Aydan memarkir motor sport-nya di depan rumah bercat putih itu. Ia melepas helm full face yang melindungi kepalanya saat dalam perjalanan. Untuk kemudian tas sekolahnya ia sampirkan pada sebelah pundak. Ia berjalan memasuki rumah tanpa suara. Saat pintu sudah terbuka. Ia tak menemukan siapapun di sana. Rumah itu mencerminkan tempat tak berpenghuni. Sepi dan sunyi.
Lelaki itu bergerak maju. Berusaha tak acuh akan kesunyian ruang di istana mini itu. Lagipula, ada atau tidak ada manusia di sana. Baginya sama saja. Ia lebih sering merasa hidup sendiri. Atau lebih tepatnya menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang tak seorang pun tahu bagaimana pedihnya.
Saat kaki Aydan menyentuh anak tangga pertama. Ia mendengar suara derap kaki yang semakin mendekat. Ia menoleh ke belekang. Mendapati seorang wanita paruh baya yang selama ini mengabdikan diri di rumah besar itu. Senyumnya terbit ke arah wanita itu. Lalu, mengurungkan niatnya untuk menaiki satu per satu anak tangga yang menghubungkannya menuju lantai dua di mana kamarnya berada.
"Mas Aydan baru pulang?" tanya wanita paruh baya yang biasa disapa Bi Ani itu dengan ramah.
Aydan menganggukkan kepala. "Yang lain ke mana, ya, Bi? Kok tumben sepi begini?"
"Lagi pada keluar dari pagi tadi, Mas. Kecuali, Mas Devan. Bibi lihat Mas Devan lagi nggak baik-baik saja sepulang sekolah tadi. Wajahnya pucat banget, Mas," terang Bi Ani pada Aydan. Sebenarnya, ia tahu bagaimana hubungan antara kedua anak tuannya itu. Namun, kali ini ia tidak tahu harus memberitahu siapa lagi tentang kecurigaannya akan kondisi Devan.
"Devan di mana, Bi?" panik Aydan. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa kini ia merasa khawatir. Pasalnya, akhir-akhir ini kondisi Devan kerap kali drop meskipun tak melakukan aktivitas berat. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh adiknya itu. Karena, yang ia tahu sejauh ini hanyalah Devan menderita Asma sejak dulu. Hanya itu.
"Di kamar, Mas. Mungkin lagi istirahat sekarang. Setelah membawakan makan siang untuk Mas Devan, Bibi langsung keluar."
Setelah mendengar penjelasan Bi Ani. Aydan tak menunggu lama untuk bergegas menuju kamar Devan. Ia ingin mengetahui kondisi lelaki itu. Kendati hubungan mereka tak baik-baik saja. Itu bukanlah alasan untuk Aydan melupakan bahwa Devan adalah orang yang masih mengalir darah yang sama dengannya.
Dengan pelan tangan Aydan membuka pintu kamar Devan. Di dalam sana ia menemukan lelaki yang hanya bertaut beberapa bulan di bawahnya itu tengah terlelap dengan posisi setengah duduk. Di wajah Devan bertengger oxygen mask yang menutupi bagian hidung dan mulut lelaki itu. Benda itupun sudah tampak dipenuhi uap. Sedang tangan Devan sebelah berada di bagian dada.
Aydan diam terpaku dalam jarak satu meter. Ia menatap iba wajah pucat yang tampak damai itu. Ia berpikir barangkali beginilah cara Tuhan menunjukkan keadilannya. Memang Tuhan merenggut kedua orang tua dari sisinya. Namun, fisiknya tumbuh dengan baik. Ia juga masih bisa merasakan kasih sayang tulus meskipun bukan dari orang tua kandungnya.
Sedangkan, Devan. Lelaki itu tumbuh dengan orang tua yang utuh. Kasih sayang yang penuh. Namun, ia memiliki keterbatasan. Banyak aktivitas yang tak bisa dilakukan meskipun ia sangat ingin. Banyak makanan yang tak bisa ia makan hanya karena mengingat kondisi tubuhnya yang kadang rewel.
