Abi Hanif merangsek ke depan dan menghalangi orang-orang yang hampir kalap tersebut.
"Tunggu! Kalau ada masalah kita bicarakan baik-baik, jangan main hakim sendiri!" ucap Abi Hanif tenang."Halah, dasar munafik! Nggak usah didengerin! Ayo bakar saja gedung ini! Jangan sampai kita mendapatkan azab karena dosa zina yang dilakukan oleh putri ketua yayasan ini! Ayo semuanya, kita bakar saja!" Seorang pria dengan wajah garang dan rambut agak gondrong memprovokasi warga."Tunggu dulu! Apa untungnya bagi kalian kalau gedung ini dibakar? Apa kalian ingin putra-putri kalian berhenti sekolah?" Abi Hanif berbicara dengan sangat tenang. Tidak takut dengan semua kemarahan warga karena dia tahu ada seseorang yang sengaja memprovokasi mereka.Mendadak suasana yang semula riuh menjadi hening. Kemarahan yang semula membara perlahan padam mendengar pertanyaan dari Abi Hanif."Siapa yang mau ikut saya ke dalam? Ayo kita bicarakan baik-baik." Abi Hanif menatap satu per satu pria di barisan paling depan."Sudah nggak usah bernegosiasi! Kami tahu kalau putri Anda hamil di luar nikah! Apa pantas seorang pendidik melakukan perbuatan keji seperti itu?" Tiba-tiba seseorang yang berdiri di barisan paling belakang berteriak lantang."Baik, apa mau kalian?" Abi Hanif masih terlihat tenang. Tidak terpengaruh sama sekali dengan teriakan-teriakan yang menghina putrinya."Dia harus dicambuk karena sudah berani berbuat dosa!"Abi Hanif tersenyum. "Silakan lakukan kalau bapak-bapak memang tidak pernah berbuat dosa. Apa ada diantara kalian yang benar-benar tidak berbuat dosa?"Kasak-kusuk terdengar makin riuh. Orang yang semula berteriak lantang mendadak bungkam."Saya tahu putri saya mungkin sudah berbuat dosa. Itulah sebabnya saya mengasingkan dia di tempat yang jauh. Jadi tidak usah khawatir bapak-bapak akan terdampak dari perbuatan putri saya. Andai negeri ini menerapkan hukum sesuai agama kita, saya juga tidak keberatan putri saya mendapatkan cambukan untuk membersihkan dosanya."Setelah mengatakan hal itu Abi Hanif balik badan dan masuk ke gedung yayasan yang sengaja ditutup dari dalam karena para karyawan tak berani menghadapi kemarahan warga. Satu per satu warga yang berkumpul pergi dengan membawa penyesalan dalam hati mereka.Meskipun masalah itu sudah terselesaikan, Abi Hanif masih belum bisa tenang. Nama baiknya yang sudah dia jaga, nyatanya tetap hancur juga. Setitik rindu menyergap dalam hatinya. Putri semata wayangnya yang tidak pernah pergi jauh darinya, kini harus berjamaah sendiri dengan kehamilan yang masih belum diketahui hasil perbuatan siapa."Arman, apa sudah ada perkembangan?" tanya Abi Hanif setelah memasuki ruangannya."Maafkan saya, Pak. Sampai saat ini belum ada petunjuk."Abi Hanif menghela napas panjang. Masalah yang membuat putrinya harus diasingkan benar-benar menguras tenaga dan pikirannya. Sebagai ayah yang membesarkan dan menjaga Aina selama 21 tahun lebih, tentu tidak percaya jika putrinya berani berbuat sekeji itu. Namun dia juga tak memiliki bukti kuat tentang misteri kehamilan putrinya.Sementara kehidupan Aina di pengasihan juga terbilang susah. Aina mengalami hiper emesis sehingga membuat berat badannya turun drastis. Tak