"Sudah berapa kali ibu katakan, Wulandari itu bukan istri yang baik, dia itu wanita ceroboh! Kamu lihat sendiri' kan, menjaga janin di dalam perutnya saja dia tidak becus! Kalau seperti ini terus, kapan ibu bisa punya cucu?! Lebih baik kau segera ceraikan dia dan menikahlah dengan Eva! Ibu tidak ingin memiliki menantu pembawa sial seperti dia" Suara Bu Ratna membuat Wulandari menghentikan langkahnya.
Wanita itu terkejut bukan main, Ia tidak menyangka akan mendengar pernyataan menyakitkan itu dari mulut ibu mertua yang selama ini ia hormati dan ia sayangi seperti ibu kandungnya sendiri. Jika bukan karena ponsel suaminya yang terus berdering, Wulan tidak mungkin memaksakan dirinya turun dari ranjang untuk memberikan ponsel itu pada sang suami. Nama atasan sang suami yang terpampang di layar membuat Wulan terpaksa harus berjalan tertatih untuk menghampiri suaminya. Namun, baru sampai di ambang pintu, Wulan sudah mendengar ucapan menyakitkan dari ibu mertuanya. Ia pun memundurkan langkahnya dan berdiri di balik pintu.
"Sudahlah, Bu. Jangan terus menyalahkan Wulan, berhenti menyebut dia wanita pembawa sial! Bagaimanapun juga, Wulan adalah istriku, dia itu menantu Ibu! Seharusnya ibu memberikan dukungan untuknya, bukan memojokan dia seperti ini! Asal ibu tau, sampai kapanpun juga, Fatih tidak akan pernah menceraikan Wulan," ucap Fatih yakin. Pria itu sangat mencintai istrinya, ia tidak akan membiarkan siapapun melukai Wulandari.
"Kamu itu benar-benar keterlaluan, Fatih! Ibu menyekolahkanmu sampai S2, agar kamu itu bisa sukses dan memiliki pendamping hidup yang sederajat dengan kita, tapi apa nyatanya? … Kamu lebih memilih wanita tidak berpendidikan itu untuk menjadi istrimu! Wanita teledor yang tidak becus menjaga calon anaknya sendiri. Kamu tau' kan, Fatih, ibu itu sudah tua, sudah saatnya menimang cucu, jika Wulan terus keguguran' kapan ibu bisa punya cucu?" celoteh Bu Ratna membuat Wulan semakin terluka. Dadanya terasa sesak, pipinya memanas, butiran bening lolos begitu saja membasahi wajahnya yang pucat. Rasa sakit akibat kuretase yang ia jalani belum juga reda, kini ia harus menerima kenyataan pahit yang begitu menyakitkan dari ibu mertuanya itu.
Ponsel Fatih kembali berbunyi, dengan cepat Wulan mengalihkan mode dering menjadi hening. Ia tidak ingin suami dan mertuanya tahu jika Wulan menguping pembicaraan mereka berdua.
"Saat ini Wulan lah orang yang paling terluka, Bu! Dia pasti sangat terpukul karena harus kehilangan janin untuk kedua kalinya, jadi Fatih mohon, berhentilah menyalahkan Wulan,"
"Ibu tidak menyalahkan dia, ibu hanya bicara yang sesungguhnya. Kalau Wulan bisa lebih hati-hati menjaga janinnya, ia tidak mungkin keguguran. Dia itu tidak pernah melakukan pekerjaan rumah, nyuci baju pun pakai mesin cuci, beres-beres rumah juga dibantu asisten rumah tangga. Tiap hari kerjanya Wulan hanya ongkang-ongkang kaki, cuma makan dan tidur doang! Masa gitu aja bisa keguguran? Kan aneh? Ibu jadi curiga, jangan-jangan…,"
"Sudahlah, Bu! Tidak usah berpikir yang aneh-aneh. Lebih baik kita masuk saja, kasian Wulan sendirian di kamar," ujar Fatih memotong ucapan ibunya.
Melihat suami dan mertuanya berjalan menuju kamar, Wulan pun segera mendorong tiang infus dan kembali berbaring di kasur setelah menaruh ponsel milik Fatih di atas nakas.
