dari duduk, terhenti. Alisnya bertaut. Biasanya Priska akan langsung menurut. Fahri sudah paham sifat kekasihnya itu. Namun, kali ini gelagat Priska agak lain dari biasa, dan hal itu membuatnya mulai gusar.

Priska mendongak, menatap cowok jangkung dengan tinggi 183 senti itu. "Aku serius. Nggak akan ada lagi istilah balikan. Kita benar-benar end."

Fahri mengacak gusar rambutnya dengan sebelah tangan berkacak pinggang. Ia tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari bibir gadis yang duduk di hadapannya. Padahal bulan depan ia telah berencana akan melamar kekasih yang telah bersamanya semenjak awal gadis itu menjadi mahasiswi. "Kamu serius?" tanyanya pelan. Memindai sorot mata bening yang kini tak lagi menatapnya.

Gadis yang duduk di seberangnya itu menghela napas panjang. "Iya. Kayanya kita nggak bisa lanjut, mamah masih nggak mau kasih restu." ia menunduk, tak mau menatap Fahri yang menatapnya dengan tatapan tak percaya dan mulut ternganga.

Fahri kembali duduk di hadapan Priska. "Neng ... kita udah jalan tujuh tahun. Masa sekarang nyerah gitu aja?" ia terdengar putus asa, dia begitu mencintai Priska. Tujuh tahun bersama, perjalanan mereka tak mudah. Selama ini, dia yang selalu menurunkan ego demi gadis yang ia cintai. "Kata mamah orang Padang sama Sunda henteu¹ bisa bersatu. Dari pada nanti udah nikah malah cerai, lebih baik dari sekarang saja kita putus," beber mojang priangan berwajah sendu itu.

Fahri melongo. "Kenapa masih aja mempermasalahkan suku, Neng? Kita tuh udah merdeka sekian puluh tahun! Buyut aku tuh ampe bertaruh nyawa buat mempersatukan bangsa, kenapa sekarang kita malah dicerai beraikan suku seperti ini?"

Priska hanya membuang napas panjang. Gadis itu pun tak tau harus berkata apa lagi. Dia tau pemuda yang ada di hadapannya itu sangat mencintainya. Selama tujuh tahun mereka merenda kasih, tak sekali pun pemuda itu mengecewakannya. Jika pun mereka pernah putus-sambung selama menjalani hubungan, selalu Priska yang meminta putus. Seperti sekarang ini. Dan seperti hari yang lalu, Fahri bersikukuh tidak mau putus.

"Besok aku ke rumah nemuin mamah kamu. Aku nggak mau nyerah gitu aja," pungkas Fahri, ia masih ingin memperjuangkan hubungan mereka.

Priska menjangkau telapak tangan Fahri, merangkum dengan kedua tangannya. "Ayang, please. Yang ada mamah bakal meradang. Kalaupun kita maksa nikah, siapa yang bakal jadi wali nikah aku? Aku nggak mau nikah tanpa restu."

"Kenapa suku dijadikan alasan, Neng. Abang aku juga nikah sama gadis Sunda, nggak ada masalah kok mereka. Masalah suku itu bukan hal yang krusial, Neng. Masih bisa dinego."

Priska bergeming. Menunduk dalam tanpa berniat membantah.

Rahang Fahri mengeras. Ia menarik tangannya kasar. Pemuda berkulit sawo matang itu menatap tajam gadis di hadapannya. Memindai mata sayu berbulu lentik itu.

"Kalau bakal tau nggak akan direstui, kenapa selama ini kamu masih mau jalan sama aku? Apa selama tujuh tahun ini cuma kamu anggap main-main aja?" Dia kembali mengajukan pertanyaan untuk mencari alasan logis dari permintaan kekasihnya itu.

Priska meringis, menangkupkan kedua tangannya di bawah dagu dengan tatapan memohon. "Aku kan sudah berkali-kali bilang sama kamu, mamah nggak pernah kasih izin aku jadian sama kamu, cuma aku selama ini nggak tega aja gitu. Aku benar-benar minta maaf." Mata bening itu terlihat mulai basah. Bibirnya bergetar.

Fahri mendengkus, selama ini dia mengira Priska masih mau diajak balikan karena gadis itu memang masih sayang. Namun, mendengar pernyataan gadis itu, hatinya seakan dihantam begitu keras, sakit. Bahkan ia sendiri dengan tak tau malunya terisak, merendahkan harga diri di hadapan gadis yang ia cintai. Berharap gadis itu sedikit berbaik hati dan berubah pikiran.

"Ayo aku antar pulang." Fahri tidak ingin berlama-lama duduk saling berhadapan dengan perasaan kacau seperti ini.