ada makanan yang bisa dimakan kecuali air putih. Itupun setelah beberapa menit akan dimuntahkan kembali."Coba makan lagi ya, Non," bujuk Bik Esih yang tak tega melihat putri kesayangan tuan besarnya terlihat sangat lemas."Nggak bisa, Bik. Perut Aina sangat mual.""Dicoba dulu, Non. Habis itu minum obat anti mualnya, ya. Katakan sama Bibik, Non Aina mau makan apa?" Bik Esih tidak menyerah. Wanita paruh baya itu tak tega melihat kondisi Aina yang memprihatinkan.Aina mencoba membayangkan makanan yang menggugah seleranya. Namun semua makanan yang dulu menjadi favoritnya justru membuatnya sangat mual saat baru memikirkannya."Entahlah, Bik. Aina rasanya benci sama makanan.""Aduh, Non jangan begitu. Non harus memikirkan dedek bayi yang ada dalam kandungan Non juga. Kalau hanya mikirin diri sendiri aja, kasihan yang di dalam perut, Non. Bagaimanapun dia punya hak hidup dan punya hak untuk mendapatkan nutrisi untuk tumbuh, Non," bujuk Bik Esih lagi.Aina mengelus perutnya yang sudah terasa keras meskipun belum terlalu menonjol. Ada perasaan aneh ketika membayangkan sebentar lagi akan ada seorang bayi yang lahir dari rahimnya. Bayi yang kehadirannya sudah mengubah masa depannya. Menjungkirbalikkan kehidupan Aina yang semula damai dan tanpa kendala."Bibik, Aina harus apa? Kenapa Aina harus hamil dengan cara seperti ini, Bik? Aina bahkan tidak pernah tahu bagaimana caranya dia bisa ada di dalam perut Aina." Gadis berhijab itu menangisi nasibnya yang tragis. Hamil di luar nikah tanpa tahu siapa bapak dari anak yang di kandungnya."Sudah, Non. Jangan menyesali takdir yang sudah terjadi. Walau bagaimanapun caranya dia hadir, Non harus tetap menerimanya dengan ikhlas dan lapang dada. Jangan sampai Non membenci darah daging Non sendiri karena kebencian Non pada takdir ini."Aina yang selama ini lebih banyak diam memendam semuanya sendiri, akhirnya menumpahkan semua di hadapan Bik Esih. Tidak mudah bagi Aina menanggung beban ini di saat dirinya sedang membawa nama baik keluarganya."Tapi gara-gara kehadirannya Abi dan Ummi harus menanggung malu, Bik. Semua orang yang dulu menghormati Abi kini pasti mencelanya. Apa salah Aina sampai Allah memberi ujian seberat ini, Bik?" Aina meraung-raung. Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan selama ini."Istighfar, Non. Istighfar. Jangan sampai kemarahan Non pada takdir ini memberi celah pada iblis untuk menguasai hati Non yang bersih. Jangan biarkan setan mengambil alih akal Non sehingga Non menghujat Allah. Istighfar, Non. Istighfar!" Bik Esih meraih tubuh Aina dan membawanya ke dalam pelukan.Aina merasakan ketenangan dalam pelukan Bik Esih. Kehangatan dan kenyamanan yang seharusnya dia dapatkan dari uminya di saat dia sedang butuh perlindungan dan dukungan. Nyatanya kedua orang tuanya justru memilih untuk membuangnya di sini.Aina terus menumpahkan kesedihannya dalam dekap hangat pembantunya itu. Cukup lama dia menangis, menguras air matanya hingga tiba-tiba Bik Esih merasakan tubuh Aina semakin melemas."Non! Non Aina!" Bik Esih menepuk-nepuk pipi Aina pelan. Karena tidak ada respon, dia memanggil suaminya."Kang! Tolong panggilkan Bu bidan, Kang! Non Aina pingsan lagi!" teriak