"Seharunya Mas ingat kalau ada aku juga di rumah ini. Andai kalian ingin bermesraan, janganlah di tempat yang bisa saja aku datangi. Aku tidak melarang kalau memang kalian sama-sama tidak bisa menahan. Hanya saja tolong, carilah tempat yang lebih sesuai."
Perkataan Inaya semalam masih terngiang di telingaku. Aku dibuat tak berkutik karena saking malunya. Meski aku dan Dewi tidak sampai melakukan hubungan suami istri, tetap saja apa yang terjadi semalam tidak pantas kami lakukan di dapur rumah ini.Seharusnya aku bisa menolak agar kami tidak sama-sama terhanyut dalam kemesraan yang Dewi ciptakan. Hanya saja, aku tidak bisa menghindar ketika Dewi terus mendesak dan memulainya lebih dulu.Ah, menyesal pun tiada guna. Aku bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama demi menjaga perasaan kedua istriku."Mas mau sarapan apa?"Pertanyaan Inaya menarik kesadaran diri ini dari lamunan. Inaya sudah berdiri di depanku dengan membawa dompet kecil di tangannya."Kamu mau nyari sarapan?" tanyaku sembari berdiri dan mendekat padanya."Iya.""Uang belanjanya masih ada?""Masih.""Ya sudah. Terserah kamu mau beli apa saja, pasti Mas makan. Oh iya." Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu."Ayam bakar yang semalam Mas belikan untukmu masih ada," kataku, ingin mengingatkan bahwa semalam aku membawa makanan untuknya. "Itu buat Syafa saja. Nanti aku hangatkan. Aku titip Syafa sebentar, soalnya dia masih tidur."Inaya beranjak tanpa menunggu jawaban dariku. Aku hanya bisa menghela napas kasar karena lagi-lagi harus menghadapi sikapnya yang dingin, apalagi setelah kejadian semalam."Lho, Mbak Inaya mau ke mana?" Dewi muncul sambil membawa kantong plastik yang entah apa isinya."Mau beli sarapan.""Eh, gak usah, Mbak. Ini aku sudah beli nasi uduk buat kita. Untuk Syafa juga ada. Kita sarapan sama-sama, ya," ucap Dewi terdengar penuh harap. Semoga saja kali ini Inaya tidak menolak agar Dewi tidak kecewa."Kamu sama Mas Dipta duluan saja. Aku--""Nay, tolong jangan menolak lagi. Kita ini tinggal di satu atap yang sama. Tidak ada salahnya kita menyempatkan waktu sarapan bertiga. Hargai Dewi yang sudah susah payah membelikan sarapan untuk kita." Pada akhirnya, kesabaranku hampir habis menghadapi sikap Inaya. Sebagai kepala keluarga, aku harus bisa bersikap tegas agar istri pertamaku itu tidak berprilaku seenaknya."Baiklah."Aku tersenyum lega. Akhirnya Inaya mau mendengar kata-kataku. Sepertinya, harus sedikit kuberi gertakan agar ia tidak lagi membantah ucapanku."Kalau begitu aku ke dapur dulu." Dewi terlihat semringah. Ia pasti senang karena kakak madunya bersedia memenuhi permintaannya. Semoga saja sikap Inaya perlahan berubah setelah melihat ketulusan Dewi. Aku ingin kedua istriku akur agar aku tenang saat meninggalkan mereka berdua di rumah ini.Rencananya hari ini aku akan berpura-pura mencari pekerjaan. Untuk meyakinkan mereka bahwa aku benar-benar sudah dikeluarkan dari perusahaan. Aku harap baik Inaya maupun Dewi tidak ada yang curiga akan rencana yang sudah kususun rapi bersama Papa."Mas tahu semua ini tidak mudah bagimu. Tapi Mas mohon, Sayang. Belajarlah untuk menerima Dewi. Andai bisa mengulangi waktu, Mas pasti tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu kecewa dan sakit hati. Sekarang semuanya sudah telanjur. Tidak mungkin Mas menceraikan Dewi karena itu pasti akan membuatnya merasa disingkirkan. Percayalah, cinta Mas