Pagi menjelang dengan kejam. Sinar matahari yang menyorot dingin ke dalam gubuk seolah mengejek kekosongan yang ditinggalkan Kakek. Bayangan pemakaman kemarin aroma tanah basah, isak tangis Joko yang tertahan, dan tatapan kasihan para tetangga berkelebat seperti mimpi buruk. Kini yang tersisa hanyalah hening yang memekakkan.
Joko duduk membisu di tepi dipan, tempat di mana genggaman hangat itu terakhir kali ia rasakan. Pikirannya buntu. Rasa malu atas penolakan Lestari masih terasa membakar, membuatnya enggan bahkan untuk menatap dunia luar. Ia sendirian, terdampar di lautan keputusasaan.
Di tengah kehampaan itulah, bisikan serak Kakeknya kembali menggema.
"Teteskan... darahmu... di situ..."
Sebuah permintaan ganjil, namun kini menjadi satu-satunya pelampung. Ia sudah kehilangan segalanya. Apa lagi ruginya? Didorong oleh tekad dingin yang lahir dari keputusasaan, Joko bangkit.
Dengan tangan mantap, ia mengambil pisau raut kecil. Diambilnya bungkusan kain belacu itu, lalu dibukanya perlahan. Keris kecil berwarna emas kusam itu terbaring diam, terasa dingin dan mati di telapak tangannya.
Joko menarik napas dalam. Sejenak ia ragu, namun bayangan tawa mengejek Lestari dan wajah damai Kakeknya memberinya kekuatan. Dengan satu gerakan cepat, ia menyayat ujung telunjuknya. Perih yang tajam menyengat, dan setetes darah merah pekat menggelegak keluar, menggantung sesaat sebelum jatuh.
Tes...
Saat darah itu menyentuh permukaan keris, keheningan total menyelimuti gubuk. Lalu, sebuah dengungan rendah mulai terdengar dari dalam logam itu. Aksara kuno di bilahnya berpendar dengan cahaya keemasan yang lembut, semakin terang, semakin menyilaukan, hingga meledak menjadi lautan cahaya murni. Joko berteriak saat gelombang energi tak kasat mata menghantamnya, membuatnya terpelanting ke belakang. Lantai papan yang dingin adalah hal terakhir yang ia rasakan sebelum segalanya menjadi gelap.
Kepala Joko berdenyut hebat saat ia membuka mata. Sinar matahari sudah tinggi. Hal terakhir yang ia ingat adalah ledakan cahaya yang membutakan. Ia terduduk, memeriksa tubuhnya. Aneh, tidak ada yang berbeda, hanya pusing ringan. Di sampingnya, keris itu tergeletak tenang seolah tak terjadi apa-apa.
"Apa aku cuma mimpi?" gumamnya.
Ia menggelengkan kepala. Mau mimpi atau nyata, perutnya yang keroncongan adalah kenyataan yang lebih mendesak. Ia harus mengambil upahnya dari Pak Rahmat, lalu pergi dari desa ini. Secepatnya. Disembunyikannya kembali pusaka itu, disambarnya cangkul, lalu ia melangkah keluar.
Ia berjalan menunduk, bersiap menerima tatapan sinis seperti biasa. Namun, keanehan pertama terjadi. Bi Sumi, penjual gado-gado yang mulutnya setajam cabai, justru menghentikan sapuannya dan tersenyum.
"Eh, Joko, Le. Mau ke ladang? Jangan diforsir tenaganya, nanti kamu sakit. Sarapan dulu sini, Bi Sumi buatkan lontong," sapanya dengan nada keibuan yang mustahil.
Joko tertegun, hanya bisa menggumamkan "I... iya, Bi," lalu mempercepat langkahnya, bingung. Keanehan berlanjut. Bapak-bapak di pos ronda yang biasanya acuh, kini serempak mengangguk hormat. Setiap orang yang ia lewati menyapanya dengan senyum ramah.
"Apa mereka semua sudah gila? Atau aku yang gila?" batin Joko, paranoia mulai merayapinya.
