Dua buah mobil limosin hitam berjalan beriringan menembus Kota Antro. Di dalam salah satu mobil itu, Rena yang duduk berhadapan dengan si pria tua merasa gerah dengan kelakuannya yang tidak bisa diam.
Pria ini terus saja bergerak ke sana kemari seperti merasa tidak nyaman. Ia terus saja melihat ke arah jendela seakan berniat untuk meloncat dari mobil saat ini juga. Rena ingin sekali menendangnya keluar namun ia urungkan.
"Apa aku harus pindah ke mobil lain?" tanya Rena.
"Ah... tidak, tidak, tidak," balas pria ini cepat dan kemudian memeluk ranselnya erat, "Aku hanya memiliki banyak pertanyaan, dan ini membuatku tidak bisa berhenti berpikir.”
"Kau bisa bertanya. Raja menyuruhku untuk menjawab semua pertanyaan."
"Benarkah?"
"Ya,” singkat Rena.
"Emm... sebenarnya...” si pria terlihat ragu, namun sedetik kemudian ia memberanikan dirinya.
“Sebenarnya kita mau ke mana? Karena aku lihat kita ba
"Ada apa ini...? Aku kira mereka semacam sekutu, tapi kenapa malah bersitegang? Lagi pula, siapa orang ini? Dan siapa yang dimaksud dengan Yang Mulia? Aku benar-benar tidak mengerti. Sepertinya aku dikirim ke lawan untuk dijadikan sandera," batin si pria tua."Tentukan pilihan Anda, saya tidak punya waktu untuk bernegosiasi," tambah Julio karena Rena hanya terus melihatnya.Rena lalu melihat rombongannya dari sudut matanya, sejenak dia berpikir, "Biarkan mereka masuk untuk menaruh barang-barang," jelasnya."Saya sudah katakan, tidak ada yang diperbolehkan masuk selain Anda dan dokter yang kami minta," balas Julio tegas.Tik. Tok. Tik. Tok.Waktu terus berjalan. Sementara itu, Julio memperhatikan rombongan yang dibawa oleh Rena, "Sepertinya keputusan Anda masih sama, saya anggap pertemuan ini batal. Kalau begitu, saya akan kembali masuk ke dalam. Terima kasih atas kedatangan—“Rena langsung memotong, "Kalian pula
Al melangkah kakinya menyelusuri lorong yang memiliki sebuah pintu kayu tua yang tampak masih kokoh di ujungnya. Ia kemudian membuka pintu dan mendapati Diana ada di dalamnya sedang melihat ke luar melalui jendela satu-satunya yang ada di kamar tersebut."Apa kau bertengkar lagi dengan Rai?" Al memasuki kamar dan mendekatinya."Apa dia yang menyuruhmu datang kemari?" Diana balik bertanya tanpa mau melihat wajah vampir hibrida ini."Tidak,” jawabnya, “Ini inisiatifku sendiri.”Diana menghela napasnya, "Aku hanya tidak suka vampir itu selalu mengusik Ika dan Iki. Bukankah dia kakaknya? Kenapa dia selalu mengirim adik-adiknya pergi? Apa dia memang sekejam itu? Apa dia takut kekuasaan direbut oleh adiknya? Hah... ini sangat lucu.”"Aku datang ke sini bukan untuk menjawab pertanyaanmu. Aku hanya ingin bilang, percayalah pada Rai. Dia punya alasan mengapa dia melakukannya. Beban pemimpin itu berat, bahkan kau tida
Rai menerjang maju, mendekati Diana hingga hanya tersisa jarak satu sentimeter di antara keduanya. Matanya memandang lurus ke manik mata Diana, memperhatikan setiap detail iris biru miliknya."Apa kau tipe orang yang selalu mengalihkan pembicaraan?" Rai bertanya."Aku tipe orang yang akan diam jika merasa tidak perlu berbicara.”"Kau harus membuka mulutmu kali ini," ucap Rai seraya mengusap bibir Diana, "Karena aku sudah tidak menyukai rahasia lagi."Diana membuang wajahnya, "Apa yang akan kau dapatkan dengan mengetahui rahasiaku?"Rai memundurkan tubuhnya, "Kita bisa melihatnya nanti.”Diana menghela napasnya, "Aku akan menjawab pertanyaanmu jika kau berhenti mengganggu si kembar," jelasnya mengajukan syarat."Siapa yang mengganggu mereka?" heran Rai."Aku akan diam kalau begitu."Rai kemudian terlihat berpikir, "Ini akan sulit, tapi aku akan mencobanya.”"Aku tidak meminta perc
Diana kemudian menyenderkan kepalanya ke belakang, melihat Rai dengan pandangan yang menerawang, "Aku akan takut jika salah satu tubuhmu tidak lengkap, putus, atau hal yang mirip seperti itu. Bagiku ini menakutkan.”“Maksudnya hantu...?” batin Rai. "Aku semakin tidak mengerti.”"Lupakan," balas Diana merasa sia-sia saja berbicara dengan vampir ini.Rai memandangnya kesal, “Apa menjawab pertanyaanku ini sangat sulit!?”“Tidak.”“Lalu kenapa kau selalu memberikan jawaban yang tidakku mengerti?”“Kapan aku melakukannya?”Rai mengepalkan tangannya mencoba menahan emosinya. “Jangan membuatku marah.”“Yang Mulia Raizel Harrison de Haltz,” ucap Diana membuat Rai terkejut, “Jangan membuat aku menjadi alasan kemarahanmu, jika yang sebenarnya adalah kau memang orang yang temperamen.”“K-kau...
