Share

William?

"Hai, Papa!" Seika berseru riang menyapa Menir Hank yang sudah menunggu kepulangannya di beranda depan. Perlahan-lahan namun pasti Seika berjalan dari halaman rumah, seusai memastikan mobilnya terkunci dengan aman. Tak ada juga yang tertinggal di dalamnya, kecuali kado untuk Kama. Kalau itu memang satu hal yang berbeda. Dia sengaja meninggalkannya di sana. Jangan sampai Menir Hank mencium aromanya, bahaya besar. 

"Hai, Lieverd!" Menir Hank balik menyapa sambil melambaikan tangan, "Wah, wah, wah … Kemana saja malaikat kecil Papa, jam segini baru pulang? Detak jantung Papa sampai meningkat pesat lho, Lieverd. Dag dig dug, dag dig dug, mencemaskanmu." ungkap Menir Hank begitu Seika menapakkan kaki jenjangnya di pelataran beranda. 

Detik berikutnya, Menir Hank sudah merengkuh Seika ke dalam pelukan hangatnya. "Semua baik, Lieverd?"

Seika menghadiahkan senyum tulus untuk Menir Hank. Senyum simpul yang terlihat manis, terutama setelah kedua lesung pipitnya ikut tampil. Wah, hati Menir Hank meleleh seketika. Kecemasan yang sedari tadi mencabik-cabik seluruh hatinya berangsur-angsur mereda. 

"Seika dan semua pekerjaan bagus Papa dan Papa, bagaimana?"

"Papa bagus juga Seika tetapi …."

"Tetapi apa, Papa?"

Menir Hank memindai bola mata blue ocean Seika, mencari-cari sesuatu yang bernama dusta tapi gagal, tentu saja. Tidak sedikit pun Seika mengerjap, membesarkan pupil mata atau menyipitkannya. Tak ada yang perlu dicurigai. 

"Ah tidak, Lieverd. Maafkan Papa, jika terlalu mencemaskan kamu."

"Ah, Papa! Kalau soal itu sama sekali tak perlu meminta maaf."

"Benarkah itu, Lieverd?"

Seika mengangguk, membenarkan tali tas yang melorot dari pundak kirinya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari Menir Hank. "Benar, Papa."

Menir Hank tersenyum tipis, memandang Seika penuh selidik. Keningnya berkerut-kerut padat seperti kulit cakar ayam. Benaknya terisi penuh oleh  informasi dari Derya tentang kisah percintaan malaikat kecilnya dengan Kama si Pria tak berkelas. Sejenak, Menir Hank tergulung konflik. Jika benar Seika masih bertahan dengan Kama, apa buktinya? Tetapi jika tidak, mana mungkin Seika terlihat bahagia seperti ini? Ah! Dia tahu persis bagaimana Seika. 

"Lieverd, ada yang perlu Papa bicarakan denganmu malam ini." cakap Menir Hank memecah kesunyian, "Tapi kita masuk dulu, yuk? Kamu juga pasti capek, kan? Mandi dulu ya Seika, biar segar. Baru setelah itu kita makan malam bersama. Papa rindu sekali, Seika. Rasanya sudah lama sekali kita tidak makan malam bersama sambil mengobrol. Hehehehe  …!"

"Oh ya, Papa?" Seika tak bisa menutupi rasa terkejut dan paniknya di sini. Sama sekali tak pernah terbersit dalam benaknya kalau Menir Hank akan mengajak makan malam seperti ini. Mengingat ini masih hari Kamis, belum masuk waktu weekend. Padahal, dia sudah membuat janji dengan Kama untuk makan malam di luar. "Oh eh ya, Papa. Seika mandi dulu ya, Papa?"

"Lieverd, ada apa? Kenapa kamu jadi gugup begini?"

"Ah, tidak Papa. Seika mandi dulu, permisi …."

"Ya, ya. Papa tunggu di ruang makan ya, Lieverd?

Seika tidak menyahut. Otaknya terlalu macet untuk menggerakkan lidahnya. 'Wah, ini gawat. Bagaimana dengan Kama? Ugh, dia pasti kecewa parah! Masalahnya, aku sendiri yang membuat janji, bukan dia. Bahkan, dia juga sudah membatalkan janji dengan keluarganya untuk makan di lesehan. Walaupun sederhana, keluarganya juga ingin merayakan hari lahir Kama. Aduh …!'

"Langkah pertama, berhasil!" Menir Hank membelalak gembira. Dalam otaknya sudah bermunculan banyak ide untuk menjegal perjalanan cinta malaikat kecilnya dengan si Pria tak berkelas. Salah satunya, apa yang akan dilakukan di meja makan nanti.