Kebingungan itu mencapai puncaknya saat ia tiba di ladang singkong. Dari kejauhan, siluet Pak Rahmat yang berkacak pinggang sudah terlihat seperti benteng kemarahan. Joko tahu ia sangat terlambat. Ia menghela napas, menyiapkan mental untuk dihujani makian.
"Heh, Joko! jam segini baru datang?!" bentak Pak Rahmat dari kejauhan, suaranya menggelegar. "Kamu kira kebun ini milik mbahmu?! mau jadi apa kamu iniI, Dasar pemalas!"
Joko mempercepat langkahnya, menunduk pasrah. "Maaf, Pak..."
"Maaf, maaf! Perutmu tidak bisa kenyang hanya dengan kata maaf!" semprot Pak Rahmat lagi saat Joko semakin dekat. Wajahnya merah padam, alis tebalnya hampir menyatu.
Di bawah rentetan makian itu, sesuatu di dalam diri Joko yang sudah lama padam, tersulut. Sebuah umpatan panas melintas di benaknya, 'Dasar tua bangka pelit, aku sudah bekerja setengah mati masih saja dimaki!'
Ia mengangkat wajahnya yang pasrah, dan tepat pada saat itulah, tatapan mereka bertemu.
Seketika, sesuatu yang ajaib terjadi.
Alis tebal yang hampir menyatu itu tiba-tiba mengendur. Garis-garis kemarahan di wajah Pak Rahmat seolah disetrika halus hingga lenyap. Bibir yang tadi monyong untuk memaki, kini perlahan... tersenyum?
Pak Rahmat mengerjapkan matanya sejenak, seolah baru sadar dari kesurupan. Ekspresi kerasnya meleleh seperti lilin, digantikan oleh keramahan yang membingungkan.
"Lho, lho, lho... Joko, to, Le... Kenapa mukamu ditekuk begitu?" kata Pak Rahmat, suaranya kini berubah 180 derajat menjadi ramah dan penuh perhatian. Ia maju dan menepuk pundak Joko dengan akrab. "Aduh, Bapak ini bagaimana, ya. Lupa kalau kamu baru berduka. Bapak tahu kamu pasti capek habis urus Kakekmu."
Joko hanya bisa melongo, mulutnya sedikit terbuka. Cangkul di tangannya nyaris terlepas.
"Sudah, sudah. Jangan dipikirkan kerjanya," lanjut Pak Rahmat sambil merangkul pundak Joko. "Sini, duduk dulu di saung. Temani Bapak ngopi. Kopinya masih panas, Bapak buatkan yang paling enak."
Dunia Joko seakan berhenti berputar. Pak Rahmat, juragan paling galak dan pelit seantero desa, menawarinya kopi dan menyuruhnya istirahat? Ini jauh lebih tidak masuk akal daripada ledakan cahaya di gubuknya tadi pagi.
Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dengan ekspresi paling bingung yang pernah ia tunjukkan seumur hidupnya.
Joko tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dengan ekspresi paling bingung yang pernah ia tunjukkan seumur hidupnya.
Melihat wajah Joko yang melongo seperti kerbau dicucuk hidungnya, Pak Rahmat justru tertawa renyah. Suara tawa yang langka, yang membuat beberapa kuli pacul lain di kejauhan sampai berhenti bekerja, saling pandang dengan heran.
"Sudah, sudah, jangan bengong begitu," kata Pak Rahmat, menepuk pundak Joko sekali lagi. Ia lalu mengambil alih cangkul dari tangan Joko dan menyandarkannya di dinding saung. "Sini, duduk. Tanganmu itu lebih pantas pegang cangkir kopi sekarang, bukan cangkul."
Masih dalam keadaan linglung, Joko hanya bisa menurut. Ia duduk di sebuah dingklik kayu yang reyot, sementara Pak Rahmat menuangkan kopi hitam pekat dari termos ke dalam cangkir kaleng, lalu menyodorkannya. Aroma kopi tubruk yang keras menguar, bercampur dengan bau tanah ladang. Dari sudut matanya, Joko bisa melihat Mang Udin dan kuli lainnya berbisik-bisik.
