Share

Bab 5

Author: Nelda Friska
last update Last Updated: 2023-04-29 16:01:40

"Mas Dipta mau berangkat kerja?" tanya salah seorang wanita yang sedang duduk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Aku perkirakan usia wanita tersebut sedikit di atas Inaya. Riasan wajahnya cukup tebal, pun dengan pakaiannya yang sedikit terbuka.

"Iya, Mbak." Aku menjawab dengan sedikit membungkukkan badan.

"Mas Dipta kerja di mana?" tanyanya lagi.

Aku yang sebenarnya sedikit tidak nyaman oleh tatapan mereka, terpaksa berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaannya.

"Saya jadi driver taksi online."

"Wah, kirain Mas Dipta kerja kantoran. Soalnya wajah ganteng seperti Mas lebih cocok kerja di sana."

"Hush! Jangan coba-coba menggoda Mas Dipta lho, Mel. Nanti Mbak Inaya sama Mbak Dewi marah!" tegur seorang Ibu bertubuh tambun.

"Aku bicara kenyataan kok, Bu Cici. Mas Dipta ini kan ganteng. Kalau nanti buka lowongan buat istri ketiga, aku siap daftar paling depan," ujar Wanita muda itu dengan tersipu.

Aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan ibu-ibu rempong yang senang bergosip seperti mereka, apalagi wanita yang dipanggil 'Mel' tadi menatapku dengan sorot memuja yang sangat kentara.

"Maaf, Ibu-- ibu. Saya pamit dulu."

Aku melangkah cepat meninggalkan mereka yang saling berbisik. Bahkan, suara salah seorang dari mereka masih tertangkap indera pendengaranku.

"Ganteng sih, pantesan Mbak Dewi mau dijadikan istri kedua padahal Mas Dipta itu bukan orang kaya."

"Percuma ganteng kalau tidak setia. Aku malah kasihan sama Mbak Inaya yang harus tinggal satu atap sama madunya. Laki kere kok sok-sokan poligami. Pantas saja kemarin Mbak Inaya tanya-tanya soal kerjaan sama saya. Pasti mau membantu perekonomian keluarga mereka. Penghasilan sopir taksi online itu paling berapa, sih. Belum lagi harus dibagi dua. Ya pasti gak bakalan cukup," timpal ibu yang lain.

"Suka heran sama laki-laki. Istri sudah cantik, baik lagi. Eh, malah masih nyari yang lain. Gak bersyukur banget!"

Ah, telingaku panas mendengarnya. Inilah yang aku tidak suka saat tinggal di kompleks perumahan yang padat penduduk. Gosip dan berita apa pun akan cepat tersebar, apalagi jika menyangkut aib seseorang.

Sepertinya aku harus memperingatkan Inaya agar tidak sering bergaul dengan mereka. Aku takut akan membawa pengaruh buruk terhadap istri pertamaku itu.

*****

"Cuma seratus lima puluh ribu, Mas?" tanya Inaya saat aku meletakkan uang hasil kerjaku hari ini di atas meja.

"Iya. Hari ini kan hari pertama Mas narik. Sebenarnya tadi Mas dapet tiga ratus ribu. Tapi kan dipotong biaya operasional jadi sisa bersihnya segini," paparku sembari menyandarkan tubuh pada punggung sofa, berpura-pura kelelahan agar sandiwaraku terlihat sempurna.

Ya, sebenarnya hari ini aku tidak narik penumpang seperti yang mereka kira. Aku justru datang ke perusahaan untuk mengecek dan menandatangani beberapa berkas.

Agar kedua istriku tidak curiga, aku sengaja menyewa mobil rental untuk memuluskan rencanaku. Selain itu, aku juga sempat mengobrol dengan salah satu Driver Taksi online dan menanyakan tentang pendapatan mereka setiap harinya.

Cukup berbelit memang. Namun, aku tetap harus mengikuti rencana Papa entah sampai kapan.

"Kalian bagi dua, ya. Untuk Inaya delapan puluh ribu karena ada Syafa yang mulai sering minta jajan, dan untuk Dewi tujuh puluh ribu," ujarku menatap kedua istriku bergantian.

"Iya, Mas. Gak Papa Mbak Inaya lebih besar. Tujuh puluh ribu sepertinya sudah cukup untukku," ujar Dewi dengan tersenyum.

Manisnya istri keduaku ini. Dia sama sekali tidak mengeluh saat uang belanja yang kuberikan jauh berbeda dengan yang biasa ia terima sebelum rencana ini berjalan.

"Terima kasih ya, Wi."

"Kalau begitu Mas makan dulu. Tadi Mbak Inaya masak telur balado. Aku ambilkan, ya?" tawarnya.

"Gak usah, nanti Mas ambil sendiri saja. Sekarang Mas mau mandi dulu."

