Share

Bab 3

Penulis: Nelda Friska
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-29 15:57:51

"Mas kok baru pulang?" tanya Dewi ketika aku baru saja memasuki rumah. Rupanya istri keduaku sedang menungguku di ruang tamu yang hanya terdapat sofa usang di sana.

"Iya, urusannya baru selesai. Maaf, ya. Kamu jadi nunggu lama. Ini Mas bawakan makanan kesukaan kamu juga Inaya." Aku mengangkat kantong plastik berisi makanan dan memperlihatkannya kepada Dewi. "Kita makan sama-sama. Mas panggil Inaya dulu."

"Mbak Inaya sudah tidur." Perkataan Dewi membuat langkah kaki yang akan menuju kamar Inaya terhenti. "Tadi dia berpesan kita makan berdua saja. Katanya Mbak Inaya sangat lelah dan ingin istirahat."

Aku menghela napas kasar. Aku tahu sebenarnya itu hanya akal-akalan Inaya agar tidak makan bersamaku dan Dewi. Entah sampai kapan ia akan terus menghindari berinteraksi dengan adik madunya, padahal kini mereka tinggal satu atap di rumah kecil ini.

Jika dulu Inaya leluasa menghindar karena rumah kami sangatlah besar dan berlantai dua, maka kini pasti ia kesulitan untuk mencari alasan agar tidak bersinggungan dengan Dewi.

"Kalau begitu kamu pindahkan saja dulu makanan ini ke piring. Mas mau melihat dia dulu."

Dewi mengangguk. Ia bergegas ke dapur setelah aku menyerahkan bungkusan makanan yang kubawa tadi.

Pintu kamar Inaya kubuka perlahan. Beruntung tidak dikunci karena sepertinya Inaya masih ingat bahwa malam ini adalah jatahku bersamanya.

Benar saja, istri dan putriku sudah terlelap. Aku jadi tidak tega untuk membangunkan mereka. Kuputuskan untuk keluar kamar lagi dan menghampiri Dewi. Biarlah makanan milik Inaya aku simpan saja untuk besok pagi.

"Benar Mbak Inaya sudah tidur?"

"Sudah. Sepertinya dia memang sangat kelelahan. Kita langsung makan saja, ya. Kasihan kamu kalau tidur terlalu malam."

Dewi menyiapkan dua piring berisi nasi dan lauk yang aku beli. Sedangkan untuk Inaya, aku meminta Dewi menyimpannya saja di atas meja dan menutupnya dengan tudung saji.

Selama kami makan, mata ini tak lepas memperhatikan Dewi yang lahap menyantap makanan miliknya.  Istri keduaku tidak mempermasalahkan ketika aku mengatakan bahwa nasi beserta ayam goreng yang kubawa dibeli dari pedagang yang biasa mangkal di pinggir jalan raya.

Ah, makin kagum saja aku dibuatnya. Sepertinya Dewi sudah bisa menerima kondisiku saat ini.

"Mas kok malah ngeliatin aku?"

Aku tersenyum canggung. Rupanya dia menyadari jika aku sedang memperhatikannya.

"Kamu makan lahap sekali. Mas jadi kenyang hanya dengan melihat kamu makan," kelakarku yang membuatnya tersipu.

"Habisnya aku lapar banget," cicitnya.

"Gak papa. Mas malah senang melihatnya. Terima kasih, ya. Kamu mau menerima kondisi kita yang seperti ini. Mas janji akan bekerja dengan giat supaya kita bisa hidup layak lagi seperti dulu."

"Sama-sama, Mas. Sudah kewajibanku sebagai istri yang harus tetap berada di samping suami dalam kondisi apa pun."

Ucapan Dewi membuatku terharu. Kugeser tubuh mendekat padanya, kemudian kuraih tubuhnya ke dalam pelukan. "Sekali lagi terima kasih, Sayang." Kukecup keningnya cukup lama.

