"Apa yang terjadi?" tanya Al, menyadari tangan Rai yang diperban.
“Selama aku di sini, aku tidak pernah sekali pun melihatmu memakai perban. Untuk apa kau memakainya?" sambungnya merasa heran.
"Entah," balas Rai tidak jelas.
“Huh? Entah...? Kau pikir perban ini akan melilitkan dirinya sendiri ke tanganmu seperti ular?”
“Mungkin.”
Al langsung memutar bola matanya, merasa jengah dengan jawaban abnormal yang sejak tadi dilontarkan oleh vampir di hadapannya.
***
Kevin, nama panggilan akrab dari seorang Yang Mulia Robert, sedang berada di atas pohon, bersantai dengan makian yang terus menerus keluar dari mulutnya ini.
"Ahh... Aku lapar!" erangnya sambil memegangi perut.
"Sial! Aku ini bukan vampir, seharusnya aku merasa haus bukan lapar," ocehnya lagi lalu mengelus lehernya seperti merasa kehausan yang teramat sangat.
"Seharusnya aku pergi setelah makan.
Di atas batang-batang pohon yang basah ini, Kevin masih menikmati waktu santainya dengan bersenandung. Hampir sama dengan tempat asalnya yang dipenuhi oleh salju, bedanya di sini tidak membekukan dan hanya terasa dingin karena udara yang lembap. Dia terus saja bersenandung tidak jelas seraya menghirup udara yang akhirnya tidak membuat hidungnya terasa kering. "Menjadi vampir pengembara ternyata tidak seburuk yang aku kira," ucapnya. "Bahkan ini lebih baik dari tempat beku sialan ini dan—" Kevin bernapas dalam-dalam, "—aku suka bau Bunga Lily ini. Manis," ungkapnya. Embusan angin membelai rambut merah panjang miliknya, helai-helai rambutnya terbang menggantung di udara. Suasana ini begitu sayang untuk ditinggalkan, terutama dengan bau semanis ini. Membuatnya semakin lapar. Perlahan, iris matanya yang berwarna cokelat gelap berubah warna menjadi merah darah. "Tunggu dulu!" Kevin bangkit dari tidurnya dan memasang wajah serius.
"Lily of the Valley. Bukan bunga yang bisa kau temui di dalam hutan seperti ini. Mereka tumbuh di sekitar lembah-lembah khususnya lembah pegunungan." gumam Kevin."Jika ini bukan bunga tersebut, maka tidak salah lagi. Ini adalah makanan. Terlebih—" dia kembali menghirup udara dalam-dalam, "—ini adalah bau seorang wanita yang masih perawan.""Tapi ini dekat dengan perbatasan Haltz. Salah langkah maka habislah riwayatku."“Ah! Persetan dengan ini semua! Bau ini sangat menggoda, dan aku sudah sangat lapar!!" oceh Kevin panjang lebar.Dia kemudian memantapkan langkahnya mendekati pohon besar di hadapannya. Namun, Kevin langsung terkejut dengan apa yang dilihatnya. "Makananku... Tumpah..." ujarnya.***Seorang wanita terbujur lemah di sisi belakang Pohon Pinus besar ini. Ia mengenakan gaun simpel cantik berwarna putih, tapi noda darah di bagian perutnya mengoto
Ssrrkk... Kevin menghentikan langkahnya setelah dia hampir saja menabrak pohon karena mendengar ucapan yang tiba-tiba dari wanita ini. Ia langsung menatap wanita yang bahkan belum membuka matanya ini. "Hampir saja..." lalu menghela napasnya, “Oi... Kau masih sadar?" "Kalau kau tidak suka maka jangan lakukan hal itu. Hiduplah seperti yang kau mau," ujar wanita ini. "Mengigau...?" batin Kevin. Dengan deru napas yang teratur, wanita ini semakin memperat pelukannya ke Kevin. Tubuh vampir ini memang dingin, tapi baginya dia merasakan kehangatan. Cukup hangat untuk membuatnya tidak mau membuka mata. Sedangkan Kevin menyadari dirinya yang sudah sampai ke wilayah Raltz. Sebuah wilayah yang ditutupi oleh tumpukan salju-salju, membuat warna putih menjadi dominan di sudut mana pun. "Apa kau kedinginan? Aku lupa kalau kau ini manusia," ucapnya santai seakan-akan memberi petunjuk bahwa dia vampir.
