"Eh, Ri! Tunggu dulu!"
Langkah Fahri terhenti ketika mendengar suara iparnya memanggil."Kenapa lagi, Teh? Keburu kelar acaranya." Fahri melirik arloji di pergelangan tangannya tak sabar.Dena mencebik dengan kesal. "Ya elah, nggak sabar banget ketemu mantan. Paling lo juga ntar dicuekin," gerutu Dena sembari mendekati Fahri dan Dinda yang telah berada di luar salon. "Sini gue fotoin dulu!" Dena mengacungkan ponselnya ke arah Fahri."Buat apaan pake foto-foto segala," ketus Fahri dengan wajah ditekuk."Buat kenang-kenangan aja, sih. Anggap aja ucapan terima kasih lo ke gue." Dena menarik Dinda berdiri di samping Fahri. Mengabaikan dengkusan kesal sang adik ipar.Fahri dengan terpaksa menuruti kemauan Dena, berdiri di samping Dinda dengan wajah cemberut."Mahal banget senyum lo ya, Ri! Senyum dikit doang napa, sih! Nggak bakal mati juga lo!"Mendengar gerutuan kakak iparnya, Fahri menurut, supaya ia bisa bergegas meninggalkan tempat itu.Dena membidikkan kamera ponselnya beberapa kali sembari mengatur gaya sang model dadakan, ditimpali gerutu sang adik ipar."Sip! Udah sana lo!" usir Dena setelah puas menatap hasil bidikannya di layar ponsel."Makan yang banyak ya, Din! Ngadepin orang kayak Fahri butuh energi ekstra!" ujar Dena dengan setengah berteriak saat Dinda berjalan menuju mobil Fahri yang terparkir di halaman salon."Iya, Teh!" Dinda mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar dan mata berbinar. Makan di tempat kondangan bagi Dinda semenjak ia menjadi mahasiswi, adalah kesempatan untuk mencicipi makanan enak.Meskipun selama menjadi mahasiswi, Emi rutin mengiriminya uang saku, tetapi Dinda tau diri. Gadis itu selalu menghemat pengeluarannya, agar jika ada pengeluaran di luar prediksi, ia tak perlu meminta pada ibu atau kakak ayahnya itu. Sehingga, begitu ada undangan yang menyuguhkan makanan yang berlimpah, Dinda tak menyia-nyiakan kesempatan itu.Saat memasuki mobil, Dinda mengulas senyum lebar, karena membayangkan beraneka ragam stand makanan di pesta pernikahan mantan sang sepupu."Assalamualaikum Ukhti!" sapa seseorang dari jok belakang begitu Dinda baru saja menghenyakkan tubuhnya di jok empuk mobil Fahri. Sontak gadis itu menoleh ke belakang."Waalaikum salam Akhi!" balas Dinda dengan senyum lebarnya."Apaan lo ukhti-ukhti segala!" sungut Fahri menoleh ke arah belakang, tempat di mana Pian berada."Masya Allah cantiknya calon bini, lo Ri! Pantes lo nggak bunuh diri ditinggal Priska," puji Pian makin menjadi."Mau gue tendang keluar lo?" gertak Fahri garang."Kayanya Gustaf kudu siap-siap balik nama motor sport-nya nih." Pian terkekeh-kekeh, tak peduli dengan wajah sahabatnya yang makin ditekuk dengan bibir makin monyong karena menahan kesal.Sementara itu Dinda hanya cengar-cengir, mendengarkan Fahri dan sahabatnya berdebat. Melihat Fahri menjadi bulan-bulanan sahabatnya, Dinda merasa iba. Dinda memaklumi kenapa Fahri menjadi uring-uringan. Sepupunya itu tengah bersedih, tetapi orang-orang di sekitarnya seolah tak peduli dengan kesedihan yang ia rasakan. Menganggap lelaki itu cengeng hanya karena ditinggal seorang perempuan. Namun, Dinda paham, laki-laki juga manusia biasa yang bisa merasakan patah hati dan luka."Nda, kalau yang belum muhrim jalan berdua, yang ketiganya siapa, ya?" tanya Fahri