Masuk
"Lestari..." Suara Joko keluar lebih mirip bisikan parau.
Lestari menoleh, diikuti tiga pasang mata lainnya. Senyum semanis madu itu memudar, berganti kerutan jijik di dahinya yang mulus. "Joko? Mau apa kamu ke sini?" tanyanya ketus.
Joko menelan ludah, terasa seperti menelan kerikil. "I-ini... untukmu," katanya, menyodorkan bunga kamboja itu. "Aku... aku suka sama kamu, Lestari."
Hening sejenak, lalu meledak menjadi tawa sinis dari teman-teman Lestari.
Lestari menatap bunga di tangan Joko, lalu ke wajahnya yang pucat pasi. Tatapan matanya menusuk, dingin dan merendahkan. "Joko, Joko... kamu ini waras atau tidak?" desisnya.
"Kamu mau melayat siapa? Bawa-bawa bunga kuburan begini!"
"Benar itu, Tari!" sahut Dina, temannya. "Dia pikir kamu ini kuntilanak apa, dikasih bunga beginian!"
"Aku serius, Lestari," bisik Joko, mengabaikan ejekan itu.
"Serius?" Lestari tertawa hambar, suara yang lebih menyakitkan dari tamparan. Ia bangkit, melangkah mendekat. "Joko, dengar baik-baik. Kamu mau kasih makan aku apa? Cinta? Memangnya cinta bisa buat beli skincare dan kuota internet? Lulusan SMP sepertimu itu paling banter jadi kuli bangunan. Gajimu sebulan bahkan tidak cukup untuk uang jajanku seminggu!"
"Lihat saja dirimu!" timpal Susi, menusuk lebih dalam. "Baju butut, sandal jepit. Apa kamu mau ajak Lestari tinggal di gubuk reotmu itu, sama kakekmu yang batuk-batuk terus?"
Setiap kata adalah tamparan. Hati Joko terasa diremas.
Lestari menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Joko, sadar diri. Kita ini beda kasta. Kamu itu tanah, sementara aku ini langit. Sekarang, pergi. Bunga busukmu ini bawa saja kembali ke kuburan."
Ia bahkan tidak sudi menyentuh bunga itu.
Hancur.
Seluruh dunia Joko hancur.
Dengan kepala tertunduk, diiringi gelak tawa yang membahana, Joko berbalik dan berlari. Ia berlari meninggalkan harga dirinya yang terkoyak di saung itu.
Napasnya tersengal saat tiba di depan gubuknya. Namun, rasa malu itu seketika sirna, digantikan oleh horor yang mencekik. Dari celah pintu, terdengar suara batuk yang parah, disusul erangan lirih. Suara kakeknya.
"Kakek!"
Joko menerobos masuk. Pemandangan di depannya adalah palu godam yang menghantam sisa-sisa jiwanya.
Kakeknya terbaring di dipan, menggigil hebat seolah demamnya bisa membekukan api. Wajahnya sepucat kertas, bibirnya membiru, dan setiap tarikan napasnya terdengar seperti serutan kelapa basah, berat dan menyakitkan. Bau minyak angin yang tajam bercampur dengan aroma anyir darah yang samar-samar membuat perut Joko mual.
"Kakek!" teriak Joko, suaranya pecah. Ia luruh ke lantai di samping dipan, menggenggam tangan keriput itu.
Dingin. Sedingin es.
"Kakek kenapa?! Bertahan, Kek! Kita ke mantri sekarang!" racau Joko, pikirannya kacau balau. Ia hendak bangkit, menarik tubuh ringkih itu jika perlu, namun sebuah genggaman yang luar biasa lemah, namun tegas, menahannya.
"Ndak... usah, Le..." desis sang kakek di sela batuknya yang menyiksa. Matanya yang berkabut menatap Joko, dan di dalam tatapan itu, Joko melihat lautan kasih sayang yang tak bertepi. "Percuma... Ajal itu... kalau sudah memanggil... ndak bisa ditawar."
"Jangan ngomong gitu, Kek! Kakek pasti sembuh! Kakek orang paling kuat yang Joko kenal!" isak Joko, air matanya mulai menggenang. "Joko cari bantuan! Joko panggil Pak RT!"
