Share

Bab 3

"Mas kok baru pulang?" tanya Dewi ketika aku baru saja memasuki rumah. Rupanya istri keduaku sedang menungguku di ruang tamu yang hanya terdapat sofa usang di sana.

"Iya, urusannya baru selesai. Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama. Ini Mas bawakan makanan kesukaan kamu juga Inaya." Aku mengangkat kantong plastik berisi makanan dan memperlihatkannya kepada Dewi. "Kita makan sama-sama. Mas panggil Inaya dulu."

"Mbak Inaya sudah tidur." Perkataan Dewi membuat langkah kaki yang akan menuju kamar Inaya terhenti. "Tadi dia berpesan kita makan berdua saja. Katanya Mbak Inaya sangat lelah dan ingin istirahat."

Aku menghela napas kasar. Aku tahu sebenarnya itu hanya akal-akalan Inaya agar tidak makan bersamaku dan Dewi. Entah sampai kapan ia akan terus menghindari berinteraksi dengan adik madunya, padahal kini mereka tinggal satu atap di rumah kecil ini.

Jika dulu Inaya leluasa menghindar karena rumah kami sangatlah besar dan berlantai dua, maka kini pasti ia kesulitan untuk mencari alasan agar tidak bersinggungan dengan Dewi.

"Kalau begitu kamu pindahkan saja dulu makanan ini ke piring. Mas mau melihat dia dulu."

Dewi mengangguk. Ia bergegas ke dapur setelah aku menyerahkan bungkusan makanan yang kubawa tadi.

Pintu kamar Inaya kubuka perlahan. Beruntung tidak dikunci karena sepertinya Inaya masih ingat bahwa malam ini adalah jatahku bersamanya.

Benar saja, istri dan putriku sudah terlelap. Aku jadi tidak tega untuk membangunkan mereka. Kuputuskan untuk keluar kamar lagi dan menghampiri Dewi. Biarlah makanan milik Inaya aku simpan saja untuk besok pagi.

"Benar Mbak Inaya sudah tidur?"

"Sudah. Sepertinya dia memang sangat kelelahan. Kita langsung makan saja, ya. Kasihan kamu kalau tidur terlalu malam."

Dewi menyiapkan dua piring berisi nasi dan lauk yang aku beli. Sedangkan untuk Inaya, aku meminta Dewi menyimpannya saja di atas meja dan menutupnya dengan tudung saji.

Selama kami makan, mata ini tak lepas memperhatikan Dewi yang lahap menyantap makanan miliknya.  Istri keduaku tidak mempermasalahkan ketika aku mengatakan bahwa nasi beserta ayam goreng yang kubawa dibeli dari pedagang yang biasa mangkal di pinggir jalan raya.

Ah, makin kagum saja aku dibuatnya. Sepertinya Dewi sudah bisa menerima kondisiku saat ini.

"Mas kok malah ngeliatin aku?"

Aku tersenyum canggung. Rupanya dia menyadari jika aku sedang memperhatikannya.

"Kamu makan lahap sekali. Mas jadi kenyang hanya dengan melihat kamu makan," kelakarku yang membuatnya tersipu.

"Habisnya aku lapar banget," cicitnya.

"Gak papa. Mas malah senang melihatnya. Terima kasih, ya. Kamu mau menerima kondisi kita yang seperti ini. Mas janji akan bekerja dengan giat supaya kita bisa hidup layak lagi seperti dulu."

"Sama-sama, Mas. Sudah kewajibanku sebagai istri yang harus tetap berada di samping suami dalam kondisi apa pun."

Ucapan Dewi membuatku terharu. Kugeser tubuh mendekat padanya, kemudian kuraih tubuhnya ke dalam pelukan. "Sekali lagi terima kasih, Sayang." Kukecup keningnya cukup lama.

Dewi mendongak hingga wajah kami hanya berjarak beberapa inchi saja. Tatapan matanya yang sayu seakan menghipnotis diri ini. Aku paham arti tatapan tersebut. Namun, aku tidak bisa melakukannya dengan Dewi sekarang karena malam ini adalah jatahku bersama Inaya.