tiba-tiba.Dinda menoleh ke arah Fahri, dan dengan cepat. Sempat bingung karena tiba-tiba Fahri mengajaknya bicara. Kemudia, ia menjawab, "Setan.""Berarti beneran ya, di belakang ada setan yang ngikutin.""Njir! Lo ngatain gue setan?" protes Pian dari belakang, satu jitakan sukses diterima Fahri.Sambil mengusap bekas jitakan Pian, Fahri membalas perkataan sahabatnya. "Terus pantasnya lo disebut apa? Sahabat? Mana ada sahabat yang dari kemarin bahagia banget liat orang menderita," sembur Fahri dengan nada penuh emosi.Perdebatan dan saling lempar ejekan antara Fahri dan Pian baru berakhir ketika mereka memasuki area parkiran gedung tempat pesta pernikahan Priska diadakan. Fahri mulai memasang wajah serius, memindai area parkiran yang sudah penuh dengan kendaraan roda empat."Itu ada yang kosong satu, Uda," tunjuk Dinda ke arah yang luput dari perhatian Fahri.Dengan gesit, lelaki yang masih memasang wajah kecut itu, memutar kemudinya ke arah yang ditunjuk Dinda. Setelah mobil terparkir sempurna, mereka bertiga berjalan beriringan menuju gedung tempat perhelatan sedang berlangsung."Mas Pian kok sendirian? Parnernya mana?" basa-basi Dinda pada sahabat Fahri."Nggak bisa ikut, Dinda. Dia lagi ada tugas keluar kota.""Oh! Kerja apa?""Dia reporter—""Emang cewek lo malu aja jalan sama lo, cerewet kayak gini!" potong Fahri tanpa menoleh pada sahabatnya itu."Gue pikir mulut lo tertata dikit karena jalan sama calon bini lo, ternyata sama aja parahnya," sembur Pian tak terima dikatai Fahri."Ngapain juga gue jaim. Ntar setelah nikah bakal ketauan juga busuknya.""Ngakuin lo busuk ya!" Pian terpingkal."Daripada kayak lo, Dakjal ngaku malaikat," balas Fahri makin kejam."Neng Dinda, sebaiknya pikir-pikir lagi deh nikah sama syetonirojim satu ini, bisa-bisa seumur hidup sengsara dapat suami kaya gini." Alih-alih meladeni Fahri, Pian menoleh pada Dinda.Sebuah jitakan mendarat di kepala Pian, membalas perkataannya barusan."Wanjir! Nggak ada akhlaknya, lo!""Udah ... udah! Nggak enak lho diliatin orang." Dinda akhirnya turun tangan menengahi. Akhirnya kedua makhluk yang berseteru itu bungkam.Begitu memasuki gedung acara, Fahri tiba-tiba saja merangkul bahu Dinda. Gadis itu terperanjat dan mendongak menatap wajah Fahri yang tampak tegang."Cie, yang katanya nggak muhrim malah main rangkul-rangkul aja!" cibir Pian dari belakang.Sontak Fahri melepas kembali tangannya dari bahu Dinda."Gue nggak sengaja!" balasnya dengan wajah memanas dan reflek melepas lengannya dari bahu Dinda."Oi, Bro!" sorak Anwar sambil melambaikan tangan ke arah Fahri yang baru datang bersama Pian dan Dinda. Ternyata tak hanya Anwar, beberapa sahabatnya yang lain juga sudah berada di sana."Kenalin dong, Bro!" Gustaf yang angkat bicara sembari memberi kode dengan mata menunjuk Dinda."Nda—""Ciee! Manggilnya udah bunda!" Hendra memotong kalimat Fahri."Namanya Dinda, kampret!" Fahri kembali naik darah. Entah berapa makian yang ia lontarkan semenjak di perjalanan tadi."O, Dinda. Kenalin Aa Hendra," ujar Hendra tanpa rasa bersalah telah membuat sahabatnya naik pitam, mengulurkan tangannya pada Dinda."Salam kenal A Hendra," balas Dinda sambil mengatupkan tangannya di dada."Bukan muhrim!" gelak Boby sambil menepuk punggung Hendra.Hendra hanya mampu nyengir kuda.Dinda lalu