Aydan kini sudah berada di perkiran. Ia berdiri di samping mobilnya. Rasanya enggan untuk ia pulang ke rumah di mana banyak kenangan di sana bersama Papa dan Mama. Namun, bukan itu alasan lelaki yang sebentar lagi menginjak umur tujuh belas tahun itu. Melainkan perlakuan sang Oma yang kerap kali membuatnya harus menelan pil pahit sendirian.
Lalu, ke mana Aydan akan pergi jika tidak ke rumah itu? Bahkan, keluarga lainnya satupun tak berada satu kota dengannya.Aydan menghela napas panjang dan berat. Ia segera menyentuh pintu mobil untuk membukanya. Namun, tangan seseorang yang tampak hanya tinggal tulang saja mencekal tangannya seiring suara memelas itu terdengar di ceruk telinga."Bang, aku ikut pulang bersamamu, ya."Aydan tahu betul siapa manusia yang kini berada di belakangnya. Ia melepas cekalan tangan kurus itu. Kemudian, ia membalik badan. Seketika ngilu terasa ulu hatinya menatap wajah pucat Devan dengan seragam yang sudah tampak kebesaran. Ke mana tubuh kTubuh tinggi itu masih meringkuk di lantai dingin. Matanya sembab. Tatapannya sendu ke arah langit-langit kamar. Tersirat jelas kesedihan, kepedihan bahkan kesakitan luar biasa dari sorot iris hitam legam itu. Perlahan Aydan bangkit. Ia sandarkan tubuh pada tempat tidur miliknya dengan tangan memeluk lutut. Wajah kacau itu ia tenggelamkan di antara lipatan kaki jenjangnya. Kembali Aydan menumpahkan tangis pilu di sana tanpa malu. Lagipula, tak ada yang melihatnya, bukan? Entah sudah berapa banyak air mata yang sudah menerobos bebas dari kelopak matanya sejak ia memilih keluar dari kamar Devan siang tadi. Kini, bahkan matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Itu tandanya Aydan sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar menangis sendirian. Wajah tegas yang tampak kacau itu terangkat perlahan. Ia memutar kepala sembilan puluh derajat ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah potret berwarna dalam bingkai itu membuat kedua sudut bibir Aydan tera
Laju waktu bergerak stabil. Membawa pekat malam dan hening menyelimuti gadis yang tengah duduk di samping ranjang pasien itu. Tangannya tak berhenti menggenggam sebelah tangan dengan urat yang menonjol jelas. Ibu jarinya bergerak lembut mengelus punggung tangan itu."Lekas membaik, Mom. Biar Mommy segera pulang ke rumah," keluhnya dengan wajah tertunduk, mata menatap nanar lantai putih rumah sakit. Tak sadar jika mata sayu perempuan lemah itu sudah perlahan terbuka."Iya, Sayang."Sontak kepala itu terangkat. Senyum bahagia jelas tercetak pada wajah cantik Carla."Ala tak punya teman di rumah," ucapnya dengan nada manja. Ia mengerucutkan bibirnya membuat Mommy merasa gemas sendiri.Tangan kurus Mommy mendarat pelan pada pipi mulus sang anak. Membelainya lembut penuh sayang. "Kamu lupa di rumah masih ada Mama Muti?"Lembut pertanyaan itu nyatanya tak ditanggapi lembut jua oleh Carla. Raut wajah cerianya seketika sirna, menguap bersama udara ruang b
Wajah-wajah lelah dan bosan sudah mulai terlihat. Apalagi terik hari ini terasa begitu menyiksa. Jarum jam juga terasa begitu lamban bergerak. Otak pun sudah mulai penuh dan seakan siap meledak oleh materi-materi berat sejak pagi tadi. Embusan napas panjang dari wajah-wajah penuh penantian itu terdengar. Dalam hati mereka sudah mengumpat berulang kali pada waktu. “Saya tau kalian sudah nggak sabar pengen pulang,” celetuk seorang wanita dengan kacamata bulat bertengger di hidungnya yang minimalis saat ia menangkap beberapa orang di depannya melirik arloji yang melingkar di tangan kiri mereka. Wanita dengan name tag Susi Wirahmani—seorang guru yang terkenal galak—berdiri tepat dengan senyum merekah di bibirnya yang tebal dengan polesan gincu merah menyala. “Sama saya juga,” lanjutnya dan sukses mengundang gelak tawa para murid di ruangan itu. Meskipun terkenal galak, Bu Susi memiliki sisi humoris yang tinggi. Untuk mencairkan suasana kelas yang kadang tegang. Ia menun
