Share

Siapa perempuan itu

Pergi? Pergi kemana Mas Andra. Aku sedikit tercengang mendengar jawaban dari Bi Ayu. Bahkan dari nada bicaranya saja, wanita paruh baya itu tampak ketakutan. Ada apa ini?

Satu minggu berlalu, aku dirawat di rumah sakit. Dan hari ini, dokter mengatakan kalau aku sudah boleh dibawa pulang. Antara cemas dan takut, mendengar kabar itu. Seharusnya, aku bahagia karena bisa berkumpul lagi bersama Mas Andra. Tetapi, setelah mendengar kabar dari Bi Ayu, aku merasa ada sesuatu yang janggal di rumah.

Petugas penanganan bencana dan Tim SAR yang bertugas mengantarku pulang ke rumah. Iya, rumahku. Ini adalah warisan dari kedua orang tuaku sebelum mereka meninggal. Kalaupun selama ini aku tidak aktif di perusahaan, dan menyerahkan semua urusan perusahaan pada Mas Andra. Namun, beliau sama sekali tidak pernah ikut andil di dalamnya.

Rumah mewah dua lantai di hadapanku saat ini tampak sepi. Karena memang, selama berumah tangga dengan mas Andra aku belum dikaruniai anak. Lima tahun lamanya kami menanti. Sepertinya Tuhan masih belum mempercayakan pada kami.

"Terima kasih Pak, sudah mengantar saya pulang," ucapku pada supir yang bertugas.

"Iya, Buk. Saya senang, ibu bisa kembali ke rumah dan bertemu orang-orang terkasih," sahut lelaki itu, menenggerkan senyumannya.

Aku mengangguk, dan membalas senyumannya. Usai mobilnya bergerak pergi, pelan aku berjalan mendekati pintu pagar yang masih terkunci dari dalam. Tanda, tidak ada orang yang beraktivitas di sana. Kutekan bel yang ada di sebelah kiri tembok pagar. Menunggu satpam yang membukakan pintu.

Tak lama setelah itu, seorang laki-laki yang memakai pakaian biru putih pun keluar. "Hah, Ibuk," ucapnya tampak terheran-heran melihatku. Mungkin semua orang menganggap kalau aku sudah meninggal.

Gegas lelaki itu membuka gemboknya, dan menyuruhku masuk. "Alhamdulillah, ibu selamat," sambungnya masih tak percaya, kalau yang berdiri di hadapannya ini adalah aku.

"Mang Sapto," sapaku, seperti biasa.

"Iya, Buk. Saya seneng bisa liat ibu lagi. Ya Allah, Sapto gak bisa bayangin kalau sampai Bapak liat ibu pulang gimana?" ujar lelaki itu, bengong. Mungkin, sedang membayangkan ekspresi wajah Mas Andra, saat pertama kali melihat aku kembali.

"Bapak ada gak, Mang?" tanyaku, memandang ke arah garasi yang juga masih tertutup rapat.

"Bapak, lagi nenangin pikiran katanya, Buk."

"Nenangin pikiran?" gumamku, berpikir keras. Apa benar yang dikatakan oleh Sapto, kalau Mas Andra menenangkan diri? Ah, ya sudahlah. Itu gak penting saat ini.

"Iya, Buk. Kata bapak sih gitu, sebelum berangkat kemarin," terang lelaki itu, mempertegas pendapatnya.

"Ya sudah ya Pak, saya ke dalam dulu." Aku buru-buru berpamitan pak Sapto, dan pergi sari tempat itu.

Baru juga kaki ini menapaki tangga teras, kudengar dari dalam Bik Ayu menyapaku histeris. "Ibu, alhamdulillah." Dipeluknya tubuh ini erat, sambil meneteskan air mata. "Ibu selamat dari kecelakaan itu," ucapnya terdengar parau.

"Iya, Bik." Aku tak kuasa untuk menahan air mata ini. Sungguh tak pernah menyangka, kalau aku selamat dari maut yang nyaris saja menghilangkan nyawaku. Tuhan masih memberikan aku kesempatan untuk hidup. Entah apa rencananya.

"Kita masuk, Buk. Bibik udah siapin makanan untuk sarapan."

Kami masuk ke dalam, dan berpisah di ruang keluarga. Aku memutuskan ke kamar lebih dulu, sedangkan Bi Ayu pamit menyiapkan makanan di meja makan.