bergabung dengan pasangan sahabat-sahabat Fahri setelah berkenalan. Kemudian mereka meninggalkan para lelaki yang masih saja saling melempar ledekan pada Fahri."Udah lama kenal sama Fahri?" tanya Feni—istri Hendra— pada Dinda."Sudah, Teh," sahut Dinda sopan."Kenal di mana?"Dinda meringis, bingung hendak menjawab apa. Ia takut salah bicara. Sementara Fahri tak memberinya arahan apa yang harus dikatakan jika diberondong pertanyaan seperti itu."Kata Boby, dijodohin, ya?" Stefy kekasihnya Boby seakan memberikan petunjuk apa yang harus ia katakan pada para kekasih sahabat Fahri."He-he, iya, Teh." Lagi-lagi Dinda nyengir kuda."Nda, kita salaman dulu sama pengantin." Dinda menoleh, menatap heran lelaki yang baru saja berbicara padanya. Jika berbicara dengan ekspresi seperti itu, Fahri terlihat manis. Tak seperti Fahri yang Dinda kenal selama ini, selalu menunjukkan wajah cemberut dan masam.Dinda menganggguk dengan seulas senyum, kemudian mereka berbaris bersama para tamu undangan lainnya yang hendak memberikan ucapan selamat pada kedua mempelai.Barisan beringsut memendek jarak antara Fahri dan kedua mempelai. Senyum Priska memudar, begitu melihat Fahri berjalan mendekat. Setelah menyalami mantan calon mertuanya yang menatapnya ketus, Fahri bergeser ke arah Priska."Selamat ya, Neng." Kata sapaan sayang itu masih belum bisa Fahri hilangkan. Membuat senyum Priska tak lagi terlihat sempurna. Ia terlihat kesusahan menahan getar di bibir."Kenalin, ini Dinda calon istriku," imbuh Fahri, menarik Dinda mendekat"Oh! Selamat ya kalian berdua." Priska memaksakan senyum. "Nanti gantian aku yang datang ke undangan kalian." Jelas terdengar suara Priska dibuat seceria mungkin. Ada rasa ganjil yang berdesir di dada Priska begitu mendengar Fahri memperkenalkan gadis manis di hadapannya itu sebagai calon istri. Priska tak menyangka Fahri akan secepat itu mencari penggantinya. Padahal selama ini Fahri selalu berkata bahwa dunianya pasti akan hancur jika ditinggal oleh Priska. Nyatanya, lelaki itu baik-baik saja, bahkan berencana hendak menikah pula.Setelah selesai memberi ucapan selamat pada kedua mempelai, Fahri kemudian menggandeng tangan Dinda, lebih tepatnya menyeret turun dari panggung tempat mempelai berada. Hatinya masih belum sepenuhnya sembuh dari rasa sakit. Melihat Priska bersanding dengan lelaki lain, membuat luka di hati Fahri makin menganga. Perempuan itu yang ia sematkan pada rencana masa depannya, perempuan itu pula yang menghancurkan semua impiannya akan sebuah keluarga bahagia."Lo siap-siap balik nama BPKB motor sport lo, Taf!" Boby berbisik sambil menyolek lengan Gustaf saat mereka turun dari panggung."Belum! Gue undur sampai ijab kabul. Kalau cuma buat bawa cewek ke kondangan mah gampang, ya nggak?" Gustaf terkekeh-kekeh, mencari dukungan pada Doni."Yoi!" Doni mengacungkan jempolnya."Apaan lo berdua bisik-bisik kayak ibu-ibu komplek nge-ghibah!" sembur Fahri saat menoleh pada kedua sahabatnya."Udah, ah! Berisik lo pada. Keburu makanannya habis," sergah Anwar."Nda mau makan apa?" Fahri menoleh pada gadis yang berdiri di sampingnya, tetapi yang dicari tak lagi ada di sana. Fahri menoleh ke kiri dan ke kanan, tetapi Dinda tidak ia temukan."Nyari apaan, lo?" tanya Pian seakan menyadari kebingungan Fahri."Dinda