"Ssssttt... Duduk, Le... duduk sini... dekat Kakek," pinta sang kakek, suaranya nyaris tak terdengar. "Sudah... ndak ada waktu lagi..."
Dengan berat hati, Joko kembali berlutut. Tangan kurus sang kakek terangkat dengan susah payah, menyentuh pipi Joko. Kulitnya terasa seperti kertas tua, rapuh dan dingin.
"Kamu itu... anak baik, Joko. Cucu Kakek satu-satunya," bisiknya. "Maafkan Kakek... ndak bisa... kasih kamu harta. Maafkan Kakek... kalau hidupmu... susah..."
"Joko nggak butuh apa-apa, Kek! Joko cuma butuh Kakek di sini!" tangis Joko pecah, membasahi tangan ringkih itu.
"Darahmu... itu beda, Le," lanjut sang kakek, matanya menatap lurus seolah menembus jiwa Joko. "Darah kita... itu darah... Lelaki Kencana. Tugas Kakek menjagamu... sudah selesai... sekarang... tugasmu yang melanjutkan."
Joko hanya bisa menggeleng, tidak mengerti sama sekali. Lelaki Kencana? Apa itu? Kepalanya terlalu penuh dengan rasa takut kehilangan.
Sang kakek terbatuk hebat, tubuhnya melengkung menahan sakit. Setitik darah segar muncul di sudut bibirnya. Matanya yang sayu bergerak liar, menunjuk ke sebuah lemari kayu tua yang miring di sudut ruangan.
"Joko... dengarkan Kakek baik-baik..." napasnya semakin pendek dan cepat. "Di... di balik lemari itu... ada... warisan..."
"Warisan apa, Kek?"
"Ambil... Cepat, Le... waktunya... sempit sekali..." desak sang kakek, cengkeramannya menguat sesaat.
Joko bimbang, hatinya menjerit tak mau meninggalkan sisi kakeknya barang sedetik pun. "Tapi, Kek, Joko mau di sini..."
"Sekarang, Joko!" Suara kakeknya tiba-tiba menggelegar, penuh wibawa dan keputusasaan. Matanya yang tadi sayu kini berkilat tajam. "Lakukan perintah Kakek!"
Tersentak oleh perintah terakhir yang penuh kekuatan itu, Joko bangkit. Dengan air mata yang mengaburkan pandangan, ia mengerahkan seluruh tenaganya mendorong lemari tua itu. Bau debu dan kayu lapuk menusuk hidungnya.
Lemari itu bergeser dengan suara derit yang memilukan, memperlihatkan sebuah lubang di lantai papan.
Di dalamnya, terbungkus kain belacu kusam, sebuah benda tergeletak.
Saat menyentuhnya, sengatan halus namun tajam menjalar di lengannya. Ia meraih bungkusan itu dan bergegas kembali.
Napas kakeknya kini hanya helaan-helaan pendek. Matanya setengah terpejam.
"Ini, Kek... sudah Joko ambil..." isaknya, menunjukkan bungkusan itu.
Mata kakeknya sedikit terbuka, tatapannya menyiratkan kelegaan yang luar biasa. "Bagus...," bisiknya. "Ingat pesanku, Le... Jangan... dibuka... sembarangan..."
Ia berhenti, mengumpulkan sisa napas terakhirnya.
"Benda itu... hidup... dia minta... darahmu... sebagai... kuncinya..." lanjutnya terbata-bata. "Gunakan... dengan... bi...jak... Jangan sampai... dikuasai..."
"Dikuasai? Maksud Kakek apa?" tanya Joko panik, mengguncang pelan lengan itu.
Sang kakek mencoba tersenyum, senyum terakhirnya. "Jaga... diri... Le..."
Setelah kata terakhir itu, genggaman tangannya melemas total. Dadanya tak lagi bergerak. Kilat di matanya yang sayu telah padam selamanya. Helaan napas terakhir telah dihembuskan tanpa suara.
Keheningan yang memekakkan telinga.
Joko terpaku. Otaknya menolak. "Kek? Kakek...?" panggilnya dengan suara bergetar.
Hening.
"KEK!"