Perlahan Aydan melangkah maju, mendekatkan diri dengan Devan yang terbaring di atas tempat tidur. Dengan jarak dekat ia bisa melihat wajah pucat dan dada yang naik turun tak konstan itu. "Maafin gue, ya," bisiknya dengan suara lirih. Ia menyentuh kening Devan dan merasakan tubuh anak itu sedikit hangat. Ya, memang tubuh Devan lebih gampang demam.
Aydan beranjak keluar setelah beberapa terpaku memandangi wajah pucat Devan. Sebenarnya, ia ingin menemani Devan sampai kedua orang tua lelaki itu kembali. Namun, ia merasa tubuhnya sudah terasa sangat lengket bekas keringat. Ia juga belum mengganti seragam sekolahnya. Lagipula, ia berpikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi dengan Devan yang sudah tertidur nyenyak meskipun masih dibantu alat pernapasan.
Devan melenguh beberapa saat setelah pintu kamarnya tertutup lagi. Ia bergerak gelisah. Hingga perlahan kelopak matanya terbuka dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan sayu. Ia menemukan kamarnya yang kosong membuat dirinya merasa kasihan pada diri sendiri. Biasanya ada kedua orang tuanya. Namun, sayangnya dua manusia itu sedang tidak di rumah dan tentu saja tidak tahu keadaannya saat ini. Aydan? Berharap lelaki itu akan menemaninya? Tentu saja menjadi hal mustahil untuk Devan.
Lelaki itu menoleh ke kanan saat dirasakan tenggorokannya kering. Tubuhnya yang masih terasa lemas ia paksa gerakkan hingga tubuhnya berhasil duduk dengan tegak. Hanya dengan pergerakan sederhana seperti itu saja membuat dada Devan terasa sesak. Ia tak tahu kenapa semakin hari tubuhnya semakin tidak bisa diajak bekerja sama. Ia mudah lelah.
Tangannya melepaskan oxygen mask yang menutupi mulut dan hidungnya. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, lelaki itu bergerak untuk mengambil gelas yang masih terisi penuh dengan air di atas meja samping tempat tidur. Namun, hal tak terduga terjadi. Tangannya tiba-tiba kehilangan tenaga hingga gelas yang sudah sempat ia pegang jatuh menyentuh ubin kamar. Ia tersentak saat pecahan gelas tersebut mengenai kakinya. Kendati hanya sekadar luka kecil. Namun, benda cair berwarna merah pekat itu keluar menutupi kaki Devan. Ia menunduk dan menutupi lukanya dengan tangan untuk menghentikan darahnya.
Devan kembali tersentak ketika pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Ia melihat Aydan dengan napas terengah-engah hanya mengenakan singlet dan celana sekolah.
"Devan!" pekik Aydan panik. Namun, kakinya seketika terhenti dengan jarak tak jauh dari tempat tidur saat ia melihat serpihan beling di lantai. Tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya terasa berputar. Kepingan peristiwa mengerikan itu kembali berputar pelan di kepala. Suara mobil yang menghantam pembatas jalan terngiang di telinga. Ia menutup telinga dengan kedua tangan.
Devan yang tahu akan trauma Aydan bangkit perlahan. Namun, tubuhnya memang sedang rewel kali ini. Ia limbung dan kembali duduk di tempat tidur. Bagaimana ini? Aydan butuh ditenangkan. Sedangkan ia sendiri tak punya tenaga untuk mendekat. Ingin sekali merutiki dirinya sendiri yang begitu lemah. "Bang," lirihnya memanggil Aydan sambil berusaha bangkit lagi dengan berpegangan pada bibir kasur.
Sedang Aydan hanya bisa berdiri menatap pecahan gelas di lantai dengan tubuh bergetar. Suara Devan yang bahkan memanggilnya tak bisa sampai ke indera. Suara Devan terkalahkan oleh peristiwa kelam itu.