"Oh ya, sudah."

Aku beranjak meninggalkan kedua istriku yang masih duduk di ruang depan. Bergegas membersihkan diri karena aku sudah sangat kangen ingin bermain dengan Syafa.

Gadis kecilku itu sempat merengek minta digendong, tetapi Inaya melarang dengan alasan tubuhku harus dibersihkan lebih dulu sebab takut membawa kuman dari luar. Aku menurut saja karena apa yang istri pertamaku katakan memang benar.

*****

Tak terasa satu bulan sudah kami menjalani hidup sederhana di rumah kecil ini. Baik Inaya maupun Dewi tidak pernah ada yang protes ketika aku memberi mereka uang belanja yang tidak tentu, bahkan terkadang tidak memberi mereka sama sekali dengan alasan sulit mendapatkan orderan.

Sejauh ini keduanya sama-sama bisa menerima kondisiku yang sekarang ... sampai akhirnya malam ini Dewi mengatakan sesuatu yang membuatku sedikit terkejut.

Setelah kami mengarungi samudera kenikmatan dan terkapar kekelahan, Dewi mengatakan ingin membicarakan sesuatu hal yang penting. Aku mengajaknya duduk sambil bersandar pada headboard ranjang dengan posisi dia yang bersandar di dadaku.

"Aku ingin kerja."

Aku tertegun.

"Kerja?"

Dia mengangguk. "Ya. Aku ingin membantu keuangan kita. Bukan maksudku tidak bersyukur atas pemberian dari Mas, tapi aku hanya ingin membantu agar Mas tidak terlalu lelah sampai harus pergi pagi pulang malam," ujarnya. Aku terharu. Dewi dan segala sikapnya selalu berhasil membuatku takjub.

"Mau kerja di mana?"

"Di perusahaan tempat temanku bekerja. Katanya di sana sedang membuka lowongan di bagian staf pemasaran. Aku akan mencoba melamar di sana dan semoga saja diterima."

Aku menghela napas panjang. Sebenarnya aku tidak tega membiarkan istriku bekerja karena sebenarnya kondisiku tidak benar-benar bangkrut. Namun jika teringat akan rencana Papa, terpaksa aku mengizinkan Dewi agar ia tidak curiga.

"Baiklah, Mas mengizinkan kamu bekerja. Tapi kamu harus ingat, jangan terlalu cape apalagi sampai sakit. Mas tidak akan memaafkan diri sendiri jika terjadi sesuatu yang buruk padamu akibat Mas yang tidak becus menjadi kepala keluarga."

"Mas, jangan bicara seperti itu!" pekik Dewi terdengar tidak suka. "Aku tidak pernah menganggap Mas tidak berguna. Mas adalah suami yang bertanggung jawab. Aku justru bersyukur dipertemukan dengan pria seperti Mas," imbuhnya yang terdengar manis di telingaku.

"Terima kasih, Sayang. Mas juga bersyukur mempunyai istri sepertimu." Kukecup keningnya lama. Tangan Dewi kembali bermain di area dadaku dan aku paham apa maksudnya.

*****

"Kamu lagi buat apa?"

Inaya terperanjat ketika aku menyentuh pundaknya. Istri pertamaku itu sedang berkutat di dapur dengan berbagai macam bahan masakan di sekelilingnya.

"Hari ini aku mendapat pesanan nasi box dari Bu RT untuk acara pengajian nanti malam," terangnya tanpa menoleh, kembali melanjutkan pekerjaannya memotong sayuran.

"Pesanan? Nasi box? Maksudnya?" Aku mengerutkan dahi.

Inaya menghentikan pekerjaan. Ia berbalik menghadapku yang masih memasang wajah bingung.

"Maaf karena aku tidak jujur sama Mas. Sebenarnya beberapa hari ini aku membuat kue dan aneka masakan untuk dititipkan di warungnya Bu Fitri. Hasilnya memang tidak seberapa jika dibandingkan dengan gaji Dewi yang bekerja di perusahaan besar. Tapi Alhamdulillah, aku bisa menambah uang belanja dari hasil jualanku ini. Sedangkan uang pemberian dari Mas sebagian aku tabung untuk biaya pendidikan Syafa nanti."

Aku tidak bisa berkata-kata. Lidahku terlalu kelu untuk sekedar mengucapkan terima kasih yang ingin sekali aku sampaikan kepada istriku ini.

Inaya memang hanya lulusan SMA, tidak seperti Dewi yang seorang Sarjana. Latar belakang keluarga mereka yang berbeda tentu saja menjadi alasan. Jika Dewi berasal dari keluarga yang berkecukupan karena almarhum ayahnya adalah seorang pensiunan perwira polisi, sedangkan Inaya berasal dari keluarga sederhana dengan ayahnya yang hanya seorang pedagang dan membuka warung kecil-kecilan di rumahnya.

