Pov Wisnu
Ibu mertua langsung memeluk anak sulungnya. Mereka berpelukan di luar. Sementara aku hanya diam berdiri.
Lama aku tidak bertemu dengan Alina. Tapi sekarang aku masih merasa jika dia istriku, dia milikku, dan aku telah melukainya.
Seandainya aku bisa kuputar lagi waktu. Tidak akan pernah kulakukan dosa itu. Sungguh hanya kenikmatan yang sesaat, kemudian membawa penyesalan yang tidak berkesudahan.
Menikah bukan hanya tentang memenuhi hawa nafsu, lebih dari itu yang membahagiakan adalah: saling menghormati, menjaga, mencintai, dan saling peduli.
Aku mendapatkan itu dari Alina. Senyuman manis yang menyambut dikala pulang mengajar. Wajah ceria dan penuh syukur saat kuberi uang yang tak seberapa. Raut wajah khawatir saat aku terluka sedikit saja.
Sering kali aku pulang dalam keadaan badan yang pegal karena terlalu banyak olahraga. Lalu Alina memijat tubuhku. Setelahnya kami bercanda manis sekali.
Dulu anugerah itu terasa biasa. Sekarang, setelah aku tidak mendapatkan itu dari Shena, barulah sadar kalau semuanya sangatlah berharga.
"Ibu, kangen sekali. Ini betulan ibu tidak mimpi?" Ibu mertua melihat ke sini. Aku berpaling dan berkedip cepat.
"Wisnu, cepat panggilkan bapak," kata ibu mertua kemudian.
Aku berjalan melewati ibu dan Alina. Sedikit mencuri pandang untuk melihat wajahnya saat ini. Kulit putih bersih, bibir merah jambu, pipi kemerahan, kelopak mata yang berkilauan. Cantik sekali Alina sekarang. Badannya bahkan tidak sekurus dulu.
Kedua iris Alina mengikuti ke mana aku pergi. Aku melirik dan dia pun berpaling.
"Pak. Ada Alina pulang." Aku menghampiri bapak mertua yang sedang berkumpul dengan para petani di sawah yang berada tidak jauh dari rumah.
"Alina? Alina siapa?"
"Alina. Kakak Shena. Masa bapak lupa."
"Yang benar?" Bapak langsung membuang rokok yang sedang dihisapnya lalu cepat pergi.
"Alina yang mana, Nu. Mantan istrimu atau kakak iparmu?" Pak Amran menyindir.
Aku mengibaskan tangan tak peduli.
"Awas, Nu. Jangan sampai kau lupa lalu mendatangi Alina malam-malam," timpal yang lain.
"Pak Wisnu, Pak Wisnu. Adik kakak kok diborong," sambung Bang Teguh.
Aku guru. Tapi harga diri seperti tidak punya.
***
"Aku dengar Mbak Alina pulang. Kau sudah tahu?" Shena merapikan bunga-bunga di halaman rumah. Chacha sibuk bermain di dekatnya.
Shena selalu memanggilku dengan sebutan 'kau' panggilan abangnya hanya sesekali.
"Mungkin aku yang pertama kali melihat Alina di rumah ibu."
"Jadi kau sudah bertemu?"
"Tentu saja."
"Bagaimana penampilannya menurutmu sekarang?"
"Dia cantik. Dari dulu Alina cantik. Karena dia selalu tersenyum dan tidak pernah melawan pada suami."
"Apa maksudmu? Kau membandingkanku dengan dia?"
"Pikir saja." Kalau kuladeni pasti ujung-ujungnya perang lagi. Aku ambil handuk dan segera mandi, membiarkan Shena mengomel sendiri.
.
"Cha, sudah ketemu Tante belum?" Aku menggendong Chacha di pangkuan.
"Ate... Ate sapa?"
"Di rumah nenek kan ada Ate. Sudah lihat belum?"