Sebuah lolongan pilu akhirnya pecah dari dadanya, raungan panjang dari seorang anak laki-laki yang dunianya, dalam satu jam yang singkat, telah dirampas, dihancurkan, dan dibakar menjadi abu.
Ia memeluk tubuh yang mendingin itu. Di sampingnya, tergeletak anak panah ketiga warisan misterius dengan pesan terakhir yang ganjil. Ia sendirian sekarang. Benar-benar sendirian.
Dengan air mata yang masih mengalir, Joko menggenggam bungkusan itu. Berat dan terasa memancarkan hawa hangat. "Kek," bisiknya pada keheningan. "Joko bersumpah. Joko akan gunakan ini. Bukan untuk balas dendam, tapi untuk membangun takdir di mana tak seorang pun berani merendahkan Joko lagi, jika memang pusaka ini akan merubah hidup Joko."
Sumpah itu terucap.
Di dalam genggamannya, ia bisa merasakan bentuk dari pusaka itu. Sebuah Keris Semar Mesem. Pusakanya yang menandai kembalinya Sang Penguasa!
“Ini...” kata Joko. “Bukan fitnah lagi.”Mata Eyang Giri Sewu melotot, pembuluh darah di matanya pecah. Ia meronta-ronta, kakinya menendang-nendang tanah dalam sakaratul maut.“Ini...” lanjut Joko, menatap matinya cahaya kehidupan di mata sang Maha Guru. “Baru aku yang melakukan pembunuhan.”KREK.Sebuah sentakan akhir yang kuat mengakhiri segalanya.Tubuh Eyang Giri Sewu kejang sesaat, lalu terkulai lemas. Matanya yang melotot menatap kosong ke langit malam, dipenuhi oleh ketakutan abadi. Sang Maha Guru dari Gunung Lawu, yang ditakuti oleh banyak orang, tewas di tangan seorang pemuda di lapangan kosong yang becek, karena kesombongannya sendiri.Joko melepaskan cengkeramannya. Ia berdiri perlahan, menatap mayat di kakinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena pelepasan adrenalin yang dahsyat.Ia baru saja membunuh orang. Dengan tangannya sendiri. Dengan sadar.Anehnya, ia tidak merasa menyesal. Ia tidak merasa bersalah. Ia hanya merasakan kehampaan yang dingin, dan sebua
Eyang Giri Sewu, Sang Maha Guru yang ditakuti di seluruh tanah Jawa, kini tak ubahnya seperti orang tua renta yang ketakutan. Dengan napas tersengal dan jubah hitam yang compang-camping, ia menyeret kakinya menjauhi lapangan itu. Ia tidak memedulikan Ki Agni dan Ki Banyu yang masih pingsan. Nalurinya hanya menjerit satu hal: lari. Ia harus kembali ke gunung, menyusun ulang kekuatan, dan tidak pernah berurusan lagi dengan wadah Naga Raja ini.Namun, ia melupakan satu hal. Naga tidak melepaskan mangsanya begitu saja.Di tengah lapangan, Joko yang masih berlutut perlahan mengangkat kepalanya. Cahaya emas di matanya memang sudah padam, namun kini digantikan oleh kegelapan yang pekat dan dingin. Sesuatu di dalam dirinya telah patah. Tuduhan Eyang Giri Sewu tadi, fitnah keji bahwa ia membunuh Ki Karyo dengan pistol, terus terngiang di telinganya, berputar-putar, bercampur dengan adrenalin dan sisa-sisa aura naga yang buas.“Dia menuduhmu membunuh,” bisik sebuah suara di kepalanya. Bukan sua
Suhu pusaka itu melonjak drastis. Bukan lagi hangat. Bukan lagi panas. Itu adalah sensasi terbakar. Rasanya seperti ada sepotong besi cair yang ditempelkan langsung ke kulit dada Joko.Rasa sakit dari panas itu begitu hebat hingga menyentak Joko kembali ke kesadaran penuh. Matanya terbuka lebar."Argh..." erangnya.Panas itu tidak membakar kulitnya menjadi abu. Sebaliknya, panas itu meresap ke dalam, menembus daging, menembus tulang, dan masuk langsung ke dalam aliran darahnya. Energi yang tertidur di dalam pusaka itu, energi yang selama ini hanya keluar sedikit demi sedikit, kini dipaksa bangun sepenuhnya oleh ancaman kematian.Darah Joko mendidih. Jantungnya berdetak dengan ritme yang baru, ritme yang lambat namun begitu kuat hingga terdengar seperti dentuman drum perang di telinganya. Dug... Dug... Dug...Di dalam benak Joko, suara Khodam yang tadi panik kini berubah. Ia tidak lagi berbicara. Ia meraung. Raungan itu bukan suara manusia. Itu adalah suara binatang purba.Dan kemudian