"Apa?" tanya Kevin yang sudah berada di balkon bersama Julio. "Mmm... mmm..." Julio terbata-bata. "Aku akan pergi kalau begitu." Namun Julio langsung menarik ujung baju Kevin. "Kau berani menarik bajuku!?" Refleks, Julio langsung melepas pegangannya, "Ah... maaf, Yang Mulia," katanya sambil menundukkan kepala. "Mereka sudah pergi?" tanya Kevin mulai serius. "Ya.” "Bagaimana dengan respons mereka?" "Wanita itu tentu saja marah!" seru Julio, "Tapi Tuan Ben... dia hanya menanggapinya dengan tenang," jelasnya. "Ben bersikap tenang? Ini tidak biasanya. Pasti ada sesuatu yang dia katakan, bukan?" "Ya. Dia menyuruhku untuk menyampaikan padamu bahwa takdir Yang Mulia adalah menjadi pemimpin Klan Raltz." "Maksudnya menjadi pemimpin boneka? Haahhh... dia membuatku ingin tertawa. Aku sudah muak dengannya. Diatur dan terus diatur. Jika dia mau, ambil saja takhta ini. Aku tidak membutuhkannya
Benedict berjalan memasuki sebuah gedung tua seorang diri. Di sana sudah berdiri seorang pria yang menunggu kedatangannya sejak tadi. "Kau terlambat," ucap pria ini. "Ada remah-remah yang harus aku bersihkan," balas Ben. "Bagaimana keadaannya?" "Tidak terlalu buruk, kita masih bisa terus mengeksploitasinya." "Dan dia?" "Ahh... dia? Aku berpikir apa yang harus aku lakukan dengannya. Dia sudah tidak memiliki apapun, bahkan tidak untuk sebuah jantung," ucap Ben dengan senyum yang mengerikan. "Wanita pembawa jantung ini, bagaimana kau akan menemukannya?" tanya pria ini. "Sebuah bau." "Bau?" "Sama seperti ibunya, dia memiliki bau Bunga Lily." *** Dengan terburu-buru, Julio berlari untuk menemui tuannya—Kevin. Kedatangan vampir itu sudah ditunggu-tunggu oleh Julio sejak kemarin. Tapi, setelah mendengarnya telah kembali, Julio langsung berh
"Jadi dia tidak mengingat namanya, di mana dia tinggal atau bahkan keluarganya?" dan satu anggukan mengikuti akhir pertanyaan ini. "Lalu kau berencana menjadikannya Ratu Raltz bahkan saat dia sendiri tidak mengetahui siapa dirinya?" tanya Julio. "Sebenarnya siapa pemimpin di sini? Kenapa kau lancang sekali melarangku melakukan ini dan itu?" kesal Kevin pada tangan kanannya—Julio. “Jelas aku melarangnya. Ini bukan hanya tentang seorang wanita atau manusia. Tapi ini masalah tentang siapa yang akan menjadi Ratu! Kau tidak bisa seceroboh ini dalam menentukan segalanya.” “Jaga bicaramu, kau hanya seorang tangan kanan. Akulah pemimpin di sini.” "Lupakan tata karma dan posisi saat ini! Yang aku lakukan hanya menjagamu!" seru Julio. "Jika begitu, jaga aku darinya! Vampir busuk itu... enyahkan dia!!" Dengan pandangan mata yang langsung dialihkan, Julio membalas, "Itu tidak mungkin. Dia adalah Tuan Benedict de Waltz. Pen
Pagi hari dan tidur Diana harus sudah terganggu dengan kehadiran si kembar yang mencoba membangunkannya sejak tadi. Mereka terus saja mengganggu tidurnya. "Tidak geli," lirih Diana mengomentari tindakan mereka yang menggelitiki telapak kakinya menggunakan ilalang. "Selamat pagi, Kak Diana!" sapa Ika ceria. "Ngghh...” suara Diana mengerang, mencoba merelakskan tubuhnya yang menegang setelah tidur. “Kalian sudah tidak bersembunyi lagi?" "Hmm—" angguk Iki, "—tapi kami tetap tidak berani bertemu dengan Kak Rai," ucapnya. "Apa Rai sangat menakutkan?" tanyanya dengan mata setengah terpejam. "Kak Diana tidak mengetahuinya?" tanya Ika. "Mengetahui apa?" "Dibalik sifat dinginnya, Kak Rai adalah vampir yang kejam. Dia kasar dan juga arogan," jelas Iki. "Bahkan dia tidak pernah mengunjungi kami selama di Raltz. Kami hanya mendapat kabar dari Al yang datang ke sana setiap dua bulan sekali," tambah
Iki dan Ika sedang berkonsentrasi membuat mahkota bunga yang akan diberikan ke Diana. Tetapi, mereka sesekali melirik ke arah Rai yang sekarang sedang berbicara dengan Al di sisi lainnya. "Mata kalian akan berpindah ke samping kalau kalian tetap seperti ini," kata Diana mengomentari perilaku keduanya. "Ah... tidak... kami tidak melihat apapun," balas Iki gugup. Diana menghela napasnya. Ia sangat tahu kenapa si kembar selalu melirik ke arah Rai, ini karena mereka takut Rai akan mengirim mereka kembali ke Raltz. Sepertinya Raltz adalah tempat yang buruk. Walau sebenarnya Diana sendiri tidak tahu seberapa buruknya tempat itu, tapi dia bisa menilai dari penolakan keras si kembar yang sangat tidak mau kembali ke sana. Maka sudah dapat dibayangkan bahwa memang tempat itu bukanlah sesuatu tempat yang nyaman untuk ditinggali. "Kenapa kalian bisa tinggal di sana?" tanya Diana. "Maksudnya Raltz? Itu—” Ika menjeda katanya, merasa