Share

Bab 5

"Mas Dipta mau berangkat kerja?" tanya salah seorang wanita yang sedang duduk berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Aku perkirakan usia wanita tersebut sedikit di atas Inaya. Riasan wajahnya cukup tebal, pun dengan pakaiannya yang sedikit terbuka.

"Iya, Mbak." Aku menjawab dengan sedikit membungkukkan badan.

"Mas Dipta kerja di mana?" tanyanya lagi.

Aku yang sebenarnya sedikit tidak nyaman oleh tatapan mereka, terpaksa berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaannya.

"Saya jadi driver taksi online."

"Wah, kirain Mas Dipta kerja kantoran. Soalnya wajah ganteng seperti Mas lebih cocok kerja di sana."

"Hush! Jangan coba-coba menggoda Mas Dipta lho, Mel. Nanti Mbak Inaya sama Mbak Dewi marah!" tegur seorang Ibu bertubuh tambun.

"Aku bicara kenyataan kok, Bu Cici. Mas Dipta ini kan ganteng. Kalau nanti buka lowongan buat istri ketiga, aku siap daftar paling depan," ujar Wanita muda itu dengan tersipu.

Aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan ibu-ibu rempong yang senang bergosip seperti mereka, apalagi wanita yang dipanggil 'Mel' tadi menatapku dengan sorot memuja yang sangat kentara.

"Maaf, Ibu-- ibu. Saya pamit dulu."

Aku melangkah cepat meninggalkan mereka yang saling berbisik. Bahkan, suara salah seorang dari mereka masih tertangkap indera pendengaranku.

"Ganteng sih, pantesan Mbak Dewi mau dijadikan istri kedua padahal Mas Dipta itu bukan orang kaya."

"Percuma ganteng kalau tidak setia. Aku malah kasihan sama Mbak Inaya yang harus tinggal satu atap sama madunya. Laki kere kok sok-sokan poligami. Pantas saja kemarin Mbak Inaya tanya-tanya soal kerjaan sama saya. Pasti mau membantu perekonomian keluarga mereka. Penghasilan sopir taksi online itu paling berapa, sih. Belum lagi harus dibagi dua. Ya pasti gak bakalan cukup," timpal ibu yang lain.

"Suka heran sama laki-laki. Istri sudah cantik, baik lagi. Eh, malah masih nyari yang lain. Gak bersyukur banget!"

Ah, telingaku panas mendengarnya. Inilah yang aku tidak suka saat tinggal di kompleks perumahan yang padat penduduk. Gosip dan berita apa pun akan cepat tersebar, apalagi jika menyangkut aib seseorang.

Sepertinya aku harus memperingatkan Inaya agar tidak sering bergaul dengan mereka. Aku takut akan membawa pengaruh buruk terhadap istri pertamaku itu.

*****

"Cuma seratus lima puluh ribu, Mas?" tanya Inaya saat aku meletakkan uang hasil kerjaku hari ini di atas meja.

"Iya. Hari ini kan hari pertama Mas narik. Sebenarnya tadi Mas dapet tiga ratus ribu. Tapi kan dipotong biaya operasional jadi sisa bersihnya segini," paparku sembari menyandarkan tubuh pada punggung sofa, berpura-pura kelelahan agar sandiwaraku terlihat sempurna.

Ya, sebenarnya hari ini aku tidak narik penumpang seperti yang mereka kira. Aku justru datang ke perusahaan untuk mengecek dan menandatangani beberapa berkas.

Agar kedua istriku tidak curiga, aku sengaja menyewa mobil rental untuk memuluskan rencanaku. Selain itu, aku juga sempat mengobrol dengan salah satu Driver Taksi online dan menanyakan tentang pendapatan mereka setiap harinya.

Cukup berbelit memang. Namun, aku tetap harus mengikuti rencana Papa entah sampai kapan.

"Kalian bagi dua, ya. Untuk Inaya delapan puluh ribu karena ada Syafa yang mulai sering minta jajan, dan untuk Dewi tujuh puluh ribu," ujarku menatap kedua istriku bergantian.

"Iya, Mas. Gak Papa Mbak Inaya lebih besar. Tujuh puluh ribu sepertinya sudah cukup untukku," ujar Dewi dengan tersenyum.

Manisnya istri keduaku ini. Dia sama sekali tidak mengeluh saat uang belanja yang kuberikan jauh berbeda dengan yang biasa ia terima sebelum rencana ini berjalan.

"Terima kasih ya, Wi."

"Kalau begitu Mas makan dulu. Tadi Mbak Inaya masak telur balado. Aku ambilkan, ya?" tawarnya.

"Gak usah, nanti Mas ambil sendiri saja. Sekarang Mas mau mandi dulu."

"Oh ya, sudah."

Aku beranjak meninggalkan kedua istriku yang masih duduk di ruang depan. Bergegas membersihkan diri karena aku sudah sangat kangen ingin bermain dengan Syafa.

Gadis kecilku itu sempat merengek minta digendong, tetapi Inaya melarang dengan alasan tubuhku harus dibersihkan lebih dulu sebab takut membawa kuman dari luar. Aku menurut saja karena apa yang istri pertamaku katakan memang benar.

*****

Tak terasa satu bulan sudah kami menjalani hidup sederhana di rumah kecil ini. Baik Inaya maupun Dewi tidak pernah ada yang protes ketika aku memberi mereka uang belanja yang tidak tentu, bahkan terkadang tidak memberi mereka sama sekali dengan alasan sulit mendapatkan orderan.

Sejauh ini keduanya sama-sama bisa menerima kondisiku yang sekarang ... sampai akhirnya malam ini Dewi mengatakan sesuatu yang membuatku sedikit terkejut.