Namun, kesadaran Aydan seakan kembali dalam sekejap ketika tubuh Devan terjatuh menyentuh lantai. Kendati tubuh yang sudah banjir keringat masih bergetar. Ia berusaha menepis jauh apa yang sudah mengganggunya itu. "De-Devan," panggilnya dengan suara bergetar. Tak hanya rasa trauma itu yang kini mengekang. Namun, ketakutan juga ikut menyerang. Takut akan hal buruk menimpa Devan.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Devan dengan lirih saat Aydan sudah duduk di dekatnya. Suaranya begitu kecil dan nyaris tak terdengar. Kelopak matanya berulang kali terpejam. Seakan kesadarannya mencoba untuk musnah.
"Gu-gue bantu," ucap Aydan tanpa menjawab terlebih dulu pertanyaan Devan. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak tahu apakah ia bisa dikatakan baik-baik saja sekarang atau justru sebaliknya. Karena, yang ia tahu. Kepingan peristiwa beberapa tahun lalu benar-benar mengganggu.
Tanpa suara. Tubuh bergetar. Keringat membasahi tubuh. Aydan membantu Devan kembali ke tempat tidur. Memasangkan kembali oxygen mask di wajah anak itu. Lalu, ia beralih menatap lantai yang masih kotor. Ia menggeleng kuat. Berusaha menepis semua hal yang muncul di kepala. Ia berjongkok. Tangannya bergerak hendak menyentuh pecahan gelas itu. Namun, tangan Devan yang lemah menghentikan gerakannya.
"Ja-ngan," kata Devan dengan suara yang dipaksakan keluar. Oxygen mask yang ia kenakan juga tampak penuh dengan uap. Ia menggelengkan kepala perlahan.
Aydan masih terdiam menatap lelaki di atas tempat tidur dengan kondisi yang begitu mengenaskan. Ia kasihan.
Sungguh. Harusnya anak seusia Devan itu sedang asyik menikmati masa remajanya. Namun, tidak dengan Devan. Lelaki itu justru harus berjuang dengan penyakit yang sudah mendarah daging di tubuhnya itu.
"Ja-ngan memaksakan di-ri. Gu-e ta-u lo nggak bi-sa." Devan berucap dengan terbata-bata. "Gu-e ta-u lo--" Suara Devan terasa tercekat saat sesak kembali datang. Padahal, ia sudah menggunakan masker oksigen. Namun, rasanya itu tidak cukup mempan. Terlebih dadanya juga terasa tertusuk ribuan anak panah secara bersamaan. Refleks tangannya menyentuh bagian yang benar-benar menyiksa itu. Ia meringis tertahan. Kelopak matanya terpejam kuat. Keningnya mengkerut dalam.
Seakan lupa dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Aydan bangkit dengan cepat dan mendekati Devan. Ia guncang tubuh adiknya itu dengan panik. "Dev, lo masih dengar gue, kan?"
Tak ada jawaban. Hanya ringisan tertahan yang terdengar dari balik masker oksigen itu.
Aydan kepalang panik. Ia mengusap wajahnya kasar. Ia berdiri dan mondar mandir. Kali ini otaknya benar-benar buntu. Hingga tatapannya jatuh di bagian kaki Devan yang merah oleh darah. "Kaki lo."
Bagaimana ini? Aydan kepalang panik. Otaknya terlanjur buntu untuk berpikir jernih. Hingga sebuah tarikan pelan dan lemah menghentikan pergerakannya.
"Te-nang," begitu suara itu terdengar sangat pelan. Namun, masih beruntung sampai terdengar di telinga Aydan. Di balik masker oksigen itu ia mencoba tersenyum secantik yang ia bisa. Kapan lagi Devan bisa berjarak sedekat ini dengan Aydan? Kapan lagi ia bisa menyaksikan sendiri bagaimana raut wajah khawatir itu? Kalau boleh ia katakan sekarang ia terlampau bahagia. Sebenci apapun Aydan padanya, rupanya lelaki itu masih bisa peduli. Atau hanya sekedar kasihan? Ah, tidak masalah.