"Kesambet apa itu si Bos?" mungkin begitu pikir mereka. Joko pun memikirkan hal yang sama.
"Diminum, Jok. Jangan cuma diliatin," tegur Pak Rahmat lembut.
Joko tersentak, lalu menyeruput kopinya. Pahit, panas, namun terasa aneh di lidahnya karena situasi yang luar biasa canggung ini.
"Bapak turut berduka cita soal kakekmu, ya," kata Pak Rahmat, membuka percakapan dengan nada tulus. "Beliau orang baik. Sekarang kamu tinggal sendirian. Rencanamu... mau bagaimana, Le?"
Pertanyaan pribadi itu membuat Joko kaget. Biasanya, satu-satunya rencana yang Pak Rahmat pedulikan adalah rencana kerja harian. "Be-belum tahu, Pak," jawab Joko jujur.
Pak Rahmat menghela napas panjang, menatap hamparan ladang singkongnya yang hijau. "Kamu ini anak rajin, Joko. Tanggung jawab. Bapak lihat itu selama ini." Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet kulit usang.
Jantung Joko berdebar. 'Pasti mau nagih utang Kakek yang belum lunas,' batinnya cemas.
Namun, dugaannya salah total. Pak Rahmat justru menarik beberapa lembar uang kertas lecek dan menyodorkannya pada Joko.
"Ini," katanya. "Upahmu untuk pekerjaan beberapa hari lalu, sama untuk hari ini."
Joko menatap tumpukan uang itu, lalu ke wajah Pak Rahmat, bingung. "Tapi... tapi saya kan belum kerja sama sekali hari ini, Pak?"
"Ssssttt," sahut Pak Rahmat enteng, meletakkan telunjuk di bibirnya. "Anggap saja sudah selesai. Atau anggap saja ini... pesangon dari Kakekmu, lewat tangan Bapak." Ia tersenyum tipis. "Kamu pulang saja, istirahat. Kamu butuh waktu untuk menenangkan diri."
Kali ini, bukan hanya Joko yang melongo. Para kuli pacul lain yang berada di dekat situ berhenti total, menatap pemandangan itu dengan mulut ternganga. Pak Rahmat, sang juragan pelit, memberikan bayaran penuh untuk pekerjaan yang belum disentuh? Dunia benar-benar sudah gila.
Joko memegang uang itu, tangannya sedikit gemetar. Uang ini lebih dari cukup. Ini bukan lagi sekadar upah. Ini adalah kesempatan. Sebuah jalan keluar yang tiba-tiba terhampar di depannya. Persetan dengan semua keanehan ini. Yang penting adalah pergi.
Dengan keberanian yang lahir dari kesempatan tak terduga, Joko menatap Pak Rahmat. "Pak... sebenarnya, saya ada rencana."
"Oh ya? Rencana apa?" tanya Pak Rahmat, menatapnya dengan penuh minat.
"Sore ini... saya mau pergi ke kota, Pak," kata Joko, suaranya kini terdengar lebih mantap. "Ke Jakarta. Mencari peruntungan."
Pak Rahmat tidak terkejut. Ia malah mengangguk-angguk setuju. "Bagus! Itu baru laki-laki! Di desa ini terus juga mau jadi apa kamu? Cuma jadi omongan orang dan mentok jadi kuli."
Kemudian, hal yang lebih gila terjadi. Pak Rahmat kembali merogoh dompetnya, menarik dua lembar uang lima puluh ribuan yang masih agak baru.
"Ini," katanya, menaruh uang itu di atas tumpukan uang di tangan Joko. "Buat ongkosmu ke Jakarta. Ingat, Le, Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri. Jangan sampai kamu kelaparan di hari pertama. Anggap saja ini tambahan dari Bapak."
Joko terpaku, menatap tumpukan uang di tangannya. Kebingungan, rasa terima kasih, dan harapan bergejolak menjadi satu di dalam dadanya. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa melihat masa depan.
Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa."Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."Ia menyeka air matanya, lalu sebua
Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.Prangg… Brakkk…!Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit."Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suarany
Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya."Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.BLESHH!Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru
Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja warteg.Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya s
Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting."Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih.""Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa b
Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!""Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu me