Share

Miss Alakadar

Fahri mengembus napas pelan. Dia harus bisa mengontrol emosi. Bagaimana pun, dia butuh bantuan Dinda saat ini. Tolong bersabarlah, pinta Fahri pada diri sendiri. Ia kembali mengatur napas untuk meredakan emosi yang mendadak naik mendengar pertanyaan Dinda tadi.

"Tolong jangan bilang seperti itu lagi. Aku nggak ditinggal nikah. Aku dan Priska putus baik-baik, okay?" Fahri melebarkan matanya dengan senyum yang justru terlihat seperti seringaian.

"Oh, okay!" Dinda membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Nda minta maaf," ucapnya bersungguh-sungguh dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di bawah dagu. Hingga Fahri malah melihat kemiripan antara Dinda dan Goofy saat melihat tatapan mata gadis di hadapannya.

"Lalu kenapa Uda harus minta ditemenin ke kondangan Teh Priska? Biar disangka udah move on?" selidik Dinda dengan polosnya.

Fahri mengepalkan tangan, kembali mengatur napas agar tak meledak menanggapi pertanyaan adik sepupunya yang terdengar seolah mengejek. Pertanyaan telak yang membuat harga diri Fahri terasa makin dikoyak.

"Dinda, aku belum selesai ngomong dari tadi, kamu udah nyerocos sana-sini, bisa nggak sih dengerin dulu? Katanya anak psikologi, tapi nggak sabaran banget dengerin orang mau curhat!" geram Fahri. Kali ini Goofy yang menjadi korban pelampiasan emosi Fahri yang tertahan. Kucing berbulu oren itu menggeram saat Fahri mencengkeram kepala dan memelintir kupingnya, tapi tak bisa melawan karena sang majikan menahan gerakan tubuhnya yang hendak melompat turun dari pangkuan.

"Oh! Uda mau curhat?" Dinda masih belum percaya dengan apa yang baru dikatakan Fahri. Gadis itu buru-buru kembali bicara saat melihat Fahri mulai melotot. "Okay. Nda denger. Nda nggak akan nanya lagi. Demi Cha Eun Wo!" Kali ini Dinda mengacungkan hari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.

"Aish!" Fahri menenggelamkan wajahnya dalam telapak tangan dan mengembuskan napas dengan keras. Serah lo dah! rutuknya. Tentu saja Fahri hanya bisa berkata dalam hati. Ia ingat misinya mendekati Dinda saat ini. Ingin membuktikan pada sahabat-sahabatnya bahwa dia tak senelangsa yang mereka pikirkan. Dan, tentu saja Fahri tidak mau ketahuan bahwa dia tadi hanya asal bicara. Bisa ditaruh di mana mukanya jika ketahuan berbohong untuk menutupi rasa malu ditinggal nikah oleh kekasihnya. Mantan kekasih lebih tepatnya.

"Jadi gini, teman kampretku." Fahri memulai dengan makian. "Meminta aku datang ke undangan Priska lusa. Mereka bawa pasangan masing-masing. Nggak lucu dong, aku datang sendirian, ke nikahan mantan pula. Sebenarnya aku bisa aja sih minta cewek lain buat nemenin, cuma aku nggak mau pada baper aja. Secara, aku kan inceran para cewek yang udah dikejar-kejar deadline nikah." Fahri nyerocos panjang lebar. Sementara Dinda mengangguk-angguk berusaha keras menahan diri untuk tak berkomentar.

"Jadi, kamu mau nemenin aku?"

"Ok! Demi harga diri Uda Fahri, Nda akan temanin." Dinda langsung menyetujui.

"Serius?" Fahri mengira akan mendapatkan penolakan karena track record komunikasi mereka selama ini tidak terlalu bagus. Dan lagi, gadis itu terkadang terlihat takut saat berhadapan dengannya.

"Iya." Dinda mengangguk dengan tatapan mata bersungguh-sungguh.

"Tapi kamu jangan baper ya, jangan ngira aku mau nerima usulan perjodohan Umi tadi pagi."

Dinda melongo sepersekian detik, kemudian tawanya pecah.

"Ha-ha! Jadi Uda pikir Nda mau nemenin karena usulan perjodohan Umi tadi pagi?" tanya Dinda di sela tawanya.

"Tenang, Da. Nda tau diri. Nggak mungkin Uda suka Nda, kan. Secara mantan Uda saja bak kandidat Miss Universe."

"Lebay!" cibir Fahri sambil mencebik.

"Eh, tapi apa uda nggak malu? Masa down grade, dari spek Miss Universe jadi Miss Alakadarnya?" Dinda mengabaikan cibiran Fahri.

Fahri mendelik. Memindai penampilan Dinda yang bisa dikatakan rada kampungan. Bahkan saat tadi datang saja, kerudung gadis itu lebih menyerupai kerudung ibu tukang sayur langganan uminya. Tak ada modis-modisnya. Berbeda dengan Priska yang selalu mengikuti tren fashion.