Aydan menundukkan kepala. Menatap tangan dengan kulit putih dan urat yang terlihat jelas menonjol di punggung tangan menggenggam tangannya. Tak terlalu erat memang. Namun, ada rasa hangat yang menjalar dalam tubuhnya. Kapan terakhir tangannya itu menggenggamnya dengan erat? Aydan sendiri bahkan sudah lupa.
"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Devan dengan memaksakan suaranya keluar. Kendati rasa sesak dan sakit itu masih bersarang di dada. Hingga membuat kerutan di keningnya tampak jelas dan mata senantiasa terpejam.
Harusnya Aydan yang melontarkan pertanyaan itu. Bukankah yang sakit itu Devan? Yang tidak baik-baik saja itu Devan?
Aydan menatap ke arah Devan. Melihat wajah kesakitan itu dengan sangat jelas. Untuk kali pertama, Aydan melihat hal itu. Sebelumnya, ia hanya sering menyaksikan Devan merasa sesak karena Asma yang ia idap. Namun, lain dengan kali ini. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada adik sepupunya itu?
"Gue harus apa?"
Entah apa yang mendorong Aydan melontarkan pertanyaan itu. Namun, yang ia tahu kini ia merasa khawatir dan panik. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk membantu meringankan beban Devan.
Devan menggeleng pelan. Dari balik masker oksigen itu ia tersenyum. "Cu-kup lo nenangin di-ri a-ja."
Aydan terdiam mendengar jawaban itu. Saat seperti ini, Devan masih memikirkan Aydan. Sedangkan, ia sendiri bahkan kadang bersikap tak peduli pada Devan.
Kerutan di kening Devan semakin dalam. Sedang tangannya yang sejak tadi menyentuh tangan Aydan sudah terkulai di atas tempat tidur. Tenaganya terasa habis. Namun, tidak dengan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi itu.
Aydan yang melihat hal itu lantas duduk di samping Devan. Ia benar-benar panik kali ini. "Dev. Dev, lo kenapa?" Bodoh! Pertanyaannya benar-benar bodoh.
"Se-sak. Da-da gue ju-ga sa-kit banget," keluh Devan tanpa malu. Ia tidak tahan. Kenapa Tuhan tak memanggilnya saja daripada harus tersiksa terus menerus?
"Ki-kita ke rumah sakit, ya."
Sebelum Devan sempat menjawab. Sebuah suara terdengar dan berhasil mengubah seketika atmosfer kamar dengan nuansa biru langit itu. Warna yang selalu menjadi warna kesukaan tuannya.
"Apa yang kamu lakukan sama cucuku?"
Satu tempat dari bagian SMA Nusa yang menjadi sasaran para siswa setelah dering bel istirahat berbunyi adalah kantin. Saat ini tempat tersebut sudah dipadati oleh para siswa yang ingin memberikan asupan untuk cacing-cacing di perut mereka yang sudah meminta jatah sejak tadi. Di sana juga tak luput tiga siswa yang menjadi most wanted di sekolah. Tiada lain tiada bukan Aydan dan kedua temannya—Deon dan Lucas—yang kerapkali dijuluki dengan sebutan “Trio G” itu. Mereka asyik bercengkrama. Lebih tepatnya hanya Deon dan Lucas. Sedang Aydan hanya menjadi pendengar setia mereka dan sesekali hanya tersenyum tipis. Gelak tawa Deon dan Lucas sesekali melengking, bercampur dengan udara dan riuh pengunjung kantin lainnya. Dan seperti biasa, apapun yang mereka lakukan pasti akan berhasil menyita perhatian kaum hawa di sana. Bahkan setiap pergerakan yang mereka lakukan tak luput dari tatapan memuja. Tak hanya itu, bisik-bisik dengan kalimat pujian pun tak urung sampai di indera pe