Wulan menyeka kedua sudut netranya sebelum berpura-pura tertidur. Ia tidak ingin suaminya tahu jika dirinya mendengar semua percakapan mereka. Rasa sesak di dalam dadanya membuat Wulan kesulitan untuk mengatur perasaannya. Bagaimana tidak, ditengah kesedihannya karena kehilangan janin, Wulan justru mendengar tuduhan yang menyakitkan dari ibu mertuanya. Hal yang tidak diinginkan oleh siapapun.
Fatih masuk kedalam kamar inap, disusul oleh ibunya yang mengekor di belakang.
"Wulan, kamu belum bangun sayang?" ucap Fatih mencium pucuk kepala istrinya.
Matanya melihat bubur yang masih utuh di atas meja, ia pun lantas membangunkan Wulan.
"Ayo bangun, sarapan dulu! Nanti buburnya keburu dingin," ucap Fatih mengelus kepala Wulan. Namun, Wulan bergeming, matanya masih tetap terpejam. Ia tak mampu untuk membuka matanya saat ini, ia takut butiran bening itu kembali lolos dan membasahi pipinya.
'Jika sampai Mas Fatih melihatku menangis, ia pasti akan khawatir dan bertanya-tanya. Dan aku tidak tau harus menjawab apa? Baiklah, untuk sementara biarlah aku pura-pura tidur sampai hatiku mampu untuk ku kendalikan,' batin Wulan.
"Kamu lihat sendiri' kan, Fatih. Setelah kehilangan janin saja dia masih bisa tidur nyenyak. Jika ibu ada di posisi dia, jangankan untuk tidur nyenyak, untuk menghirup udara saja ibu pasti merasa bersalah! Dasar wanita tidak tau diri!" Cetus Bu Ratna penuh kekesalan.
"Cukup, Bu! Jangan terus menerus berprasangka buruk terhadap Wulan. Bisa saja Wulan tertidur karena efek obat yang diberikan dokter. Lagi pula, dari semalam Wulan tidak bisa tidur, dia merintih menahan sakit semalaman," sahut Fatih mulai jengah dengan setiap ucapan ibunya.
"Ada apa ini? Ko ribut-ribut? Suara kalian sampai terdengar hingga keluar," ucap Sarah, Kakak perempuan Fatih datang menghampiri mereka di ruang inap. Kehadiran wanita berusia tiga puluh tahun itu membuat Fatih dan Ibunya terdiam sesaat.
"Ini lho' Sar, si Fatih tidak terima ibu bilang istrinya itu ceroboh! Padahal sudah jelas-jelas istrinya itu tidak bisa menjaga kandungannya dengan baik, tapi masih saja dibela! Heran ibu sama adikmu ini, otaknya sudah dipengaruhi oleh si Wulan, jadi apapun yang ibu katakan, dia mentahkan begitu saja," ujar Bu Ratna panjang lebar penuh emosi.
"Bukan begitu, Bu. Ibu salah paham, Fatih hanya tidak ingin ibu terus menyalahkan Wulan. Fatih hanya ingin ibu mengerti posisi Wulan saat ini. Wulan juga sangat mengharapkan anak itu, Bu. Dua tahun kami menikah, kami juga ingin memiliki anak seperti pasangan lainnya,"
"Alah, omong kosong! Jika memang Wulan mengharapkan anak itu, seharusnya dia menjaga kandungannya dengan baik, bukan membiarkan janinnya mati begitu saja! … Apa jangan-jangan dia memang sengaja menggugurkan kandungannya itu?" ucap Bu Ratna membuat Fatih dan Sarah mengerutkan dahi. Wanita paruh baya itu seolah mengetahui sebuah rahasia besar yang tidak diketahui oleh Fatih.
"Maksud ibu apa? Kenapa ibu bicara seperti itu?" tanya Fatih, pria itu nampak bingung dengan maksud perkataan ibunya.
