Share

Chapter 1 - Anugerah

Putih yang cantik. Memesona seperti intan permata. Lagi suci selayaknya permadani milik bidadari, … adalah hal terindah yang pertama kali didapatkan oleh tuan putri sulungnya kerajaan Pasir Batang, yang memiliki nama Purbararang, … dari penampilan memukaunya sang adik kandung yang baru saja terlahir ke dunia ini.

“Rarang, lihatlah tangan kecilnya. Bukankah dia sangat lucu?”

Ibu kandung dari Purbararang, sang Ratu Kerajaannya Pasir Batang, Ibu Ratu Sari Dewi Bunga Pamasti, … memiliki rupa cantik lagi menawan dalam menurunkan gennya ke adik Purbararang.

Diberkahi dengan rambut putih keperakan yang anggun, juga mata putih bening sesilau jernihnya bekuan air murni, … seorang ratu muda yang dikenal oleh rakyatnya sebagai seorang dewi karena sering menebar banyak kebaikan itu, … lekas mengarahkan tangan putri sulungnya yang baru menginjak usia 5 tahun kurang, untuk mencolek sedikitnya kulit merah bayi mungil di pangkuannya tersebut.

“Dia sangat cantik,” tukas seseorang menyusul.

Orang itu terlihat memiliki mahkota agung di kepala berambut hitam kelamnya, dengan manik mata hitam juga persis seperti ciri fisik yang terdapat pada Purbararang.

Mengusapkan tangannya untuk mengelus lembut kepala kecil sesosok makhluk hidup yang sebesar boneka ini, orang itu kembali menyambungkan ucapan.

“Sangat cantik sehingga segala kecantikan yang ada di dunia ini, seolah-olah berpusat kepadanya. Ah, bukan. Sepertinya, … semua kecantikan di dunia inilah, yang justru berasal darinya.”

Dia, orang itu, adalah seorang laki-laki tampan yang berprofesi sebagai raja muda kerajaan Pasir Batang, suaminya ibu ratu, juga Ayahnya Purbararang.

Yakni, Paduka Raja Prabu Tapa Agung.

“Purbasari, kuberikan nama itu.”

Mengecup dahi kecil si bayi yang baru saja di namakan dengan nama “Purbasari” olehnya, … Prabu Tapa Agung, lekas melengkapi pemberkatannya terhadap anak berdarah keluarga kerajaan yang baru lahir, dengan memanjatkan sebuah harapan.

“Semoga kamu tumbuh dengan baik, menjadi Putri yang sangat bijaksana untuk semua rakyatmu, … Putri Purbasari.”

***

“Teteh Lalang, Teteh Lalang!"

Purbararang kecil yang saat ini tengah bermain rumah-rumahan bersama dengan para putri–anak perempuannya raja dari selir-selir–lain yang kurang lebih memiliki usia tak jauh beda dengannya, … menolehkan kepala dengan rambut hitam sependek bahunya di cepol dua, … ke arah putri berambut hijau lemon dan bermata hijau kulit jeruk.

Putri itu adalah Purbaendah. Putri raja yang terlahir dari selir kedua.

“Endah dengal dari Ibu, adiknya Teteh Lalang sudah bisa belbicala banyak-banyak. Bukan menangis telus. Apa Endah boleh lihat?"

Awalnya terdiam sesaat, tak butuh waktu berapa lama kemudian, Purbararang menyahut dengan diiringi oleh tersimpulnya senyuman lebar yang terlihat begitu manis.

“Owhh, tentu! Saat Adik Rarang berbicara, dia akan sangat lucu, tahu! Dia cantik. Cantiknya mirip Rarang. Kamu ingat kan? Namanya Purbasari.”

“Purbathari?” sahut Putri lain yang tampak tertarik dengan topik pembicaraan.

“Kenapa membicarakan Purbathari? Apa Purbathari thudah bitha menyebut nama Ana? Ana mau lihat!”

Putri itu adalah Purbakancana.

Seorang putri yang memiliki rambut kuning kejinggaan seperti warna pada batu perunggu, … mengerjap-ngerjapkan manik mata yang berwarna serupa miliknya, kepada Purbararang.

Purbakancana, si putri yang juga sering kali mencoba menarik perhatian kakak tirinya ini dengan bersikap sok menggemaskan, adalah anak bungsu yang terlahir dari perut selir pertama raja.

Dia memiliki kakak perempuan yang satu setengah tahun lebih tua darinya. Dan kakaknya, adalah anak yang kurang lebih memang sebaya dengan Purbararang.

Namanya ….

“Ana, bukankah Ibu sudah bilang kalau bayi itu jelek? Untuk apa kita melihat sesuatu yang jelek?”

… Purbamanik.

“Mending kita main rumah-rumahan di sini saja.”

Putri muda berambut merah kejinggaan seperti warna pada langit sore, dengan manik mata serupa seperti yang dimiliki Purbakancana itu, … telah menyirikan sifat arogan sedari dini.

“Ah~ Teteh, … Ana ingin lihat!”

Merengek dan mulai menampakkan muka yang berkaca-kaca, pada akhirnya, Purbakancana mendapatkan dukungan persetujuan dari putri yang lain.

