Sisa tawa Devan, Noval, dan Sarah masih terdengar mendengar lelucon yang diciptakan Riko. Salah seorang teman kelas yang tak pernah gagal membuat teman lainnya tertawa.
Lelaki bermata sipit itu kembali mengenakan jaket yang sempat ia simpan di dalam mobil untuk menjaga kondisi tubuh lemahnya.
“Siang-siang pakai jaket terus, Dev. Nggak gerah?” tanya Riko.
Devan menoleh. Benar memang apa yang dikatakan Riko. Hari memang sedang terik. Namun, apalah daya bagi Devan yang hidup dengan tubuh yang tak normal. Ia tersenyum. “Gerah sih. Tapi, mau gimana? Tubuh gue nggak sekuat kalian,” balasnya santai sambil menaikkan resleting jaket yang membungkus tubuhnya. Bohong jika ia tak merasa iri pada orang-orang yang bisa melakukan apa saja dengan leluasa dan tanpa batas. Bermain sesuka hati mereka.
“Elah, kayak orang penyakitan aja sih lo, Dev,” celetuk Riko dengan gamblang. Ya, memang Riko dasarnya adalah manusia yang tumbuh menjadi orang dengan gaya bahasa yang enteng.
Sarah dan Noval yang mendengar celetukan Riko pun refleks memukul lelaki itu. Keduanya juga menatap Riko dengan mata yang melotot serta rahang mengeras.
“Apaan sih kalian? Sakit tau,” kesal Riko sambil menatap bergantian dua manusia yang mendaratkan pukulan di tubuhnya itu.
Berbeda dengan kedua temannya. Devan hanya membalas dengan tawa kecil. Ia juga menatap Sarah dan Noval dengan senyum lebar. “Nggak apa-apa. Emang resiko terlahir cacat ya begini kayak kata Abang gue.”
“Abang? Bukannya lo anak tunggal, Dev?” tanya Sarah bingung mendengar penuturan Devan. Karena, memang setahu Sarah, Devan tak mempunyai saudara kandung.
Devan yang tadi berkata tanpa menyadari ucapannya pun terdiam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Sarah. Pasalnya, tak ada satupun yang tahu tentang hubungan persaudaraannya dengan Aydan. Selama ini ia memang benar-benar berjarak dengan lelaki itu.
“Maksud gue—”
Kalimat Devan terpotong saat seseorang datang.
“Devan, gue lihat Carla lagi berduaan sama Aydan di koridor,” terang siswa tersebut. Lantas, berlalu begitu saja menyisakan kebingungan pada Devan.
Amarah Devan tiba-tiba memuncak mendengar penuturan siswa tersebut. Tanpa berpikir lagi Devan bergegas meninggalkan teman-temannya di parkiran. Ia ingin segera melihat apa yang dilakukan kekasihnya itu dengan Aydan.
Dalam jarak tiga meter saja ia sudah bisa menangkap bagaimana Aydan memperlakukan Carla. Devan mempercepat langkahnya mendekat.
Devan menepis tangan Aydan dengan kasar saat ia melihat tangan saudaranya itu bergerak menyentuh wajah Carla. “Apa yang lo lakukan?” Ia menatap Aydan dengan tatapan mematikan dan wajah yang sudah merah padam penuh amarah. Ia tidak suka melihat perlakuan Aydan terhadap seseorang yang spesial di hatinya itu. Lantas, ia menarik paksa tubuh Carla dari dekapan Aydan.
“Maksud lo apa meluk pacar gue?”
Aydan mengernyit membuat kerutan di keningnya tampak sangat jelas. Alis tebalnya juga ia naikkan sebelah. Tak lama setelah itu ia tertawa sinis. “Siapa yang juga mau meluk pacar lo?”
Devan terdiam.
“Pacar lo aja yang ngemis minta tolong sama dengan dalih perutnya sakit,” lanjut Aydan dengan tawa mengejek.
“Cih! Alasan aja,” sahut Devan tak percaya.
Apa yang dilakukan Devan membuat Aydan kesal bukan main. Emosinya kembali memuncak mendapat perlakuan yang baginya sangat tidak sopan itu. Rahangnya mengeras dengan tangan yang terkepal. Tatapannya tajam seakan siap membunuh lelaki yang berdiri di hadapannya itu. Namun, detik selanjutnya ia tersadar siapa lelaki itu. Andai saja Devan bukan salah satu orang yang masuk dalam daftar orang-orang penting dalam hidupnya. Maka, bisa ia pastikan tinjuannya akan mendarat dengan sempurna di wajah Devan. Tak peduli jika setelah itu ia akan mendapat masalah besar.
