Share

Flashback

Carla melirik benda kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sambil berjalan setengah  berlari. Ia menepuk keningnya dengan keras setelah melihat waktu yang ditunjukkan arlojinya. Dua menit lagi bel masuk akan berbunyi.

“Sial! Jangan sampai gue telat di hari pertama masuk ini. Nggak mungkin dong siswa baru bakal telat, ‘kan? Oh, itu tidak boleh terjadi,” monolognya sambil mempercepat langkah. Tak peduli jika apa yang dilakukannya akan membuatnya berkeringat dan seragamnya akan basah.

“Sedikit lagi, Carla!” Gadis itu menyemangati dirinya sendiri. Larinya semakin dipercepat sekuat yang ia bisa. Salahnya di hari pertama masuk sebagai siswa baru ia memilih berangkat menggunakan taksi online daripada menerima tawaran Muti—ibu tirinya. Dan sialnya lagi taksi yang ia tumpangi justru mengalami masalah di tengah jalan. Sedikit beruntung jarak sekolah tak terlalu jauh. Alhasil, berakhirlah ia dengan berjalan kaki untuk melanjutkan perjalanan menuju sekolah barunya.

“Stop!” teriak Carla dengan kencang. Sedangkan, kedua tangannya memegang gerbang besi yang berdiri kokoh di hadapannya yang sedikit lagi tertutup rapat. “Jangan tutup dulu, Pak. Bel masuk bunyi semenit lagi kok,” lanjutnya dengan protesan. Ia mengatur napasnya yang tak teratur. Menyeka keringat di kening yang mulai bercucuran.

Pria bertubuh gembul, kumis tebal yang menutupi bibir bagian atas dan rambut yang sebagiannya sudah memutih menatap Carla. Ia sapu gadis itu dengan tatapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sepasang matanya memicing melihat gadis yang masih asing di hadapannya itu. “Apa Neng siswa baru di sini?” tanya pria itu dengan ramah. Begitu kontras dengan wajahnya yang tampak garang.

Carla menggangguk cepat dan pasti. “Iya, Pak. Ini hari pertama saya masuk. Tolong, ya, Pak.” Ia menangkup kedua tangan di depan dada. Namun, detik berikutnya tangan kanannya ia ulurkan ke arah pria itu berseragam security itu. “Nama saya Carla, Pak,” ucapnya memperkenalkan diri dengan ramah dan menunjukkan senyum lebar. Hal itu membuat lesung pipi di pipi kirinya tampak jelas dan menambah aura kecantikannya.

Pria berkumis tebal tersebut menyambut tangan Carla. “Eneng bisa panggil saya Pak Umar saja.”

Gadis itu mengangguk cepat. Matanya menyipit sebab senyumnya yang lebar terbit menghiasi wajahnya yang sedikit basah bekas keringat. “Iya, Pak Umar. Tapi, saya bisa masuk kan, Pak?”

“Silakan masuk, Neng. Semoga betah dan cepat beradaptasi dengan lingkungan di sini, ya.”

“Terima kasih banyak, ya, Pak,” balas Carla tanpa menanggalkan senyumnya. Tepat saat kakinya sudah menginjak area SMA Nusa, bel masuk berbunyi teramat nyaring. Tanpa menunggu lagi ia berlari. Menyusuri koridor yang dipadati para siswa yang bersiap memasuki kelas masing-masing. Dan—

“Aw!” carla mengaduh kesakitan saat tubuhnya berhasil mendarat dengan sempurna di lantai koridor sekolah setelah menabrak benda keras tanpa sengaja. Tunggu! Yang ditabrak gadis itu bukanlah sebuah benda. Namun, seorang lelaki dengan seragam sama seperti yang lain. Ia mendongak dan mendapati lelaki itu menatapnya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya pandangan Carla beralih pada tulisan di seragam lelaki itu. “Aydan Atma Darmana,” bisiknya tanpa ada satu pun orang yang mendengar.

“Lo nggak bisa, ya, kalau jalan tuh lihat-lihat?” bentak Carla.

“Lo juga kalau lari pakai mata dong biar nggak nabrak orang. Udah salah, malah nyolot sendiri,” kesal siswa bernama Aydan itu. Ia menatap angkuh ke arah Carla yang masih terduduk di lantai.

Carla tertawa dengan sangat keras. “Ternyata lo bodoh banget, ya. Di mana-mana manusia itu jalan pakai kaki, bukan mata.” Ia melanjutkan tawanya kembali seraya bergerak bangkit. Kendati pergerakannya membuatnya sedikit meringis. Namun, ia tak peduli. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian siswa-siswa lainnya. Ya meskipun dari sebelumnya juga sudah diperhatikan. Apalagi ia baru kali pertama muncul di SMA Nusa.