padamu tidak pernah berkurang sedikitpun. Meski ada Dewi di antara kita, kamu tetap pemilik tahta tertinggi di hati ini," ucapku berusaha meyakinkan Inaya. Bukan sebatas bualan, tetapi datang dari sudut hatiku yang paling dalam."Kita ke dapur. Kasian Dewi kalau menunggu terlalu lama."Aku dibuat melongo oleh ucapan Inaya. Aku kira, ia akan terharu atas apa yang baru saja aku katakan, tetapi ternyata tanggapannya tidak seperti yang aku harapkan.Dia meninggalkanku yang kembali harus menahan kekesalan. Apa yang aku ucapakan barusan sepertinya tidak berarti sama sekali bagi istri pertamaku itu."Sabar, Dipta. Inaya hanya sedang kecewa karena kejadian semalam," gumamku pada diri sendiri, kemudian menyusul kedua istriku yang sudah menunggu untuk sarapan bersama.*****"Jadi, teman-teman Mas tidak ada yang mau membantu memasukan Mas ke perusahaan mereka?" tanya Dewi setelah aku menceritakan bahwa hari ini aku gagal mendapat pekerjaan. Raut kekecewaan terlihat jelas dari wajah cantiknya."Ya. Tidak ada satupun dari mereka yang bisa membantu Mas. Katanya semua posisi sudah terisi dan Mas akan mereka hubungi kalau nanti ada posisi yang kosong.""Tega ya. Padahal Mas sudah sering membantu mereka.""Ya, mau bagaimana lagi." Aku mengangkat bahu. "Tapi tadi, Mas ketemu sama bapak-bapak yang menawarkan Mas menjadi sopir taksi online seperti dia. Mungkin untuk sementara Mas akan mengambil pekerjaan itu daripada kita tidak ada pemasukan sama sekali," ujarku berbohong. Tentu saja pekerjaan ini sudah aku diskusikan dengan Papa dan beliau setuju atas ideku itu."Sopir taksi online? Mas yakin mau mengambil pekerjaan itu?""Kenapa tidak? Yang penting halal, Mas akan melakukan apa saja demi bisa menghidupi kalian.""Tapi--""Sayang, apa kamu malu punya suami seorang sopir taksi online?"Dewi menggeleng cepat. "Enggak sama sekali. Hanya saja, aku takut Mas kecapean karena biasanya Mas tidak pernah melakukan pekerjaan berat."Aku tersenyum dan bertambah kagum karena ternyata dibalik sikapnya yang seperti keberatan, ada alasan yang membuatku terharu. Sebegitu perhatiannya Dewi hingga ia takut aku bekerja terlalu berat."Jadi sopir itu bukan pekerjaan berat. Mas masih sanggup kalau cuma menyetir dari pagi sampai malam."Dewi berpindah duduk di sampingku. Tangannya mengelus bahu ini seraya berbisik."Jangan cape-cape. Aku tidak mau Mas kelelahan karena ingin memberi nafkah lahir, sampai tidak bisa memberiku nafkah batin."Ah, Dewi selalu saja memancingku. Namun, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, apalagi Inaya sedang tidak berada di rumah.Entah ke mana istri pertamaku itu pergi. Karena sedari aku datang, Dewi mengatakan jika Inaya berpamitan keluar."Jangan begini, Sayang. Mas tidak mau kalau sampai Inaya melihat kita." Aku menepis halus tangannya yang mulai bergerilya."Tapi kan Mbak Inaya sedang tidak ada.""Tetap saja ini salah. Hari ini masih jatah Mas bersama Inaya."Dewi mencebik. Ia kembali berpindah duduk menjauhiku."Assalamualaikum."Itu suara Inaya. Aku bernapas lega karena ia datang setelah Dewi menjauh dariku. Entah bagaimana jika sampai Inaya kembali melihat Dewi yang sedang menggodaku."Waalaikumssalam. Kamu dari mana?" Aku berdiri dan menghampirinya. Mengambil Syafa yang tertidur dalam gendongan Inaya."Aku habis ngobrol sama ibu-ibu di depan.""Ngobrol sama ibu-ibu?" Aku melongo. Sejak kapan Inaya berbaur dengan ibu-ibu di kompleks ini?Jujur