“Huh!” Aydan membuang napas kasar untuk menetralkan amarahnya. “Terserah lo aja. Gue males jika harus meladeni dua manusia yang nyolot dan keras kepala kayak kalian.”
Aydan berbalik dan melangkahkan kaki meninggalkan Devan dan Carla. Namun, tak lama ia berhenti dan menoleh ke belakang menghadap dua sejoli yang belum beranjak dari tempat semula itu. “Oh, iya. Gue cuma mau ngingetin. Kasian pacar lo kayaknya lagi kesakitan banget. Saran gue mending lo bawa aja ke rumah sakit. Soalnya UKS tentu aja udah tutup. Ini udah jam pulang sekolah. Tapi, itu cuma saran aja. Terserah lo mau jalanin atau nggak.”
Carla, dengan pandangan yang masih memburam menatap punggung Aydan yang semakin menjauh dan mengecil dari pandangan. Lalu, beralih memandang wajah tampan lelaki yang kini menopang tubuhnya itu. Dari jarak dekat Carla bisa menangkap wajah memerah Devan. Ia tahu pasti lelaki itu sedang menahan amarah. Dan tugasnya kali ini adalah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Dev—”
“Are you okay?” tanya Devan memotong ucapan Carla dengan nada datar dan dingin. Nada suara yang sangat kontras dari biasanya.
Dari nada suara itu Carla benar-benar yakin lelaki itu memang sedang marah. “Dev, aku bis—”
“Kamu belum jawab pertanyaanku,” potongnya lagi. Devan tahu pasti bahwa Carla sedang berusaha menjelaskan adegan yang baru saja disaksikan itu. Benar memang ia butuh penjelasan. Namun, sekarang bukan saatnya. Karena, yang terpenting adalah keadaan gadis itu. Ya semarah apapun Devan, ia tentu masih memikirkan Carla.
Carla mengembuskan napas pasrah. Ia tak akan pernah bisa memaksa Devan untuk mendengar penjelasannya jika lelaki itu sudah dipeluk amarah. Kepalanya mengangguk pelan. “Perutku cuma sedikit perih,” ucapnya.
“Aku antar ke rumah sakit sekarang. Nanti aku akan hubungi Om Jordan buat nyusulin kita,” tegas Devan masih dengan ekspresi yang sama. Ia meraih tas sekolah Carla dan menyampirkan di sebelah pundaknya.
“Nggak, Dev. Papi nggak boleh tau.”
“Tapi, La—”
“Please,” ucap Carla memohon dengan tangan yang ia tangkup di depan dada. “Aku nggak mau bikin Papi khawatir.”
Devan menatap lekat wajah memelas Carla. Lalu, tersenyum.
“Lagipula, Papi pasti lagi sama istri mudanya,” lanjut gadis itu dengan senyum miring ke arah Devan.
“Ya sudah. Aku nggak kasih tau Om Jordan. Tapi, aku akan tetap bawa kamu ke rumah sakit. Aku nggak mau lihat kamu kesakitan lagi kayak kemarin.”
“Tap—”
Sebelum Carla sempat mengucapkan kalimat penolakan. Devan sudah lebih dulu memotong dengan kalimat yang tidak akan bisa dibantah oleh gadis itu. “Aku nggak nerima penolakan lho, La,” finalnya.
Lagi-lagi Carla hanya bisa mengembuskan napas pasrah. “Ya sudah.”
Kembali Carla tatap wajah Devan. “Thank you, By. Thank you udah selalu berusaha ada untuk aku. Aku bersyukur Tuhan udah ngirimin satu makhluk baiknya di hidupku.” Carla menyunggingkan senyum cantik di bibir yang masih pucat itu. Tanpa diminta bulir-bulir kristal itu jatuh dari kelopak matanya yang indah.
“Lho, kok nangis? Cengeng banget sih pacar aku.” Devan mencubit hidung Carla yang memerah dengan sangat pelan. “Udah, ya. Nggak usah lagi. Kita ke rumah sakit sekarang,” lanjut Devan berucap dengan sangat lembut seakan lupa bahwa sebelumnya ia tengah diliputi amarah. Memang ia harus menyingkirkan emosinya demi kebaikan gadis itu. Untuk kemudian urusan Aydan, ia masih bisa membicarakan hal itu kapan saja.