Lelaki berkulit sawo matang itu gigit jari. Merasa benar apa yang dikatakan Dinda kali ini. Tidak mungkin dia membawa Dinda dengan penampilan kampungan itu. Apa kata para sahabat kampretnya itu nanti.

"Ah! Teh Dena mana?" tanyanya tiba-tiba teringat akan kakak iparnya yang cukup stylish.

Dinda garuk-garuk kepala. Dia berpikir Fahri mendadak gila, karena akan mengajak Dena sebagai partnernya ke kondangan.

"Di atas. Mau Nda panggilin?"

"Iya, sana buruan! Bilang sama Teh Dena, urgent!" Fahri mengibas-ngibaskan tangannya bak bos besar, mengusir Dinda pergi.

"Iya." Dinda bergegas bangkit dari duduk. Menaiki anak tangga dengan tergesa. Baru kali ini Fahri menganggapnya ada, dan Dinda tidak mau sepupunya itu berubah pikiran, kembali menganggapnya seperti debu yang beterbangan di sekitarnya. Jangankan dianggap, terlihat saja enggak.

"Teh." Dinda mengetuk pintu kamar sepupunya pelan begitu sampai di lantai dua.

Pada ketukan kedua, Dena keluar.

"Kenapa, Din?" tanya ibu muda itu sembari merapikan ikatan rambutnya.

"Maaf, gangguin Teteh istirahat."

"Oh, nggak, tadi cuma buka-buka medsos aja. Kenapa?" Dena mengulas senyum hangat.

"Uhm, itu ... Uda Ari nyuruh Nda manggil Teteh. Katanya ada yang urgent." Dinda nyengir kuda. Jika dibandingkan dengan sepupunya, justru Dinda lebih dekat dengan ipar sepupunya itu. Gadis Sunda yang ramah dengan wajah spek bidadari.

"Emang tu bocah udah pulang?"

"Udah."

"Apaan lagi tu anak urgan urgent segala." Dena mengomel, terlihat sedikit kesal. Dena paham sifat Fahri yang baru akan menegurnya jika ada perlu.

"Sopan banget tu anak, ya! Malah yang tua disuruh turun, bukannya dia yang naik gitu manggil teteh." Dena bersungut-sungut sambil melangkah turun ke lantai bawah.

"Ih, kata siapa Teteh udah tua, masih muda gini." Dinda menimpali dari belakang.

Dena menghentikan langkah, menoleh pada Dinda yang menatapnya polos. Kemudian tawanya pecah mengingat betapa polos sepupu suaminya itu.

"Dinda, bisa aja, sih nyenengin hati teteh." Sungutan kesal Dena langsung saja berubah tawa. Akan tetapi, tawanya langsung saja terhenti begitu melihat muka masam sang adik ipar.

"Heran deh gue, kok mau-maunya Priska pacaran sama tu anak sampe bertahun-tahun, mukanya kecut begitu," bisik Dena ke arah Dinda. "Wajar aja ceweknya minta putus. Ngeliat mukanya aja, masa depan langsung suram." Dena mencebik.

"Ih, Teteh." Dinda menyikut lengan Dena pelan. Dinda khawatir Fahri kembali meradang.

"Ada apa adik iparku yang ganteng nan songongnya ngalahin emak-emak bermotor di jalan?" tanya Dena dengan nada bicara yang dibuat sedikit manis.

"Teh, bisa dandanin Dinda nggak? Bikin dia secantik mungkin." Fahri langsung berbicara ke poin utama. Ia tak mau berbelit-belit kali ini.

"Oh! Ini titah, Tuan Muda?" Dena mengernyit, memasang ekspresi takut yang jelas dibuat-buat.

Fahri menyadari bahasa sindiran kakak iparnya. Ia kemudian mengulang kembali kalimat permintaannya pada Dena. "Teteh Dena yang cantik, bisakah Ari minta tolong untuk mendandani Dinda secantik mungkin?"

"Adeu ... jadi ceritanya setuju nih sama usulan Umi?" goda Dena dengan senyum lebar.

"Bukan! Duh! Teteh jangan salah paham. Ini tuh aku mau ke kondangan Priska lusa."

"Oh! I see. Ok. Ari tenang aja, teteh bikin Dinda jadi manglingi, ngalahin pengantennya sekalian ntar!" Dena berkata dengan semangat sambil. mengacungkan jempolnya.

"Tapi jangan sampai umi tau."

Dena melongo.

"Gimana, cara? Secara ntar Dinda kan berangkat dari sini, ya pasti umi lihat dong."

"Ntar Dinda aku jemput dari rumah Teteh aja."

Dena megap-megap, berusaha menahan makian yang sudah berada di tenggorokan. Pantas saja mertuanya selalu naik darah menghadapi bocah yang terperangkap dalam tubuh lelaki dewasa ini.

"Terus, maksud lo, udah minta tolong nyusahin orang pula?" Jika Fahri anaknya, mungkin Dena akan berbuat hal yang sama dengan mertuanya, mengambil sapu dan melayangkan ke kepala Fahri. Untung Dena bukan Emi, jadi dia terpaksa menahan diri, meski darah sudah mendidih di kepala.