Fatih berjalan menghampiri ibunya dengan tatapan tajam penuh tanya. "Tolong jelaskan pada Fatih, Bu. Apa maksud ibu berbicara seperti itu?" ucap Fatih meminta penjelasan, pria itu berdiri tepat di hadapan sang ibu."Kenapa Ibu diam saja? Ayo jawab, Bu. Kenapa ibu menuduh Wulan sengaja membunuh anaknya sendiri?" Melihat Bu Ratna mengacuhkan pertanyaannya, Fatih pun mulai geram, kali ini ia bertanya dengan nada satu tingkat lebih tinggi dari sebelumnya dan itu sontak membuat Bu Ratna murka."Jangan kurang ajar kamu Fatih! Berteriak pada ibumu sendiri, apa tidak bisa kamu bicara dengan nada yang halus dan sopan?""Fatih hanya ingin penjelasan, Bu. Kenapa ibu diam saja?""Kamu itu terlalu bodoh jadi suami! Coba kamu pikir, Wulan tidak pernah melakukan pekerjaan berat, semua kebutuhannya pun terpenuhi, tapi kenapa dia bisa dua kali keguguran? Kamu tau kan Fatih, wanita hamil bisa keguguran jika dia terlalu capek beraktivitas, jika dia kelelah
Dengan wajah panik, Sarah pun segera menghampiri adik iparnya itu. Ia tidak ingin Wulan curiga dan mengetahui semua percakapan mereka. Bagaimanapun juga kondisi Wulan saat ini sedang tidak baik, Sarah khawatir jika adik iparnya itu akan semakin terpuruk jika ia mendengar tuduhan keji yang dilontarkan ibunya."Maaf, ya' Wulan, gara-gara kita ngobrolnya terlalu asik, kamu sampai terbangun. Oh iya, bagaimana kondisi kamu? Sudah baikkan?" tanya Sarah mengalihkan pembicaraan. Ia mengelus pundak Wulan dengan lembut."Alhamdulilah, Mbak. Aku udah baikkan, tinggal lemesnya saja. Oh iya, tadi kalian lagi ngebahas apa? Ko kelihatannya serius banget, ada masalah?" tanya Wulan penuh selidik. Meskipun Ia yakin mereka tidak akan menjawabnya, tapi apa salahnya jika Wulan pura-pura bertanya. Wulan hanya ingin tahu sejauh mana ibu mertuanya menyembun
"Astagfirullah ibu, tega sekali ibu berkata seperti itu?" ucap Wulan lirih. Wajahnya memerah dengan mata berembun. Kali ini hatinya benar-benar terluka dengan perkataan ibu mertuanya itu. "Wulan juga ingin seperti wanita lainnya, Bu. Wulan ingin melahirkan dan punya anak. Wulan juga ingin sekali memberikan ibu cucu. Keguguran itu bukan atas kehendak Wulan. Jika Wulan boleh memilih, Wulan juga tidak ingin kehilangan janin Wulan,""Alah, omong kosong! Jika kamu memang tidak ingin kehilangan janinmu, harusnya kau jaga kandunganmu dengan baik, kau itu memang tidak becus menjadi calon ibu!" "Sudah, Bu, cukup!" ucap Sarah menghentikan ucapan ibunya yang sudah kelewat batas."Kamu tidak usah ikut campur, Sarah! Ini urusan ibu dengan Wulan,""Jika yang ibu permasalahkan adalah anak, itu berarti urusan Sarah juga, Bu. Ibu terus menerus menuntut Wulan untuk punya anak, tapi ibu lupa jika anak perempuan ibu juga belum bisa ngasih ibu cucu! Umur Sarah sudah hampir 35
"Halo, Bude? Bude masih disitu' kan?" tanya Wulan memastikan setelah beberapa saat tidak ada suara dari Bude Ruti. "I-iya' Wulan, halo. Bude masih disini," jawab Bude Ruti seolah terbangun dari lamunannya."Wulan kira Bude pergi, soalnya tidak ada suara," "Oh, nggak Wulan. Bude cuma …," ucapnya terjeda."Cuma apa bude?""Bude cuma bingung aja,""Bingung? Bingung kenapa?""Emm, anu Wulan. Tadi' kan kamu bilang kamu sakit perut setelah makan malam itu, bude cuma heran aja Wulan. Kamu yakin tidak melakukan aktivitas lagi setelah itu? Kamu tidak beres-beres atau mengangkat yang berat-berat' kan? Atau … kamu ada minum dan makan sesuatu?" tanya Bude Ruti memastikan."Yakin, Bude. Orang setelah makan malam itu Wulan dan Mas Fatih langsung istirahat. Wulan tidak beres-beres, malah langsung tidur setelah sholat isya," jawab Wulan yakin."Aneh," sahut Bude Ruti membu