mana?""Noh! Udah ngantri di stand siomay!" tunjuk Pian dengan dagunya."Lo ngomel mulu kayak aki-aki dari tadi, sih. Gue taruhan, lo nggak jadi bakal nikah sama Dinda. Kalau gue jadi dia, mah, nggak bakal betah!" Hendra yang bersuara.Bosan menjadi bulan-bulanan, Fahri meninggalkan sahabatnya, menyusul Dinda ke tempat gadis itu mengantri."Kamu duduk aja di sana, biar aku ngantriin," titah Fahri begitu ia berada di samping Dinda yang tampak serius menunggu antrian."Nggak, ah! Ntar Uda malah makanin sendiri," tolak Dinda sambil mencebik."Ish! Aku nggak serakus itu, kali!" gerutu Fahri."Uda ngantri di stand kupat tahu aja, ntar kita barteran," usul Dinda penuh semangat."Sekalian sama sekotengnya di sana," tunjuk Dinda ke seberang ruangan."Gila! Nggak mau rugi banget kayanya!""Woiya jelas! Kesempatan makan gratis!" jawab Dinda dengan mantap.Karena malu dengan tamu yang lain, Fahri memilih berjalan ke seberang ruangan, ke stan yang ditunjuk oleh Dinda tadi. Antrian di sana juga tak kalah panjang, membuat Fahri yang memang sudah lapar merasa kesal. Akhirnya dia memilih mengambil makanan di prasmanan yang terlihat sepi. Menyendokkannya dalam porsi besar, kemudian melahapnya tanpa menunggu Dinda selesai mengantri."Ini buat Uda." Dinda menyodorkan mangkuk kecil berisi siomay dengan kuah kacang, ke arah Fahri yang baru saja selesai menandaskan isi piring."Kelamaan, aku udah keburu lapar!""Nggak apa-apa, tambah lagi aja nih, Da." Dinda melesakkan salah satu mangkuk yang ia pegang ke arah Fahri. "Pura-pura bahagia itu butuh tenaga ekstra," bisiknya kemudian berlalu dari hadapan Fahri."Ntar pulang sendiri aja kamu!" geram Fahri mencengkeram kuat mangkuk siomay yang baru saja diberikan Dinda.Sementara gadis yang baru saja membuat darahnya kembali mendidih, telah hilang di antara para tamu undangan."Dinda! Kamu di mana?" tanya Fahri gusar saat Dinda menjawab teleponnya. "Lho, Uda udah nyimpan nomor, Nda?" tanya Dinda dengan polos, alih-alih menjawab pertanyaan Fahri. "Nda aja nggak nyimpan nomor Uda.""Aku nanya kamu di mana? Malah nanya balik." Fahri makin meradang mendengar suara tak bersalah gadis itu. Gedung tempat acara pernikahan digelar, sudah mulai sepi. Tamu undangan pun telah berangsur pergi, tetapi Fahri tak menemukan Dinda, meskipun dia telah mencari ke seluruh area gedung. "Udah di jalan pulang," sahut Dinda dengan santai. "Pulang sama siapa? Kok nggak ngomong sama aku? Kamu kan ke sini bareng aku, kenapa malah pulang sendiri?" Fahri mencak-mencak. "Lho, kan tadi Uda yang suruh Nda pulang sendiri.""Kapan?""Itu, tadi Uda bilang pas aku ngasihin siomay.""Astaghfirullah, Nda! Kamu ngerti becanda nggak, sih?" Kepala Fahri mendadak pening. "Oh! Tadi Uda Ari becanda?" "Turun sekarang juga! Share loc, biar aku jemput!" Telepon berakhir dengan embusan napas kasar F
