Share

Rencana Salwa

Sengaja aku bangun pagi, untuk memberikan kejutan buat Mas Andra. Hari ini adalah Anniversary pernikahan kami yang ke-tiga. Aku dan Mas Andra sudah membuat rencana, sebelum kecelakaan itu menimpaku. Kami sepakat akan berlibur ke Bali, sekaligus berbulan madu yang ke-dua.

Dan momen ini akan kubuat, Mas Andra mengingatku. Mengingat kenangan yang tak akan pernah sirna, dalam ingatannya.

Setiap tahun, Mas Andra selalu memberikan kejutan di hari pernikahan kami. Dia tidak pernah absen, memberikan kado yang membuat semua istri merasa bahagia. Merasa nyaman, dan tidak akan pernah berpikir suaminya selingkuh. Ternyata itu hanyalah tameng untuk menutupi keburukannya. Lihatlah Mas, hari ini kamu akan merasakan sakitnya.

"Tolong antar pagi ini juga, ya? Kalau bisa jangan lewat jam tujuh pagi," ucapku pada kurir, tempat aku memesan beberapa barang dan kue. "Oke, saya tunggu."

Aku keluar kamar, dan mulai melangkahkan kaki ke lantai satu. Di sana sudah ada Bi Ayu yang sibuk membersihkan ruang tengah.

"Lho, Buk." Wanita itu sedikit terkejut melihat kedatanganku. "Jam segini kok udah bangun?"

"Iya, Bik." Kujawab singkat.

"Ibu membutuhkan sesuatu?" tanyanya lagi. Aku menggeleng, sebagai jawabannya.

"Bik Ayu gak usah risau, saya bangun pagi-pagi mau menyiapkan sarapan untuk bapak."

Wanita itu membelalak kaget. Aku tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Bi Ayu pasti sedang berpikir kenapa aku masih mau melayani suamiku, setelah apa yang dilakukan Mas Andra kepadaku.

Rasa cinta memang masih melekat dalam hati dan pikiranku saat ini. Namun, rasa kecewa lebih besar dibandingkan perasaan itu. Aku melakukan itu bukan untuk menarik simpatinya lagi, apalagi memaafkan kelakuannya. Aku melakukan itu karena ingin tahu, seperti apa reaksinya saat merasakan masakanku yang selama ini selalu dipuja-puja olehnya.

"Ibu yakin?" Setelah senyap beberapa saat, Bi Ayu membuka suara.

"Yakin, Bik." Kujawab sambil tersenyum kecil.

Selesai masak, aku hidangkan hasil masakanku ke meja makan. Gurame goreng asam pedas manis, ditambah gulai nangka muda kesukaannya sudah tertata di sana.

"Hmm, dari aromanya aja udah wangi," puji Bi Ayu, mengendus asap yang mengepul di atas hidangan itu. "Kalau soal masak, ibu emang jagonya," sbung wanita itu, semakin memujiku.

"Tapi saya kalah cantik dengan istri barunya Bapak, Bik," jawabku, terlihat jelas sesal di wajahnya. "Makanya Mad Andra selingkuh."

"Ibu cantik kok," ucap wanita itu, ku yakin untuk menghiburku. Aku menyeringai kecil, sambil menatapnya penuh haru.

"Saya mandi dulu ya, Bik," pakitku pada wanita itu. Aku buru-buru pergi sebelum Mas Andra melihat penampilanku yang seperti ini.

*********

Aku, Mas Andra dan juga Seroja sudah berada di meja makan. Begitu tutup tudung dibuka, kuperhatikan Mas Andra melototi semua makanan yang ada di meja.

"Wah, menu kesukaan nih," ucapnya, menyendokkan nasi di piringnya. "Tau aja Bi Ayu kalau saya rindu masakan ini."

Bi Ayu melirikku sekilas, meminta bantuan padaku harus melakukan apa.

Sementara Seroja menatap malas santapan pagi itu. "Ish, gak ada nasi goreng atau apa gitu Bik?"

"Ada," jawabku menyambar.

"Mana?" Wanita itu kembali bertanya.

Kusendokkan sepiring nasi putih saja, kemudian kuberikan padanya. "Ini, kamu buat sendiri aja?"

"Apa-apaan kamu?" sentak Seroja, mulai terpancing. "Kamu cuma numpang ya di rumah ini, gak usah sok-sokan sama gue "

"Emangnya situ gak numpang juga, apa?" serangku, ia semakin tersulut emosi.

"Asal kamu tahu ya, saya ini istri barunya Mas Andra. Jadi saya berhak marah sama orang yang kurang ajar kayak kamu!"

Aku tersenyum mengejek, mendengar kata-katanya. "Mbak Salwa pemilik rumah ini, bukan Mas Andra!" tegasku, membungkam mulutnya.

