"Hai, Papa!" Seika berseru riang menyapa Menir Hank yang sudah menunggu kepulangannya di beranda depan. Perlahan-lahan namun pasti Seika berjalan dari halaman rumah, seusai memastikan mobilnya terkunci dengan aman. Tak ada juga yang tertinggal di dalamnya, kecuali kado untuk Kama. Kalau itu memang satu hal yang berbeda. Dia sengaja meninggalkannya di sana. Jangan sampai Menir Hank mencium aromanya, bahaya besar.
"Hai, Lieverd!" Menir Hank balik menyapa sambil melambaikan tangan, "Wah, wah, wah … Kemana saja malaikat kecil Papa, jam segini baru pulang? Detak jantung Papa sampai meningkat pesat lho, Lieverd. Dag dig dug, dag dig dug, mencemaskanmu." ungkap Menir Hank begitu Seika menapakkan kaki jenjangnya di pelataran beranda.
Detik berikutnya, Menir Hank sudah merengkuh Seika ke dalam pelukan hangatnya. "Semua baik, Lieverd?"
Seika menghadiahkan senyum tulus untuk Menir Hank. Senyum simpul yang terlihat manis, terutama setelah kedua lesung pipitnya ikut tampil. Wah, hati Menir Hank meleleh seketika. Kecemasan yang sedari tadi mencabik-cabik seluruh hatinya berangsur-angsur mereda.
"Seika dan semua pekerjaan bagus Papa dan Papa, bagaimana?"
"Papa bagus juga Seika tetapi …."
"Tetapi apa, Papa?"
Menir Hank memindai bola mata blue ocean Seika, mencari-cari sesuatu yang bernama dusta tapi gagal, tentu saja. Tidak sedikit pun Seika mengerjap, membesarkan pupil mata atau menyipitkannya. Tak ada yang perlu dicurigai.
"Ah tidak, Lieverd. Maafkan Papa, jika terlalu mencemaskan kamu."
"Ah, Papa! Kalau soal itu sama sekali tak perlu meminta maaf."
"Benarkah itu, Lieverd?"
Seika mengangguk, membenarkan tali tas yang melorot dari pundak kirinya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari Menir Hank. "Benar, Papa."
Menir Hank tersenyum tipis, memandang Seika penuh selidik. Keningnya berkerut-kerut padat seperti kulit cakar ayam. Benaknya terisi penuh oleh informasi dari Derya tentang kisah percintaan malaikat kecilnya dengan Kama si Pria tak berkelas. Sejenak, Menir Hank tergulung konflik. Jika benar Seika masih bertahan dengan Kama, apa buktinya? Tetapi jika tidak, mana mungkin Seika terlihat bahagia seperti ini? Ah! Dia tahu persis bagaimana Seika.
"Lieverd, ada yang perlu Papa bicarakan denganmu malam ini." cakap Menir Hank memecah kesunyian, "Tapi kita masuk dulu, yuk? Kamu juga pasti capek, kan? Mandi dulu ya Seika, biar segar. Baru setelah itu kita makan malam bersama. Papa rindu sekali, Seika. Rasanya sudah lama sekali kita tidak makan malam bersama sambil mengobrol. Hehehehe …!"
"Oh ya, Papa?" Seika tak bisa menutupi rasa terkejut dan paniknya di sini. Sama sekali tak pernah terbersit dalam benaknya kalau Menir Hank akan mengajak makan malam seperti ini. Mengingat ini masih hari Kamis, belum masuk waktu weekend. Padahal, dia sudah membuat janji dengan Kama untuk makan malam di luar. "Oh eh ya, Papa. Seika mandi dulu ya, Papa?"
"Lieverd, ada apa? Kenapa kamu jadi gugup begini?"
"Ah, tidak Papa. Seika mandi dulu, permisi …."
"Ya, ya. Papa tunggu di ruang makan ya, Lieverd?
Seika tidak menyahut. Otaknya terlalu macet untuk menggerakkan lidahnya. 'Wah, ini gawat. Bagaimana dengan Kama? Ugh, dia pasti kecewa parah! Masalahnya, aku sendiri yang membuat janji, bukan dia. Bahkan, dia juga sudah membatalkan janji dengan keluarganya untuk makan di lesehan. Walaupun sederhana, keluarganya juga ingin merayakan hari lahir Kama. Aduh …!'
"Langkah pertama, berhasil!" Menir Hank membelalak gembira. Dalam otaknya sudah bermunculan banyak ide untuk menjegal perjalanan cinta malaikat kecilnya dengan si Pria tak berkelas. Salah satunya, apa yang akan dilakukan di meja makan nanti.