"Mas ... tidak marah kan? Mas tidak malu karena aku berjualan seperti ini?"

Aku tersenyum. Tangan ini terulur merapikan jilbab yang ia kenakan karena sebagian anak rambutnya keluar.

"Di saat Mas mempunyai istri yang bisa menerima kondisi Mas yang seperti ini, apalagi kalian dengan ikhlas membantu Mas agar keluarga kita tidak kekurangan, bukankah akan sangat tidak tahu diri jika Mas sampai marah?"

Inaya tersenyum. Raut lega tercetak jelas dari wajahnya setelah mendengar jawabanku.

Aku sempat terpaku. Sudah lama aku merindukan senyuman itu terbit dari bibir tipisnya. Inaya memang cantik, bahkan lebih cantik dari Dewi meski wajahnya jarang terkena polesan make up.

Aku memberanikan diri mendekat. Memangkas jarak hingga wajah kami hanya beberapa inchi saja.

"Terima kasih, Sayang. Mas bangga mempunyai istri sepertimu," bisikku seraya mengusap pipinya dengan lembut.

Rasanya, aku ingin melakukan lebih. Sangat jarang kesempatan seperti ini terjadi karena biasanya Inaya selalu menjaga jarak denganku.

Akan tetapi, suara ketukan pintu mengurungkan niatku. Aku hampir saja mengumpat karena kesal. Ada saja gangguan jika aku sedang ingin bermesraan dengan Inaya.

"Mas buka pintu dulu."

Ia mengangguk. Aku bergegas ke ruang depan untuk melihat siapa yang datang. Mungkin saja salah satu tetangga di sini yang kerap kali bertamu untuk menemui Inaya.

"Mama?"

Aku dibuat terkejut saat yang kulihat justru mamanya Dewi yang sedang berdiri di depan pintu.

"Kenapa kaget, Nak Dipta? Kamu tidak senang Mama berkunjung ke sini?"

*

*

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
udah sana bawa pulang anakmu yang KEGATELAN
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 42. Ending

    "Kamu di mana, Dip?""Di rumah.""Cepat ke Rumah Sakit Bakti Husada.""Ngapain?""Aku kecelakaan!""Hah?" Aku refleks berdiri. Inaya yang sedang menidurkan Aqlan menatap tajam padaku seolah memperingatkan agar tidak berisik di dekat putra kami."Oke, aku segera ke sana."Telepon kututup sebelum Akbar sempat berbicara lagi. Mengabaikan tatapan keheranan dari Inaya, gegas kuambil dompet dan kunci mobil. "Ada apa, Mas?" Inaya ikut bangun. Beruntung putra kami sudah terlelap. "Akbar kecelakaan. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Bakti Husada.""Apa? Kecelakaan?""Iya, Sayang. Mas harus segera ke sana. Kamu gak papa Mas tinggal? Mungkin di sana bisa saja agak lama." "Gak papa. Cepatlah ke sana. Mas Akbar pasti membutuhkan bantuan."Aku mengangguk. Sebelum pergi, aku sempatkan mengecup kening putraku yang tertidur pulas, kemudian beralih pada bundanya dengan mengecup kening, hidung dan yang terakhir di bibir. "Hati-hati di jalan," bisik Inaya.******"Bar!"Pria yang aku kira sedang terbar

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 41

    "Putra Bapak baik-baik saja. Beruntung segera di bawa ke sini dan bisa ditangani dengan cepat sebelum terlambat."Penjelasan Dokter yang menangani Aqlan beberapa hari yang lalu membuatku bernapas lega. Beruntung obat yang diberikan Laila tidak berpengaruh buruk pada tubuh putraku sebab dosisnya masih di batas normal. Namun meski begitu, Aqlan tetap harus menjalani rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku menunggui putraku bersamaan dengan menjaga bundanya karena mereka berada di rumah sakit yang sama. Kini Aqlan sudah berada di rumah, pun dengan Inaya yang juga sudah diperbolehkan pulang. Kondisi istriku makin membaik setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit pasca terbangun dari koma. Inaya sudah bisa berbicara kembali, hanya tinggal menjalani terapi agar bisa menggerakkan kembali seluruh tubuhnya yang masih kaku. Kebahagiaanku makin lengkap setelah akhirnya kami bisa berkumpul kembali. Kejadian yang lalu akan kujadikan pelajaran agar aku tidak lagi bertindak gegabah