Seorang siswa—yang kerap kali disapa Aydan—dengan rambut hitam dan sedikit menjuntai di depan kening mengayunkan langkah dengan gagah. Ia tak berjalan sendiri. Melainkan dengan kedua temannya—Deon dan Lucas. Dengan ekspresi datar dan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana membuat aura ketampanannya semakin menguar. Ketiga siswa itu berjalan menyusuri koridor menuju tempat parkir. Di sana mereka sudah mendapatkan tatapan memuja yang tentu saja sudah biasa bagi mereka. Bahkan, kalimat pujian pun tak luput mereka dengar. Namun, mereka tak pernah sama sekali menggubris itu. Sebagai most wanted di sekolah, hal itu sangat lazim. Bahkan, mereka dijuluki oleh para penggemar dengan sebutan “Trio G” atau “Trio Ganteng.” Aydan menyeka keringat yang menetes di pelipisnya. Pasalnya, kelasnya kosong pada jam terakhir dan itu ia manfaatkan bersama beberapa teman sekelasnya yang lain untuk bermain basket. Gerakan tangan Aydan itu justru membuat para siswi yang melihatn
Carla melirik benda kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sambil berjalan setengah berlari. Ia menepuk keningnya dengan keras setelah melihat waktu yang ditunjukkan arlojinya. Dua menit lagi bel masuk akan berbunyi. “Sial! Jangan sampai gue telat di hari pertama masuk ini. Nggak mungkin dong siswa baru bakal telat, ‘kan? Oh, itu tidak boleh terjadi,” monolognya sambil mempercepat langkah. Tak peduli jika apa yang dilakukannya akan membuatnya berkeringat dan seragamnya akan basah. “Sedikit lagi, Carla!” Gadis itu menyemangati dirinya sendiri. Larinya semakin dipercepat sekuat yang ia bisa. Salahnya di hari pertama masuk sebagai siswa baru ia memilih berangkat menggunakan taksi online daripada menerima tawaran Muti—ibu tirinya. Dan sialnya lagi taksi yang ia tumpangi justru mengalami masalah di tengah jalan. Sedikit beruntung jarak sekolah tak terlalu jauh. Alhasil, berakhirlah ia dengan berjalan kaki untuk melanjutkan perjalanan menuju sekolah barun
Aydan memarkir motor sport-nya di depan rumah bercat putih itu. Ia melepas helm full face yang melindungi kepalanya saat dalam perjalanan. Untuk kemudian tas sekolahnya ia sampirkan pada sebelah pundak. Ia berjalan memasuki rumah tanpa suara. Saat pintu sudah terbuka. Ia tak menemukan siapapun di sana. Rumah itu mencerminkan tempat tak berpenghuni. Sepi dan sunyi.
Satu tempat dari bagian SMA Nusa yang menjadi sasaran para siswa setelah dering bel istirahat berbunyi adalah kantin. Saat ini tempat tersebut sudah dipadati oleh para siswa yang ingin memberikan asupan untuk cacing-cacing di perut mereka yang sudah meminta jatah sejak tadi. Di sana juga tak luput tiga siswa yang menjadi most wanted di sekolah. Tiada lain tiada bukan Aydan dan kedua temannya—Deon dan Lucas—yang kerapkali dijuluki dengan sebutan “Trio G” itu. Mereka asyik bercengkrama. Lebih tepatnya hanya Deon dan Lucas. Sedang Aydan hanya menjadi pendengar setia mereka dan sesekali hanya tersenyum tipis. Gelak tawa Deon dan Lucas sesekali melengking, bercampur dengan udara dan riuh pengunjung kantin lainnya. Dan seperti biasa, apapun yang mereka lakukan pasti akan berhasil menyita perhatian kaum hawa di sana. Bahkan setiap pergerakan yang mereka lakukan tak luput dari tatapan memuja. Tak hanya itu, bisik-bisik dengan kalimat pujian pun tak urung sampai di indera pe
Apalagi yang ditunggu-tunggu setiap siswa setelah matahari seakan bersinar tepat di atas kepala selain bel pulang yang berdering dengan nyaring. Wajah-wajah suntuk dan bosan itu berubah drastis menjadi berbinar. Setelah guru yang mengampu di mata pelajaran terakhir. Tangan-tangan yang terasa pegal itu bergerak cepat membereskan buku-buku mereka di atas meja dan memasukkan ke dalam tas sekolah. Carla. Gadis berambut pirang itupun juga bergegas melakukan hal yang sama. Ia memasukkan dengan sembarang buku-buku pelajarannya yang berserakan ke dalam tas. “Bel, gue balik duluan nggak apa-apa?” tanya Carla pada Arabelle yang masih membereskan alat tempurnya saat belajar tadi. Sedang yang ditanya hanya mengernyitkan hingga kerutan di kening tampak jelas. Ya, Carla jelas paham kenapa Arabelle seperti itu. Pasalnya, ia tak pernah tergesa-gesa saat pulang. Kecuali saat ada urusan penting yang tak bisa ia tinggalkan. “Gue ada janji sama Devan. Sekarang dia pasti udah nun