Bik Esih sembari mencoba untuk membatingkan Aina.Dalam kekalutan itu, tiba-tiba Bik Esih dikejutkan oleh bunyi bel pintu. Bik Esih kebingungan karena dia tak ingin meninggalkan Aina sendiri. Namun bel itu terus berbunyi sampai membuat telinganya pengang."Aduh, siapa sih yang bertamu. Kenapa datang di situasi yang tidak tepat begini!""Aku nggak nyangka hubungan Kak Bintang sama Azkia bisa mulus dan lancar kaya jalan tol gini," gumam Mentari. Wanita itu cukup terkejut saat mendengar kabar dari Bintang mengenai acara pernikahan Bintang.Bintang tidak ingin menunda pernikahannya terlalu lama. Keluarga Bintang dan keluarga Azkia pun segera menyusun pesta pernikahan sederhana untuk meresmikan hubungan putra-putri mereka."Aku nggak mau buang-buang waktu. Aku takut Azkia berubah pikiran," sahut Bintang."Kak Bintang nggak maksa Azkia buat nerima Kak Bintang, kan?" tuduh Mentari."Kamu jangan sembarangan ngomong! Aku nggak maksa Azkia. Sekalipun Azkia nolak pun aku juga nggak akan marah kok," timpal Bintang.Saat ini Mentari tengah berada di rumah orang tuanya untuk membantu Bintang menyiapkan pernikahan Bintang. Wanita itu sibuk menolong Bintang membungkus barang-barang seserahan yang akan diberikan pada Azkia nanti."Apa acaranya nggak terlalu terburu-buru, Kak? Ada banyak hal yang harus kita siapin, tapi kita nggak pu
Azkia duduk termenung, memikirkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Mentari tempo hari. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mentari menawarkan kakaknya pada Azkia.Azkia tidak menanggapi serius pertanyaan Mentari. Wanita itu hanya menjawab asal saat dirinya diberi pertanyaan mengenai Bintang.Azkia kira, Mentari hanya bercanda saat Mentari meminta Azkia menikah dengan Bintang. Namun, ternyata perkataan Mentari bukan sekedar gurauan belaka. Mentari bersungguh-sungguh, begitu pula dengan Bintang. Hari ini, Bintang mengajak Azkia bertemu untuk membahas hal ini. Karena Azkia belum memberikan jawaban pasti, Bintang ingin kembali menanyakan kesediaan Azkia untuk menjadi istrinya."Aku datang nggak, ya?" gumam Azkia ragu.Azkia tidak mengenal Bintang. Azkia juga baru beberapa kali berjumpa dengan Bintang.Wajar saja kalau wanita itu merasa ragu. Siapa orang yang ingin menikah dengan pria yang tidak dikenal. Pastinya Azkia tak mau memilih sembarang pria untuk dijadikan suami. Ada banyak ha
Aina tertawa. Penjelasan Revan membuat wanita itu langsung membuat kesimpulan."Maaf, Ma? Apa ada yang lucu? Kenapa Mama ketawa terus?" tanya Revan.Aina kembali tergelak. Kepolosan putri dan menantunya membuat wanita itu tak bisa berhenti tertawa."Maaf, Revan. Cerita kamu lucu banget. Mama nggak tahan pengen ketawa," sahut Aina."Bagian mana yang lucu?" batin Revan dengan wajah bingung. "Revan, tolong kamu bawa Mentari ke dokter kandungan," ucap Aina kemudian. "Dokter kandungan?""Percaya aja sama Mama. Bawa Mentari ke dokter kandungan, setelah itu kasih kabar ke Mama, ya?"***"Kamu kenapa bawa aku ke sini?" tanya Mentari kesal karena sudah dibohongi oleh Revan. Wajahnya sudah tak bersahabat. Bibir mengerucut dengan tatapan ingin marah. Namun ia tak mungkin mengungkapkan kemarahannya di depan suami karena ia yakin sang suami melakukan ini karena khawatir padanya.Saat ini pasangan suami istri itu tengah berada di rumah sakit dan hendak berjumpa dengan dokter kandungan, sesuai de