Dari sepasang putri kembar yang dilahirkan dari ibu berupa wanita bergelar selir ketiga.

Mereka adalah ….

“Apa salahnya, melihat sekilas?”

“Ya, itu lebih baik dari pada terus menyimpan rasa penasaran kita.”

… Purbaleuih dan Purbadewata.

Sepasang putri kembar seiras, yang hanya dapat dibedakan melalui warna pada rambut dan juga mata mereka saja.

Jika Purbaleuih memiliki rambut hitam keungu-unguan, dengan manik mata ungu gelap, … maka, Purbadewata memiliki rambut hitam kebiru-biruan, dengan warna mata biru lautan dalam.

“Lihat! Teteh Leuih thama Teteh Dewata thaja thetuju juga, kan?” tukas Purbakancana mempertanyakan keraguan dari si kakak kandungnya ini, dengan membela diri memanfaatkan pendapat dari kakak tirinya yang lain.

“Kalau Teteh Manik tidak mau, ya thudah! Jangan ikut!” lanjutnya, sembari bersembunyi dibalik punggung saudara tiri yang sebaya dengannya, Purbaendah.

Dia melakukan hal itu, karena merasa sangat takut dengan reaksi mengerikan apa yang akan kakak pemarahnya tersebut lontarkan.

Membalas pernyataan mengesalkan adiknya yang menjadikan keningnya berkerut, Purbamanik menyahut. “Siapa juga yang mau ikut! Aku tidak mau! Kalau mau pergi, ya sudah, … pergi saja sana!”

“….”

Kamar tempat bermain para putri ini mendadak hening, segera setelah mendengar Purbamanik menuturkan amarah kekesalannya.

Tentu saja hal ini membuat sang putri yang hampir setiap hari selalu saja dibanding-bandingkan dengan Purbararang oleh ibunya itu pula, mendadak merasa malu.

“A-apa? Ti-tidak pergi?”

Menggeleng-menggelengkan kepalanya dan berdecap menirukan tingkah laku orang dewasa ketika mereka merasa kecewa, Purbararang melontarkan kata.

“Kekanak-kanakan,” ujarnya terdengar konyol, karena mereka semua saat ini memang masih anak-anak.

“Sudahlah, semuanya. Ayo kita pergi,” ajaknya kemudian kepada yang lain, sambil menuntun dan menggenggam tangan Purbaendah beserta Purbakancana, … untuk kemudian mulai melangkahkan kaki diikuti si putri kembar dalam meninggalkan Purbamanik di ruangan bermain ini sendiri.

Dirasa ingin mengucapkan sesuatu tetapi tak kunjung muncul kata yang dapat keluar dari mulutnya, … Purbamanik yang sebetulnya merasa ingin ikut dengan mereka jauh dari dalam lubuk hati, tetapi merasa begitu malu dalam mengatakan segalanya secara jujur, … mengepalkan tangannya erat.

Apa?

Melihat bayi yang konon katanya memiliki sari kecantikan seperti kopiannya paduka ratu. Seseorang perempuan hebat yang menjadi idola untuk Purbamanik, … melebihi rasa hormat kepada ibunya sendiri?

Memangnya, … siapa yang tidak ingin melakukan itu?

“Hei! Tunggu aku!” jerit Purbamanik tak berlangsung lama, mengejar para putri lain setelah bergelut dengan keras melawan rasa gengsi.

“Katanya tidak mau ikut?” cibir Purbararang, membuat wajah Purbamanik memerah melebihi warna pada rambutnya sendiri.

“Ja-jangan salah sangka! Aku ikut karena aku harus mengawasi Ana! Sebagai Kakak yang baik, aku harus menjaga adikku dari kedekatan! Bukan karena ingin melihat adikmu yang jelek!” elaknya, melimpahkan segala alasan dengan melibatkan adiknya yang saat ini memandangnya dengan hati ingin mengatai.

“Kalau begitu … ya sudah.”

Melepaskan tangan Purbakancana untuk terulur meminta raihan tangan Purbamanik, dengan polosnya … Purbararang tersenyum semringah, menampakkan deretan giginya yang bolong-bolong.

“Ayo kita pergi bersama-sama!” ajaknya, segera dibalas Purbamanik dengan membiarkan tangannya tuk lekas digenggam oleh tangan milik saudara tiri yang paling membuatnya iri.

Dengan ikutnya Purbamanik saat ini, kini … formasi yang dilakukan oleh Purbararang untuk menuntun adik-adiknya itu pun jadi berubah.

Dia mengubah posisinya untuk berdiri di tengah-tengah.

Menggunakan tangan kirinya untuk menggandeng tangan Purbamanik yang juga menuntun Purbakancana, … bersama tangan kanannya menggandeng tangan Purbaendah, yang menuntun si putri kembar.

Dengan demikian, secara damai dan terlihat menentramkan jiwa, keenam Putri Kerajaan Pasir Batang tersebut pun, kembali berjalan bersama … dengan lengan mereka yang kecil-kecil, saling bertaut tuk menggandeng tangan satu sama lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status