Devan menuntun tubuh Carla dengan pelan. Ia menatap gadis itu lekat dari samping.
“Sepertinya aku nggak akan bisa nemenin kamu dalam waktu yang lama, La. Aku udah mulai ngerasa ada masalah yang lebih parah dari yang aku tau dengan tubuhku. Sebab itu, sebelum waktu membawaku hilang. Aku akan berusaha untuk selalu ada untuk kamu.” Devan hanya mampu mengucapkan kalimat itu dalam hati. Ia masih belum ingin menceritakan semua hal pada Carla. Lagipula, bagaimana bisa ia bercerita jika hanya untuk menambah beban pikiran gadis yang bahkan masalahnya lebih parah darinya? Kendati yang sering diperlihatkan Carla hanya tawa riangnya saja. Siapa tahu betul bahwa gadis itu juga menyimpan masalah yang berat?
°°°°°
“Dev, aku bisa jelasin soal kejadian tadi.” Carla membuka suara. Mengusir sunyi di dalam kereta besi yang dikendarai Devan. Ia harus menjelaskan semuanya agar tak ada salah paham dengan lelaki itu. Ia tidak ingin juga menyakiti lelaki yang sudah sangat baik padanya.
Devan menoleh. Hanya sebentar. Kemudian, fokus lagi pada jalanan yang cukup padat. “Nggak perlu dijelasin. Fokus aja sama kondisi kamu.”
“Tapi, Dev—”
“La, enough.”
Carla terdiam. Ia menyandarkan kepala di jendela mobil. Menatap pohon-pohon di pinggir jalan yang berlari berlawanan arah.
Beberapa saat kembali dijebak sepi. Devan menatap wajah gadis di sampingnya itu dengan tatapan sayu bercampur khawatir. Dilihatnya gadis itu meremat perutnya dengan kuat. Sesekali terdengar juga ringisan pelan dari bibir ranum yang sudah tak berona itu.
“Sakit banget, ya?” Devan menyentuh pundak Carla lembut. “Nggak usah ditahan. Pegang aja tangan aku. Kamu salurkan sakit di sana.”
Carla tersenyum samar dan menggelengkan kepalanya pelan. Ia tahu betul Devan harus benar-benar fokus karena lelaki itu tengah menyetir mobil di tengah jalan kota yang sedang padat-padatnya.
“Kamu yang kuat, ya.” Devan meraih tangan Carla dan menciumnya singkat.
“Nggak usah khawatir gitu, Dev. Aku nggak apa-apa. Ini sudah biasa kan.” Carla menunjukkan senyum terbaiknya. Kendati apa yang ia lakukan tak bisa memudarkan rona pucat di bibirnya. Namun, setidaknya ia harus berusaha membuat Devan agar tak terlalu mengkhawatirkannya.
Tangan Devan berpindah tempat menuju rambut pirang gadis itu. Ia membelainya dengan sangat lembut. “Kalau sakit bilang aja, La. Jangan ditahan terus, ya.”
Masih dengan seutas senyum manis yang terulum dari bibir ranum yang kini tengah tak memiliki rona itu. Carla menatap lekat wajah lelaki yang telah membersamainya sejak lima bulan yang lalu. “Dev, terima kasih, ya, udah selalu ada buat aku,” ucapnya tulus.
Kereta besi yang dikendarai Devan itu berhenti saat lampu lalu lintas berubah warna dari hijau menjadi merah. Devan menatap balik Carla seraya mengulum senyum tipis. Melihat wajah Carla yang masih tampak pucat di hadapannya kini membuat otak Devan berputar dengan cepat. Devan kembali teringat akan kejadian di mana ia menyaksikan sendiri adik satu-satunya meregang nyawa di tengah perjalanan dengan wajah yang tampak menahan sakit. Persis seperti wajah yang ditunjukkan Carla saat ini. Apalagi wajah gadis itu tampak sangat mirip dengan wajah adiknya.
Devan memejamkan mata dengan sangat erat. Lalu, menggelengkan kepala berulang kali untuk berusaha mengusir apa yang kini berputar di kepala. Sedang tangannya semakin erat mencengkram stir mobilnya.