***
"Bagaimana, Lieverd?" tanya Menir Hank dengan sikap yang dibuat setenang mungkin agar jangan sampai Seika curiga, "William ini orangnya baik, kok. Jujur, disiplin dan pekerja keras. Satu lagi Lieverd, dia orangnya setia. Lagi pula dia kan masih saudara sepupu kamu juga. Bagus kan, kalau dia membantu kamu di Seikamara Publishing? Saling bantu lah, intinya."
Di tempat duduknya, Seika hampir saja tersedak. Bukan karena kentang panggang yang pedas melainkan Menir Hank. Sama sekali tak pernah menduga kalau papanya itu akan merekomendasikan William, yang baginya masih mentah. Mentah, dalam arti kekakanan. Belum memiliki rasa tanggung jawab dalam dirinya. Salah satu buktinya, perusahaan jus buah milik papanya saja masih dikelola pamannya. Jika memang semua yang dikatakan Papa itu benar adanya, kenapa tidak dia langsung saja yang mengelola?
"Papa tidak bermaksud apa-apa, Lieverd. Sungguh. William saudara dekatmu. Tak ada salahnya kan, membantu?" cakap Menir Hank lagi setelah menenggak habis sisa air putih di gelas gagangnya, "Mama kamu di alam sana pun pasti bangga. Iya kan, Lieverd?"
Bagi Seika, inilah buah fiktif bernama simalakama itu. Kalau dia menerima William, Papa akan tahu sepak terbang cintanya dengan Kama. Tetapi jika tidak?
"Emh, Papa …?"
"Ya Lieverd, bagaimana?"
"William emh maksud Seika, serius William ingin bekerja di perusahaan penerbitan Seika?"
"Oh ya tentu, Lieverd. Dia sendiri yang menghubungi Papa tadi pagi dan kalau kamu bisa menerima, dia akan segera terbang dari Netherlands minggu ini."
"Oh, ya …?"
"Hei, kamu kenapa Lieverd? Ada apa, Papa lihat kamu berbeda malam ini? Ada masalah?"
Sadar akan sesuatu yang membahayakan hubungan asmaranya dengan Kama, sesegera mungkin Seika memasang wajah tenang. Menghalau jauh-jauh segala kekhawatiran, ketakutan yang beberapa saat lalu datang menjamah. Seika paham benar, bagaimana kepekaan perasaan sekaligus kecerdasan berpikir Menir Hank. 'Tidak, semuanya akan baik-baik saja, Seika. Keep calm, kee smile!'
"Papa … Apakah William memiliki keterampilan khusus di dunia penerbitan dan percetakan? Maksud Seika, supaya mudah dan tepat nanti saat memberikan posisi pekerjaan. Karena di perusahaan Seika wajib right man on the right place, Papa." dalam hati Seika bersyukur, kecerdasan dan keberanian dalam dirinya muncul dengan sempurna di saat yang sangat tepat. Saat dia hampir saja melemah oleh karena rasa takut dan khawatir yang sempat mendera.
Merasa mendapatkan kesempatan untuk menggiring bola, Menir Hank tidak menyia-nyiakannya. Dengan penuh keyakinan dan rasa percaya diri dia berkata, "Tentu, Lieverd. Kamu tak perlu mengkhawatirkan apa pun dalam hal ini."
Refleks, Seika menganggukkan kepala. Kalaupun dia harus menerima William bekerja di Seikamara Publishing, bukan karena benar-benar ingin membantu atau bagaimana. Bukan pula karena ingin menyenangkan hati papanya. Ada sesuatu yang paling berharga, segala-galanya yang harus dia perjuangkan hingga putaran otak terakhir.
"Terima kasih, Lieverd!"
"Ya Papa, sama-sama."
"Papa bangga padamu, Lieverd."
"Seika juga bangga punya Papa hebat. I am proud of you, Papa!"
Menir Hank tertawa kecil namun ditumbuhi dengan sebentuk kemenangan yang menebarkan aroma gemilang. Berkibar-kibar di dasar hati, selayaknya selembar bendera yang berkibar-kibar di ketinggian harapan. Kini, seluruh kulit wajahnya berubah menjadi merah jambu. Menghangat hingga ke relung hati terdalam. Dia tahu, malaikat kecilnya bukan anak manusia bodoh tetapi dia juga tahu, Seika Eline adalah seorang anak yang baik. Kejujuran dan ketulusan hatinya tiada perlu diragukan lagi. Terlebih rasa sayang terhadap orangtua, Seika jelas kaya akan hal itu.