Ki Agni dan Ki Banyu tidak sempat menghindar. Mata mereka terbelalak ngeri.BOOOMMMM!!!Bola itu meledak tepat di depan mereka.Gelombang ledakan melemparkan kedua murid senior itu ke udara seperti boneka kain. Mereka terpental jauh ke belakang, menabrak pepohonan di pinggir lapangan, dan jatuh bergedebuk ke tanah. Asap mengepul dari tubuh mereka. Mereka tidak bergerak lagi. Pingsan, atau mungkin lebih parah.Joko jatuh berlutut, napasnya memburu hebat, keringat bercucuran deras. Ia berhasil. Ia memenangkan adu tenaga dalam itu.Namun, kemenangannya belum lengkap.Dari balik asap ledakan yang mulai menipis, terdengar suara tepuk tangan. Pelan. Lambat. Dan mengerikan.Prok… Prok… Prok…Joko mendongak.Eyang Giri Sewu masih berdiri di tempatnya semula. Jubah hitamnya bahkan tidak kusut sedikit pun. Wajah tuanya diterangi oleh sisa-sisa cahaya energi. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat takut.Ia tersenyum. Senyum yang membuat darah Joko membeku.“Luar biasa,” kata Sang Maha Guru,
Jarum-jarum es itu menghantam perisai Joko, pecah berkeping-keping seperti kaca yang menabrak tembok baja. Serpihan es berhamburan, menciptakan kabut dingin yang bercampur dengan uap panas dari serangan Ki Agni.“Serangan ganda!” perintah Ki Agni.Tanpa memberi jeda, kedua murid Eyang Giri Sewu itu menyerang bersamaan. Ki Agni dari kanan dengan pukulan-pukulan api yang eksplosif, dan Ki Banyu dari kiri dengan sabetan-sabetan tangan yang dialiri energi air yang tajam dan memotong seperti pisau.Joko terdesak hebat. Ia menari di antara api dan air, menangkis, menghindar, dan melompat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ini jauh lebih sulit daripada melawan preman fisik. Ini adalah pertarungan energi. Setiap benturan menguras tenaga dalamnya, setiap tangkisan membuat tulang-tulangnya bergetar.“Gunakan matamu, bocah!” bentak Khodam di kepalanya. “Jangan lihat gerakan fisik mereka! Itu tipuan! Lihat aliran energinya! Baca niat mereka sebelum mereka bergerak!”Joko memaksakan fokusnya di
“Wahyu Kencana,” katanya, suaranya penuh dengan hasrat. “Kekuatan suci itu terlalu agung untuk berada di tubuh kotor seorang pembunuh sepertimu. Kau telah menodainya. Kau telah menggunakan kekuatan itu untuk kejahatan.”“Aku tidak membunuhnya!” tegas Joko lagi, mulai merasa frustrasi. “Terserah kalian mau percaya atau tidak. Tapi kalau kalian datang ke sini hanya untuk menuduhku sembarangan, lebih baik kalian pulang saja. Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang pikun.”Kata pikun itu adalah pemicu terakhir.Eyang Giri Sewu tertawa lagi, tawa yang kali ini benar-benar mengerikan. Aura hitam pekat mulai menguar dari tubuhnya, menyatu dengan kabut malam.“Berani sekali...” bisiknya. “Sudah membunuh muridku, kini kau menghina gurunya. Baiklah. Jika kau memang ingin bermain kasar, kami akan layani.”“Dengar baik-baik, bocah,” lanjut Eyang Giri Sewu. “Aku tidak akan membunuhmu dengan cepat. Itu terlalu enak untukmu. Aku akan mencabut pusaka itu dari dadamu, lalu aku akan mencabut nyawamu