"Jangan malam ini, Sayang. Tunggu tiga hari lagi," bisikku tepat di depan wajahnya.

Dia terlihat kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Aku akan menzolimi Inaya jika sampai melakukan hubungan suami istri dengan Dewi di saat jatahku bersamanya. Meski aku bukanlah orang yang paham agama, tetapi aku selalu mempelajari ilmu tentang poligami agar aku bisa berlaku adil terhadap kedua istriku.

"Padahal lagi kepengen banget," cebiknya seraya memainkan kancing kemeja yang kupakai.

"Sabar. Nanti saat jatah Mas sama kamu, kita bisa melakukan sepuasnya." Kucolek hidungnya dengan mesra.

"Baiklah." Dewi mengangguk pasrah. "Tapi kalau cuma seperti ini, boleh kan?"

Dewi memang selalu penuh kejutan. Aku dibuat tak berkutik saat bibirnya membungkam bibirku. Kami saling berbagi napas selama beberapa menit. Hampir saja aku keblablasan jika tidak mengingat bisa saja Inaya terbangun dan melihat apa yang kami lakukan.

"Sudah, Sayang. Jangan terus memancing," bisikku sambil mengatur napas. "Kamu tidur, gih. Biar Mas yang membereskan bekas makan kita," ujarku demi menghindarinya. Kalau aku membiarkan Dewi terus bersamaku, bisa-bisa aku melupakan prinsip adil yang sedang berusaha aku lakukan terhadap istri-istriku.

"Biar aku saja. Mas pasti cape, kan baru pulang." Dia melarang.

"Tidak apa. Mas justru ingin melakukannya agar istri Mas ini bisa istirahat." Kujawil dagu lancipnya. "Masuk kamar, gih!"

"Oke, Mas, Sayang." Dewi mengecup pipiku kilat sebelum berlari kecil menuju kamarnya. Inilah yang membuat hidupku terasa lebih berwarna saat bersamanya. Dewi selalu berhasil membuatku tersenyum dengan tingkahnya yang manja dan penuh kejutan. Tidak seperti Inaya yang akhir-akhir ini lebih sering mendiamkanku.

Sejujurnya, malam ini aku sangat merindukan Inaya. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu berdua karena Inaya selalu beralasan harus menjaga Syafa.

Mengingat malam ini malamku bersamanya, gegas kubereskan bekas makan tadi. Setelah membersihkan diri, aku memasuki kamar Inaya dan langsung bergabung ke atas tempat tidur.

Inaya tidur sambil memeluk Syafa yang sepertinya sengaja ia letakkan di tengah-tengah kami. Namun, aku tak akan kehabisan akal. Perlahan, kuangkat tubuh putriku dan merebahkannya kembali di sisi dekat tembok.

"Selamat tidur, cantiknya Ayah," bisikku sembari mengecup rambutnya.

Aku tersenyum melihat sisi di sebelah Inaya yang kini kosong. Tak ingin membuang waktu, aku segera merebahkan diri di sana, kemudian memeluk tubuh istriku erat.

Hasrat yang tadi muncul saat bersama istri keduaku kini bangkit kembali. Ingin sekali aku membangunkan Inaya dan mengajaknya melanjutkan apa yang tertunda bersama Dewi. Namun, aku tidak tega untuk mengganggu istriku. Biarlah aku tahan saja asalkan malam ini bisa menatap wajah Inaya sepuasnya.

"Kalau Mas mau ke kamar Dewi, silakan saja. Maaf aku tidak bisa melayani Mas karena sedang kedatangan tamu bulanan. Mas pasti ingin melanjutkan apa yang kalian lakukan tadi, kan?"

Aku tersentak. Rupanya Inaya belum benar-benar tidur seperti dugaanku.

Apa jangan-jangan ... Inaya melihat apa yang aku dan Dewi lakukan saat di dapur?

Ah, sial!

*

*

Bersambung.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rina Afiati
iya! mau tanggungjawab kan ngga harus menikahi ye kan? Lagian...diserumahkan, mana tahaaan! kesel aku tuh ...
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Inaya bener bener sabar
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
alasan terlalu dibuat2 utk poligami
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status