Dinda kesulitan menelan ludah saat Emi menyambut kedatangannya bersama Fahri. Masih dengan mulut yang mendadak terasa kering, Dinda menoleh pada Fahri yang berlalu dengan tergesa dan wajah memerah meninggalkan ruang tengah. "Ari! Duduk di sini dulu!" Emi terpaksa meninggikan suara agar didengar oleh anak laki-lakinya itu. "Umi, Ari lagi nggak mau bahas masalah yang di group dulu. Kasih Ari waktu," tepis Fahri, tak seperti biasanya yang ikut meninggikan suara ketika berhadapan dengan uminya. "Mau berapa lama lagi? Umi nggak mau kamu jadi gangguan jiwa mikirin Priska setiap hari. Berkurung di kamar seperti segan saja untuk hidup."Fahri mendengkus dan mengembus napas panjang. "Ari baru patah hati, Mi! Apa Umi nggak bisa ngertiin perasaan Ari. Tolong ngertiin juga perasaan Dinda. Belum tentu juga dia mau sama Ari. Kenapa Umi selalu saja memaksakan kehendak seperti ini." Kali ini Fahri berbalik menatap uminya dengan tatapan memohon. Namun, alih-alih iba, Emi malah tertawa. "Ri! Masih
Entah ke berapa kali Dinda membolak balikkan badan untuk mencari posisi tidur yang nyaman, tetapi matanya seolah enggan untuk terpejam. Pikirannya seakan mengajak untuk terus terjaga. Memikirkan masa depan yang tak lagi seindah angan. Umurnya masih 22 tahun, ia masih ingin menikmati hidup sendirian. Membahagiakan ibu, atau menjelajahi belahan bumi lain sebelum mengabdi menjadi seorang istri. Bagi Dinda, menikah adalah proses di mana ia merelakan seluruh hidupnya untuk dibagi dengan orang yang ia cintai. Di mana ia tak lagi memprioritaskan ambisinya, tetapi menjadi pendorong bagi anggota keluarganya untuk menggapai apa yang mereka cita-citakan. Tiba-tiba kamar yang gelap sedikit menjadi lebih terang karena cahaya yang berasal dari layar ponsel Dinda yang menyala. Dinda menoleh ke arah meja di mana ia meletakkan ponsel. Awalnya ia hendak mengabaikan tetapi ponselnya terus menerus menyala dengan getaran yang cukup mengganggu. Gadis itu bangkit dengan gerakan malas, menoleh sekilas ke s
Tak ada perdebatan sengit yang terjadi di meja makan, pagi ini. Bahkan Fahri turut menimpali ketika uminya membicarakan perihal mahar dan lokasi pesta pernikahan mereka nanti. "Nanti biar Ari yang cari mahar," ujar Fahri saat uminya bertanya mahar apa yang dikehendaki oleh Dinda. "Nda mau apa? Jangan seperangkat alat shalat doang, ntar dikira uda nggak mampu kasih lebih," Fahri beralih menatap Dinda yang sedari awal sarapan tak terlalu banyak menanggapi topik perbincangan mereka pagi itu. Dan Fahri pagi ini mulai membiasakan diri dengan memanggil dirinya dengan panggilan uda saat berbicara dengan Dinda. Meskipun belum ada rasa terhadap calon istrinya, Fahri berusaha untuk bersikap baik di depan uminya. Kejadian uminya yang terjatuh tempo hari, masih menyisakan trauma bagi Fahri. Ia belum siap menerima kehilangan orang yang paling ia sayang. Jika dengan pernikahan ini bisa mampu membuat hati uminya tentram, Fahri akan berusaha menerima. Dinda mengangkat wajah dari piring yang ia te
"Eh, A' mau ke mana?" sapa Priska. Fahri sudah tidak bisa mengelak dan pura-pura tak kenal. Padahal tadi ia juga sempat berpikir untuk pura-pura amnesia. Namun, senyum manis dari gadis yang kini sudah berganti status menjadi nyonya itu seakan menahan langkah Fahri dan seketika membuatnya terlihat seperti keledai. Beberapa orang memang bertingkah bodoh, jika sudah berurusan dengan mantan. "Eh, Neng ... Pris-ka." Fahri nyengir kuda karena mendadak mengalami gangguan pernapasan. Kelenjar keringatnya pun bekerja lebih keras, membuat Fahri terlihat seperti spons yang kelebihan cairan. Lalu, di saat keduanya tengah saling bersitatap kehabisan kata, suara bass seorang laki-laki yang bertubuh sedikit gempal memecah kecanggungan yang terjadi di antara kedua insan yang telah berstatus menjadi mantan kekasih itu. "Sayang, siniin tasmu biar aa yang bawain." Priska menoleh ke arah lelaki yang memanggil dari arah belakangnya, dan Fahri pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghilang dari h
