Share

Akan kubuat hancur kamu, Mas

Bayangan moment indah yang kami lewati bersama tiba-tiba datang. Betapa aku percaya pada Mas Andra, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya dan aku selalu mendukung apapun permintaanya, yang selalu ia katakan 'untuk kita'

Ternyata semua itu cuma tameng untuk menutupi kebusukannya. Tak dapat kubendung lagi, air mata ini luruh seketika, mengalir seperti hilangnya kepercayaanku terhadap Mas Andra.

"Kamu tega, Mas." Tangisku pecah, membayangkan Mas Andra dan perempuan itu. Sakit, sekujur tubuh ini, apalagi seonggok daging yang menggumpal di dalam dada.

Belum kering air mata ini, Bi Ayu datang bersama Nirwan. Assisten Mas Andra yang kupercayakan semuanya kepada laki-laki berkumis tipis di hadapanku kali ini.

"Buk, ada Pak Nirwan," ucap Bi Ayu memberitahu.

"Iya, Bik," sahutku dengan suara parau. "Bibik boleh keluar," pintaku, hancur sehancur-hancurnya.

Nirwan menayapku penuh tanda tanya. Namun, yang aku lihat dari matanya, ada sirat ketakutan dari lelaki itu.

"Apa kabar Mas Nirwan?" tanyaku basa basi, membuka percakapan. "Terkejut, liat aku masih hidup dan masih ada di sini." Entah mengapa, rasanya aku tak kuasa menahan kekesalan ini. Aku menebak, Mas Nirwan tahu semuanya tentang kebusukan Mas Andra.

"Kok kamu ngomongnya gitu sih, Wa. Aku malah seneng denger kabar kamu," jawab lelaki itu, salah tingkah. Seperti bisa menebak apa yang akan aku katakan padanya.

"Mas Andra ke mana, Mas?" Aku mulai memancingnya, untuk mengetes kejujurannya.

"Andra," jawabnya tiba-tiba gaguk. "Andra lagi ke Singapure, Wa. Lagi nenangkan diri."

Aku mengulas senyum miring, menanggapinya. "Nenangin diri?" tawaku sebelah. "Mas, gak usah lagi ada yang kamu tutupi dariku, Mas."

Aku menunjukan beberapa email yang dikirim oleh Jonhi ke Mas Nirwan. "Ini yang Mas Bilang nenangin diri?" tandasku meninggikan nada bicara. "Berduaan sama wanita lain, itu yang Mas Nirwan bilang nenangin diri." Pelupuk ini mulai mengembun lagi, tak kuasa menahan rasa sakit akibat pengkhianatan.

"Maafin aku, Wa," sesalnya menundukan wajah. "Sebenarnya aku sudah lama tahu kelakuan suami kamu."

"Kenapa Mas Nirwan gak pernah bilang ke aku?" tuntutku mulai kesal.

"Apa kamu lupa, Wa." Kali ini dia memandangku penuh keyakinan. Seulas senyum getir pun terlihat jelas di sana. "Kamu terlalu bucin sama Andra. Sampai-sampai, kamu gak pernah mau denger pendapat orang lain." Aku tertunduk pilu, mengakui ucapan Mas Nirwan.

"Apa kamu lupa, saat aku bilang untuk hati-hati sama orang terdekatmu. Bisa jadi, dia hanya memanfaatkan kamu." Ia menjeda kalimatnya, memberikan aku kesempatan untuk mengingat kejadian itu. "Tapi apa yang kamu katakan ke aku, kamu makah nuduh kalau aku iri sama posisi Andra. Yang dulunya cuma karyawan ayahmu, dan sekarang jadi suamimu. Apa kamu lupa?" tegasnya, aku merutuki kebodohanku.

"Sejak itulah, Wa. Aku udah gak mau lagi ikut campur masalah rumah tangga kamu," sambungnya mempertegas, kalau dirinya pernah mengingatkan aku.

"Aku memang bodoh, Mas, hiks," tangisku, sesak. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini.

"Udahlah, Wa." Mas Nirwan menenangkan aku. "Percuma juga kamu tangisi. Semua sudah terjadi."

"Sekarang apa rencana kamu?"

Aku tak mau larut dalam kesedihan, keterpurukan yang membuat aku jatuh semakin dalam lagi. Aku harus kuat dan pintar menghadapi laki-laki licik seperti Mas Andra.

"Aku setuju sama idemu," ujar Mas Nirwan usai mendengar rencanaku. "Nanti biar aku yang bicarakan ini sama Pak Jonhi."

"Makasih ya, Mas. Aku udah gak sabar, pengen cepetan bertemu Mas Andra."

"Awas, Wa. Yang kamu hadapi ini adalah suami kamu sendiri. Sedikit banyak, perasaan cinta itu masih ada dalam hatimu. Jangan sampai kamu lalai, dan dimanfaatkan lagi sama Andra," ucapnya memperingati.

"Iya, Mas. Aku tahu itu, aku akan hati-hati."

