Share

Kamu memang licik, Mas

Tatapannya menggambarkan pertanyaan besar, ditambah kerutan di keningnya, seolah ingin tahu siapa aku. Bahkan Mas Andra tampak ragu untuk menyambut uluran tangan dariku.

"Gak penting!!" sahut wanita yang di sebelahnya. Menarik lengannya agar menjauh dariku. "Aku capek, Mas. Ngapain kamu malah ngurusin nih orang, mending kamu tunjukan di mana kamar kita," omelnya terlihat jelas kekesalan dari raut wajahnya.

Panas dada ini mendengar ucapan wanita itu. Yang menyebutkan kata 'kamar kita'. Aku ingin tahu, akan dibawa ke mana Seroja oleh Mas Andra. Kutarik tanganku dan pandangan ini ke sembarang. Aku takut tidak bisa mengontrol diri, jika bertatap muka dengan mereka.

"Saya permisi dulu Pak," pamit Bi Ayu meninggalkan kami. Wanita itu melirik sekilas ke arahku saat melintas, masuk ke dapur.

"Bik, tunggu!" sergah Mas Andra, Bi Ayu berbalik. "Tolong Bibik antar Seroja ke kamar tamu," pintanya, dengan nada memerintah.

"Lho, Mas." Wanita yang bernama Seroja itu protes dan tampak kebingungan. "Kok ke kamar tamu, sih!"

Aku juga bertanya demikian. Bukankah mereka sudah menikah sirih, harusnya bebas melakukan apapun. Termasuk berhubungan layaknya suami istri. Seperti yang mereka lakukan di luar negeri. Kenapa Mas Andra memilih pisah kamar dari wanita itu?

Mas Andra menarik lengan Seroja sedikit menjauh, lalu membisikkan sesuatu yang aku dan Bi Ayu tak dapat mendengarnya. Apalagi rencananya?

"Antarkan Seroja ke kamar tamu, Bik," ulang Mas Andra begitu selesai bicara dengan wanita itu.

"Baik, Pak."

Mereka berdua pergi, meninggalkan kami berdua dalam kecanggungan. Mas Andra memandangiku, lekat. Wajahnya masih sama, saat terakhir bersamaku. Tampan dan penuh karismatik. Andai saja kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin saat ini kami sedang melepas rindu. Rindu yang sudah memupuk di hati. Semuanya telah hancur, setelah Seroja datang.

Aku tidak mau terlihat lemah di hadapan Mas Andra, kuputuskan untuk pergi juga dari tempat itu. Baru selangkah, aku berjalan, dia memanggil.

"Marni!" Dia mendekat. Sangat dekat, bahkan aku bisa melihat dengan jelas wajahnya yang tampan. Wajah yang selalu kurindu, sebelum tahu kebusukan hatinya. "Kamu ini anaknya siapa? Kok saya baru tahu, kalau Salwa punya sepupu di Kalimantan?" tanyanya, seperti yang aku katakan tadi, dia curiga denganku.

"Em, saya itu sepupu jauh dari Mbak Salwa," jawabku, sedikit gugup. Takut salah menjawab. "Putrinya Bang Aswan."

"Bang Aswan?" ulangnya tampak berpikir. Karena nama pamanku itu yang pernah aku ceritakan padanya. "Oh iya, saya ingat." Ia mengangguk-angguk. "Tapi, apa kamu sudah tahu kabar Mbakmu?"

"Sudah," jawabku sesak, tak ada sedikitpun kesedihan dari wakahnya. "Dari Bik Ayu."

"Oh, Bi Ayu dah kasih tahu ke kamu?" Tatapan Mata Andra sulit ditebak. Apa mungkin dia curiga dengan penampilan baruku. Yang biasanya aku jarang sekali merias diri, dan membiarkan rambut ini terurai. Kali ini, aku benar-benar beda.

Sebelum bertemu dengan Mas Andra, aku melakukan make over. Potongan rambut seleher, membuat wajah ini terlihat lebih muda. Ditambah make up yang sederhana, membuat siapa saja yang mengenaliku akan pangling. Sama seperti Mas Andra, yang tidak mengenaliku sama sekali. Tetapi aku harus hati-hati, yang aku hadapi kali adalah manusia licik. Bahkan dia bisa mengelabui aku dengan kelembutan sikapnya itu, yang membuat aku terbuai bahkan tidak pernah membayangkan ada orang ketiga dalam rumah tangga kami.

"Iya," jawabku tak berani memandang wajahnya lama. Matanya memang indah, membuat siapa saja akan terpana. Ditambah wajah tampannya itu. Ah, itu yang membuat aku bodoh diperdaya olehnya. "Saya duluan!" ucapku pamit, pergi dari tempat itu.