“Hei! Kamu kenapa?” Carla menyentuh lengan Devan hingga lelaki itu terpaksa membuka mata. “Kenapa?” ulangnya sekali lagi.
“Nggak apa-apa,” balas Devan dan kembali melajukan mobilnya setelah lampu lalu lintas kembali hijau.
“Kamu yakin nggak mau hubungi Om Jordan, By?” tanya Devan sebagai alibi mengalihkan topik agar gadis yang duduk di kursi samping kemudi itu tak melanjutkan pertanyaannya. Sebab Devan tentu tak ingin membahas lebih jauh peristiwa menyakitkan dalam hidupnya itu.
Kepala Carla mengangguk dengan cepat. “Papi pasti lagi kerja, Dev. Atau kalau nggak, Papi lagi asyik menemani istri mudanya.” Ia membuang napas panjang. Begitu juga dengan pandangan yang kembali ia buang ke arah jalanan yang padat oleh kendaraan. Tatapannya yang cerah perlahan memburam seiring gradasi air yang tercipta dengan rapi di kelopak matanya yang cantik.
“Ya udah. Tapi, kamu nggak usah sedih kayak gitu. Nanti cantiknya hilang lho,” ucap Devan untuk merubah suasana hati gadis itu. Namun, usahanya itu ternyata hanya sia-sia. Gadis itu masih melancarkan aksi meratapi hidupnya.
Untuk ke sekian kalinya Carla kembali mengembuskan napas panjang. Jemarinya yang lentik bergerak menyelipkan anak-anak rambut yang jatuh menutupi sebagian wajahnya yang masih basah ke belakang telinga. “Huh! Kok hidupku begini banget, ya, Dev? Aku iri deh lihat orang-orang,” tutur Carla dengan jujur. Ya, kadang ia merasa iri melihat orang-orang yang kelihatan bahagia dengan keluarga mereka. Sedangkan dirinya? Keluarga utuh hanya formalitas saja. Ia tak lagi menemukan bahagia yang sesungguhnya di sana.
“Harusnya kamu bersyukur masih punya keluarga yang utuh. Coba kamu lihat mereka yang hidup tanpa kasih sayang orang tua. Atau bahkan ada yang sama sekali nggak tau orang tuanya siapa.”
Kepala gadis itu terangkat dan menatap lelaki di sampingnya. Ia terdiam dan membenarkan ucapan Devan. Namun, dengan keadaan keluarganya sekarang. Apa ia masih bisa bahagia?
“Apa aku masih bisa bahagia, Dev? Mami divonis penyakit mematikan. Papi? Aku sekarang udah ngerasa kehilangan sosok Papi. Mas Karel juga pergi.” Gadis itu tertawa miris mentertawakan kehidupannya kini.
“You still have me, right?”
Carla tak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang. “Perutku udah nggak sakit lagi, Dev. Aku mau langsung pulang aja.”
“No!” ucap Devan cepat. “Kamu harus ke rumah sakit, Carla. Kamu udah sering banget ngeluh sakit perut. Aku nggak yakin perutmu baik-baik aja. Pasti ada yang nggak beres.”
“I’m okay, Devan. Trust me, please.”
“Tap—”
“Kali ini aja, jangan paksa aku, ya.”
Ya. Devan menyerah. Ia tak akan memaksa gadis itu. Meskipun ia tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia khawatir dengan kondisi Carla. Namun, tetap yang paling tahu kondisi dan batas kemampuan tubuhnya adalah Carla sendiri. Seperti hal dirinya yang sudah paham batas kemampuan tubuh lemahnya. “Ya sudah. Aku langsung antar pulang, ya.”
Carla hanya membalas dengan anggukan singkat.
“Jangan cemberut lagi. Nanti cantiknya hilang.”
Gadis itu memaksa senyumnya terbit di bibir pucatnya. Meskipun sudah tak sepucat sebelumnya.