"I-ibu? Se-sejak kapan ibu berdiri disitu?" tanya Wulan dengan bibir bergetar menatap Bu Ratna yang berdiri berkacak pinggang dengan mata melotot penuh curiga."Seharusnya saya yang bertanya sama kamu, ngapain kamu mengobrak-abrik tong sampah itu?! Apa yang kamu maksud dengan petunjuk, Wulan? Petunjuk apa yang sedang kamu cari?" tanya Bu Ratna membuat Wulan semakin kikuk dan serba salah harus menjawab apa."Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tuli Wulan? Kamu tidak mendengar apa yang saya tanyanyakan, hah?" Melihat Wulan terdiam dengan wajah panik, Bu Ratna pun kembali bertanya dengan nada tinggi."A-anu, Bu, ma-maksud Wulan, petunjuk gelang Wulan yang hilang, Bu" sahut Wulan terbata-bata."Gelang?" ucap Bu Ratna memicingkan matanya."I-iya, Bu. Gelang Wulan hilang, sepertinya jatuh di tong sampah ini saat Wulan buang sisa makanan," jawab Wulan berbohong. 'Semoga saja ibu percaya dengan jawabanku,' batin Wulan cemas."Gelang apa? Memangnya
Melihat sikap Sarah yang gugup dan tidak langsung menjawab pertanyaannya, Wulan pun semakin penasaran. "Mbak Sarah? Kenapa diam? Apa maksud Mbak Sarah itu Mas Fatih?" Lagi Wulan menegaskan pertanyaannya."Y-ya bukan lah, Wulan. Ka-kamu ini ada ada saja, masa iya Fatih kepergok tidur bareng Eva. Aneh-aneh aja," sahut Sarah terbata-bata. Sarah terlihat semakin gugup dan salah tingkah, Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari sang adik ipar."Terus siapa?" tanya Wulan mengerutkan dahinya."Fa-fatur! Iya Fatur, itu lho temennya Fatih waktu kuliah dulu. Kamu pasti nggak kenal' kan?" Mendengar jawaban Sarah, Wulan pun menggeleng seketika."Emang Mas Fatih punya teman yang namanya Fatur?"
"Ibu berbicara dengan siapa? Kenapa dia menyebut nama Mas Fatih?" gumam Wulan dalam hati penuh tanya. Ia segera bersembunyi di belakang pilar saat ibu mertuanya bangkit dan beranjak meninggalkan ruang tamu. Beruntung Bu Ratna tidak melihat Wulan, jika sampai Wulan ketahuan menguping Bu Ratna pasti akan murka.Gegas Wulan membawa alat pelnya ke ruang tamu, dengan hati-hati ia memunguti satu persatu pecahan beling yang berserakan di lantai."Apa jangan-jangan ibu berbicara dengan gadis yang bernama Eva itu? Tapi–untuk apa ia menyuruh gadis itu menemui Mas Fatih? Apa jangan-jangan Ibu sengaja merencanakan semua ini?" Lagi Wulan menerka. Ia benar-benar tidak tenang setelah mendengar percakapan itu."Aku harus segera menelpon Mas Fatih, aku harus mencari tau semuanya. Ini pasti ada yang tidak beres," batin Wulan. Selesai mengerjakan tugasnya ia pun kembali ke kamar, mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur dan segera menghubungi Fatih.Tiga kali Wulan mencoba menghubungi Fatih. Namu
"Pokoknya saya tidak mau pesan makanan online! Lebih baik sekarang kamu cepat ke dapur, siapkan makan malam untuk saya! Malam ini saya ingin makan ayam bakar dan plecing kangkung," ucapnya dengan nada tinggi.Wulan menarik nafas panjang, berusaha menetralkan perasaannya. Ia tidak boleh terlalu memikirkan ucapan menyakitkan dari mulut ibu mertuanya. Wulan akan buktikan jika ia tidak seperti apa yang diucapkan Bu Ratna. Menyiapkan makan malam itu hal yang mudah. Wulan sudah terbiasa melakukan itu untuk sang suami. Gegas Wulan berjalan menuju lemari es berukuran besar itu, ia masih memiliki banyak bahan makanan yang bisa di olahnya. Namun, Wulan begitu terkejut saat pintu lemari es dibuka, tidak ada satupun bahan makanan di dalamnya. Wulan bingung dan heran, kemana semua sayur, buah dan daging yang ia beli? Kenapa semua tidak ada di dalam kulkas? Padahal satu hari sebelum Wulan keguguran, ia sudah berbelanja kebutuhan dapur untuk dua minggu kedepan. Aneh!"Kenapa masih bengong, Wulan?