Aydan mendengus kesal. “Lo udah salah, ngejek orang lagi. Dasar!”

“Dasar apa?” tanya Carla dengan nada menantang. Tak hanya terdengar dari suara saja. Caranya yang melipat tangan di depan dada dan mengikis jarak dengan Aydan benar-benar terkesan menantang lelaki itu.

“Terserah lo aja mau dasar apa.” Aydan menyerah. Sepertinya gadis yang ada di hadapannya itu memang keras kepala. Tidak ada gunanya merusak mood pagi-pagi hanya dengan meladeni seseorang yang baru kali ini muncul di hadapannya. Aydan berbalaik arah dan melangkah meninggalkan gadis itu dengan ekspresi kesalnya.

“Heh! Harusnya lo minta maaf dulu sama gue!” teriak Carla menyita perhatian orang-orang. Merasa tak ditanggapi, ia melempar Aydan dengan kertas yang ia ambil dari tas dan sudah diremasnya hingga berbentuk bulat.

Sesuai keinginan Carla dan tepat sasaran. Remasan kertas yang berbentuk bulat itu mendarat tepat di kepala bagian belakang Aydan. Hal itu tak urung membuat siswa dengan tubuh tinggi dan kulit putih itu menoleh ke belakang dengan tatapan elang. Di sorot matanya jelas terlihat nyala api amarah pada Carla.

“Sial! Kenapa lo lempar gue? Lo mau cari gara-gara sama gue, hah?!”

“Itu akibat karena lo nggak mau minta maaf sama gue,” balas Carla dengan congkak. Ia juga tersenyum penuh kemenangan.

Melihat perlakuan Carla yang tak terlihat takut sedikit pun membuat Aydan semakin jengkel. Ia berjalan mendekati gadis itu masih dengan tatapannya yang tajam. Rahangnya juga ikut mengeras menandakan ia benar-benar dikekang amarah yang siap-siap untuk dilampiaskan.

Carla yang tadinya tersenyum kini menggigit bibir bawahnya. Ia takut melihat Aydan yang menatapnya seperti harimau yang tengah bersiap menerkam mangsa. Perlahan ia mundur selangkah demi selangkah. Hingga tanpa sadar tubuhnya subah terbentur dengan pilar besar di koridor sekolah.

“Lo mau gue minta maaf sama lo, ‘kan?” tanya Aydan sangat pelan, tetapi penuh penekanan kuat pada setiap kata yang meluncur bebas dari bibirnya. Sedang tatapannya masih nyalang dan ekspresinya semakin menakutkan.

Carla yang tak menduga lelaki itu akan seperti ini hanya bisa mengangguk ragu dan takut.

Berbeda dengan Carla. Lelaki ber-name tag Aydan Atma Darmana itu tengah tertawa keras dan penuh kemenangan dalam hati melihat ekspresi Carla yang ketakutan. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah putih mulus itu. Tangan kanannya ia letakkan di tembok untuk menopang tubuh. Lantas ia kembali mendekatkan wajah hingga berjarak beberapa senti saja dengan Carla hingga gadis itu menunduk ketakutan. “Gue minta maaf sama lo? Itu nggak akan pernah gue lakuin!” tegas Aydan dengan berbisik di telinga Carla.

Aydan mundur tiga langkah, menciptakan jarak antara dirinya dengan Carla. Lalu, ia memasang senyum merdeka di hadapan gadis itu. Ia berbalik arah dan meninggalkan Carla yang masih terpaku bersandar pada pilar kokoh itu. Dengan bangga Aydan menoleh ke belakang, mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara dan melambaikannya ke arah Carla. Tentu saja ia kini sudah merasa menang telah membuat gadis itu benar-benar ketakutan.

Gadis blasteran dengan rambut pirang itu mengepalkan tangan hingga jemarinya memutih. Ia kesal bukan main. Ia teramat marah. Namun, aroma mint yang masih terasa dari tubuh lelaki itu dalam sekejap menghilang rasa kesal dan amarahnya. Ia tersenyum tipis.

Detik berikutnya Carla tersadar. Ia menggelengkan kepala kuat. “Dasar cowok nggak tau diri. Harusnya dia minta maaf sama gue. Bukan malah bikin gue takut,” umpat Carla dengan penuh kekesalan. Tangan kanannya terkepal dan meninju udara dengan keras. Seakan lelaki itu sekarang tengah ada di hadapannya.

“Kenapa di hari pertama aja gue udah dapat kesialan gini, ya? Hari pertama udah ada yang bikin gue kesel. Sial!” lanjut gadis itu menggerutu.

“Awas aja kalo nanti gue ketemu lo lagi. Bakal gue tinju tuh wajah tampan lo itu sampai babak belur.”