Carla menyentuh knop pintu dan membuka benda dari bahan kayu tebal itu. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan yang bisa tertangkap indera. Di rumah sebesar istana itu ia hanya menemukan sepi. Rumah itu seperti tak ada kehidupan yang berjalan di sana yang mengharuskannya untuk kembali menghela napas panjang. “Bibi!” pekiknya untuk mendeportasi sunyi. Tak lama setelah suara Carla yang melengking dan mengudara. Seorang wanita dengan setelan daster rumahan berlari kecil mendekat. “Iya, Non. Baru pulang sekolah, ya?” Carla menjawab dengan anggukan. Tangannya yang sejak tadi terlipat di depan dada terlepas untuk menggamit dan mencium tangan kasar dan keriput milik wanita yang sudah mengabdikan diri di keluarganya sebagai asisten rumah tangga itu. Lama menjadi pekerja di rumahnya membuat Carla terbiasa, bahkan bergantung pada wanita yang sering ia panggil Bi Aini. “Bi, aku pulang sama Devan. Boleh minta tolong buatkan minum buat Devan? Aku mau k
Carla menatap lurus ke depan. Menatap pintu kaca yang tertutup rapat di mana di dalamnya ada sang ibu yang terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas berulang kali setiap mengingat kondisi ibunya. Juga menahan rasa kesal bercampur kecewa pada sang ayah yang belum juga datang ke rumah sakit. Gadis itu menoleh ke samping. Melihat Devan yang sejak tadi hanya terdiam dengan tubuh yang bersandar sempurna dan kepala yang menengadah ke atas. Ia bingung pada lelaki itu yang lebih banyak diamnya sekarang. Apalagi melihat Devan dengan wajah yang pucat. Apakah Devan sakit, pikirnya. Terlebih lagi dengan Devan yang meletakkan tangan di dada dan mengusap pelan bagian tubuhnya yang satu itu. ia juga melihat dada lelaki itu naik turun sedikit tak beraturan. Carla menyentuh pundak Devan pelan membuat lelaki itu sedikit tersentak. “Dev, kamu kenapa?” tanya Carla sedikit khawatir melihat wajah pucat Devan. Ia tak tahu betul apa yang tengah terjadi pa
Asap yang mengepul dari mulut Aydan bercampur dengan udara sore. Juga dengan asap dari secangkir kopi di sampingnya. Untuk mencari tenang yang jarang, Aydan hanya bisa melakukan hal itu. Kendati ia tahu apa yang dilakukannya bukanlah hal yang tepat dan tentu saja tak baik untuk tubuhnya. Namun, lagi-lagi ia hanya bisa melakukan hal itu untuk mencari sebuah ketenangan. Kakinya yang jenjang menjuntai di kolam, menikmati segar air jernih di sana. Sedang kepalanya menengadah ke atas. Menatap angkasa yang membiru dan sebentar lagi akan berubah hitam pekat. Ia tersenyum tiba-tiba. Tipis sekali. Saat teringat wajah yang ia pandang dengan jarak sangat dekat di dalam kepala. Untuk pertama kali. Sebuah bayangan bisa menyeret bibirnya agar melengkung ke atas. Ah, ada apa ini? Aydan menepis kembali bayangan itu. Untuk apa ia membayangkan manusia yang selalu membuat kesal dirinya? Tidak boleh ia membawa masuk lagi urusan perempuan ke dalam hidupnya yang pelik. Itu tidak boleh ter
"Dev, kamu yakin nggak mau ikut makan malam di luar?" Salmira duduk di bibir tempat tidur Devan. Ia mengelus lembut lengan Devan yang terbungkus sweater tebal yang digunakan untuk melindungi tubuhnya dari dinginnya angin malam. Tubuh yang begitu rentan ambruk meski tak dipaksa melakukan aktivitas berat. Dan satu jam yang lalu pun lelaki itu sempat terserang sesak yang sangat hebat. Hingga memaksanya untuk berdiam diri dan terbaring di kamar. Devan hanya menggeleng pelan. Bagaimana bisa ia ikut keluar jika tenaganya saja masih belum kembali setelah tadi habis diserap rasa sesak. Ia tersenyum tipis dan menatap sayu Salmira. "Lain kali aja, ya, Ma. Kalau Devan ikut nanti malah ngerepotin Mama sama yang lain." Ia tertawa kecil. Namun, sarat dengan kepedihan. "Anak Mama nggak pernah ngerepotin kok. Jadi, jangan bilang kayak gitu lagi, ya, Sayang." Lelaki itu menggerakkan tangan kirinya menyentuh punggung tangan Salmira. "Terima kasih udah jadi ibu hebat untuk Deva
Bel istirahat baru saja berdering teramat nyaring. Wajah-wajah bahagia terpancar nyata dari murid-murid SMA Nusa. Raut-raut tak sabar ingin segera memberikan nutrisi kepada cacing-cacing di perut mereka pun tak luput dari pandangan. Lain halnya dengan gadis blasteran dengan kulit putih dan berparas ayu itu. Ia hanya sibuk memainkan polpen di sela-sela jemarinya. Wajahnya yang cantik tampak murung seperti dilanda mendung. Matanya yang indah menatap tangannya yang bermain di atas meja dengan tatapan sayu. Otaknya yang sejak tadi dipaksa mencerna materi terasa sudah penuh. Bukan karena materi yang sejak pagi itu, melainkan otaknya penuh memikirkan kondisi Ilmi yang semakin hari terlihat semakin memburuk dan memprihatinkan. Sejak pagi ia memaksa diri untuk memfokuskan diri dengan apa yang dihadapkan waktu padanya. Namun, ia gagal dan tak bisa bekerjasama dengan otaknya. Ia melipat tangan di atas meja. Lantas menunduk dan menenggelamkan wajah di antara lipatan tangannya.