Dewi mendongak hingga wajah kami hanya berjarak beberapa inchi saja. Tatapan matanya yang sayu seakan menghipnotis diri ini. Aku paham arti tatapan tersebut. Namun, aku tidak bisa melakukannya dengan Dewi sekarang karena malam ini adalah jatahku bersama Inaya.

"Jangan malam ini, Sayang. Tunggu tiga hari lagi," bisikku tepat di depan wajahnya.

Dia terlihat kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Aku akan menzolimi Inaya jika sampai melakukan hubungan suami istri dengan Dewi di saat jatahku bersamanya. Meski aku bukanlah orang yang paham agama, tetapi aku selalu mempelajari ilmu tentang poligami agar aku bisa berlaku adil terhadap kedua istriku.

"Padahal lagi kepengen banget," cebiknya seraya memainkan kancing kemeja yang kupakai.

"Sabar. Nanti saat jatah Mas sama kamu, kita bisa melakukan sepuasnya." Kucolek hidungnya dengan mesra.

"Baiklah." Dewi mengangguk pasrah. "Tapi kalau cuma seperti ini, boleh kan?"

Dewi memang selalu penuh kejutan. Aku dibuat tak berkutik saat bibirnya membungkam bibirku. Kami saling berbagi napas selama beberapa menit. Hampir saja aku keblablasan jika tidak mengingat bisa saja Inaya terbangun dan melihat apa yang kami lakukan.

"Sudah, Sayang. Jangan terus memancing," bisikku sambil mengatur napas. "Kamu tidur, gih. Biar Mas yang membereskan bekas makan kita," ujarku demi menghindarinya. Kalau aku membiarkan Dewi terus bersamaku, bisa-bisa aku melupakan prinsip adil yang sedang berusaha aku lakukan terhadap istri-istriku.

"Biar aku saja. Mas pasti cape, kan baru pulang." Dia melarang.

"Tidak apa. Mas justru ingin melakukannya agar istri Mas ini bisa istirahat." Kujawil dagu lancipnya. "Masuk kamar, gih!"

"Oke, Mas, Sayang." Dewi mengecup pipiku kilat sebelum berlari kecil menuju kamarnya. Inilah yang membuat hidupku terasa lebih berwarna saat bersamanya. Dewi selalu berhasil membuatku tersenyum dengan tingkahnya yang manja dan penuh kejutan. Tidak seperti Inaya yang akhir-akhir ini lebih sering mendiamkanku.

Sejujurnya, malam ini aku sangat merindukan Inaya. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu berdua karena Inaya selalu beralasan harus menjaga Syafa.

Mengingat malam ini malamku bersamanya, gegas kubereskan bekas makan tadi. Setelah membersihkan diri, aku memasuki kamar Inaya dan langsung bergabung ke atas tempat tidur.

Inaya tidur sambil memeluk Syafa yang sepertinya sengaja ia letakkan di tengah-tengah kami. Namun, aku tak akan kehabisan akal. Perlahan, kuangkat tubuh putriku dan merebahkannya kembali di sisi dekat tembok.

"Selamat tidur, cantiknya Ayah," bisikku sembari mengecup rambutnya.

Aku tersenyum melihat sisi di sebelah Inaya yang kini kosong. Tak ingin membuang waktu, aku segera merebahkan diri di sana, kemudian memeluk tubuh istriku erat.

Hasrat yang tadi muncul saat bersama istri keduaku kini bangkit kembali. Ingin sekali aku membangunkan Inaya dan mengajaknya melanjutkan apa yang tertunda bersama Dewi. Namun, aku tidak tega untuk mengganggu istriku. Biarlah aku tahan saja asalkan malam ini bisa menatap wajah Inaya sepuasnya.

"Kalau Mas mau ke kamar Dewi, silakan saja. Maaf aku tidak bisa melayani Mas karena sedang kedatangan tamu bulanan. Mas pasti ingin melanjutkan apa yang kalian lakukan tadi, kan?"

