Share

Chapter 2 - Menggemaskan!

Sesampainya di depan kamar Purbasari yang terletak tidak jauh dari kamar tempat bermain, … keenam putri ini, segera disambut oleh seorang ksatria tingkat paling tinggi.

Dia adalah orang yang paling dipercayai oleh ayah mereka.

Seorang komandan ksatria dari segala faksi ksatria, yang saat ini ditugaskan untuk mengawal Putri Purbasari yang sudah menginjak umur 3 bulan, … Sir Batara.

Menjadi komandan besar untuk para ksatria dalam usia yang sangat muda, si pria yang memiliki penampilan lembut dan disenangi oleh anak-anak, dengan rambut coklat pucat seperti lempung juga mata coklat gelap seperti kacang kenari, … Sir Batara, adalah orang yang ramah, lagi baik hati.

Dia bukanlah orang yang congkak apalagi songong, dalam menyombongkan segala prestasi yang ia milikki.

Selain itu, dia juga tipikal orang yang akan merasa gampang terenyuh dengan suatu keindahan, kelembutan, kelucuan, juga kegemasan dari sesuatu atau pun seseorang.

Terutama, di diri para putri yang masih kecil-kecil ini.

Merundukkan tubuhnya rendah untuk berjongkok supaya dapat berhadap-hadapan secara lurus dengan tubuh pendeknya para putri, Sir Batara … cepat-cepat bertanya dengan antusias.

“Ada gerangan apa, sampai-sampai menjadikan Anda sekalian repot-repot datang kemari, … para Nyai Putri Saya yang terhormat?”

Melepaskan pegangan tangan dengan menghempasnya, setelah itu langsung menunjuk muka Purbararang dengan telunjuk, seenaknya saja … Purbamanik menceletuk.

“Mau lihat kejelekan di adiknya Rarang.”

Tak terima dengan perkataan itu, Purbararang yang merajuk, menggembungkan pipinya kesal dan menampik ucapan Purbamanik dengan sebuah sanggahan sengit.

“Tidak! Adik Rarang tidak jelek! Ayo buktikan sekarang jika kamu masih tidak mempercayainya!”

“… Ah? Anda sekalin ingin melihat Nyai Putri Purbasari ya?” sadar Sir Batara, mulai memahami apa maksud dibalik kedatangan mereka.

“Sayang sekali, saat ini beliau tengah tertidur."

Mendapati pemaparan dari si pengawal kamar Purbasari yang mengucapkan sebuah penjelasan mengecewakan, keenam putri itu pun merengut sebal.

Enggan melihat putri-putri yang lucu itu bersedih, Sir Batara berupaya untuk menghibur mereka.

Sambil mengedipkan satu mata, juga menaruh telunjuk di depan bibir secara melintang untuk mengisyaratkan supaya nantinya para putri tidak banyak menimbulkan bisik suara, … Sir Batara berkata.

"Tetapi, jika Anda sekalian masih ingin tetap melihatnya, maka … tolong jangan berisik ya?”

Serentak lagi kompak menganggukkan kepala mereka masing-masing, merasa paham akan apa yang Sir Batara tuturkan barusan, pada akhirnya keenam putri itu pun … mulai masuk ke dalam kamar Purbasari satu persatu dengan langkah yang sesenyap mungkin, berusaha untuk tidak menimbulkan suara nyaring barang sedikit pun.

“Uwohh.”

Melirih, menggumamkan keterpakuannya terhadap bayi lucu yang tertidur di dalam kungkungan boks bayi yang saat ini tengah mereka kelilingi, Purbakancana membekap mulutnya kagum.

Reaksi keterpikatan mereka terhadap kecantikan juga kelucuan Purbasari pun, tergambar dengan gamblang pada wajah merona milik Purbaendah, Purbaleuih, juga Purbadewata pula.

Tanpa terkecuali, untuk putri yang harga dirinya sangat tinggi sekali. Yakini Purbamanik.