“Kalian duluan aja. Ntar gue nyusul,” ucap Aydan yang langsung dibalas anggukan oleh kedua lelaki yang selalu membersamainya itu—Lucas dan Deon. Ia membereskan beberapa alat tulis dan alat yang ia gunakan membuat sketsa di sebuah sketchbook bersampul Menara Eifel itu. Saat merasa bosan dengan materi yang disampaikan guru. Ia seringkali menghabiskan waktunya dengan membuat sketsa apa saja dibanding tidur di kelas saat pelajaran berlangsung. Aydan bangkit setelah membereskan barang-barangnya. Ia melangkah keluar kelas dan menyusuri koridor sekolah dengan santai melewati para siswa yang tak menghabiskan waktu istirahat di kantin. Seperti biasa, bisik-bisik penuh pujian dan kekaguman tak ayal menelusup masuk ke indera pendengaran. Ia hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecut. “Dasar cewek,” uacpnya berbisik setelah berhasil melewati koridor. Kakinya tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Tak sengaja ia menangkap sosok Devan di tengah lapangan basket sambil men
Perpustakaan terlihat sepi. Hanya terdapat beberapa siswa di sana. Ya, tentu saja. Jam istirahat lebih banyak dihabiskan dengan memberikan gizi untuk cacing-cacing di perut atau men-charge tenaga untuk persiapan pelajaran selanjutnya. Carla melangkahkan sepasang tungkainya pasti memasuki ruangan tanpa sekat dengan rak-rak yang terisi buku berjejer rapi. Saat kakinya baru beberapa langkah menapaki ubin perpustakaan. Tanpa sengaja tatapannya bertubrukan dengan sepasang iris milik salah seorang pengunjung yang duduk di bangku sendirian. Hal itu berhasil menghipnotisnya untuk menghentikan langkah dengan tiba-tiba. Tatapan gadis berambut pirang itu kali ini terlihat berbeda dari sorot mata sebelumnya. Tak ada tersirat kekesalan, apalagi kebencian di sana. Begitu juga sorot mata seseorang itu. Hanya ada tatapan teduh yang pasti langka. “Kenapa berhenti, La?” Pertanyaan itu berhasil menarik paksa Carla untuk memutuskan lebih dulu drama saling tatapn
Apa yang biasanya anak-anak remaja lakukan untuk menikmati malam minggu mereka? Berkencan di taman kota dengan kekasih hati? Berkumpul dengan teman-teman? Ya, benar. Namun, itu tak berlaku untuk anak remaja yang satu ini. Ia hanya menghabiskan malam minggunya dengan duduk di balkon kamar. Menikmati angkasa hitam pekat ditemani secangkir kopi hitam dan rokok di sela jemari.Sudah terhitung empat hari setelah seseorang berseragam putih abu-abu itu mengucapkan terima kasih padanya. Selama itu juga pikirannya dipenuhi oleh paras ayu yang sempat membencinya itu. Pun ia. Aydan juga sangat tak menyukai orang itu. Namun, lagi-lagi itu dulu. Sebelum insiden beberapa waktu lalu memaksanya untuk memandang pahatan cantik itu dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan aroma dari tubuh itupun mampu menelusup ke indera penciumannya.Kedua sudut bibir remaja lelaki yang sebentar lagi akan menginjak usia di angka tujuh belas itu terangkat dan melengkung membentuk kurva manis menghiasi wajah yang s