"Beyum. Chacha tak main ke rumah nenek."
"Kalau begitu besok main ke sana. Ajak Ate main ke sini."
Aku membujuk Chacha. Berharap Alina mau berkunjung. Aku ingin berbicara sepatah dua patah kata. Intinya ingin meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Dulu aku sudah mengucap maaf, tapi keadaan Alina sedang tidak baik-baik saja. Dia tidak mau diajak bicara. Siapa tahu dia sekarang sudah melupakan. Agar rasa bersalahku sedikit menguap.
"Baru jadi babu saja gayanya sudah selangit." Shena menggerutu sambil memasuki rumah.
"Sok alim. Sok baik. Sok tersakiti. Haih, menjijikkan." Shena lanjut menggerutu.
"Siapa yang kamu bicarakan? Jaga mulut depan anak." Aku menyela bibirnya yang tidak berhenti bicara.
"Siapa lagi kalau bukan mantan istrimu. Tadi aku mendatangi dia. Kuperingatkan agar tidak mengganggu rumah tangga kita. Kau tahu dia bilang apa? Dia bilang kamu sampah, jadi tidak akan sudi memungut lagi."
Aku menutup telinga Chacha. Lalu memangku putriku untuk memasuki kamar. Kuberi dia ponsel agar tidak mendengarkan perdebatan kami.
"Apa maksudmu, Shena?"
"Kau tidak mengerti, Bang? Tadi aku memperingatkan dia agar tidak mengganggu rumah tangga kita."
"Siapa yang mengganggu. Mbakmu itu baru pulang setelah tiga tahun, Shena."
"Aku tidak peduli. Baru pulang saja dia sudah membuatmu membandingkanku dengannya."
"Kalau tidak ingin dibandingkan... berubah. Jangan menjadi istri pembangkang."
"Haih. Kau berharap aku patuh. Nih, ngaca mangkanya!" Shena menarikku untuk berdiri di depan cermin bundar berukuran besar yang ada di ruang tamu.
"Cukup! Aku tidak akan bisa bertahan kalau kamu terus seperti ini."
"Apa?" Shena mengernyit. "Harusnya aku yang bicara begitu!"
Pergi adalah caraku mengakhiri setiap pertengkaran. Aku beranjak dari rumah menuju sebuah warung. Meninggalkan Shena yang mengomel terus-terusan.
"Mbak, kopi." Aku duduk di bangku panjang tempat tongkrongan.
"Iya, tunggu sebentar, Pak Guru."
.
"Bang .... Abang suka istri yang pintar masak atau pintar mijit," tanya Alina sambil memijat tubuhku.
"Dua-duanya lah," jawabku yang berbaring tengkurap di atas kasur tanpa pakaian atas.
"Tapi menurut Abang lebih penting mana?"
"Bisa masak... mungkin."
"Salah. Yang paling penting itu bisa mijit. Karena masak masih bisa dilakukan orang lain. Kalau mijit gak bisa dilakukan orang lain."
"Bisa... sama Pak Tarno."
"Itu kan laki-laki. Maksudku perempuan."
"Ya kalau perempuan tidak boleh. Nanti pijatnya jadi plus-plus."
"Nah itu makanya, berarti kalau pasakanku tak enak, Abang jangan kecewa. Kan lebih penting bisa mijit." Tangan lihai Alina terus mengurut punggungku.
Aku membalikkan badan jadi terlentang, otomatis gerakan tangan Alina berhenti. "Pijat plus-plus tidak?" Aku tersenyum. Dibalas oleh Alina senyum malu-malu.
"Pijat plus-plus tidak?" Aku sedikit beranjak bangun, membuat wajah kami semakin dekat. Kugenggam kedua tangannya lembut.
"Abang, ih." Alina menjauhkan wajah.
Aku menggelitikinya "Hayo, pijat plus-plus tidak?"
"Abang, ih. Geli...." Alina berontak.