saja aku keberatan jika Inaya terlalu sering berinteraksi dengan mereka. Tetangga di sini sudah tahu kalau aku beristri dua. Aku takut Inaya akan terpengaruh jika sampai mereka mengompori untuk menyudutkan Dewi, dan yang lebih parah mereka meminta Inaya untuk meninggalkanku."Kalau Mas boleh tahu, kalian ngobrolin apa saja? Kenapa gak ngajak Dewi sekalian?" tanyaku sehalus mungkin agar Inaya tidak tersinggung."Tadi aku sudah ngajak Dewi tapi dia gak mau. Mas tenang saja. Aku tidak sedang bergosip apalagi menceritakan perihal rumah tangga kita. Aku hanya sedang mencari informasi siapa tahu aku bisa berjualan untuk membantu Mas menutupi kebutuhan kita," papar Inaya yang membuatku kembali merasa bersalah.Kenapa aku selalu saja berpikiran buruk tentangnya?**Bersambung."Kamu di mana, Dip?""Di rumah.""Cepat ke Rumah Sakit Bakti Husada.""Ngapain?""Aku kecelakaan!""Hah?" Aku refleks berdiri. Inaya yang sedang menidurkan Aqlan menatap tajam padaku seolah memperingatkan agar tidak berisik di dekat putra kami."Oke, aku segera ke sana."Telepon kututup sebelum Akbar sempat berbicara lagi. Mengabaikan tatapan keheranan dari Inaya, gegas kuambil dompet dan kunci mobil. "Ada apa, Mas?" Inaya ikut bangun. Beruntung putra kami sudah terlelap. "Akbar kecelakaan. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Bakti Husada.""Apa? Kecelakaan?""Iya, Sayang. Mas harus segera ke sana. Kamu gak papa Mas tinggal? Mungkin di sana bisa saja agak lama." "Gak papa. Cepatlah ke sana. Mas Akbar pasti membutuhkan bantuan."Aku mengangguk. Sebelum pergi, aku sempatkan mengecup kening putraku yang tertidur pulas, kemudian beralih pada bundanya dengan mengecup kening, hidung dan yang terakhir di bibir. "Hati-hati di jalan," bisik Inaya.******"Bar!"Pria yang aku kira sedang terbar
"Putra Bapak baik-baik saja. Beruntung segera di bawa ke sini dan bisa ditangani dengan cepat sebelum terlambat."Penjelasan Dokter yang menangani Aqlan beberapa hari yang lalu membuatku bernapas lega. Beruntung obat yang diberikan Laila tidak berpengaruh buruk pada tubuh putraku sebab dosisnya masih di batas normal. Namun meski begitu, Aqlan tetap harus menjalani rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku menunggui putraku bersamaan dengan menjaga bundanya karena mereka berada di rumah sakit yang sama. Kini Aqlan sudah berada di rumah, pun dengan Inaya yang juga sudah diperbolehkan pulang. Kondisi istriku makin membaik setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit pasca terbangun dari koma. Inaya sudah bisa berbicara kembali, hanya tinggal menjalani terapi agar bisa menggerakkan kembali seluruh tubuhnya yang masih kaku. Kebahagiaanku makin lengkap setelah akhirnya kami bisa berkumpul kembali. Kejadian yang lalu akan kujadikan pelajaran agar aku tidak lagi bertindak gegabah
Laila benar-benar sudah tidak waras. Perempuan itu nekat membawa penghulu untuk menikahkan kami, dibantu oleh abangnya yang ternyata seorang preman. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan itu. Menghalalkan segala cara hanya karena ingin obsesinya tercapai. "Jangan gila, Laila! Saya sudah punya istri!" bentakku tak terima. Enak saja dia ingin memaksaku menikahinya saat ini juga. "Saya memang sudah gila, Pak. Lebih tepatnya ... tergila-gila sama Bapak." Matanya mengerling nakal. "Cepatlah, Laila. Jangan membuang-buang waktu! Kalian harus segera menikah sebelum majikanmu itu berencana untuk kabur!" Abangnya Laila angkat bicara. Pria berperawakan besar tersebut menatapku dan adiknya bergantian. "Lagipula, apa kamu sudah memastikan pria ini tidak lapor polisi? Bagaimana kalau tiba-tiba saja mereka datang dan menangkap kita?" imbuhnya."Abang tenang saja. Pak Dipta tidak akan berani melapor pada polisi karena keselamatan Aqlan yang jadi taruhannya. Dia pasti tidak ingin pu
