Share

Bab 4

"Seharunya Mas ingat kalau ada aku juga di rumah ini. Andai kalian ingin bermesraan, janganlah di tempat yang bisa saja aku datangi. Aku tidak melarang kalau memang kalian sama-sama tidak bisa menahan. Hanya saja tolong, carilah tempat yang lebih sesuai."

Perkataan Inaya semalam masih terngiang di telingaku. Aku dibuat tak berkutik karena saking malunya. 

Meski aku dan Dewi tidak sampai melakukan hubungan suami istri, tetap saja apa yang terjadi semalam tidak pantas kami lakukan di dapur rumah ini.

Seharusnya aku bisa menolak agar kami tidak sama-sama terhanyut dalam kemesraan yang Dewi ciptakan. Hanya saja, aku tidak bisa menghindar ketika Dewi terus mendesak dan memulainya lebih dulu.

Ah, menyesal pun tiada guna. Aku bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama demi menjaga perasaan kedua istriku.

"Mas mau sarapan apa?"

Pertanyaan Inaya menarik kesadaran diri ini dari lamunan. Inaya sudah berdiri di depanku dengan membawa dompet kecil di tangannya.

"Kamu mau nyari sarapan?" tanyaku sembari berdiri dan mendekat padanya.

"Iya."

"Uang belanjanya masih ada?"

"Masih."

"Ya sudah. Terserah kamu mau beli apa saja, pasti Mas makan. Oh iya." Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu.

"Ayam bakar yang semalam Mas belikan untukmu masih ada," kataku, ingin mengingatkan bahwa semalam aku membawa makanan untuknya. 

"Itu buat Syafa saja. Nanti aku hangatkan. Aku titip Syafa sebentar, soalnya dia masih tidur."

Inaya beranjak tanpa menunggu jawaban dariku. Aku hanya bisa menghela napas kasar karena lagi-lagi harus menghadapi sikapnya yang dingin, apalagi setelah kejadian semalam.

"Lho, Mbak Inaya mau ke mana?" Dewi muncul sambil membawa kantong plastik yang entah apa isinya.

"Mau beli sarapan."

"Eh, gak usah, Mbak. Ini aku sudah beli nasi uduk buat kita. Untuk Syafa juga ada. Kita sarapan sama-sama, ya," ucap Dewi terdengar penuh harap. Semoga saja kali ini Inaya tidak menolak agar Dewi tidak kecewa.

"Kamu sama Mas Dipta duluan saja. Aku--"

"Nay, tolong jangan menolak lagi. Kita ini tinggal di satu atap yang sama. Tidak ada salahnya kita menyempatkan waktu sarapan bertiga. Hargai Dewi yang sudah susah payah membelikan sarapan untuk kita." Pada akhirnya, kesabaranku hampir habis menghadapi sikap Inaya. Sebagai kepala keluarga, aku harus bisa bersikap tegas agar istri pertamaku itu tidak berprilaku seenaknya.

"Baiklah."

Aku tersenyum lega. Akhirnya Inaya mau mendengar kata-kataku. Sepertinya, harus sedikit kuberi gertakan agar ia tidak lagi membantah ucapanku.

"Kalau begitu aku ke dapur dulu." Dewi terlihat semringah. Ia pasti senang karena kakak madunya bersedia memenuhi permintaannya. Semoga saja sikap Inaya perlahan berubah setelah melihat ketulusan Dewi. Aku ingin kedua istriku akur agar aku tenang saat meninggalkan mereka berdua di rumah ini.

Rencananya hari ini aku akan berpura-pura mencari pekerjaan. Untuk meyakinkan mereka bahwa aku benar-benar sudah dikeluarkan dari perusahaan. Aku harap baik Inaya maupun Dewi tidak ada yang curiga akan rencana yang sudah kususun rapi bersama Papa.

"Mas tahu semua ini tidak mudah bagimu. Tapi Mas mohon, Sayang. Belajarlah untuk menerima Dewi. Andai bisa mengulangi waktu, Mas pasti tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu kecewa dan sakit hati. Sekarang semuanya sudah telanjur. Tidak mungkin Mas menceraikan Dewi karena itu pasti akan membuatnya merasa disingkirkan. Percayalah, cinta Mas padamu tidak pernah berkurang sedikitpun. Meski ada Dewi di antara kita, kamu tetap pemilik tahta tertinggi di hati ini," ucapku berusaha meyakinkan Inaya. Bukan sebatas bualan, tetapi datang dari sudut hatiku yang paling dalam.

"Kita ke dapur. Kasian Dewi kalau menunggu terlalu lama."

Aku dibuat melongo oleh ucapan Inaya. Aku kira, ia akan terharu atas apa yang baru saja aku katakan, tetapi ternyata tanggapannya tidak seperti yang aku harapkan.