Langkahku lunglai saat menapaki tangga, menuju ke lantai dua. Banyak kenangan indah di sana bersama Mas Andra. Bagaimana dia memperlakukan aku lembut, terekam jelas di ingatan. Entah mengapa, perasaan ini lain. Saat kembali ke rumah. Ada yang aneh, di dalam sana. Bukankah seharusnya Mas Andra ada di rumah? Terpuruk karena kepergianku? Tapi kenapa dia justru pergi dengan alasan menenangkan diri. Ya Tuhan, kenapa pikiranku jadi gak karuan gini.

Aku sudah di depan pintu kamar. Pelan, kutarik knop pintu agar bisa terbuka. Tak ada yang beda dari ruangan segi empat ini. Ranjang yang tertata rapi, meskipun tidak dihuni beberapa hari ini. Sepertinya Bi Ayu rajin membersihkannya.

Aku masuk ke dalam, dengan perasaan berdebar. Duduk di tepi ranjang, sambil memperhatikan tatanan meja riasku. Ada yang menarik perhatian, hingga aku memutuskan mendekat. "Slip belanjaan atas nama Mas Andra." Aku membaca secarik kertas itu. "Sepuluh juta, untuk beli apa uang sebanyak itu? Bukankah semua kebutuhannya sudah aku penuhi?"

Tak ingin berprasangka buruk, aku simpan benda itu ke dalam laci meja. Aku memilih ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, aku ke dapur menemui Bik Ayu.

"Bik, selama saya pergi, ada gak sikap bapak yang mencurigakan gitu?" tanyaku, sambil menikmati susu hangat buatannya.

"Em, itu Buk, gak ada," jawabnya tampak ragu-ragu. Bahkan, sorot matanya memandang ke arah lain.

"Yakin, Bik?"

"I__ya, Buk. Bapak sangat terpukul mendengar kecelakaan itu."

Aku setengah percaya dengan ucapan Bik Ayu. Karena selama ini Mas Andra tidak pernah menunjukan hal yang mencurigakan selama menikah denganku. Akan tetapi, struk belanjaan itu___

********

Aku memerintahkan Mang Sapto untuk membelikan hp baru beserta kartu simnya. Kupikir, dengan begitu aku bisa dengan mudah berkomunikasi sama Mas Andra. Nyatanya salah besar, nomor Mas Andra tidak aktif, dan masih sama seperti kemarin.

"Segitu terpukulnya kamu, Mas, sampai hp gak kamu aktifkan." Kuhembuskan napas ini gusar, menahan rindu yang amat untuk lelaki yang menemaniku selama ini. Semenjak ayah dan ibu pergi, aku cuma punya dia.

Untuk membuang jenuh, aku membuka beberapa email dari perusahaan. Yang terkait dengan pekerjaan. Sudah lama, tidak ikut campur di kantor, aku sedikit terkejut dengan laporan keuangan beberapa bulan terakhir ini.

Dari datanya, banyak pengeluaran yang tidak jelas dan berkaitan dengan pekerjaan. Di sanalah aku mulai curiga, ada sesuatu yang disembunyikan Mas Andra dariku.

"Bisa ke rumah sekarang!" perintahku pada assisten Mas Andra lewat sambungan telepon.

"Pak Jonhi, tolong anda kirim laporan pengeluaran dari bulan juli sampai bulan ini." Aku juga meminta bantuan pada manager keuangan, di perusahaan.

Klunting

Bunyi email masuk, gegas kucek dokumen-dokumen itu satu persatu. Pada tanggal 21 November 2022, ada bukti pembelian tiket ke Singapure untuk dua orang.

"Ini artinya, Mas Andra gak sendiri pergi. Ada yang temenin dia."

Aku semakin curiga dan ingin tahu, siapa yang sedang menemani suamiku.

"Pak Jhoni, bisa kasih bukti detail pengeluaran pembelian tiket ke Singapure pada tanggal 21 November ini!" pintaku lagi pada Pak Jhoni. Karena hanya beliaulah yang bisa aku andalkan selama ini.

Ting

Satu email lagi masuk. Buru-buru aku membukanya, untuk menjawab rasa penasaran itu. Dan tubuhku langsung lemas, begitu tahu nama seorang wanita yang sedang menemani Mas Andra.

"Seroja," gumamku, pelupuk ini langsung memanas. "Siapa perempuan itu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status