***********

Aku tidak bisa hanya menunggu kedatangan mereka. Aku harus berbuat sesuatu yang mempercepat kepulangan Mas Andra.

"Lakukan yang saya perintahkan, Pak!" seruku pada Pak Jhon, yang sudah tahu rencana ini.

"Kita tunggu aja, Mas. Siapa yang akan jadi pemenangnya. Kamu boleh membohongiku dengan rencana-rencanamu. Tapi aku sudah pegang kartumu!"

Aku gak bisa bayangin, akan seperti apa nasib Mas Andra, setelah kartu kreditnya aku blokir dari sini. Itu baru awalnya aja, Mas. Setelah ini kamu akan dapat yang lebih.

Aku tak sabar menunggu esok tiba, sampai malam terasa panjang kurasa. Mata ini bahkan enggan terpejam, membawaku keluar kamar, berniat mencari udara segar di teras belakang.

"Gimana ini, Yu?"

Sayup kudengar ada orang yang lagi berbincang di dekat kolam. Kaki ini membawaku ke sana, untuk mengecek siapa orangnya.

"Aku juga gak tahu, To. Kalau sampai ibu tahu Bapak udah pernah bawa wanita itu ke sini___

Ucapan Bi Ayu harus tercekat, melihat kehadiranku. Kedua pekerjaku itu terlihat gaguk, saling melempar pandang mencari pembelaan.

"Jadi, kalian juga sudah tahu?" tanyaku, semakin menciutkan nyali mereka. Tak berani bertatap muka denganku. "Sejak kapan, Bik?"

"Em, anu Buk___

Ada sirat ketakutan di wajah wanita itu, sampai ragu untuk mengatakan kebenaran.

"Gak usah takut, Bik. Percaya sama saya, kalian akan baik-baik saja," jawabku, berharap mereka mau membuka kebusukan Mas Andra lagi.

"Sebenarnya, Buk." Bi Ayu menceritakan semuanya, selama aku gak ada di rumah Mas Andra membawa wanita itu ke rumah. Mengenalkan kepada mereka sebagai istri barunya Mas Andra.

Rasanya tulang-tulang di sekujur tubuh ini runtuh, mendengarnya. Setega itu Mas Andra mengkhianati aku. Setelah apa yang ia terima selama ini. Apa dia lupa, dari mana asalnya dulu? Cuma pegawai rendahan yang beruntung mendapatkan aku. Menarik perhatianku dengan pesonanya, dan sekarang apa yang ia balas. Dia seperti benalu, yang merusak semuanya. Aku berjanji, gak akan membiarkan dia menang.

"Maafkan saya, Buk. Tidak jujur sama Ibu," sesal Bi Ayu terlihat jelas dari matanya.

"Saya juga, Buk." Juga dengan Mang Sapto.

"Sudahlah Mang, Bik, semuanya sudah terjadi. Saya tahu, ini kalian lakukan karena takut kan sama Mas Andra? Sekarang kalian harus bantu saya."

Aku membisikkan rencanaku pada mereka. Dan memberitahu peranan apa yang nantinya akan dimainkan.

Lega hati ini, setelah tahu semuanya kelakuan Mas Andra. Aku harus lebih pintar dari Mas Andra.

*****************

Dua hari berlalu, sesuai dengan angan, Mas Andra pulang ke rumah. Kudengar dari lantai atas kedatangannya.

"Bikin malu aja kamu, Mas!" Suara seorang wanita tampak menyalahkan dia. Aku yakin, wanita itu adalah istri barunya.

"Kamu pikir aku gak malu!!"

"Kacau semuanya liburan kita!! Kok bisa sih Mas Kartu kredit kamu diblokir orang?"

"Entahlah, aku juga gak tahu. Siapa yang melakukannya."

Tak berapa lama, Bi Ayu datang. Menyapa mereka. "Maaf Pak, mau dibuatkan minum apa?" tanyanya, pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada mereka.

"Gak usah, Bik," jawab Mas Andra lemas. "Oh iya, Bik. Selama saya pergi, ada kabar tentang ibu?"

"Gak ada, Pak," jawab Bi Ayu lukas, nyaris tidak ada keraguan barang sedikitpun.

Dan inilah, waktu yang tepat untuk aku menunjukan diri. Aku ingin tahu, gimana reaksi Mas Andra setelah bertemu denganku.

Dari lantai atas aku turun menapaki satu persatu anak tangga, sontak perhatian mereka bertiga beralih kepadaku.

"Si___apa wanita ini, Bik?" tanya Mas Andra, sorot matanya masih menata ke arahku.

"Dia ini Marni, Pak." Dijawab Bi Ayu sembari menarik lenganku mendekat. "Marni ini adalah sepupu Ibu yang dari Kalimantan." Lalu mengenalkan aku sebagai 'Marni' di depan mereka.

"Saya Marni." Kuulurkan tangan ini ke arahnya, Mas Andra tampak ragu-ragu untuk menyambutnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Apa mungkin dua curiga dan mengenali penampilan baruku ini? Atau dia____

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status