"Kapan pulang?" sapa lelaki bersuara renyah itu dengan senyum manis yang masih terkembang sempurna. Ia mengulurkan tangan pada Dinda sembari ikut duduk pada bangku kayu kosong di samping gadis yang menatapnya bengong. Gibran Aksa, kakak kelas yang juga merupakan pemuda yang diam-diam disukai Dinda ketika ia duduk di bangku SMA hingga tahun keduanya di perguruan tinggi. Pemuda yang selalu menyapanya ramah ketika ia hanya dianggap objek pelengkap penderita pada sekolah favorit di kotanya. Saat Dinda merasa tak ada yang menyadari eksistensinya di sekolah, hanya pemuda itu yang menyadari ia ada. Pemuda itu pulalah yang membuat Dinda termotivasi untuk masuk universitas tertua di Yogyakarta, universitas yang sama dengan pemuda tersebut. Bahkan Dinda memilih fakultas yang sama agar bisa terus mengagumi Gibran dalam jarak yang tak terlalu jauh. Gibran adalah pemuda yang sering Dinda sapa diam-diam dalam doa di setiap sujud sepertiga malamnya. Berusaha memantaskan diri untuk mendapatkan lela
"Kita makan dulu ke Situjuh, yuk! Aku kangen sama gulai telur ikan di sana!" ajak Gibran begitu mobil double cabin yang ia kendarai perlahan menuruni lereng gunung dengan jalan berbatu. "Hah?" Dinda yang sedari tadi sibuk melepas tatap pada pemandangan sawah yang terhampar betingkat-tingkat dengan warna hijau menyejukkan mata, menoleh pada lelaki yang baru saja mengajaknya makan siang itu. Tadinya Dinda mau menjawab, iya dengan senang hati, tetapi urung. Teringat kini dua keluarga besar tengah merembukkan hari baik untuk pernikahannya dengan Fahri. Rasanya tak tau diri jika ia malah pergi bersama laki-laki lain. "Maaf, Uda. Nda nggak bisa," tolak Dinda dengan seulas senyum tipis. Dinda sebenarnya tidak tega menolak. Bukan karena siapa yang mengajak, tetapi karena membayangkan kesempatan untuk menyantap makanan favorit ketika ayahnya masih ada, lewat begitu saja. Dulu, sehabis gajian, ayahnya selalu mengajak untuk makan di luar. Dan tempat yang disebutkan oleh Gibran itu adalah tem
Fahri mengembuskan napas kasar setelah menutup percakapannya dengan Dinda. Entah kenapa emosinya selalu naik setiap kali berinteraksi dengan gadis itu. Ia hampir saja melempar ponsel, tetapi urung ketika benda itu bergetar di genggamannya. "Kenapa, Taf?" ketus Fahri saat menjawab telpon dari Gustaf, sahabat kampret yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. "Kadieu geura maneh, Ri. Si Pian arek bundir. Maneh arek say good bye teu ka maneh na," kata Gustaf dengan nada datar. (Ke sini lo. Si Pian mau bunuh diri. Kamu mau ngucapin selamat tinggal nggak sama dia.) Seolah yang disampaikan Gustaf hanyalah sebuah berita pemberitahuan bahwa Zoey—Golden retriever miliknya— baru saja selesai dikebiri, bahkan pemuda itu lebih ekspresif ketika menceritakan hewan peliharaan kesayangannya itu dibanding mengabarkan bahwa sahabatnya akan bunuh diri. Seolah nyawa temannya itu hanya sebuah lelucon yang tak berharga. "Kunaon deui (kenapa lagi) si kampret make bundir sagala." Fahri membalas tak kalah