Share

Kupikir Dia Berbeda

"Danis nggak habis pikir, Bi. Aina ... bisa melakukan hal itu. Kupikir dia gadis shalehah yang selalu terjaga. Kupikir dia akan menjaga kesuciannya untuk imam yang akan menikahinya. Ternyata harapanku terlalu tinggi ya, Bi?" Danis menunduk lesu.

Pria mana yang tak kecewa jika gadis yang akan dinikahinya tiba-tiba menghilang dan alasan menghilangnya karena telah hamil. Danis sendiri sudah sangat yakin mencintai sosok Aina, putri seorang pemilik yayasan pendidikan. Tak hanya memiliki akhlak yang baik, Aina selama ini juga dikenal sebagai gadis yang cerdas. Penampilannya selalu tertutup karena takut apa yang dimiliki dilihat oleh laki-laki non mahram.

Namun berita yang baru saja Danis dengar mematahkan sayah harapannya untuk membina rumah tangga bersama wanita yang akan membersamainya di dunia hingga menuju ke surga.

"Danis pikir Aina berbeda dengan gadis-gadis di luaran sana yang tergoda gaya hidup bebas. Ternyata sikapnya yang lembut serta penampilannya hanya menutupi sifat aslinya yang bahkan jauh lebih hina dari para gadis yang terang-terangan menyodorkan dirinya," ungkap Danis menyampaikan kekecewaannya.

"Jaga bicaramu anak muda! Kamu memang calon suami Aina, tapi kamu tidak berhak untuk menilainya!" ucap Abi Hanif tegas.

Sungguh, ucapan Danis barusan bagai belati yang menyayat-nyata hati orang tua Aina. Dia tahu putrinya salah karena hamil di luar nikah. Namun dia juga tak rela jika putrinya dihina sedemikian rupa oleh orang lain yang bahkan hampir saja dia jadikan sebagai imam dari putrinya itu.

"Abi tidak terima? Nyatanya memang benar kan Aina tengah hamil sekarang? Kalau memang dia perempuan shalehah seperti yang orang-orang sangka selama ini, dia tak akan melakukan hal sebejad itu, Bi! Apa karena dia putri Abi jadi Abi membenarkan perbuatannya yang jelas-jelas telah melangkah hukum agama kita?" Danis memicingkan matanya. Dia telah menghina Aina, tapi ia lupa kalau dirinya saat ini juga telah melanggar hukum agama dengan mengeraskan suara di hadapan orang tua.

"Nak Danis, tolong duduk dulu ya, Nak. Mari kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin. Ummi akan jelaskan semuanya," ucap Ummi Widuri menenangkan.

Seketika wajah Danis yang semula tegang mulai mengendur. Nafasnya pun berangsur mulai teratur. Pemuda itu pun akhirnya duduk di sofa lalu menyandarkan punggungnya. Ummi Widuri menyodorkan segelas air putih pada calon menantunya itu lalu kembali duduk berdampingan dengan suaminya.

Mendadak suasana menjadi hening. Hanya detak jarum jam yang mendominasi ruangan berukuran 7 x 7 meter ini. Fatih berusaha untuk mengatur emosinya agar tidak kembali meledak. Sementara Ummi Widuri tengah berpikir bagaimana cara menyampaikan keadaan Aina tanpa membuat kekacauan lagi.

"Jadi begini, Nak Danis, ...." Ummi Widuri menjelaskan duduk perkaranya. Semua dia sampaikan termasuk alasan kenapa sampai menyewa detektif segala.

Fatih mendengarkan dengan saksama tanpa berniat untuk menyela. Otaknya masih berusaha untuk mencerna semua kalimat yang dirangkai oleh calon mertuanya.

"Apa bisa hal seperti itu terjadi pada zaman sekarang, Bi?" tanya Danis akhirnya.

"Entahlah. Itu pula yang menjadi pemikiran Abi dan Ummi sampai detik ini. Hasil penyelidikan juga tidak menemukan adanya tanda-tanda Aina pernah dekat dengan seorang pria. Menurutmu gimana, Nak Danis? Aina sendiri juga sudah bersumpah atas nama Allah kalau dia tidak pernah melakukan perzinahan. Kamu tahu kan kalau dia sudah berani membawa nama Allah itu artinya dia tidak berbohong?"