"Hemh, Seika!" berusaha sabar, Kama menyurukkan ponsel ke meja belajar. Berpikir sejenak apa yang harus dilakukannya sekarang. Secara mendadak Seika telah membatalkan janji yang telah mereka sepakati bersama. Meskipun dengan alasan ada urusan yang sangat penting dengan papanya namun tetap saja Kama merasa ganjil. "Ada apa ini, tidak biasanya dia begini?" gumam Kama bertanya pada diri sendiri, "Apa ada masalah?" gumamnya lagi sambil mengetuk-ngetukkan tumit sebelah kanannya di lantai kamar, "Hemh tapi masalah apa, kutengok dia baik-baik saja?" Masalahnya Kama juga sudah terlanjur membatalkan acara makan malam bersama keluarga di Lesehan Jos Gandhos hanya untuk bisa makan malam bersama Seika. Tidak mungkin mengundang mereka lagi, sudah hampir jam sepuluh. Bayang-bayang Seika yang menari lembut dan wangi dalam benak, membuat Kama menyesalkan sesuatu. 'Kalau memang ada urusan, kenapa tak sedari tadi sore Seika memberikan kabar? Setidaknya, aku tak harus membatalkan acara bersama Paman,
Tak ada sahutan sama sekali dari Kama, membuat Seika sedikit tergetar. Darah dalam jantungnya berdesir hangat. Tangis mulai menggenangi bola mata blue ocean-nya. "Halo, Kama?" "Oh ya, halo Seika …?" "Bagaimana Kama, apa kamu bisa ke luar rumah sebentar saja? Temui aku di mobil, Ka---" "Tentu saja aku mau Seika tapi ini sudah malam. Sudah bukan jam bertamu lagi, aku takut. Bagaimana kalau besok pagi saja kita bertemu di kan---" Kecewa dan sedih, Seika menyentuh tulisan END CALL di ponselnya. Mati-matian menahan air mata supaya tidak merembes, menyurukkan ponsel di atas dashboard. Detik berikutnya, Seika menyalakan mesin mobil kesayangan. Tanpa sedikit pun menoleh ke arah rumah kontrakan Kama, dia melakukan mobilnya ke arah Yogyakarta. "Kenapa jadi begini, Kama?" Seika berbisik lirih pada bayang-bayang Kama yang melintas cepat dalam benaknya, "Aku tahu aku salah dan aku ke rumah kontrakan kamu tuh, untuk meminta maaf. Aku pingin cerita langsung sama kamu, betapa ribetnya hari i
"Hira!" panggil Derya antusias sambil melambaikan tangan ke arah Hiranur yang baru saja tiba di Glamour Resto, "Di sini, Hira!" Menyembunyikan segala kelicikan dalam hati, Derya berdiri menyambutnya. "Wah, cantik banget kamu malam ini, Hira. Abang sampai pangling." Mengunduh pujian semewah itu, Hiranur merasa tersanjung. Melayang-layang perasaannya di ketinggian angkasa namun tak lantas terlena, tentu saja. Dia masih ingat, bagaimana reputasi Derya sebagai play boy cap kakap di kantor. Jangankan gadis belia sepertinya, mamak-mamak beranak tiga pun bisa digodanya. "Ah Abang, bisa saja?" Hiranur memberikan sikap menampik pujian mewah itu tadi, sambil menghempaskan tubuh rampingnya di kursi yang ditunjuk Derya, "Hira biasa saja kok, Bang? Oh ya, ada apa Bang … Sampai mengajak Hira makan malam begini?" Derya sedikit mengernyitkan kening. Berpikir keras, harus dari mana memulai semuanya agar terkesan santai, baik dan yang paling penting tidak menimbulkan kecurigaan dalam diri Hiran
"Ke rumah Welas, Lieverd?" Setengah curiga, Menir Hank memandang Seika tepat di bola matanya. Baru saja malaikat kecilnya itu berpamitan mau ke rumah Welas, setelah hampir seharian tadi mengurung diri di kamar. Menir Hank tahu, bagaimana kedekatan antara Seika dengan Welas, tentu saja. Namun justru pengetahuan itulah yang memperbesar rasa curiga di dasar hatinya. Sebab, mustahil putri semata wayangnya bersusah payah pergi ke rumah Welas jika tanpa sesuatu yang bersifat pribadi. Maksudnya, dirahasiakan dari Menir Hank. Seika mengangguk kecil. Sebisa mungkin memulas senyum sedih dengan senyum simpul yang biasa agar tidak menumbuhkan benih kecurigaan dalam diri papanya. "Ya Papa, ke rumah Welas. Sebentar kok, nggak lama-lama. Ada sesuatu yang urgent tapi nggak bisa dibicarakan di voice call ataupun video call." Melihat bagaimana Seika bersikap, Menir Hank berdecak kagum dalam hati. Dia mengakui, Seika telah mewarisi sebagian besar karakternya. Cerdas, tegas, optimis, pantang menyerah, p