"Gimana? Kalian dapat kerak telurnya?" tanya Revan cemas."Maaf, Mister. Semua penjual kerak telur sudah tutup."Mentari mengomel begitu mendengar jawaban Revan. Mentari tak mau mendengar alasan apa pun. "Pokoknya aku mau kerak telur sekarang! Kalau Huby nggak bisa dapetin kerak telur, mendingan Huby tidur di luar aja!" omel Mentari."T-tapi, Huny ...."Brak! Mentari menutup pintu kamar dengan kencang setelah mengusir suaminya keluar dari kamar. Gara-gara kerak telur, Mentari marah pada Revan hingga Mentari tak mau tidur dengan Revan."Kerak telur sialan!" umpat Revan dongkol bukan main. "Cari kerak telur lagi sampai ketemu!" teriak Revan pada anak buahnya.***"Hoam!" Pagi-pagi sekali, Revan membuka mata setelah mendengar suara adzan subuh. Pria dengan kantung mata hitam itu perlahan bangkit dari sofa empuk yang menjadi alas tidurnya. Selama semalaman, Revan tidur di sofa ruang tengah usai dirinya diusir oleh Mentari.Tragedi kerak telur sudah menghancurkan istirahat Revan. Pria itu
"Tidur aja, Huny."Revan mengusap-usap kepala Mentari hingga akhirnya wanita itu terlelap. "Cepat sembuh ya, Huny. Kamu nggak boleh sakit," gumam Revan.Revan membenarkan selimut sang istri, kemudian beranjak meninggalkan kamar. Mau tak mau, Revan harus membawa seluruh pekerjaannya ke rumah. Meskipun tak bisa pergi ke kantor, tapi Revan tetap harus bertanggungjawab pada pekerjaannya."Aldo, hari ini saya kerja dari rumah. Tolong kasih saya update laporan setiap dua jam, ya?" perintah Revan pada sang sekretaris melalui sambungan telepon."Baik, Mister."***"Gimana keadaan kamu, Huny? Masih mual nggak?" tanya Revan pada Mentari.Gurat kekhawatiran tercetak jelas di wajah tampan Revan. Lelaki itu benar-benar spot jantung kala melihat sang istri bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan seluruh isi perutnya. Belum lagi wajah pucat sang istri membuat lelaki itu tak tega.Wajah Mentari masih pucat. Mual dan muntah yang dialami oleh wanita itu juga masih terasa. Mentari sudah meminum oba
Mentari merasa usahanya akan sia-sia jika pertemuan ini sampai gagal. Terpaksa, Mentari harus mengambil langkah besar demi masa depan kakak dan juga temannya."Azkia, boleh aku tanya sesuatu?" ucap Mentari."Tanya aja?""Gimana pendapat kamu tentang Kak Bintang? Apa menurut kamu Kak Bintang bisa jadi suami yang baik?" tanya Mentari pada Azkia.Wajah Azkia langsung memerah begitu ia mendapatkan pertanyaan yang cukup mengejutkan dari sang teman. "Tuan Bintang cukup mapan dan tampan. Pasti ada banyak perempuan yang mau dijadiin istri sama Tuan Bintang," sahut Azkia."Kalau kamu? Apa kamu mau jadi istrinya Kak Bintang?" tanya Mentari pada Azkia.***Pagi-pagi sekali, Mentari sudah bangun dari ranjang, kemudian berlari menuju ke kamar mandi. Wajah wanita itu terlihat pucat dan tubuh Mentari juga agak lemas. Perutnya seperti diaduk-aduk dan ada yang berdesakan untuk minta dikeluarkan. Karena sudah tak bisa lagi menahan, ia sampai melompati suaminya hingga membuat lelaki itu kaget dan terban