Danis mengusap wajahnya kasar. Pikirannya buntu. Dia mengenal Aina sudah sejak kecil. Kedua orang tuanya juga berteman sejak masih di bangku sekolah. Itulah sebabnya mereka sepakat untuk menjodohkan putra putri mereka karena sudah sama-sama mengenal dengan baik.

"Selama ini Danis juga selalu percaya sama Aina, Bi."

Senyum di bibir Abi Hanif dan Ummi Widuri mengembang mendengar kalimat itu.

"Tapi zaman sudah berubah. Danis sudah beberapa tahun tidak bertemu dengan Aina. Danis tidak tahu apa saja dan bagaimana pergaulan Aina di sini, Bi."

Seketika binar di wajah kedua orang tua Aina meredup. Dia pikir Fatih akan percaya pada putrinya. Ternyata dia juga meragukan pengakuan Aina.

"Baiklah, Nak Danis. Kamu punya hak untuk tidak percaya pada putri saya. Saya sudah menjelaskan semuanya padamu. Terserah kamu selanjutnya mau seperti apa," ucap Abi Hanif dengan nada kecewa. Bahkan pria paruh baya itu sudah menyebut dirinya dengan "saya" tak lagi "Abi" hingga terkesan sangat formal.

"Maafkan saya, Abi, Ummi, logika Danis tidak bisa menerima." Setelah mengucapkan hal itu, Danis berdiri dan keluar tanpa pamit seperti sebelum-sebelumnya.

Ummi Widuri tergugu. Bahunya bergetar karena menangis.

***

Matahari belum begitu tinggi tatkala dering HP milik Abi Hanif terdengar nyaring. Pria itu baru saja selesai shalat duha dan hendak bersiap menuju ke kantor.

"Assalamualaikum. Ada apa, Pak Budi?" sapa Abi Hanif pada si penelpon.

"Wa'alaikumsalam. Gawat, Pak Hanif. Gawat!"

"Ada apa, Pak? Tolong katakan dengan jelas!" Abi Hanif menatap sang istri yang ikut mendengarkan karena loud speaker ponsel itu dinyalakan.

"Di depan kantor yayasan ada segerombolan orang yang sedang demo, Pak. Mereka terus berteriak-teriak meminta Bapak untuk keluar."

"Apa?" Abi Hanif membulatkan matanya. "Ok. Saya akan segera ke sana. Tolong tenangkan mereka dulu. Mediasi mereka dan tanyakan apa yang mereka inginkan!"

"Baik, Pak."

Abi Hanif dan istrinya saling pandang. Mereka tidak mengatakan apapun karena sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sekitar setengah jam perjalanan, akhirnya Abi Hanif sampai di kantor. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah kumpulan orang yang membawa beberapa poster dan dengan beringas mencoba untuk menerobos masuk pagar. Diantara mereka ada seseorang yang dia kenal.

"Ada apa ini?" tanya Abi Hanif tegas.

"Itu dia orangnya! Dasar munafik! Ayo kita bakar saja yayasan ini! Orang seperti dia tidak pantas memimpin yayasan pendidikan!" teriak seorang yang mungkin menjadi provokator.

"Apa maksudnya? Tolong jangan bertindak anarkis seperti ini. Mati kita bicarakan baik-baik di dalam." ajak Abi Hanif bernegosiasi.

"Alah, kelamaan! Ayo kita bakar saja sekarang!"

"Ayo! Ayo! Bakar! bakar! Bakar!"

Salah seorang dari gerombolan itu sudah menyalakan korek dan bersiap untuk melempatkannya ke gedung yayasan berlantai dua itu. Bahkan beberapa sudah menumpahkan bensin ke pagar.

"Lakukan sekarang! Tunggu apa lagi?" teriak orang itu lagi.

"Tunggu!"

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayu Kusuma Dewi
yang benar danis atau Fatih atau Danis Al Fatih
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status