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 40

    Laila benar-benar sudah tidak waras. Perempuan itu nekat membawa penghulu untuk menikahkan kami, dibantu oleh abangnya yang ternyata seorang preman. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan itu. Menghalalkan segala cara hanya karena ingin obsesinya tercapai. "Jangan gila, Laila! Saya sudah punya istri!" bentakku tak terima. Enak saja dia ingin memaksaku menikahinya saat ini juga. "Saya memang sudah gila, Pak. Lebih tepatnya ... tergila-gila sama Bapak." Matanya mengerling nakal. "Cepatlah, Laila. Jangan membuang-buang waktu! Kalian harus segera menikah sebelum majikanmu itu berencana untuk kabur!" Abangnya Laila angkat bicara. Pria berperawakan besar tersebut menatapku dan adiknya bergantian. "Lagipula, apa kamu sudah memastikan pria ini tidak lapor polisi? Bagaimana kalau tiba-tiba saja mereka datang dan menangkap kita?" imbuhnya."Abang tenang saja. Pak Dipta tidak akan berani melapor pada polisi karena keselamatan Aqlan yang jadi taruhannya. Dia pasti tidak ingin pu

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 39

    "Nay ... kamu bangun, Sayang."Netra ini tak bisa menahan lajunya air mata setelah melihat istriku akhirnya bangun dari koma. Meski ia masih nampak lemah dan belum bisa berbicara, setidaknya ia masih bisa tersenyum menanggapi perkataanku."Mas kangen, Nay. Anak-anak juga kangen sama bundanya. Cepat sehat lagi ya, Sayang. Biar bisa cepat pulang ke rumah dan bermain sama Syafa dan Aqlan."Alis Inaya mengernyit. Aku paham ia pasti bingung mendengar nama Aqlan."Aqlan putra kedua kita. Usianya sekarang hampir enam bulan. Dia tampan sekali, mirip sama Mas" terangku sambil sedikit berkelakar.Inaya tersenyum, kali ini lebih lebar. Tentu ia bahagia mendengar putra kami lahir dengan selamat. Aku belum bisa menceritakan kejadian tentang hilangnya Aqlan pada istriku, mengingat kondisi Inaya yang baru saja sadar dan belum sepenuhnya pulih.Saat ini Papa dan Akbar sedang berusaha mencari keberadaan putraku tersebut, sekaligus menunggu Laila menghubungi kami. Papa memintaku untuk fokus pada Inaya

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 38

    "Nak Dipta harus hati-hati. Sekarang banyak sekali orang yang nekad melakukan apa saja demi tujuannya tercapai. Nak Dipta ini tampan dan kaya. Pasti banyak wanita yang menginginkan Nak Dipta. Satu-satunya cara adalah selalu waspada. Jika sudah ada gelagat seperti itu dari pengasuhnya Aqlan, Nak Dipta tidak bisa menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar."Ayah Wirya memberiku wejangan setelah mendengar ceritaku tentang Laila. Tidak ada pilihan lain selain berkata jujur agar mertuaku tersebut tidak salah paham. Aku tidak bisa menyalahkan Syafa karena dengan polosnya menceritakan kejadian semalam. Justru aku harus berterima kasih kepada gadis kecilku tersebut, karena sekarang perasaanku sedikit lega setelah mendengar nasehat dari mertuaku. "Iya, Yah. Saya akan tetap waspada. Terlepas dari kelakuannya yang terkadang membuat saya risih, tapi cara kerja Laila dalam merawat Aqlan sangat bagus. Saya tidak bisa memecatnya begitu saja hanya karena dia memberi saya perhatian. Lagipula, saya

  • Pura-Pura Bangkrut   Bab 37

    "Mas Dipta?" "Dewi?" Mantan istriku menyapa saat tak sengaja kami bertemu di Pusat Perbelanjaan. Aku memutuskan untuk mengajak Laila berbelanja karena Syafa merengek ingin membeli mainan dan adeknya harus dibawa serta. "Habis belanja?" Aku berbasa-basi. "Iya. Biasa, belanja bulanan. Mas Dipta belanja juga?" "Ya, ini Syafa mau beli mainan, sekalian beli susu sama diapers buat Aqlan," jawabku. Aku melirik Ivan yang sedang menggendong Kaivan. "Libur, Van?""Enggak juga. Biasa ... Nyonya mau ditemani belanja. Terpaksa kerjaan ditinggal dulu." Ivan terkekeh saat Dewi mencubit lengannya. "Aku kan gak maksa.""Gak maksa tapi ngancam." "Mas!"Aku tersenyum melihat interaksi mereka yang nampak manis di mataku. Ah, aku jadi kangen Inaya. Biasanya istriku itu akan melakukan hal yang sama dengan Dewi jika sudah merasa tersudut dan tidak ingin disalahkan. "Maaf ya, Mas. Kami belum sempat menjenguk Mbak Inaya lagi. Bagaimana kondisinya sekarang?" Aku menggeleng lemah. "Masih sama. Belum a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status