"Jadi, Seika nggak cerita apa-apa sama kamu?" tanya Kama dengan rasa khawatir yang semakin memuncak. Rongga dadanya benar-benar terisi oleh badai yang bergemuruh sekarang. Berpuluh-puluh pertanyaan berselirweran dalam benak. Di antaranya, 'Benarkah Seika kecewa karena sikapnya semalam? Apakah Seika marah? Seingatnya, belum pernah sampai libur kerja sebesar apa pun masalah yang dihadapi." "Nggak, Kama." sahut Welas sedikit menurunkan level kepanikan dalam diri Kama, "Bahkan tadi pagi pun dia hanya bilang kalau nggak bisa berangkat ke kantor. Dia juga minta sama aku buat mimpin apel motivasi. Ya hanya itu, Kama." Di tempat duduknya, Kama mendesah berat. Penyesalan bercampur dengan pembenaran dan sedikit menyayangkan kedatangan Seika bergumul di hati kecilnya. Ya, kalau tidak menghilang seperti ini sih, tidak masalah baginya. "Oke, Welas." itu yang akhirnya terlontar dari mulut Kama, setelah menghela napas panjang. "Ya sudah, nggak apa-apa. Kalau gitu aku langsung pamit pulang saja
"Oh Papa, maaf …!" seru Welas penuh sesal karena sudah berbohong. "Emh, nggak apa-apa kok, Papa. Mata Welas nggak sakit, kok. Nggak perlu pergi ke Dokter …." Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Papa, sesegera mungkin Welas melesat ke kamar. Sekarang hatinya dipenuhi oleh perasaan sedih, bingung dan takut. Sedihnya karena sudah membohongi Papa sekaligus dirinya sendiri. Kenapa sih, dia harus mengatakan kalau matanya sedih? Kenapa juga harus menyembunyikan kenyataan kalau sebenarnya rasa cinta pada Kama semakin bertumbuh subur di pelataran hati? "Ya Tuhan, ampunilah aku?" Welas bergumam lirih. "Aku tak bermaksud untuk berbohong. Aku hanya bingung, bagaimana mungkin terus-menerus mencintai Kama sedangkan aku tahu kalau dia sudah terikat hubungan cinta dengan Seika? Takut, Ya Tuhan. Aku benar-benar takut dan hanya kepada-Mulah aku berlindung." Tok, tok, tok! "Welas, beneran kamu nggak apa-apa?" tanya Papa di depan pintu kamarnya. "Papa khawatir ini, Welas." Welas yang masih bersand
"Derya, saya ada tugas untuk kamu sore ini!" cakap Menir Hank dengan ketegasan yang mencapai puncaknya. "Bisa, kamu ke rumah sebentar?" Mendengar percakapan malaikat kecilnya di telepon tadi, beberapa menit yang lalu membuat kesabaran Menir Hank tergerus habis. Meskipun suara Kama tak begitu jelas terdengar tapi Menir Hank bukanlah seorang ayah yang bodoh. Dia tahu, kalau sebentar lagi Seika akan berangkat ke Green Garden Resto untuk bertemu dengan Kama, tentu saja. "Baik Menir, saya segera ke sana." sahut Derya sambil terus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Meraba-raba dia seperti seseorang yang membeli kucing dalam karung. Bukan apa-apa. Suara Menir Hank terdengar seperti orang murka, cukup membuat gentar. "Bagus, saya tunggu di rumah ya Derya?" "Baik, Menir. Tapi maaf sebelumnya Menir, kira-kura tugas apa yang akan Menir berikan kepada saya?" "Ah Derya … Seperti itu saja kamu tak tahu? Ck, yang jelas ini ada kaitannya dengan Kama. Sampai di sini kamu paham?" "Oh ba
"Derya, bagaimana bisa dia ada di sini?" tanya Seika begitu turun dari mobil dan melihat Derya sedang berjalan cepat menuju meja nomor empat yang berarti meja yang sudah dia pesan untuknya dan Kama. "Apa jangan-jangan selama ini Derya memata-matai kami? Oh, apakah dia bekerja untuk Papa? Ugh, sial!" Secepat kilat, Seika menutup pintu mobil lalu menguncinya. Meninggalkan area parkir dengan meminjam kecepatan cahaya. Prinsipnya, dia harus lebih dulu sampai di meja nomor empat. Titik. Oleh karena itu, dia melepas sepatu high heels cantik yang dipakai demi bisa berlari ke sana. Bukan apa-apa. Masalahnya, untuk apa Derya menemui Kama? Pertanyaan itulah yang mendesak masuk ke dalam benaknya. "Kama emh selamat malam, apa kabar?" Beruntung Seika sampai di tempat Kama menunggunya terlebih dahulu dari pada Derya. Tidak sia-sia dia sampai melepaskan sepatu, menyingkapkan gaun malam berwarna merah maroon polos dengan renda merah jambu di bagian bawah, pinggang, depan dada dan pergelangan tang