"Aku janji, setelah ini bakal bantuin Teteh jagain Chika kalau Teteh mau ada acara sama sohib sosialita Teteh." Untuk pertama kali, Dena melihat tatapan memohon dari wajah adik iparnya. Tatapan angkuh yang selama ini ia perlihatkan, seolah habis tak bersisa. Dena mendadak kasihan. Sebegitu parah patah hati adik iparnya. Dena tak mau tau-tau Fahri bunuh diri hanya karena patah hati.

"Ok. Demi baby sitter gratisan. Teteh mau." Dena mengulurkan tangan ke arah adik iparnya.

"Apaan ini?" Tatapan angkuh itu kembali.

"Deal, nggak?"

"Ya kan aku yang ngajuin syarat, nggak perlu pakai deal-deal segala, lah," tepis Fahri.

"Cih! Sama kayak bantuin ular kejepit," umpat Dena.

***

"Umi, Na jalan sama Dinda dulu, ya," pamit Dena pada ibu mertuanya pagi itu. Sedikit berubah dari rencana awal, ia akan membawa Dinda ke salah satu salon milik salah seorang Make Up Artis terkenal di Bandung.

"Memangnya mau ke mana?" tanya Emi dan Niar berbarengan. Jarang-jarang Dinda mau diajak jalan oleh Dena. Biasanya Dinda lebih memilih menghabiskan waktu di rumah kakak ayahnya itu jika berlibur ke sana.

"Umi, Ari ngajakin Dinda ke kondangan mantannya. Na mau dandanin Dinda secantik mungkin, biar Ari benar-benar move on dari sang mantan," bisik Dena di telinga mertuanya. "Tapi Umi jangan bilang Ari kalau Na kasih bocoran, ok?" Dena mengacungkan jempolnya ke arah ibu mertua dengan senyum licik. Toh, kemarin menurutnya Fahri tak menanggapi salam kesepakatan mereka, jadi Dena merasa tak melanggar kesepakatan. Sekali-kali ia ingin memberi pelajaran pada sepupunya itu supaya mengurangi sifat angkuhnya.

"Terus kalian mau ke salon?" balas Emi dengan setengah berbisik.

"Iya. Tadinya mau dandan di rumah Na, tapi Na pikir-pikir kenapa nggak sekalian aja ke make up artis, biar hasilnya paripurna. Bener nggak, Mi?"

"Ha, iyo! Ini bawa kartu atm Umi saja. Bilang sama make up artisnya, dandanin secantik mungkin, biar Ari bisa melek matanya, cewek cantik nggak hanya mantannya aja." Emi bergegas membuka dompet, mengeluarkan kartu debit dan menyerahkan pada menantunya.

"Eh nggak usah, Umi. Biar pakai kartu Abang aja nanti biar Na tagih sama Ari," tolak Dena.

"Jangan. Biar umi yang bayar, nanti nggak usah ditagih ke anak itu. Nah! Bawa saja kartu Umi." Emi melesakkan kartu debitnya ke tangan sang menantu.

Sementara itu Niar dan Dinda melongo menonton konspirasi mertua dan menantu itu.

"Nanti kirimin umi foto Dinda, ya!" pungkas Emi setelah berhasil memaksa menantunya menggunakan fasilitas yang ia berikan.

"Beres, Mi!" Dena mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar.

***

Fahri memacu mobilnya menuju alamat yang dikirimkan Dena melalui pesan singkat lima belas menit lalu. Dena mengabarkan bahwa Dinda sudah selesai didandani, dan siap untuk diajak unjuk gigi ke pernikahan Priska.

Begitu sampai di lobi salon yang dimaksud, Fahri melihat Dena sedang mengobrol dengan seseorang.

"Mana si Dindanya, Teh?" tanya Fahri, mengabaikan lawan bicara kakak iparnya yang mengulas senyum padanya.

"Lah! Ini." Dena menunjuk lawan bicaranya.

Sungguh Fahri tak menyangka gadis yang tadinya ia anggap kampungan itu, bertransformasi bak artis ibu kota.

Tubuh gadis bertinggi sedang itu terlihat semampai dalam balutan gaun warna green olive dengan kerudung berwarna serasi. Bibirnya terlihat penuh dipoles lipstik berwarna natural. Serta matanya terlihat makin tajam efek riasan.

"Nah! Baru nyadar kan sekarang kalau Dinda cantik. Asal lo tau aja, Ri! Semua perempuan itu cantik, asal ada dananya." Suara Dena memutus kekaguman Fahri pada Dinda. Wajahnya yang tadi takjub, berubah masam kembali.

"Ya udah, yuk. Keburu kelar acaranya," ajak Fahri sembari berbalik.

"Magic word, please," seru Dena ketika tak mendengar sepatah kata ucapan terima kasih pun dari bibir adik iparnya itu.

"Makasih, Teh!" ucap Fahri sambil lalu.

"Yang sabar, ya Din." Dena memandang Dinda dengan wajah prihatin saat sepupu suaminya berjalan dengan tergesa menyusul Fahri ke luar salon.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status