Seroja melirik ke arah laki-laki yang duduk di sebelahnya. Laki-laki itu bahkan tak mampu menjawab ucapan ku tadi. Karena memang kenyataannya, apa yang aku ucapkan itu benar. Dia tidak berhak atas rumah ini.

"Sudah sudah!" Setelah beberapa saat ia membuka suara. "Semuanya numpang di rumah ini! Termasuk aku juga!" Wajahnya memerah karena malu dan sungkan padaku. "Kita lanjutkan makannya." Ia mulai menyendokkan makanan itu ke mulutnya. Sejenak, kuperhatikan Mas Andra tidak langsung mengunyah makanan itu. Wajahnya terlihat bingung, dan penasaran.

"Bik, makanan ini kamu Bibik yang masak 'kan?"

"Emm, itu bukan saya yang masak, Pak," jawab Bi Ayu gelagapan, sesekali melirik ke arahku. "Tapi, Marni yang masak."

Ekor mata Mas Andra beralih ke arahku. Bibirnya tak bergerak sama sekali, padahal Sirat matanya tersimpan pertanyaan besar.

"Rasanya sama, seperti yang dibuat Salwa," lirihnya, masih dapat kudengar.

"Kenapa, Mas? Gak enak ya?" tanyaku mengalihkan perhatiannya.

"Enak kok, enak."

Mas Andra tidak bersemangat seperti tadi. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh lelaki itu. Wajahnya terlihat redup, penuh kesedihan.

"Ya udah Mas, aku berangkat duluan ya?" pamitku, mengambil tas yang kuletakkan di atas kulkas. "Aku berangkat kerja dulu, maklum hari pertama. Aku gak mau mengecewakan orang yang sudah membantuku mencarikan pekerjaan."

"Liat sepupu kamu itu, kurang ajar banget sama aku," ucap Seroja masih bisa kudengar dengan jelas. "Pokoknya aku gak mau tahu, kamu harus usir dia dari sini!"

Sontak, kuhentikan langkah ini usai mendengar ucapannya tadi.

"Aku bisa apa, Sayang?" Nada suara Mas Andra terdengar lemah. "Selama kita belum bisa mendapatkan surat wasiat dari Salwa, kita gak punya hak apa-apa di sini."

"Sampai kapanpun, kalian gak akan pernah mendapatkan apa yang kalian harapkan," sumpahku, mengepalkan tangan. "Akan aku pastikan, setelah ini kalian akan jadi gelandangan."

***************

PT Gemilang Persada, perusahaan yang dirintis almarhum papi, dua puluh tahun yang lalu masih berdiri kokoh di hadapanku. Rasa bangga, bercampur sedih merasuk dalam kalbu.

Beberapa tahun lalu, pertama kalinya aku bertemu dengan Mas Andra di tempat ini. Saat itu, aku menjabat sebagai CEO di perusahaan ini, dan Mas Andra hanya karyawan biasa yang merangkap sebagai kepala gudang.

Aku mencintainya karena ketulusan dan juga perhatiannya yang ternyata hanya tameng, untuk menutupi rencana busuknya. Aku bahkan belum tahu, berapa lama Mas Andra menjalin hubungan dengan Seroja. Sebelum atau sesudah kami menikah, aku harus mencari tahu sendiri.

Aku berjalan masuk ke gedung ini. Banyak pasang mata yang memperhatikan aku. Karena mungkin, mereka baru pertama kalinya melihat aku ada di sini. Dengan penampilan baru.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang laki-laki paruh baya yang sudah mengabdi di perusahaan sepuluh tahun.

"Pagi," balasku, terkejut. Ternyata beliau tidak mengenaliku. Terlihat dari bahasanya yang formal dan tatapan matanya tampak asing. "Bisa kita bicara sebentar Pak Jhon," sambungku, kali ini giliran lelaki itu yang terkejut.

"Oh, baiklah. Mari kita ke ruangan saya."

Kamu berdua menuju ke ruangan beliau. Sesampainya di sana, aku duduk di seberang beliau.

"Apa anda tidak mengenali saya, Pak?" tanyaku membuka percakapan.

"Maaf, apa sebelumnya kita pernah bertemu?" Dia balik tanya.

"Saya Salwa, Pak."

"Buk Salwa?" ulangnya, matanya terbelalak. "Serius?"

"Iya, Pak."

"Saya tidak mengenali anda, Buk. Maafkan saya."

"Tak apa, Pak. Saya mau minta tolong pada anda, rahasiakan jati diri saya di depan semua karyawan. Termasuk di depan Mas Andra," pintaku pada beliau.

"Beres, Buk. Sesuai yang kita bicarakan waktu itu 'kan?"

"Saya juga minta tolong, Carikan saya assisten laki-laki yang masih muda."

"Hah, untuk apa Buk?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status