.
Kuseruput kopi hitam dengan uap mengepul. Mengembalikan angan yang terbang ke masa lalu. Aku rindu Alina. Sangat rindu. Di kepalaku ini semua terisi nama Alina, Alina, Alina, dan Alina.
***
Jam sembilan malam aku balik ke rumah. Melewati rumah ibu mertua yang masih terang di luar dan dalamnya. Apa mereka belum tidur? Bagaimana kalau aku datang berkunjung, ngajak bapak ngopi. Misal.
Ah, sepertinya tidak masalah. Aku kan menantunya.
Aku membuka pagar bambu. Lalu berjalan pelan sedikit ragu. Hingga aku sampai di depan jendela ruang depan. Sepertinya penghuni di dalam sedang mengobrol serius. Aku menajamkan indra pendengaran dan mendekatkan telinga pada kaca jendela, ingin tahu apa yang mereka bicarakan.
Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di pantat. Aku kaget sontak meloncat dan membuat pas bunga yang terbuat dari kaleng kue jatuh, berkelontrangan menubruk tanah.
"Sedang apa kau di sini, Bajingan!" Shena memukuli pantatku. Kericuhan ini membuat ibu, bapak, dan Alina ke luar.
"Ampun, aduh. Ampun, Shena."
"Mengintip kau di sini HA!"
"Ti-tidak. Aku mau bertemu bapak."
"Bohong!"
Aku langsung pergi menghindari pukulan Shena. Harga diriku seperti berjatuhan di sana. Jika harga diri adalah benda. Aku akan kembali ke rumah ibu untuk memunguti satu per satu.
.
Sejak kedatangan Alina, aku terus berpikir untuk mencari kesempatan agar bisa bertemu dan mengobrol. Seperti hari ini, aku datangi rumah ibu, bertanya apa mau menggiling padi atau tidak. Sudah biasa, jika ada pekerjaan yang membutuhkan tenaga, ibu pasti meminta bantuanku.
"Kebetulan, Nu. Beras ibu tinggal sedikit. Kamu ambillah satu karung di gudang!" sambut ibu mertua. Itulah kalimat yang kutunggu-tunggu.
Aku segera ke belakang rumah, di dapur berpapasan dengan Alina. Dia memakai piama satin berwarna putih. Rambutnya tergerai lurus, bagian atasnya di cat kemerahan. Di bawah cahaya lampu dapur, Alina terlihat berkilauan.
Alina seperti tersentak saat melihatku. Keningnya mengernyit dan rautnya seperti hari kemarin, lalu dia mundur beberapa langkah, menghindar.
Aku diliputi kekakuan untuk beberapa detik.
"Ah, aku mau ambil padi."
Alina berpaling melihat ke lemari piring.
"Maaf kalau Abang mengganggumu." Aku segera ke gudang dan mengambil sekarung padi. Alina tidak bicara sepatah kata pun.
.
Setiap kali menggiling padi, pekerjanya pasti langsung mengantarkan ke rumah kalau sudah selesai. Hari ini aku meminta agar dia tidak mengantarkan hasil gilingan, alasannya tentu saja agar aku bisa bertemu dengan Alina lagi.
Aku sengaja memilih waktu yang tepat. Sore hari ketika Shena tidak ada di rumah.
Kusimpan setengah karung beras di teras. Lalu memasuki rumah mertua untuk memberi tahu. Kuputar hendel dan terlihatlah Alina sedang duduk di kursi sambil memainkan ponsel. Dia memakai celana pendek dan kaus polos. Rambutnya tergerai indah kemerahan. Kulitnya putih bersih.
Mata Alina membulat dan langsung terperanjat dari kursi ketika menyadari kemunculanku.
"BANG WISNU! Apa tidak bisa permisi dulu sebelum masuk rumah?!" Alina mengentakkan kaki dan pergi masuk ke dalam kamar.
Bersambung....
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas