MasukBayangan pemakaman kemarin diingat Joko. Aroma tanah basah, isak tangis Joko yang tertahan, dan tatapan kasihan para tetangga berkelebat seperti mimpi buruk. Kini yang tersisa hanyalah hening yang memekakkan.
Joko terus melangkah dengan cangkul di bahunya. Setiap sapaan ramah dan anggukan hormat yang diterimanya dari warga desa membuatnya semakin paranoid. Ia berjalan menunduk, pandangannya terkunci pada sandal jepitnya yang usang, berharap bisa mencapai rumah Pak Rahmat secepatnya tanpa harus berinteraksi dengan siapa pun.
Saat ia membelok di tikungan menuju jalan utama, ia harus melewati saung bambu yang sialan itu. Saung yang dua hari lalu menjadi saksi bisu kehancuran harga dirinya. Jantungnya mencelos, detak itu kembali terasa seperti gendang perang yang panik. Ia mempercepat langkah, ingin melintas secepat kilat.
Namun, takdir punya rencana lain.
Tepat di saung itu, Lestari, ditemani Dina dan Susi, sedang asyik berbincang sambil menikmati es teh. Lestari, seperti biasa, tampak memukau dengan pakaian modisnya yang kontras dengan suasana desa.
Joko mencoba berjalan seolah ia adalah bayangan, berharap tatapan mata Lestari akan selamanya buta terhadap keberadaannya. Tapi kali ini, ia salah.
"Hei! Berhenti!"
Suara itu. Suara nyaring yang menusuk telinga dan hati Joko, suara yang dua hari lalu ia dengar meledak dalam tawa sinis. Joko mengeras, cangkul di bahunya terasa membeku. Ia tidak mau menoleh. Ia hanya ingin pergi.
"Joko! Aku bilang berhenti!" Suara Lestari kini lebih tegas, ada nada aneh yang terselip di dalamnya—bukan lagi nada merendahkan, melainkan... kebingungan?
Joko menarik napas, perlahan, ia menghentikan langkahnya yang hampir mencapai batas aman. Ia menolehkan kepalanya sedikit, cukup untuk melihat Lestari.
Lestari, Susi, dan Dina menatapnya. Raut wajah Dina dan Susi masih sama: sinis, siap mengejek. Tapi Lestari? Mata gadis itu... membelalak sedikit. Ada kerutan samar di keningnya yang mulus, seolah ia sedang melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada.
"Mau apa?" tanya Joko, suaranya datar, tanpa emosi, sebuah lapisan es tipis menyelimuti suaranya yang biasanya parau.
Lestari bangkit dari duduknya, langkahnya maju beberapa kali. Ia mendekat, matanya tidak lepas dari Joko.
"Kamu... mau ke mana?" tanya Lestari, suaranya sedikit bergetar.
Joko menatapnya lekat. Ia merasakan gelombang kebencian dan rasa sakit yang mencoba bangkit dari perutnya, tapi anehnya, perasaan itu terasa jauh, seolah ada dinding transparan yang memisahkannya dari emosi-emosi tersebut.
"Bukan urusanmu," jawab Joko, lebih singkat dan lebih tajam dari yang ia duga.
Lestari tersentak. Dina dan Susi saling pandang, terkejut.
"Joko, kok kamu ngomong begitu?" sela Dina, setengah mencibir, setengah bingung. "Mestinya kamu senang Lestari menyapamu!"
Joko menggeser pandangannya dari Lestari ke Dina, tatapannya kosong, namun entah mengapa terasa mematikan.
"Memangnya kenapa kalau dia menyapaku? Apa ada undang-undang yang mengharuskan aku merasa senang hanya karena seorang 'Langit' menyapa 'Tanah' sepertiku?" tanya Joko, mengulang kata-kata yang Lestari ucapkan dua hari lalu dengan intonasi yang persis sama, namun tanpa sedikit pun emosi. Itu terdengar seperti pernyataan fakta yang dingin, bukan sindiran.
Wajah Lestari seketika memerah, bukan karena marah, tapi karena malu yang datang tiba-tiba.
"Joko, tunggu! Dengarkan aku!" seru Lestari, mengambil langkah lain mendekat. Ia kini berdiri hanya berjarak satu meter di depannya.
Joko meletakkan cangkulnya ke tanah, berdecak. "Ada apa? Aku sedang terburu-buru. Aku harus mengambil upahku dari Pak Rahmat, dan aku tidak punya waktu untuk drama konyolmu ini."
Ucapan itu membuat Lestari semakin bingung. Ia menatap wajah Joko, dan di sana, ia menemukan sesuatu yang asing dan menarik perhatiannya secara paksa. Mata Joko yang biasanya memancarkan kerendahan diri, kini memancarkan ketenangan yang aneh, seperti danau yang sangat dalam dan gelap. Ada semacam aura yang membungkusnya, tipis, tak terlihat, namun terasa menekan. Itu adalah perasaan yang membuat Lestari, yang selalu merasa unggul, tiba-tiba merasa... kecil.
Kenapa... kenapa dia terlihat... berbeda sekali? batin Lestari, jantungnya mulai berdebar kencang tanpa alasan jelas.
"Joko... aku..." Lestari berusaha mencari kata-kata, tapi suaranya tercekat. "Aku cuma mau bertanya... mau ke mana kamu bawa cangkul sepagi ini?"
Joko mengangkat satu alisnya, ekspresi yang tidak pernah Lestari lihat di wajahnya. Itu adalah ekspresi meremehkan yang halus.
"Sungguh? Kamu menghentikan langkahku hanya untuk menanyakan hal se-'penting' itu?" tanya Joko. Ia membungkuk, meraih gagang cangkulnya. "Sudah kubilang, ke rumah Pak Rahmat. Untuk mengambil upah kerjaanku yang sudah selesai."
"Upah?" tanya Lestari, nada suaranya berubah menjadi khawatir. "Kenapa kamu harus capek-capek mencangkul? Bukannya kamu... kamu bisa cari kerja yang lebih baik?"
"Lebih baik?" Joko tertawa hambar, bukan tawa mengejek, tapi tawa kepahitan. "Menurutmu pekerjaan apa yang 'lebih baik' untuk lulusan SMP tanpa koneksi, tanpa modal, dan tinggal di gubuk reot bersama Kakek yang..." Ia berhenti sejenak, menelan gumpalan pahit di tenggorokannya. "...yang kini sudah tiada?"
Raut wajah Lestari berubah menjadi iba yang tulus. "Kakekmu... meninggal?"
"Ya," jawab Joko singkat, dingin. "Dua hari lalu. Tepat setelah kamu dan teman-temanmu selesai membuang sampah lisanmu di hadapanku."
Pernyataan itu telak menghantam Lestari. Wajahnya pucat pasi. Ia menoleh sekilas ke Dina dan Susi yang kini menunduk, tidak berani angkat bicara.
"Joko, a-aku minta maaf..." ucap Lestari, suaranya benar-benar terbata dan tulus. "Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu soal Kakekmu."
"Tidak perlu," potong Joko. "Permintaan maafmu tidak akan mengembalikan harga diriku yang kamu injak-injak, atau mengembalikan Kakekku. Sejak kapan 'Langit' merasa perlu meminta maaf pada 'Tanah'?"
"Tolong, jangan ulangi kata-kata itu..." pinta Lestari, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku sangat menyesal. Aku minta maaf soal perkataanku kemarin. Itu... itu semua omong kosong. Aku tidak bermaksud serius."
"Tidak bermaksud serius?" Joko mencondongkan tubuhnya sedikit, tatapan matanya semakin intens, seolah-olah ia menelanjangi jiwa Lestari. "Tapi perkataanmu dua hari yang lalu sangat serius bagiku. Begitu serius sampai membuatku sadar bahwa kasta yang kamu sebutkan itu memang ada. Dan aku, 'Tanah', tidak berhak berada di dekat 'Langit' sepertimu."
Lestari kini meneteskan air mata. Ia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Biasanya, ia akan marah jika ada yang menolaknya, apalagi Joko. Tapi melihat mata dingin dan ketenangan yang mematikan itu, ia hanya merasakan sakit di dada dan keinginan yang sangat kuat untuk mengembalikan Joko yang lama—Joko yang memujanya, yang menganggapnya sebagai ratu.
"Joko, kumohon! Jangan bicara seperti itu! Aku benar-benar menyesal. Apa yang harus kulakukan agar kamu memaafkanku?" Lestari melangkah maju lagi, tanpa sadar tangannya terulur hendak menyentuh lengan Joko.