"Nay ... kamu bangun, Sayang."Netra ini tak bisa menahan lajunya air mata setelah melihat istriku akhirnya bangun dari koma. Meski ia masih nampak lemah dan belum bisa berbicara, setidaknya ia masih bisa tersenyum menanggapi perkataanku."Mas kangen, Nay. Anak-anak juga kangen sama bundanya. Cepat sehat lagi ya, Sayang. Biar bisa cepat pulang ke rumah dan bermain sama Syafa dan Aqlan."Alis Inaya mengernyit. Aku paham ia pasti bingung mendengar nama Aqlan."Aqlan putra kedua kita. Usianya sekarang hampir enam bulan. Dia tampan sekali, mirip sama Mas" terangku sambil sedikit berkelakar.Inaya tersenyum, kali ini lebih lebar. Tentu ia bahagia mendengar putra kami lahir dengan selamat. Aku belum bisa menceritakan kejadian tentang hilangnya Aqlan pada istriku, mengingat kondisi Inaya yang baru saja sadar dan belum sepenuhnya pulih.Saat ini Papa dan Akbar sedang berusaha mencari keberadaan putraku tersebut, sekaligus menunggu Laila menghubungi kami. Papa memintaku untuk fokus pada Inaya
"Nak Dipta harus hati-hati. Sekarang banyak sekali orang yang nekad melakukan apa saja demi tujuannya tercapai. Nak Dipta ini tampan dan kaya. Pasti banyak wanita yang menginginkan Nak Dipta. Satu-satunya cara adalah selalu waspada. Jika sudah ada gelagat seperti itu dari pengasuhnya Aqlan, Nak Dipta tidak bisa menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar."Ayah Wirya memberiku wejangan setelah mendengar ceritaku tentang Laila. Tidak ada pilihan lain selain berkata jujur agar mertuaku tersebut tidak salah paham. Aku tidak bisa menyalahkan Syafa karena dengan polosnya menceritakan kejadian semalam. Justru aku harus berterima kasih kepada gadis kecilku tersebut, karena sekarang perasaanku sedikit lega setelah mendengar nasehat dari mertuaku. "Iya, Yah. Saya akan tetap waspada. Terlepas dari kelakuannya yang terkadang membuat saya risih, tapi cara kerja Laila dalam merawat Aqlan sangat bagus. Saya tidak bisa memecatnya begitu saja hanya karena dia memberi saya perhatian. Lagipula, saya
"Mas Dipta?" "Dewi?" Mantan istriku menyapa saat tak sengaja kami bertemu di Pusat Perbelanjaan. Aku memutuskan untuk mengajak Laila berbelanja karena Syafa merengek ingin membeli mainan dan adeknya harus dibawa serta. "Habis belanja?" Aku berbasa-basi. "Iya. Biasa, belanja bulanan. Mas Dipta belanja juga?" "Ya, ini Syafa mau beli mainan, sekalian beli susu sama diapers buat Aqlan," jawabku. Aku melirik Ivan yang sedang menggendong Kaivan. "Libur, Van?""Enggak juga. Biasa ... Nyonya mau ditemani belanja. Terpaksa kerjaan ditinggal dulu." Ivan terkekeh saat Dewi mencubit lengannya. "Aku kan gak maksa.""Gak maksa tapi ngancam." "Mas!"Aku tersenyum melihat interaksi mereka yang nampak manis di mataku. Ah, aku jadi kangen Inaya. Biasanya istriku itu akan melakukan hal yang sama dengan Dewi jika sudah merasa tersudut dan tidak ingin disalahkan. "Maaf ya, Mas. Kami belum sempat menjenguk Mbak Inaya lagi. Bagaimana kondisinya sekarang?" Aku menggeleng lemah. "Masih sama. Belum a