Share

Chapter 3 - Mengikat Jari Dengan Cincin

“Senang bertemu dengan Anda ….”

Terpaku.

Menatap sepenuhnya seorang bocah laki-laki berambut pirang bagaikan emas yang ditumpahi madu. Juga mata merah menggoda selayaknya warna pada isi dari buah delima, yang saat ini tengah mengecup punggung tangannya tuk memberikan salam kehormatan, … Purbararang yang telah menginjak usia delapan tahun sekarang, mengatupkan bibirnya rapat-rapat dengan pipi yang bersemu merah.

“… Nyai Putri Purbararang.”

Hari ini, dengan ditemani oleh ayahnya, Raja Prabu Tapa Agung, … Purbararang dipertemukan dengan keluarga Duke of Jaya.

Dengan maksud dan tujuan sebetulnya ialah ….

“Saya, Indra Jaya, merasa terhormat atas pertemuan kita yang begitu berharga ini.”

… Mengikat pertunangan dengan putra tunggalnya sang Duke Jaya, Indra.

“Ah, sebelum itu pula. Dari lubuk hati Saya yang paling dalam, … Saya ingin memohonkan maaf yang sebesar-besarnya, karena telah membuat waktu Anda yang sangat penting menjadi terbuang sia-sia.”

Dia, si bocah laki-laki yang Purbararang lihat seperti boneka tanpa ekspresi, memiliki jarak rentangan usia yang hanya terpaut dua tahun lebih tua darinya.

Tetapi, entah kenapa, si putri sulung kerajaan Pasir Batang itu justru merasa kalau perilakunya Indra Jaya jauh lebih dewasa dari tingkah laku anak-anak seusianya.

“Y-ya ampun, itu bukan masalah.”

Menarik lengannya dari genggaman tangan Indra Jaya secara canggung, Purbararang cepat-cepat melabuhkan masing-masing kedua telapak tangannya di samping badan.

Tak berapa lama, ia tampak menarik sedikit kain gaun tuk di angkat, menyeret satu kakinya supaya berada di belakang kaki yang lain dan menekuknya sedikit, … dan terakhir, … ia membungkukkan badannya lumayan rendah dengan mata yang terpejam, dalam memberikan salam kehormatan kembali dengan langkah yang begitu anggun.

“Suatu kehormatan untuk Saya, dapat menghabiskan waktu luang ini bersama-sama dengan Anda, Duke kecil.”

"…."

Melihat keanggunan yang Purbararang pancarkan dari perlakuan sopannya yang menurut umum adalah hal yang biasa lagi lumrah, … Indra Jaya yang tadinya hanya memasang ekspresi kaku, monoton, lagi membosankan sehingga membuatnya tampak seperti marionette, … tak pernah menyadari, kalau dirinya ini sedang merasa terperangah.

Di samping helai rambut pirang keemasannya yang disisir secara rapi ke belakang, tampaklah cuping telinganya yang memerah dengan sangat, … seperti akan segera meledak!

Kendati demikian, tetap saja … raut wajah yang ia pasang saat ini, hanya ekspresi muka lempeng selurus dan sedingin tembok es.

Ah, omong-omong, kembali ke topik tentang tujuan bertemunya dua keluarga terpandang ini, yang mengaitkan acara penyatuan hubungan, … baik itu Purbararang maupun Indra Jaya sendiri, mereka tidak merasa keberatan untuk tak menolak pertunangan yang direncanakan.

Ini adalah suatu momen yang kerap kali ditemui di setiap hidup seorang aristokrat.

Memulai keluarga baru dari hasil pernikahan politik? Itu jauh lebih sering terdengar dibandingkan menikah atas dasar cinta.

Duduk dan menempatkan diri mereka, yang kini tengah berada di meja terpisah dengan orang tua juga orang-orang penting lain yang terlibat dalam merencanakan prosesi pertunangan, … Purbararang menatap lamat-lamat Indra Jaya di seberang.

Melihat tentang cara anak laki-laki itu meminum teh dengan tanpa kesusahan akan menimbulkan kesalahan.

Caranya memotongkan kue tart manis yang dipenuhi oleh krim susu dan potongan buah-buahan, lalu mengasongkan itu kepadanya.

Juga caranya memperhatikan dirinya dengan saksama, tatkala ia terus-menerus berbicara untuk bertanya atau pula mengatakan hal-hal yang abstrak dalam memecah keheningan suasana, … telah membuat Purbararang merasa sedikit lega.