Setelah kami mengarungi samudera kenikmatan dan terkapar kekelahan, Dewi mengatakan ingin membicarakan sesuatu hal yang penting. Aku mengajaknya duduk sambil bersandar pada headboard ranjang dengan posisi dia yang bersandar di dadaku.

"Aku ingin kerja."

Aku tertegun.

"Kerja?"

Dia mengangguk. "Ya. Aku ingin membantu keuangan kita. Bukan maksudku tidak bersyukur atas pemberian dari Mas, tapi aku hanya ingin membantu agar Mas tidak terlalu lelah sampai harus pergi pagi pulang malam," ujarnya. Aku terharu. Dewi dan segala sikapnya selalu berhasil membuatku takjub.

"Mau kerja di mana?"

"Di perusahaan tempat temanku bekerja. Katanya di sana sedang membuka lowongan di bagian staf pemasaran. Aku akan mencoba melamar di sana dan semoga saja diterima."

Aku menghela napas panjang. Sebenarnya aku tidak tega membiarkan istriku bekerja karena sebenarnya kondisiku tidak benar-benar bangkrut. Namun jika teringat akan rencana Papa, terpaksa aku mengizinkan Dewi agar ia tidak curiga.

"Baiklah, Mas mengizinkan kamu bekerja. Tapi kamu harus ingat, jangan terlalu cape apalagi sampai sakit. Mas tidak akan memaafkan diri sendiri jika terjadi sesuatu yang buruk padamu akibat Mas yang tidak becus menjadi kepala keluarga."

"Mas, jangan bicara seperti itu!" pekik Dewi terdengar tidak suka. "Aku tidak pernah menganggap Mas tidak berguna. Mas adalah suami yang bertanggung jawab. Aku justru bersyukur dipertemukan dengan pria seperti Mas," imbuhnya yang terdengar manis di telingaku.

"Terima kasih, Sayang. Mas juga bersyukur mempunyai istri sepertimu." Kukecup keningnya lama. Tangan Dewi kembali bermain di area dadaku dan aku paham apa maksudnya.

*****

"Kamu lagi buat apa?"

Inaya terperanjat ketika aku menyentuh pundaknya. Istri pertamaku itu sedang berkutat di dapur dengan berbagai macam bahan masakan di sekelilingnya.

"Hari ini aku mendapat pesanan nasi box dari Bu RT untuk acara pengajian nanti malam," terangnya tanpa menoleh, kembali melanjutkan pekerjaannya memotong sayuran.

"Pesanan? Nasi box? Maksudnya?" Aku mengerutkan dahi.

Inaya menghentikan pekerjaan. Ia berbalik menghadapku yang masih memasang wajah bingung.

"Maaf karena aku tidak jujur sama Mas. Sebenarnya beberapa hari ini aku membuat kue dan aneka masakan untuk dititipkan di warungnya Bu Fitri. Hasilnya memang tidak seberapa jika dibandingkan dengan gaji Dewi yang bekerja di perusahaan besar. Tapi Alhamdulillah, aku bisa menambah uang belanja dari hasil jualanku ini. Sedangkan uang pemberian dari Mas sebagian aku tabung untuk biaya pendidikan Syafa nanti."

Aku tidak bisa berkata-kata. Lidahku terlalu kelu untuk sekedar mengucapkan terima kasih yang ingin sekali aku sampaikan kepada istriku ini.

Inaya memang hanya lulusan SMA, tidak seperti Dewi yang seorang Sarjana. Latar belakang keluarga mereka yang berbeda tentu saja menjadi alasan. Jika Dewi berasal dari keluarga yang berkecukupan karena almarhum ayahnya adalah seorang pensiunan perwira polisi, sedangkan Inaya berasal dari keluarga sederhana dengan ayahnya yang hanya seorang pedagang dan membuka warung kecil-kecilan di rumahnya.

"Mas ... tidak marah kan? Mas tidak malu karena aku berjualan seperti ini?"

Aku tersenyum. Tangan ini terulur merapikan jilbab yang ia kenakan karena sebagian anak rambutnya keluar.

"Di saat Mas mempunyai istri yang bisa menerima kondisi Mas yang seperti ini, apalagi kalian dengan ikhlas membantu Mas agar keluarga kita tidak kekurangan, bukankah akan sangat tidak tahu diri jika Mas sampai marah?"

Inaya tersenyum. Raut lega tercetak jelas dari wajahnya setelah mendengar jawabanku.

Aku sempat terpaku. Sudah lama aku merindukan senyuman itu terbit dari bibir tipisnya. Inaya memang cantik, bahkan lebih cantik dari Dewi meski wajahnya jarang terkena polesan make up.

Aku memberanikan diri mendekat. Memangkas jarak hingga wajah kami hanya beberapa inchi saja.

"Terima kasih, Sayang. Mas bangga mempunyai istri sepertimu," bisikku seraya mengusap pipinya dengan lembut.

Rasanya, aku ingin melakukan lebih. Sangat jarang kesempatan seperti ini terjadi karena biasanya Inaya selalu menjaga jarak denganku.

Akan tetapi, suara ketukan pintu mengurungkan niatku. Aku hampir saja mengumpat karena kesal. Ada saja gangguan jika aku sedang ingin bermesraan dengan Inaya.

"Mas buka pintu dulu."

Ia mengangguk. Aku bergegas ke ruang depan untuk melihat siapa yang datang. Mungkin saja salah satu tetangga di sini yang kerap kali bertamu untuk menemui Inaya.

"Mama?"

Aku dibuat terkejut saat yang kulihat justru mamanya Dewi yang sedang berdiri di depan pintu.

"Kenapa kaget, Nak Dipta? Kamu tidak senang Mama berkunjung ke sini?"

*

*

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status