“Hah?” Mulut Carla terbuka. Keningnya mengkerut dalam tak percaya dengan apa yang diucapkannya tadi. “Tampan?” Alisnya terangkat sebelah. “Hm… memang iya sih tampan.” Lantas, ia terkekeh sendiri.

Melihat seseorang yang tengah memainkan bola di lapangan basket itu membuat Carla teringat akan sepenggal peristiwa awal pertemuannya dengan Aydan. Kepingan kisah itu berputar layaknya film layar lebar di kepala. Ia membuang napas kasar menatap lelaki dengan tubuh bersimbah peluh di tengah lapangan itu. Dalam hati ia memang membenarkan ucapan para siswi di sampingnya yang sangat memuja ketampanan Aydan. Karena, memang benar adanya. Siapa yang tak mengenal Aydan si Kapten basket yang dingin itu. Seorang siswa yang menjadi most wanted di SMA Nusa.

“Aydan tuh benar-benar tampan, ya, La?”

“Tampanan juga Devan ketimbang dia,” balas Carla dengan nada tak suka.

Arabelle menoleh ke arah Carla dengan kening berkerut. “Ya iyalah lo bakal bilang kayak gitu. Devan kan pacar lo,” ucapnya lalu kembali menatap ke arah lapangan. Memandang lelaki pujaannya yang tengah men-dribble bola.

“Nggak gitu juga. Tapi, gitu kenyataannya kok.

“Ya udah deh terserah lo aja.”

Carla kembali mengarahkan pandangan ke tengah lapangan basket. Namun, itu tak berlangsung lama. Karena, seseorang menepuk pelan pundaknya. Ia mengangkat kepala dan tersenyum lebar melihat pemilik tangan yang masih diam di pundaknya itu. “Hei!”

°°°°°

Thanks, ya, Sarah udah bantu rampungin kerjaan gue.”

Gadis yang dipanggil Sarah itu tersenyum. Ia menepuk pelan pundak Devan. “Santai aja kali, Dev. Kayak sama siapa aja lo.”

Devan tertawa mendengar Sarah. Ia bersyukur bisa memiliki teman sebaik Sarah. Dari sekian banyak teman kelas dan organisasinya. Hanya Sarah dan Noval yang paham betul bagaimana dirinya. Mereka berdualah yang kerap kali meringankan pekerjaan Devan sebagai Ketua OSIS. Apalagi saat Devan tengah jatuh sakit. Merekalah yang akan menjadi garda terdepan untuk Devan.

“Sar, lo istirahat dulu gih. Nanti dilanjutin lagi,” kata Devan mengingatkan Sarah. Pasalnya teman yang satu itu pantang mundur sebelum pekerjaan selesai.

“Nanggung, Dev,” balas Sarah tanpa menoleh ke arah Devan. “Yang perlu istirahat itu lo kali, Dev. Gue perhatiin dari tadi lo udah nggak nyaman. Sesak lagi, nggak?” tanya Sarah. Kali ini melepaskan fokusnya dari jajaran huruf di layar laptop dan mengalihkannya pada Devan yang duduk di bangku seberangnya. Satu kelas dengan Devan dan bergelut di circle yang sama membuatnya tahu tentang lelaki itu.

“Nggak kok, Sar. Tapi, gue izin istirahat dulu boleh nggak, ya?” tanya Devan dengan ragu. Ia merasa tidak enak pada Sarah. Apalagi hari ini Noval sedang izin tidak masuk karena sakit. Jadi, tidak ada yang membantunya.

“Nggak apa-apa, Dev. Istirahat aja deh.”

“Benaran nih? Jangan ngambek nanti, ya,” canda Devan yang hanya dibalas dengan anggukan dan tawa renyah Sarah.

Devan meninggalkan Sarah di ruang OSIS sendiri dan bergegas menuju kelasnya. Benar memang apa yang dikatakan Sarah tadi. Ia sedikit merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Ada sedikit rasa sesak yang terasa. Namun, ia tidak lagi-lagi merepotkan Sarah. Karena, Sarah sudah terlampau kerepotan dengan pekerjaan organisasi.

Setelah merasa lega. Devan berlalu dan menuju kelas kekasihnya—Carla. Ia mengedarkan pandangan dari ambang pintu kelas Carla. Namun, yang dicarinya tak ada di sana. Mungkin lagi ke kantin, pikirnya.

“Mau cari Carla?” tanya seseorang dari belakang Devan.

Lelaki itu menoleh dan mendapati seorang siswi di belakangnya. “Iya. Lihat Carla di mana?”

“Lagi nonton basket sama Arabelle.”

“Oh, terima kasih, ya.”

Devan langsung menuju lapangan basket. Dan benar saja. Di pinggir lapangan ia bisa melihat Carla bersama Arabelle. Ia segera mendekat.