Ia sebenarnya tak ingin menyerah, tetapi melihat wajah pasrah sang gadis, hatinya menjadi patah. Untuk apa ia terus berjuang, jika yang ia perjuangkan justru malah menyerah. Sia-sia perjalanan mereka selama ini.

****

Perjalanan mereka menuju rumah Priska terasa makin panjang. Waktu tempuh yang normalnya hanya memakan waktu tiga puluh menit itu, memanjang tiga kali lipat karena macet, di tambah lagi kebisuan yang membuat jarak mereka terasa makin jauh. Kendati mereka duduk bersisian, Fahri merasa Priska kini merentang jarak dengannya.

Fahri makin frustrasi menunggu macet mengurai. Ini akhir minggu, Bandung selalu menjadi tempat favorit pelancong dari kota sekitarnya. Jika bukan karena permintaan Priska untuk bertemu di luar, tak akan Fahri mau keluar rumah untuk terjebak dalam keadaan macet dan situasi yang canggung seperti ini.

Tak sepatah kata pun terucap dari bibir mereka berdua. Baik Fahri maupun Priska sama-sama bungkam. Priska hanya menatap keluar jendela. Kendati demikian, pikirannya tak benar-benar berada di luar sana. Isi kepalanya terasa penuh dengan segala keruwetan hubungannya dengan lelaki yang kini berada di sampingnya.

Awal mula menjalin hubungan, Priska mengira hubungan mereka tak akan bertahan selama ini. Dia menerima Fahri hanya karena pemuda itu merupakan kakak tingkat idola angkatannya. Lalu di saat Fahri menyatakan perasaannya, Priska tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Sambar, Ka!" Begitu ucap Widya sobat karib Priska semenjak duduk di sekolah menengah pertama, kala itu.

Tak peduli latar belakang suku, dia menerima Fahri begitu saja. Toh, nanti seiring berjalannya waktu, Priska mengira mereka akan menemukan ketidak cocokan, dan mengakhiri hubungan. Nyatanya, Fahri menjatuhkan pilihan pada gadis berparas ayu itu bukan hanya semata-mata untuk berpetualang sebelum nanti ia dewasa dan menemukan pelabuhan hati terakhir.

Priska gadis pertama yang membuat Fahri mantap menyatakan perasaan. Sebelum bertemu Priska, Fahri tak pernah mau menjalin hubungan yang serius. Tak ada kata main-main dalam kamus percintaan Fahri. Jika ia melabuhkan hatinya pada seorang gadis, maka ia akan pertahankan sesulit apa pun jalannya. Meski semenjak pertama berkenalan dengan orangtua Priska, Fahri tak mendapat tanggapan yang begitu baik, ia tak peduli. Ia akan berjuang demi mendapatkan restu.

Namun, kini setelah tujuh tahun perjalanan mereka, Priska memilih untuk menyerah. Tak ada jalan tengah. Ibunya masih memegang pantangan adat lama.

"Hah! Omong kosong apaan ini."

Priska terlonjak saat Fahri memukul keras kemudi mobil, rahangnya terlihat mengeras. Memutus lamunan Priska akan perjalanan kisah mereka beberapa tahun ini.

"Dua minggu lagi aku mau nikah—"

"Hah?" Fahri memotong kalimat Priska. Lagi-lagi gadis itu terlonjak kaget. Tatapan Fahri seakan hendak mengulitinya hidup-hidup. "Ya Allah, Neng! Apa lagi ini?" Pemuda itu tak lagi dapat mengontrol nada suaranya.

"Mamah sudah lama menjodohkan aku sama anak kenalannya." Priksa menunduk, jarinya saling meremas.

"Jadi selama ini aku cuma jagain jodoh orang?" Fahri tertawa getir.

"Hampura², Yang."

Fahri berdecih. Menyadari betapa perjuangannya untuk mendapatkan restu selama ini hanyalah kesia-siaan belaka. Untuk pertama kalinya Fahri memberanikan diri memberikan hatinya, dan ternyata pilihannya itu salah. Hatinya dipatahkan oleh orang pertama yang menerima hatinya.

***

.

__________________________________________________

Note:

1. Henteu = Tidak

2. Hampura = Maafkan

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pulang Ka Bako   New Parent

    Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin

  • Pulang Ka Bako   Pregnancy Confusion

    Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa

  • Pulang Ka Bako   Melanjutkan Hidup

    "Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken

  • Pulang Ka Bako   Kejutan Anniversary

    Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b

  • Pulang Ka Bako   Grow Old With Me Please

    Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng

  • Pulang Ka Bako   Konseling

    Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status