Aku tersentak. Rupanya Inaya belum benar-benar tidur seperti dugaanku.

Apa jangan-jangan ... Inaya melihat apa yang aku dan Dewi lakukan saat di dapur?

Ah, sial!

*

*

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
sofia bunda
kasihan inya
goodnovel comment avatar
Rina Afiati
iya! mau tanggungjawab kan ngga harus menikahi ye kan? Lagian...diserumahkan, mana tahaaan! kesel aku tuh ...
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Inaya bener bener sabar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 42. Ending

    "Kamu di mana, Dip?""Di rumah.""Cepat ke Rumah Sakit Bakti Husada.""Ngapain?""Aku kecelakaan!""Hah?" Aku refleks berdiri. Inaya yang sedang menidurkan Aqlan menatap tajam padaku seolah memperingatkan agar tidak berisik di dekat putra kami."Oke, aku segera ke sana."Telepon kututup sebelum Akbar sempat berbicara lagi. Mengabaikan tatapan keheranan dari Inaya, gegas kuambil dompet dan kunci mobil. "Ada apa, Mas?" Inaya ikut bangun. Beruntung putra kami sudah terlelap. "Akbar kecelakaan. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Bakti Husada.""Apa? Kecelakaan?""Iya, Sayang. Mas harus segera ke sana. Kamu gak papa Mas tinggal? Mungkin di sana bisa saja agak lama." "Gak papa. Cepatlah ke sana. Mas Akbar pasti membutuhkan bantuan."Aku mengangguk. Sebelum pergi, aku sempatkan mengecup kening putraku yang tertidur pulas, kemudian beralih pada bundanya dengan mengecup kening, hidung dan yang terakhir di bibir. "Hati-hati di jalan," bisik Inaya.******"Bar!"Pria yang aku kira sedang terbar

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 41

    "Putra Bapak baik-baik saja. Beruntung segera di bawa ke sini dan bisa ditangani dengan cepat sebelum terlambat."Penjelasan Dokter yang menangani Aqlan beberapa hari yang lalu membuatku bernapas lega. Beruntung obat yang diberikan Laila tidak berpengaruh buruk pada tubuh putraku sebab dosisnya masih di batas normal. Namun meski begitu, Aqlan tetap harus menjalani rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku menunggui putraku bersamaan dengan menjaga bundanya karena mereka berada di rumah sakit yang sama. Kini Aqlan sudah berada di rumah, pun dengan Inaya yang juga sudah diperbolehkan pulang. Kondisi istriku makin membaik setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit pasca terbangun dari koma. Inaya sudah bisa berbicara kembali, hanya tinggal menjalani terapi agar bisa menggerakkan kembali seluruh tubuhnya yang masih kaku. Kebahagiaanku makin lengkap setelah akhirnya kami bisa berkumpul kembali. Kejadian yang lalu akan kujadikan pelajaran agar aku tidak lagi bertindak gegabah

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 40

    Laila benar-benar sudah tidak waras. Perempuan itu nekat membawa penghulu untuk menikahkan kami, dibantu oleh abangnya yang ternyata seorang preman. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan itu. Menghalalkan segala cara hanya karena ingin obsesinya tercapai. "Jangan gila, Laila! Saya sudah punya istri!" bentakku tak terima. Enak saja dia ingin memaksaku menikahinya saat ini juga. "Saya memang sudah gila, Pak. Lebih tepatnya ... tergila-gila sama Bapak." Matanya mengerling nakal. "Cepatlah, Laila. Jangan membuang-buang waktu! Kalian harus segera menikah sebelum majikanmu itu berencana untuk kabur!" Abangnya Laila angkat bicara. Pria berperawakan besar tersebut menatapku dan adiknya bergantian. "Lagipula, apa kamu sudah memastikan pria ini tidak lapor polisi? Bagaimana kalau tiba-tiba saja mereka datang dan menangkap kita?" imbuhnya."Abang tenang saja. Pak Dipta tidak akan berani melapor pada polisi karena keselamatan Aqlan yang jadi taruhannya. Dia pasti tidak ingin pu