Joko mundur selangkah, menghindar dari sentuhan Lestari.
"Tidak ada," ujar Joko, suaranya kembali datar. "Aku tidak butuh maafmu. Aku hanya butuh ruang. Ruang untuk menjauh dari desa ini, dari kenangan buruk, dan terutama, darimu."
"Pergi?" Lestari terkejut. "Kamu mau pergi ke mana?"
"Aku tidak tahu. Jauh. Jakarta, mungkin. Atau ke mana pun yang tidak mengenal nama 'Joko, si Bunga Kuburan'," jawab Joko, senyum tipis, namun mematikan, terukir di bibirnya.
Lestari semakin panik. Rasa panik itu diselingi oleh kebingungan yang membuncah setiap kali ia menatap mata Joko. Ada daya tarik aneh, magnet tak kasat mata yang tiba-tiba muncul dari diri pemuda ini.
"Tunggu dulu! Jangan pergi!" Lestari mencekal pergelangan tangan Joko, kali ini ia tidak membiarkan Joko menghindar. Sentuhan itu terasa mengejutkan bagi keduanya.
Saat tangan Lestari menyentuh kulit Joko, gelombang energi halus Keris Semar Mesem yang tertanam di bawah lapisan kesadaran Joko seolah berdenyut.
“Ini...” kata Joko. “Bukan fitnah lagi.”Mata Eyang Giri Sewu melotot, pembuluh darah di matanya pecah. Ia meronta-ronta, kakinya menendang-nendang tanah dalam sakaratul maut.“Ini...” lanjut Joko, menatap matinya cahaya kehidupan di mata sang Maha Guru. “Baru aku yang melakukan pembunuhan.”KREK.Sebuah sentakan akhir yang kuat mengakhiri segalanya.Tubuh Eyang Giri Sewu kejang sesaat, lalu terkulai lemas. Matanya yang melotot menatap kosong ke langit malam, dipenuhi oleh ketakutan abadi. Sang Maha Guru dari Gunung Lawu, yang ditakuti oleh banyak orang, tewas di tangan seorang pemuda di lapangan kosong yang becek, karena kesombongannya sendiri.Joko melepaskan cengkeramannya. Ia berdiri perlahan, menatap mayat di kakinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena pelepasan adrenalin yang dahsyat.Ia baru saja membunuh orang. Dengan tangannya sendiri. Dengan sadar.Anehnya, ia tidak merasa menyesal. Ia tidak merasa bersalah. Ia hanya merasakan kehampaan yang dingin, dan sebua
Eyang Giri Sewu, Sang Maha Guru yang ditakuti di seluruh tanah Jawa, kini tak ubahnya seperti orang tua renta yang ketakutan. Dengan napas tersengal dan jubah hitam yang compang-camping, ia menyeret kakinya menjauhi lapangan itu. Ia tidak memedulikan Ki Agni dan Ki Banyu yang masih pingsan. Nalurinya hanya menjerit satu hal: lari. Ia harus kembali ke gunung, menyusun ulang kekuatan, dan tidak pernah berurusan lagi dengan wadah Naga Raja ini.Namun, ia melupakan satu hal. Naga tidak melepaskan mangsanya begitu saja.Di tengah lapangan, Joko yang masih berlutut perlahan mengangkat kepalanya. Cahaya emas di matanya memang sudah padam, namun kini digantikan oleh kegelapan yang pekat dan dingin. Sesuatu di dalam dirinya telah patah. Tuduhan Eyang Giri Sewu tadi, fitnah keji bahwa ia membunuh Ki Karyo dengan pistol, terus terngiang di telinganya, berputar-putar, bercampur dengan adrenalin dan sisa-sisa aura naga yang buas.“Dia menuduhmu membunuh,” bisik sebuah suara di kepalanya. Bukan sua
Suhu pusaka itu melonjak drastis. Bukan lagi hangat. Bukan lagi panas. Itu adalah sensasi terbakar. Rasanya seperti ada sepotong besi cair yang ditempelkan langsung ke kulit dada Joko.Rasa sakit dari panas itu begitu hebat hingga menyentak Joko kembali ke kesadaran penuh. Matanya terbuka lebar."Argh..." erangnya.Panas itu tidak membakar kulitnya menjadi abu. Sebaliknya, panas itu meresap ke dalam, menembus daging, menembus tulang, dan masuk langsung ke dalam aliran darahnya. Energi yang tertidur di dalam pusaka itu, energi yang selama ini hanya keluar sedikit demi sedikit, kini dipaksa bangun sepenuhnya oleh ancaman kematian.Darah Joko mendidih. Jantungnya berdetak dengan ritme yang baru, ritme yang lambat namun begitu kuat hingga terdengar seperti dentuman drum perang di telinganya. Dug... Dug... Dug...Di dalam benak Joko, suara Khodam yang tadi panik kini berubah. Ia tidak lagi berbicara. Ia meraung. Raungan itu bukan suara manusia. Itu adalah suara binatang purba.Dan kemudian