Pelan-pelan Devan menepuk pundak Carla. Ia melihat gadis itu menatapnya dengan tatapan berbinar dan senyum lebar.

“Hei!” sapa Carla dan bangkit.

“Bisa temenin aku sebentar, nggak?” tanya Devan.

Dengan cepat Carla menganggukkan kepala mengiyakan permintaan lelaki yang sudah menjalin hubungan dengannya selama lima bulan terakhir ini. “Of course,” jawab Carla dengan riang. Ya, memang dasarnya gadis itu memang seseorang yang ceria. Namun, siapa sangka jika ia mempunyai permasalahan yang pelik yang harus ia simpan sendiri.

Devan yang melihat keceriaan Carla merasa bahagia. Sejak kehadiran Carla membuat Devan bisa melupakan sejenak hal-hal yang membebani pikirannya. Apalagi jika melihat tawa gadis itu. Ia benar-benar merasa baik.

“Tapi, Dev. Sebentar deh.” Carla menyipitkan sepasang matanya. Ia menelisik setiap inci wajah Devan. “Are you okay, right?”

Lelaki tak langsung menjawab. Ia membuang pandang ke segala arah untuk menghilangkan kegugupannya.

“Devan.” Carla menyentuh lengan Devan.

“Iyalah aku baik-baik aja. Memangnya aku kenapa coba?” dusta Devan. Untuk mendukung aksi berbohongnya, ia berusaha menunjukkan senyum lebarnya. Kendati hal itu tak bisa menutupi wajahnya yang pucat.

“Tapi, mukamu pucat banget lho, Dev. Aku nggak yakin kamu baik-baik aja.”

Devan menarik tangan gadis itu dengan lembut. Kemudian, tersenyum lebar. “Trust me.”

Jika sudah seperti itu. Apalagi yang bisa dilakukan Carla selain mengikuti ke mana saja langkah Devan membawanya pergi. Apalah daya juga? Carla sudah terlanjur nyaman berada di dekat Devan. Kendati lelaki itu kadang lebih banyak menghabiskan waktu dengan organisasi yang ia pimpin dan kadang juga menghilang tiba-tiba tanpa kabar. Namun, Carla sejauh ini tak pernah mempermasalahkan hal itu. Ia selalu mencoba berpikr positif tentang Devan.

“Kita mau ke mana sih, Dev?” tanya Carla sambil mengikuti langkah kaki Devan yang beberapa langkah lebih dulu darinya.

“Ikut aja, La. Aku punya kejutan  untuk kamu.”

“Tapi, ulang tahunku kan udah lewat, Dev. Lagian kemarin juga kamu udah kasih surprise dan hadiah untukku. Terus, ini surprise dalam rangka apa lagi?”

Devan tak menjawab. Ia terus saja melangkah dan berpijak pada tangga yang satu menuju tangga yang lain. Namun, ia memelankan gerakannya saat rasa lelah mulai hinggap. Ia mulai merasa aneh dengan kondisi tubuhnya. Akhir-akhir ini ia lebih cepat lelah dibanding sebelumnya. Dan juga intensitas sesaknya kambuh lebih tinggi. Apalagi kalau sudah tengah malam.

Sesampai di rooftop sekolah. Devan berdiri sambil menetralkan napasnya. Ia menyeka keringat yang mengucur di kening dengan lengannya. Lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya. “Untukmu, By.” Ia menyodorkan benda tersebut ke arah Carla.

“Apa ini?”

“Buka saja.”

Carla yang tak sabar lantas dengan cepat membuka benda tersebut. Mulutnya terbuka melihat sebuah benda yang berkilauan di dalam kotak yang diberikan Devan padanya.

“Gimana? Kamu suka, nggak?”

Carla hanya bisa menganggukkan kepalanya pasti. Ia terharu. Devan selama ini selalu saja menyuguhkan hal-hal yang tak pernah ia duga. “Thank you, By,” ucap Carla dengan air mata yang sudah bergumul di kelopak matanya.

“Eh, jangan sedih gitu dong. Harus senyum, ya.”

“Aku Cuma terharu aja. Kamu selalu aja kasih aku kejutan yang bikin aku speechless.

Devan tertawa kecil. “Aku akan melakukan apapun biar bisa lihat kamu tersenyum dan tertawa lebar, La. Aku juga akan berusaha untuk selalu ada untukmu. Karena, aku nggak tau sampai kapan aku bisa ada di sini, bersamamu.”

Sayangnya kalimat itu hanya bisa Devan ucapkan dalam hati. Ia tidak ingin merusak suasana hati Carla yang pasti sangat bahagia sekarang. Dan ia juga tidak ingin Carla terbeban jika tahu kondisi Devan yang sebenarnya.

Anything for you, Carla Farzana Darmadja.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status