Apalagi yang ditunggu-tunggu setiap siswa setelah matahari seakan bersinar tepat di atas kepala selain bel pulang yang berdering dengan nyaring. Wajah-wajah suntuk dan bosan itu berubah drastis menjadi berbinar. Setelah guru yang mengampu di mata pelajaran terakhir. Tangan-tangan yang terasa pegal itu bergerak cepat membereskan buku-buku mereka di atas meja dan memasukkan ke dalam tas sekolah. Carla. Gadis berambut pirang itupun juga bergegas melakukan hal yang sama. Ia memasukkan dengan sembarang buku-buku pelajarannya yang berserakan ke dalam tas. “Bel, gue balik duluan nggak apa-apa?” tanya Carla pada Arabelle yang masih membereskan alat tempurnya saat belajar tadi. Sedang yang ditanya hanya mengernyitkan hingga kerutan di kening tampak jelas. Ya, Carla jelas paham kenapa Arabelle seperti itu. Pasalnya, ia tak pernah tergesa-gesa saat pulang. Kecuali saat ada urusan penting yang tak bisa ia tinggalkan. “Gue ada janji sama Devan. Sekarang dia pasti udah nun
Sisa tawa Devan, Noval, dan Sarah masih terdengar mendengar lelucon yang diciptakan Riko. Salah seorang teman kelas yang tak pernah gagal membuat teman lainnya tertawa. Lelaki bermata sipit itu kembali mengenakan jaket yang sempat ia simpan di dalam mobil untuk menjaga kondisi tubuh lemahnya. “Siang-siang pakai jaket terus, Dev. Nggak gerah?” tanya Riko. Devan menoleh. Benar memang apa yang dikatakan Riko. Hari memang sedang terik. Namun, apalah daya bagi Devan yang hidup dengan tubuh yang tak normal. Ia tersenyum. “Gerah sih. Tapi, mau gimana? Tubuh gue nggak sekuat kalian,” balasnya santai sambil menaikkan resleting jaket yang membungkus tubuhnya. Bohong jika ia tak merasa iri pada orang-orang yang bisa melakukan apa saja dengan leluasa dan tanpa batas. Bermain sesuka hati mereka. “Elah, kayak orang penyakitan aja sih lo, Dev,” celetuk Riko dengan gamblang. Ya, memang Riko dasarnya adalah manusia yang tumbuh menjadi orang dengan gaya bahasa yang ent
Carla menyentuh knop pintu dan membuka benda dari bahan kayu tebal itu. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan yang bisa tertangkap indera. Di rumah sebesar istana itu ia hanya menemukan sepi. Rumah itu seperti tak ada kehidupan yang berjalan di sana yang mengharuskannya untuk kembali menghela napas panjang. “Bibi!” pekiknya untuk mendeportasi sunyi. Tak lama setelah suara Carla yang melengking dan mengudara. Seorang wanita dengan setelan daster rumahan berlari kecil mendekat. “Iya, Non. Baru pulang sekolah, ya?” Carla menjawab dengan anggukan. Tangannya yang sejak tadi terlipat di depan dada terlepas untuk menggamit dan mencium tangan kasar dan keriput milik wanita yang sudah mengabdikan diri di keluarganya sebagai asisten rumah tangga itu. Lama menjadi pekerja di rumahnya membuat Carla terbiasa, bahkan bergantung pada wanita yang sering ia panggil Bi Aini. “Bi, aku pulang sama Devan. Boleh minta tolong buatkan minum buat Devan? Aku mau k
Carla menatap lurus ke depan. Menatap pintu kaca yang tertutup rapat di mana di dalamnya ada sang ibu yang terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas berulang kali setiap mengingat kondisi ibunya. Juga menahan rasa kesal bercampur kecewa pada sang ayah yang belum juga datang ke rumah sakit. Gadis itu menoleh ke samping. Melihat Devan yang sejak tadi hanya terdiam dengan tubuh yang bersandar sempurna dan kepala yang menengadah ke atas. Ia bingung pada lelaki itu yang lebih banyak diamnya sekarang. Apalagi melihat Devan dengan wajah yang pucat. Apakah Devan sakit, pikirnya. Terlebih lagi dengan Devan yang meletakkan tangan di dada dan mengusap pelan bagian tubuhnya yang satu itu. ia juga melihat dada lelaki itu naik turun sedikit tak beraturan. Carla menyentuh pundak Devan pelan membuat lelaki itu sedikit tersentak. “Dev, kamu kenapa?” tanya Carla sedikit khawatir melihat wajah pucat Devan. Ia tak tahu betul apa yang tengah terjadi pa