"Apa sekarang kau sedang bermain teka-teki denganku?" tanya Rai."Tidak," bantah Diana."Lalu kenapa kau malah terus menambah daftar pertanyaanku!?!"Diana mengerutkan keningnya, "Jangan salahkan aku. Itu datang dari pikiranmu sendiri," jawabnya tidak mau disalahkan.Rai mendengus saat mendengarnya. "Apa kau mau bertanya juga?" tawarnya mengingat jika ia yang terus bertanya, maka wanita ini akan segera membuatnya gila dengan jawaban-jawaban tidak masuk akalnya.“Apa isi perjanjian antara kau dan Raltz?" tanya Diana tanpa ragu.Rai tidak percaya, dari segala pertanyaan yang bisa diajukan oleh manusia ini, tapi dia malah mengajukan pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang memiliki tujuan untuk orang lain, bukan untuk dirinya."Jadi, ini masih seputar si kembar? Apa kau sungguh-sungguh menyukai mereka?" tanya Rai."Jika ya, lalu kenapa?”"Aku akan memberikan mereka padamu," balas Rai serius.
Rai terkekeh, “Aku tidak punya waktu untuk menjadi bagian dari mereka, atau lebih tepatnya bertemu dengan para perwakilan vampir sialan ini.”“Lalu...?”“Albert dan Vero yang mewakili Haltz menjadi bagian Harawaltz.”Diana kembali mengerutkan keningnya karena mendengar nama yang asing lagi, “Vero..?”“Kau tidak akan mengenalnya, jadi aku tidak akan menjelaskannya,” balas Rai.“Dari apa yang kau jelaskan, bukankah itu bagus? Haltz melakukan pekerjaan yang baik bukan?”“Tidak juga,” bantah Rai, “Terkadang kami membunuh vampir tanpa ada alasan, lalu mengirim mayatnya ke klan mereka, atau memberikan hukuman yang tidak seharusnya, untuk memberikan efek jera. Namun sayangnya, mereka terus melakukan pelanggaran yang lebih dan lebih lagi. Kami juga menggunakan kekuatan klan sebagai alasan utama untuk melindungi diri.”“Kenapa
Diana kemudian menatap manik mata Rai lekat-lekat, "Kau menyayangi mereka bukan? Rika dan Riki?" Rai langsung membuang wajahnya."Kau mengirim mereka karena kau tahu Kevin tidak akan melukai adikmu, dan kau tahu dia akan melakukan pemberontakan. Tapi ini adalah sebuah pertaruhan, dan kau tetap melakukannya. Benar yang dikatakan oleh Al. Kau memang menanggung beban pemimpin sendirian. Aku dapat melihat jelas dari semua ucapanmu,” ungkap Diana."Ini bukan suatu pertaruhan. Aku sudah memikirkan semuanya. Ini adalah cara terbaik menyelamatkan mereka. Jika mereka tetap tinggal di sini, Harawaltz akan datang dan melenyapkan mereka,” balas Rai.“Tapi, jika mereka berada di sana Kevin akan menjaganya, dan jika mereka terluka aku akan punya alasan untuk melenyapkan Harawaltz selamanya,” lanjut vampir ini."Kau menyedihkan, Rai," batin Diana."Kenapa kau melihatku seperti ini?" tanya Rai karena Diana terus sa
Pak!Rai memukul keras tengkuk Diana dan membuatnya pingsan seketika. "Kalian berdua terlalu berisik," komentarnya seraya meletakkan Diana di singgasana."Jangan salahkan aku karena manusia itu sangat menyebalkan," balas Al.Rai tidak mau mendengar alasan apapun. Ia kemudian meraih kertas di genggaman Diana yang kini sudah lecek tidak beraturan lalu kembali membacanya. Wajahnya pun terlihat menahan amarah."Kenapa dia bersikukuh sekali meminta Ika dan Iki untuk kembali!?” tanya Rai."Mungkin karena Kevin butuh kekuatan dari adik-adikmu, terutama untuk melindungi manusia yang ada di kastelnya."Rai berdecak, "Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa mengirim si kembar ke sana, ada janji yang harus aku penuhi.”"Janji...? heran Al. “Janji dengan manusia itu?" tanyanya seraya mengedikkan dagunya ke arah Diana.Meski tidak mengiyakan, namun Al sudah mengetahui jawabannya. Ia pun memper