Tiba-tiba Mas Andra menarik tanganku, sontak langkah ini terhenti, dan aku menoleh ke belakang. Disaat itu juga, dia sedang menatapku. Hingga pandangan kami bertemu. Debat dadaku terlalu kencang, aku takut dia mendengarnya. Kami sangat dekat, apalagi saat jemarinya menyentuh wajah ini. Aku nyaris melupakan semua, terbuai dalam sentuhannya yang kurindu.

"Pipi kamu kenapa?" tanyanya, suara Mas Andra terdengar lembut di telinga ini. Hembusan napasnya membangunkan bulu kudukku.

"Ehmmm, maaf!" Segera ku tepis tangannya, dan aku sedikit menjauh. "Saya gak kenapa-kenapa!" jawabku, buru-buru pergi dari sana. Aku gak mau lepas kontrol, bagaimana pun juga dia adalah suamiku. Orang yang pertama kali merenggut maduku. Aku tidak bisa begitu saja melupakan saat-saat itu. Dimana ia memberikan kenyamanan selama ini.

Bodoh, aku memang bodoh. Aku gak mau semakin terluka, dan membiarkan dia jadi pemenangnya. Aku harus bisa mengurangi perasaan cinta ini, demi dendamku padamu, Mas.

***********

"Sayang, aku gak mau jauh dari kamu."

"Aku juga gak mau, tapi harus gimana lagi. Untuk sementara ini, kita belum bisa bebas. Sebelum pengacara Salwa datang dan menyerahkan surat wasiatnya."

Desir darah ini seolah mendidih mendengar perbincangan mereka di lantai satu. Aku tak sengaja terbangun, ingin pergi ke dapur untuk mengambil minum. Tapi apa yang aku lihat dan dengar, justru menyakitkan hati.

"Sampai kapan, Sayang!! Salwa udah mati dan membusuk di laut." Suara lantang Seroja semakin membuat hati ini memanas. Tapi aku harus tahan, dan tenang menghadapi mereka. "Tanpa perlu repot-repot menghabisi dia!"

Tulang di tubuhku seolah runtuh mendengar apa yang baru saja keluar dari bibir wanita itu. "Apa, mereka punya niat membunuhku!"

Pelupuk ini terasa sesak, hanya sekali kedipan saja cairan bening yang sudah menggenang di sana akan berjatuhan. "Atau mereka sudah pernah melakukannya."

"Jaga mulut kamu, Roja!" sentak Mas Andra memperhatikan sekeliling tempat itu.

"Gak akan ada yang denger kok, Yang." Seroja mengalungkan tangannya di leher Mas Andra. Bibir wanita itu mulai menempel di bibir Mas Andra, peraduan ludah pun terjadi. Dengan penuh nafsu mereka menikmati permainan itu.

"Ya Allah," lirihku sakit, benar-benar sakit. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Otak ini tiba-tiba Blang, susah untuk diajak berpikir. Tetapi tidak dengan kakiku, yang mulai menapaki satu persatu anak tangga, hingga menginjak di lantai itu.

"Apa yang kalian lakukan?" Suara bergetar, tak sanggup menahan rasa peeih ini. Mereka berdua gelinjangan, dan saling melepaskan ciuman.

"Marni," lirih Mas Andra mendorong tubuh Seroja menjauh. Mas Andra mengusap bibirnya yang sudah basah dengan jemarinya. Setelah itu ia berdiri dan berjalan mendekatiku.

"Apa yang kamu lihat itu bukan seperti yang kamu kira." Dia mencoba mencari alasan untuk menyangkal perbuatan bejatnya itu. "Tadi itu, saya gak sengaja. Em, maksudnya kami gak sengaja melakukan itu."

"Saya permisi ke dapur dulu!" Hanya itu yang keluar dari mulutku, menanggapi ucapan Mas Andra tadi.

"Marni tunggu!" teriak Mas Andra sepertinya mengikutiku ke dapur. "Marni, kamu percaya kan sama aku?" tanyanya ketakutan.

Tapi aku heran, kenapa dia harus takut? Bukankah dia mengira aku sudah mati, dan tidak mungkin Marni akan menceritakan itu semua pada Salwa. Tapi entahlah, sepertinya dia takut kalau aku akan menceritakan hal ini pada pengacaraku.

"Kamu harus percaya, Marni!" ucapnya lagi, sudah berada di hadapanku. Terpaksa langkah ini terhenti.

"Saya gak perduli," jawabku, bersikap setensng mungkin. "Toh itu bukan urusan saya. Apa yang kakak takutkan?"

"Saya takut kamu salah paham dan menceritakan yang tadi itu sama___

"Mbak Salwa," pangkasku, mampu membungkam mulutnya.

"Gak mungkin Salwa. Dia sudah pergi, meninggalkan aku, Marni."

Aku mengangguk paham. "Tapi kalau seandainya Mbak Salwa itu masih hidup, gimana?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status