Ah~ itu adalah suatu pemandangan indah yang begitu memukau, kau tahu?

Rambut putih keperakannya yang entah kenapa tampak lebih mengkilap seakan-akan telah disiram oleh bubuk dari cahaya bulan, … lengkap dengan kulit putih kemerahannya yang terlihat empuk, lembut, dan seperti sengaja untuk meminta disentuh, … telah menggoda Purbamanik supaya segera mengangkat tangan, tuk ia tunjukkan ke arah bayi yang sedang tertidur pulas.

“Ish!”

Akan tetapi, sebelum niatnya itu sepenuhnya dapat terlaksana ….

PAKK!

… Purbararang menggagalkannya dengan menampik uluran tangan tersebut lumayan keras, sampai ke titik di mana bunyi nyaring timbul begitu dekat dengan telinga bayi, … dan berujung membuatnya bangun secara terkesiap.

“Jangan menyentuhnya …!”

“Uhh, Te— … Teteh Lalang.”

“… Tanganmu kotor!”

“T-teteh, … Teteh Lalang!"

Menoleh kepada Purbaendah yang tadi sudah mencoba memanggilnya dalam menyadarkannya akan kebisingan yang dihasilkan telah menyebabkan Purbasari mulai merengek dan menangis, … baik itu Purbararang maupun para putri yang lain, mendadak langsung panik seketika.

“Uw-uwweehhh~!"

Ikut menangis dengan Purbasari, Purbakancana yang malah membuat semuanya menjadi runyam itu merembetkan rasa ingin menangisnya kepada Purbadewata dan Purbaleuih pula.

Tak tahu harus bagaimana, Purbaendah yang awalnya mencoba untuk menepuk-nepuk Purbasari demi menenangkan dan memberhentikan tangisan si putri bungsu, malah ikut menangis juga.

Jadi, di ruangan yang dipenuhi oleh banyak tangisan beberapa putri ini, tersudutlah Purbamanik dan Purbararang, … yang merasa semakin panik akan keadaan yang sudah sangat heboh.

Karena adik-adiknya tidak kunjung mendengarkan mereka berdua untuk segera berhenti menangis, hal ini pun telah sukses membuat dua putri yang ketegarannya lumayan tersisa, ikut-ikutan menangis jua.

Sehingga, tangisan itu pun segera berhenti, begitu Sir Batara menampakkan kehadirannya untuk menenangkan segala kebisingan.

“Tidak apa-apa, Nyai Putri semua. Bayi menangis dengan keras seperti itu, sudah menjadi hal yang biasa.”

Memangku dan menimang Purbasari sampai si putri bungsu yang masih bayi menjadi tertidur kembali, Sir Batara yang telah mendengarkan maksud dari keenam putri itu jadi ikut menangis tadi, … berucap demikian.

“Tidak ada yang perlu ditakutkan."

Merendahkan sedikit tubuhnya untuk memperlihatkan Purbasari di dekapan tengah tersenyum manis seperti sedang melihat sesuatu yang membahagiakan di alam mimpi, Sir Batara terkekeh kecil.

"Lihat?"

“Wah, lihat-lihat! Dia terthenyum! Purbathari terthenyum!” seru Purbakancana senang, sembari menghapus jejak air mata yang telah membuat pipinya memerah.

“Benar, kan? Anda sekalian semua saja, senang melihat Nyai Putri Purbasari tersenyum. Begitu juga dengan Saya.”

Sir Batara yang dikelilingi oleh keenam putri, … ah tidak! Maksudnya, tujuh dengan Purbasari ini, … adalah seorang pria muda yang benar-benar dilimpahi oleh sifat yang didominasi oleh rasa kasih sayang, … sampai-sampai membuatnya menjadi banyak disukai anak-anak.

“Saya tidak ingin melihat Anda sekalian menangis. Saya hanya ingin melihat kebahagiaan yang dipancarkan oleh para Nyai Putri Saya yang cantik-cantik ini.”