Yah, putri muda itu merasa lega, karena mendapati bahwa si orang yang akan menjalin hubungan jangka panjang dengannya ini, … tidaklah seburuk yang ia sangka.

~•••~

“Pardon me ….”

Kurang mempercayai apa yang barusan di ucapkan oleh Purbararang, yang kini statusnya telah menjadi tunangan resminya sedari 7 minggu yang lalu, … Indra Jaya mencoba tuk memastikannya lagi, dengan bertanya.

“… Anda memanggil Saya ke sini hanya untuk mengajak Saya bermain?”

Datang terburu-buru ke istana selepas mendapati surat yang ia terima dari tunangannya, yang mengatakan kalau si gadis muda itu menginginkan kehadiran Indra Jaya di sampingnya dengan segera, … si putra Duke Jaya yang biasanya akan selalu memasang muka tak berekspresi, malah saat ini … melebarkan iris mata merahnya, dibarengi dengan cuping telinga yang sudah dijalari oleh warna rona menyala pula.

“Ya!”

Dengan ceria berjalan melompat-lompat kecil menghampiri Indra Jaya dan segera merangkul lengannya, Purbararang langsung menyeret tunangannya yang kikuk ini ke tempat-tempat yang ingin ia tunjukkan.

Berlarian kecil bersama-sama dilorong kastel dalam bertindak nakal dengan mengabaikan peraturan istana untuk jangan berjalan secara terburu-buru, … Purbararang telah sukses mencuri perhatian Indra Jaya, yang telah berniat untuk memfokuskan diri dalam memandanginya seorang saja.

Berlari di belakang sang tunangan dengan tangan mereka yang saling bertaut, … mata merah yang begitu terpaku terhadap helaian rambut hitam sepanjang dada milik Purbararang yang bergoyang secara melambai-lambai, … seperti sengaja tengah memamerkan setiap helai rambut indah selayaknya terbuat dari benang sutra yang dicampuri oleh bubuk batu obsidian, … berkilau dengan sorot mata penuh rasa penasaran.

Si anak laki-laki yang bahkan sudah tahu kalau dirinya selalu saja bertindak dan berasa seperti boneka yang kaku, kini, … telah merasa bahwa pipi berkulit putih pucatnya pula, telah panas dibakar oleh rona merah.

Ini adalah momen untuk yang pertama kali, terhadap dirinya yang baru dapat memenuhi hari-harinya dengan tanpa mengurung diri di perpustakaan, untuk belajar dan belajar saja.

Dikarenakan, seorang putri yang jauh lebih bagus jika ia panggil sebagai peri bidadarinya, telah datang dan mengajaknya untuk terbang mengelilingi indahnya bentangan cakrawala secara bersama-sama, … juga telah membawa segala rasa bahagia tak terhingga, cukup hanya dengan memandanginya saja.

~•~

“Ehhh, rambutmu halus sekali, Indra!”

Lagi-lagi cuping telinganya kembali memanas dengan warnanya yang mencolok, Indra Jaya yang saat ini sedang duduk anteng selagi Purbararang yang sudah mendandaninya dengan gaun, kerah pita, sepatu beraksesori permata, selayaknya pakaian yang sering dipakai anak perempuan tanpa memprotes sekali pun, … tengah menyisir rambut pirangnya dengan jari-jari untuk kemudian segera ia ikat menjadi dua kucir, … segera memalingkan muka dari orang yang bersangkutan, akibat dari tidak menginginkan kalau pipinya yang telah kembali terbakar semburat merah dilihat oleh sang tunangan.

“Warnanya juga cantik. Aku menyukainya!”

Hanya bisa terdiam tak berdaya karena terus-menerus mendapatkan serangan yang membuat jantungnya terasa berdebar-debar, … tanpa banyak bicara, Indra Jaya menarik tangan Purbararang yang hendak menjauh dari kepalanya, untuk kembali bertempat di letaknya semula.

“Jika Anda menyukainya, maka rambut ini jadi milik Anda.”

“….”

Apa maksudnya? Bukankah itu terdengar sangat aneh?

Tak memberikan reaksi apa pun atas ucapan yang dikatakan oleh Indra Jaya dengan penuh percaya diri, … Purbararang telah sukses dalam membuat tunangannya menggumamkan sesuatu di dalam hati, … perihal dirinya yang menginginkan untuk jatuh pingsan sekarang juga.

Dikarenakan, ia sangat-sangat tak kuasa dalam menahan segala rasa malu yang sangat keterlaluan ini!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status