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 39

    "Nay ... kamu bangun, Sayang."Netra ini tak bisa menahan lajunya air mata setelah melihat istriku akhirnya bangun dari koma. Meski ia masih nampak lemah dan belum bisa berbicara, setidaknya ia masih bisa tersenyum menanggapi perkataanku."Mas kangen, Nay. Anak-anak juga kangen sama bundanya. Cepat sehat lagi ya, Sayang. Biar bisa cepat pulang ke rumah dan bermain sama Syafa dan Aqlan."Alis Inaya mengernyit. Aku paham ia pasti bingung mendengar nama Aqlan."Aqlan putra kedua kita. Usianya sekarang hampir enam bulan. Dia tampan sekali, mirip sama Mas" terangku sambil sedikit berkelakar.Inaya tersenyum, kali ini lebih lebar. Tentu ia bahagia mendengar putra kami lahir dengan selamat. Aku belum bisa menceritakan kejadian tentang hilangnya Aqlan pada istriku, mengingat kondisi Inaya yang baru saja sadar dan belum sepenuhnya pulih.Saat ini Papa dan Akbar sedang berusaha mencari keberadaan putraku tersebut, sekaligus menunggu Laila menghubungi kami. Papa memintaku untuk fokus pada Inaya

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 38

    "Nak Dipta harus hati-hati. Sekarang banyak sekali orang yang nekad melakukan apa saja demi tujuannya tercapai. Nak Dipta ini tampan dan kaya. Pasti banyak wanita yang menginginkan Nak Dipta. Satu-satunya cara adalah selalu waspada. Jika sudah ada gelagat seperti itu dari pengasuhnya Aqlan, Nak Dipta tidak bisa menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar."Ayah Wirya memberiku wejangan setelah mendengar ceritaku tentang Laila. Tidak ada pilihan lain selain berkata jujur agar mertuaku tersebut tidak salah paham. Aku tidak bisa menyalahkan Syafa karena dengan polosnya menceritakan kejadian semalam. Justru aku harus berterima kasih kepada gadis kecilku tersebut, karena sekarang perasaanku sedikit lega setelah mendengar nasehat dari mertuaku. "Iya, Yah. Saya akan tetap waspada. Terlepas dari kelakuannya yang terkadang membuat saya risih, tapi cara kerja Laila dalam merawat Aqlan sangat bagus. Saya tidak bisa memecatnya begitu saja hanya karena dia memberi saya perhatian. Lagipula, saya

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 37

    "Mas Dipta?" "Dewi?" Mantan istriku menyapa saat tak sengaja kami bertemu di Pusat Perbelanjaan. Aku memutuskan untuk mengajak Laila berbelanja karena Syafa merengek ingin membeli mainan dan adeknya harus dibawa serta. "Habis belanja?" Aku berbasa-basi. "Iya. Biasa, belanja bulanan. Mas Dipta belanja juga?" "Ya, ini Syafa mau beli mainan, sekalian beli susu sama diapers buat Aqlan," jawabku. Aku melirik Ivan yang sedang menggendong Kaivan. "Libur, Van?""Enggak juga. Biasa ... Nyonya mau ditemani belanja. Terpaksa kerjaan ditinggal dulu." Ivan terkekeh saat Dewi mencubit lengannya. "Aku kan gak maksa.""Gak maksa tapi ngancam." "Mas!"Aku tersenyum melihat interaksi mereka yang nampak manis di mataku. Ah, aku jadi kangen Inaya. Biasanya istriku itu akan melakukan hal yang sama dengan Dewi jika sudah merasa tersudut dan tidak ingin disalahkan. "Maaf ya, Mas. Kami belum sempat menjenguk Mbak Inaya lagi. Bagaimana kondisinya sekarang?" Aku menggeleng lemah. "Masih sama. Belum a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status