Asap yang mengepul dari mulut Aydan bercampur dengan udara sore. Juga dengan asap dari secangkir kopi di sampingnya. Untuk mencari tenang yang jarang, Aydan hanya bisa melakukan hal itu. Kendati ia tahu apa yang dilakukannya bukanlah hal yang tepat dan tentu saja tak baik untuk tubuhnya. Namun, lagi-lagi ia hanya bisa melakukan hal itu untuk mencari sebuah ketenangan. Kakinya yang jenjang menjuntai di kolam, menikmati segar air jernih di sana. Sedang kepalanya menengadah ke atas. Menatap angkasa yang membiru dan sebentar lagi akan berubah hitam pekat. Ia tersenyum tiba-tiba. Tipis sekali. Saat teringat wajah yang ia pandang dengan jarak sangat dekat di dalam kepala. Untuk pertama kali. Sebuah bayangan bisa menyeret bibirnya agar melengkung ke atas. Ah, ada apa ini? Aydan menepis kembali bayangan itu. Untuk apa ia membayangkan manusia yang selalu membuat kesal dirinya? Tidak boleh ia membawa masuk lagi urusan perempuan ke dalam hidupnya yang pelik. Itu tidak boleh ter
"Dev, kamu yakin nggak mau ikut makan malam di luar?" Salmira duduk di bibir tempat tidur Devan. Ia mengelus lembut lengan Devan yang terbungkus sweater tebal yang digunakan untuk melindungi tubuhnya dari dinginnya angin malam. Tubuh yang begitu rentan ambruk meski tak dipaksa melakukan aktivitas berat. Dan satu jam yang lalu pun lelaki itu sempat terserang sesak yang sangat hebat. Hingga memaksanya untuk berdiam diri dan terbaring di kamar. Devan hanya menggeleng pelan. Bagaimana bisa ia ikut keluar jika tenaganya saja masih belum kembali setelah tadi habis diserap rasa sesak. Ia tersenyum tipis dan menatap sayu Salmira. "Lain kali aja, ya, Ma. Kalau Devan ikut nanti malah ngerepotin Mama sama yang lain." Ia tertawa kecil. Namun, sarat dengan kepedihan. "Anak Mama nggak pernah ngerepotin kok. Jadi, jangan bilang kayak gitu lagi, ya, Sayang." Lelaki itu menggerakkan tangan kirinya menyentuh punggung tangan Salmira. "Terima kasih udah jadi ibu hebat untuk Deva
Bel istirahat baru saja berdering teramat nyaring. Wajah-wajah bahagia terpancar nyata dari murid-murid SMA Nusa. Raut-raut tak sabar ingin segera memberikan nutrisi kepada cacing-cacing di perut mereka pun tak luput dari pandangan. Lain halnya dengan gadis blasteran dengan kulit putih dan berparas ayu itu. Ia hanya sibuk memainkan polpen di sela-sela jemarinya. Wajahnya yang cantik tampak murung seperti dilanda mendung. Matanya yang indah menatap tangannya yang bermain di atas meja dengan tatapan sayu. Otaknya yang sejak tadi dipaksa mencerna materi terasa sudah penuh. Bukan karena materi yang sejak pagi itu, melainkan otaknya penuh memikirkan kondisi Ilmi yang semakin hari terlihat semakin memburuk dan memprihatinkan. Sejak pagi ia memaksa diri untuk memfokuskan diri dengan apa yang dihadapkan waktu padanya. Namun, ia gagal dan tak bisa bekerjasama dengan otaknya. Ia melipat tangan di atas meja. Lantas menunduk dan menenggelamkan wajah di antara lipatan tangannya.