Dia meninggalkanku yang kembali harus menahan kekesalan. Apa yang aku ucapakan barusan sepertinya tidak berarti sama sekali bagi istri pertamaku itu.

"Sabar, Dipta. Inaya hanya sedang kecewa karena kejadian semalam," gumamku pada diri sendiri, kemudian menyusul kedua istriku yang sudah menunggu untuk sarapan bersama.

*****

"Jadi, teman-teman Mas tidak ada yang mau membantu memasukan Mas ke perusahaan mereka?" tanya Dewi setelah aku menceritakan bahwa hari ini aku gagal mendapat pekerjaan. Raut kekecewaan terlihat jelas dari wajah cantiknya.

"Ya. Tidak ada satupun dari mereka yang bisa membantu Mas. Katanya semua posisi sudah terisi dan Mas akan mereka hubungi kalau nanti ada posisi yang kosong."

"Tega ya. Padahal Mas sudah sering membantu mereka."

"Ya, mau bagaimana lagi." Aku mengangkat bahu. "Tapi tadi, Mas ketemu sama bapak-bapak yang menawarkan Mas menjadi sopir taksi online seperti dia. Mungkin untuk sementara Mas akan mengambil pekerjaan itu daripada kita tidak ada pemasukan sama sekali," ujarku berbohong. Tentu saja pekerjaan ini sudah aku diskusikan dengan Papa dan beliau setuju atas ideku itu.

"Sopir taksi online? Mas yakin mau mengambil pekerjaan itu?"

"Kenapa tidak? Yang penting halal, Mas akan melakukan apa saja demi bisa menghidupi kalian."

"Tapi--"

"Sayang, apa kamu malu punya suami seorang sopir taksi online?"

Dewi menggeleng cepat. "Enggak sama sekali. Hanya saja, aku takut Mas kecapean karena biasanya Mas tidak pernah melakukan pekerjaan berat."

Aku tersenyum dan bertambah kagum karena ternyata dibalik sikapnya yang seperti keberatan, ada alasan yang membuatku terharu. Sebegitu perhatiannya Dewi hingga ia takut aku bekerja terlalu berat.

"Jadi sopir itu bukan pekerjaan berat. Mas masih sanggup kalau cuma menyetir dari pagi sampai malam."

Dewi berpindah duduk di sampingku. Tangannya mengelus bahu ini seraya berbisik.

"Jangan cape-cape. Aku tidak mau Mas kelelahan karena ingin memberi nafkah lahir, sampai tidak bisa memberiku nafkah batin."

Ah, Dewi selalu saja memancingku. Namun, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, apalagi Inaya sedang tidak berada di rumah.

Entah ke mana istri pertamaku itu pergi. Karena sedari aku datang, Dewi mengatakan jika Inaya berpamitan keluar.

"Jangan begini, Sayang. Mas tidak mau kalau sampai Inaya melihat kita." Aku menepis halus tangannya yang mulai bergerilya.

"Tapi kan Mbak Inaya sedang tidak ada."

"Tetap saja ini salah. Hari ini masih jatah Mas bersama Inaya."

Dewi mencebik. Ia kembali berpindah duduk menjauhiku.

"Assalamualaikum."

Itu suara Inaya. Aku bernapas lega karena ia datang setelah Dewi menjauh dariku. Entah bagaimana jika sampai Inaya kembali melihat Dewi yang sedang menggodaku.

"Waalaikumssalam. Kamu dari mana?" Aku berdiri dan menghampirinya. Mengambil Syafa yang tertidur dalam gendongan Inaya.

"Aku habis ngobrol sama ibu-ibu di depan."

"Ngobrol sama ibu-ibu?" Aku melongo. Sejak kapan Inaya berbaur dengan ibu-ibu di kompleks ini?

Jujur saja aku keberatan jika Inaya terlalu sering berinteraksi dengan mereka. Tetangga di sini sudah tahu kalau aku beristri dua. Aku takut Inaya akan terpengaruh jika sampai mereka mengompori untuk menyudutkan Dewi, dan yang lebih parah mereka meminta Inaya untuk meninggalkanku.

"Kalau Mas boleh tahu, kalian ngobrolin apa saja? Kenapa gak ngajak Dewi sekalian?" tanyaku sehalus mungkin agar Inaya tidak tersinggung.

"Tadi aku sudah ngajak Dewi tapi dia gak mau. Mas tenang saja. Aku tidak sedang bergosip apalagi menceritakan perihal rumah tangga kita. Aku hanya sedang mencari informasi siapa tahu aku bisa berjualan untuk membantu Mas menutupi kebutuhan kita," papar Inaya yang membuatku kembali merasa bersalah.

Kenapa aku selalu saja berpikiran buruk tentangnya?

*

*

Bersambung.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Johanes Bria
Inaya luar biasa
goodnovel comment avatar
Atty Aryani Smj
mantap thor
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Salut sama ketegaran inaya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status