***

"Bagaimana, Lieverd?" tanya Menir Hank dengan sikap yang dibuat setenang mungkin agar jangan sampai Seika curiga, "William ini orangnya baik, kok. Jujur, disiplin dan pekerja keras. Satu lagi Lieverd, dia orangnya setia. Lagi pula dia kan masih saudara sepupu kamu juga. Bagus kan, kalau dia membantu kamu di Seikamara Publishing? Saling bantu lah, intinya."

Di tempat duduknya, Seika hampir saja tersedak. Bukan karena kentang panggang yang pedas melainkan Menir Hank. Sama sekali tak pernah menduga kalau papanya itu akan merekomendasikan William, yang baginya masih mentah. Mentah, dalam arti kekakanan. Belum memiliki rasa tanggung jawab dalam dirinya. Salah satu buktinya, perusahaan jus buah milik papanya saja masih dikelola pamannya. Jika memang semua yang dikatakan Papa itu benar adanya, kenapa tidak dia langsung saja yang mengelola?

"Papa tidak bermaksud apa-apa, Lieverd. Sungguh. William saudara dekatmu. Tak ada salahnya kan, membantu?" cakap Menir Hank lagi setelah menenggak habis sisa air putih di gelas gagangnya, "Mama kamu di alam sana pun pasti bangga. Iya kan, Lieverd?"

Bagi Seika, inilah buah fiktif bernama simalakama itu. Kalau dia menerima William, Papa akan tahu sepak terbang cintanya dengan Kama. Tetapi jika tidak?

"Emh, Papa …?"

"Ya Lieverd, bagaimana?"

"William emh maksud Seika, serius William ingin bekerja di perusahaan penerbitan Seika?" 

"Oh ya tentu, Lieverd. Dia sendiri yang menghubungi Papa tadi pagi dan kalau kamu bisa menerima, dia akan segera terbang dari Netherlands minggu ini."

"Oh, ya …?"

"Hei, kamu kenapa Lieverd? Ada apa, Papa lihat kamu berbeda malam ini? Ada masalah?"

Sadar akan sesuatu yang membahayakan hubungan asmaranya dengan Kama, sesegera mungkin Seika memasang wajah tenang. Menghalau jauh-jauh segala kekhawatiran, ketakutan yang beberapa saat lalu datang menjamah. Seika paham benar, bagaimana kepekaan perasaan sekaligus kecerdasan  berpikir Menir Hank. 'Tidak, semuanya akan baik-baik saja, Seika. Keep calm, kee smile!'

"Papa … Apakah William memiliki keterampilan khusus di dunia penerbitan dan percetakan? Maksud Seika, supaya mudah dan tepat nanti saat memberikan posisi pekerjaan. Karena di perusahaan Seika wajib right man on the right place, Papa." dalam hati Seika bersyukur, kecerdasan dan keberanian dalam dirinya muncul dengan sempurna di saat yang sangat tepat. Saat dia hampir saja melemah oleh karena rasa takut dan khawatir yang sempat mendera. 

Merasa mendapatkan kesempatan untuk menggiring bola, Menir Hank tidak menyia-nyiakannya. Dengan penuh keyakinan dan rasa percaya diri dia berkata, "Tentu, Lieverd. Kamu tak perlu mengkhawatirkan apa pun dalam hal ini."

Refleks, Seika menganggukkan kepala. Kalaupun dia harus menerima William bekerja di Seikamara Publishing, bukan karena benar-benar ingin membantu atau bagaimana. Bukan pula karena ingin menyenangkan hati papanya. Ada sesuatu yang paling berharga, segala-galanya yang harus dia perjuangkan hingga putaran otak terakhir.

"Terima kasih, Lieverd!"

"Ya Papa, sama-sama."

"Papa bangga padamu, Lieverd."

"Seika juga bangga punya Papa hebat. I am proud of you, Papa!" 

Menir Hank tertawa kecil namun ditumbuhi dengan sebentuk kemenangan yang menebarkan aroma gemilang. Berkibar-kibar di dasar hati, selayaknya selembar bendera yang berkibar-kibar di ketinggian harapan. Kini, seluruh kulit wajahnya berubah menjadi merah jambu. Menghangat hingga ke relung hati terdalam. Dia tahu, malaikat kecilnya bukan anak manusia bodoh tetapi dia juga tahu, Seika Eline adalah seorang anak yang baik. Kejujuran dan ketulusan hatinya tiada perlu diragukan lagi. Terlebih rasa sayang terhadap orangtua, Seika jelas kaya akan hal itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status