Oleh sebab itu pulalah, dia dipercayai paduka raja … tuk ditempatkan bertugas di dekat para putri kerajaan Pasir Batang, dari pada bertugas tepat di sekitar dirinya.

Terutama, dia memang sudah dikhususkan untuk bertugas di dekat si putri yang masih berusia seumur jagung.

Putri Purbasari.

"Tersenyumlah, … Nyai Putri."

~•••~

“Selamat pagi, Purbasari.”

Datang dan melihat adik kecil mereka dari hari ke hari setelah hari pertama yang membuat mereka mempelajari untuk tidak takut dengan membuat bayi menangis setelah tahu cara menenangkannya, … keenam putri, lagi-lagi datang secara bersama-sama, … untuk mengajak bicara Purbasari yang kali ini kebetulan sedang tidak tertidur.

“Halo, Purbathari. Hari ini, kami datang lagi.”

“Hali demi hali, kamu semakin cantik ya? Pulbasali?”

“Purbasari …?”

“….”

Membuka dan mengatup-ngatupkan mulut mungilnya berulang kali, dan juga tak bisa mendiamkan diri untuk tidak menggerakkan kaki beserta tangan mungilnya secara hiperaktif, … Purbasari mengeluarkan suara bayi.

“Aung~ Aooo~”

“…!”

Dia mengeluarkan suara yang terdengar seperti menyapa balik kakak-kakaknya, dalam memberi sapaan.

Ah, dan … tentu saja.

Kemajuan akan kedekatan mereka dengan Purbasari kecil yang telah menghasilkan kejadian langka nan begitu berharga persis semacam ini, telah membuat semuanya menjadi heboh.

“K-kalian lihat kan? Purbasari bilang 'halo' kepadaku?”

Bertanya dengan nada suara yang persis seperti sedang bergumam kepada semuanya, Purbamanik yang pipinya sudah diterpa oleh rona merah menyala, … langsung mendapatkan sahutan dari Purbararang yang mengelak tidak terima.

“Tidak! Dia bukan bilang 'halo' kepadamu. Tapi dia bilang 'halo' kepada Rarang! Rarang kan Kakaknya. Ibu kami sama! Jadi, sudah pasti kalau Purbasari bilang ’halo' kepada Rarang!”

Membalas sahutan Purbararang dengan tak kalah sengit, Purbamanik menimpal. “Hei! Walau Ibu kami memang berbeda, tetap saja aku memiliki status sebagai Kakaknya juga!”

"Tidak! Bukan! Kamu bohong! Purbamanik bohong!"

"Itu benar! Aku tak bohong! Sama sepertimu, aku juga lebih tua lima tahun dari Purbasari. Jadi, Purbasari juga harus menganggapku sebagai Kakaknya!”

“Waktu itu kamu bilang kalau adikku itu jelek. Kamu juga bilang kalau kamu tidak mau melihat sesuatu yang jelek!”

“Itu kan dulu! Jangan mengungkit-ungkit sesuatu yang telah terjadi!”

“Tapi adikmu itu kan Ana. Kalau Purbasari, dia itu adik Rarang!”

Yah, sama seperti hari-hari sebelumnya, di hari ini pun … dalang dari balik kebisingan yang dapat membuat Purbasari menangis di ujung kunjungan sampai harus merepotkan Sir Batara kembali tuk datang dan menenangkan, … lagi-lagi, telah berulah.

“Uuweekk! Uweekk!”

“Ah …?! Gara-gara kamu kan, Purbasari jadi menangis!”

“Bukan karena Rarang! Tapi kamu yang sudah membuat adik Rarang menangis!”

Mereka berdua, … si Putri Purbararang dan Putri Purbamanik yang tak dapat menurunkan ego besar mereka terhadap satu sama lain untuk salah satunya menjadi mengalah dalam perdebatan, … telah membuat Sir Batara menjadi sangat kesusahan, karena harus berusaha dengan sebaik mungkin untuk segera menenangkan dan memberhentikan tangisan keras Purbasari, … lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status