Ki Agni dan Ki Banyu tidak sempat menghindar. Mata mereka terbelalak ngeri.BOOOMMMM!!!Bola itu meledak tepat di depan mereka.Gelombang ledakan melemparkan kedua murid senior itu ke udara seperti boneka kain. Mereka terpental jauh ke belakang, menabrak pepohonan di pinggir lapangan, dan jatuh bergedebuk ke tanah. Asap mengepul dari tubuh mereka. Mereka tidak bergerak lagi. Pingsan, atau mungkin lebih parah.Joko jatuh berlutut, napasnya memburu hebat, keringat bercucuran deras. Ia berhasil. Ia memenangkan adu tenaga dalam itu.Namun, kemenangannya belum lengkap.Dari balik asap ledakan yang mulai menipis, terdengar suara tepuk tangan. Pelan. Lambat. Dan mengerikan.Prok… Prok… Prok…Joko mendongak.Eyang Giri Sewu masih berdiri di tempatnya semula. Jubah hitamnya bahkan tidak kusut sedikit pun. Wajah tuanya diterangi oleh sisa-sisa cahaya energi. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat takut.Ia tersenyum. Senyum yang membuat darah Joko membeku.“Luar biasa,” kata Sang Maha Guru,
Jarum-jarum es itu menghantam perisai Joko, pecah berkeping-keping seperti kaca yang menabrak tembok baja. Serpihan es berhamburan, menciptakan kabut dingin yang bercampur dengan uap panas dari serangan Ki Agni.“Serangan ganda!” perintah Ki Agni.Tanpa memberi jeda, kedua murid Eyang Giri Sewu itu menyerang bersamaan. Ki Agni dari kanan dengan pukulan-pukulan api yang eksplosif, dan Ki Banyu dari kiri dengan sabetan-sabetan tangan yang dialiri energi air yang tajam dan memotong seperti pisau.Joko terdesak hebat. Ia menari di antara api dan air, menangkis, menghindar, dan melompat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ini jauh lebih sulit daripada melawan preman fisik. Ini adalah pertarungan energi. Setiap benturan menguras tenaga dalamnya, setiap tangkisan membuat tulang-tulangnya bergetar.“Gunakan matamu, bocah!” bentak Khodam di kepalanya. “Jangan lihat gerakan fisik mereka! Itu tipuan! Lihat aliran energinya! Baca niat mereka sebelum mereka bergerak!”Joko memaksakan fokusnya di
“Wahyu Kencana,” katanya, suaranya penuh dengan hasrat. “Kekuatan suci itu terlalu agung untuk berada di tubuh kotor seorang pembunuh sepertimu. Kau telah menodainya. Kau telah menggunakan kekuatan itu untuk kejahatan.”“Aku tidak membunuhnya!” tegas Joko lagi, mulai merasa frustrasi. “Terserah kalian mau percaya atau tidak. Tapi kalau kalian datang ke sini hanya untuk menuduhku sembarangan, lebih baik kalian pulang saja. Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang pikun.”Kata pikun itu adalah pemicu terakhir.Eyang Giri Sewu tertawa lagi, tawa yang kali ini benar-benar mengerikan. Aura hitam pekat mulai menguar dari tubuhnya, menyatu dengan kabut malam.“Berani sekali...” bisiknya. “Sudah membunuh muridku, kini kau menghina gurunya. Baiklah. Jika kau memang ingin bermain kasar, kami akan layani.”“Dengar baik-baik, bocah,” lanjut Eyang Giri Sewu. “Aku tidak akan membunuhmu dengan cepat. Itu terlalu enak untukmu. Aku akan mencabut pusaka itu dari dadamu, lalu aku akan mencabut nyawamu







