Aina merasakan kepalanya sangat berat. Aroma minyak kayu putih terasa sangat menyengat di hidungnya. Mendadak perutnya kembali mual. Namun ia juga merasakan kedua matanya sangat berat untuk dibuka.
"Non, Non Aina! Non Aina sudah sadar?" Bik Esih menatap majikannya dengan mata berbinar."Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Ai. Hampir saja aku membawamu ke puskesmas kalau tidak sadar juga," ujar Bidan Andini.Aina menatap Bidan Andini dan Bik Esih bergantian lalu menatap perutnya yang masih rata. Ucapan Bidan Andini kembali terngiang membuatnya kembali bergidik."Kamu kenapa, Ai? Apa ada yang kamu rasakan sekarang?""Nggak kok, Mbak. Cuma lagi pusing aja." Aina mencoba untuk bersikap biasa saja."Baiklah, kalau gitu nanti obatnya diminum, ya? Jangan lupa makan yang banyak. Makan yang kamu ingin, nggak usah ditahan-tahan," nasehat Bidan Andini.Aina mengangguk lalu tersenyum. Bik Esih mengantar Bidan Andini sampai pagar setelah semua urusan selesai."Non, mau Bibik buatin sesuatu? Bilang sama Bibik Non Aina mau makan apa sekarang?"Aina tampak berpikir. Saat ini dia sedang tidak nafsu makan. Pikirannya terus melayang pada kehamilannya yang masih menjadi misteri hingga saat ini."Aku nggak pengen makan apa-apa, Bik.""Aduh jangan gitu, Non. Non Aina harus tetap makan meski sedikit-sedikit. Ingat, Non ... di dalam rahim Non Aina ada satu nyawa yang sedang tumbuh. Kalau menuruti diri sendiri itu namanya egois. Mulai sekarang Non Aina harus memikirkan bayi dalam kandungan Non juga loh."Aina menghela napas panjang. Andai menggugurkan kandungan tidak dosa, ingin nya gadis itu tidak hamil sekarang. Dia ingin mengulang waktu dan mencoba mengingat-ingat kapan dia bertemu laki-laki dan bersentuhan dengannya, sehingga dia bisa menolak agar tidak hamil. Sayangnya, semua itu tak bisa dilakukannya. Bahkan meski seribu kali pun dia mencoba mengingat, tak pernah dalam memorinya muncul suatu kejadian yang membuatnya hamil. Aneh. Ini benar-benar aneh.Aina menyandarkan punggungnya lalu menatap Bik Esih sekilas. "Bibik, aku mau makan nasi timbel sama gudeg."Mendengar permintaan majikannya, Bik Esih tersenyum. Lalu mengangguk dengan antusias."Baik, Non. Biar dicarikan sama mamang, ya? Kayaknya di perempatan ada yang jual gudeg. Tapi Non Aina sabar ya?"Aina mengangguk sembari tersenyum. Dalam hati bersyukur masih ada orang baik yang mau membantu dirinya menjalani kehamilan yang tak diinginkan ini.Pukul delapan pagi, Aina merasa tubuhnya sudah sedikit bugar. Gadis itu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Jika biasanya dia mandi sebelum salat subuh, kali ini dia mengubah kebiasaannya. Entah karena hawanya yang dingin atau memang gadis itu merasa agak malas untuk mandi.***"Alhamdulillah, Mi akhirnya Ummi sudah boleh pulang. Ummi makan yang banyak, ya biar sehat terus." Abi Hanif tersenyum hangat menatap istrinya yang sudah terlihat membaik."Maafin Ummi ya, Bi sudah membuat Abi susah." Ummi Widuri menunduk, menyesali sikapnya yang kekanakan hingga membuatnya jatuh sakit."Bi, apa Pak Karim sudah bisa menerima pembatalan pernikahan putri kita?"Abi Hanif menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan. Seperti ada beban yang sangat berat yang ditanggung oleh pria paruh baya itu."Putranya yang masih belum terima, Mi. Dia kekeh mau mencari keberadaan Aina," jawab Abi Hanif lesu."Lalu?""Abi nggak bisa berbuat apa-apa, Mi. Entah apa yang harus Abi lakukan. Kalau kita diam saja, keluarga Pak Karim pasti akan terus mendesak kita. Kasihan juga sama Nak Danis yang sudah berharap banyak, Mi. Apa Abi jujur saja, ya? Siapa tahu dapat solusi," usul Abi Hanif."Apa Abi sudah yakin? Gimana kalau mereka tak terima terus menyebarkan aib putri kita ke semua orang, Bi? Ummi nggak tega masyarakat mencela putri kita. Biar bagaimanapun kita nggak tahu, apa yang terjadi pada putri kita sampai dia harus menanggung hal memalukan begini."Ucapan Ummi Widuri benar. Jika Abi Hanif mengatakan yang sejujurnya pada Pak Karim, belum tentu juga mereka masih bersedia menerima Aina. Sebaliknya, bagaimana jika ternyata mereka justru menghakimi Aina?Pasangan suami-istri itu dilanda kebingungan. Hingga sekarang, belum ada titik terang mengenai kehamilan putrinya."Assalamualaikum, Pak Hanif," ucap seorang pria muda hormat."Wa'alaikumsalam. Arman, bagaimana penyelidikanmu? Apa sudah ada petunjuk?" Abi Hanif langsung bertanya tanpa basa-basi."Maafkan saya, Pak. Selama dua bulan terakhir, putri Bapak tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun. Dia hanya fokus menyelesaikan skripsi sampai wisudah dan membantu mengajar di kelas sore. Selebihnya tidak ada kegiatan lain yang mencurigakan," lapor pria tersebut.Detektif yang disewa untuk mencari informasi tentang kehamilan Aina hingga sekarang belum menemukan titik terang. Pria itu sudah mendatangi semua tempat yang pernah didatangi oleh Aina, teman-temannya maupun para guru sekolah sore. Semuanya mengatakan kalau Aina tidak pernah terlihat bersama dengan seorang pria pun."Bagaimana bisa ini semua terjadi? Apa yang dikatakan Aina memang benar, Bi?" celetuk Ummi Widuri membuat Abi Hanif menoleh padanya."Apa maksud Ummi? Ummi percaya putri kita hamil tanpa disentuh? Ummi pikir zaman apa sekarang, Mi?""Tapi, Bi ... faktanya memang putri kita selalu menjaga kesuciannya. Ummi yakin putri kita tidak akan melakukan hal sekeji itu!"Abi Hanif memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut. Sudah sebulan sejak kepergian Aina, tapi belum juga menemukan benang merah atas masalah yang menimpa. Lelaki yang kesehariannya mengurus yayasan pendidikan itu sampai terlihat kutu lantaran kurang tidur. Setiap malam dia selalu berpikir tentang nasib yang menimpa putri satu-satunya.Meskipun pria berwibawa itu mengasingkan Aina di tempat terpencil, bukan berarti dia mengabaikannya sama sekali. Berbagai usaha dilakukan untuk mencari pria yang tengah menghamili putrinya. Namun sayangnya, sampai menyewa seorang detektif handal sekalipun tidak menemukannya."Arman, menurutmu apa ada kemungkinan putri saya pernah diculik lalu dibius sehingga putri saya tidak merasakan apa-apa saat diperkosa?" tanya Abi Hanif masih kekeh dengan pikirannya. Dia tidak percaya dengan pendapat istrinya kalau Aina hamil tanpa disentuh."Maafkan saya, Pak. Kemungkinan itu ada. Namun kalau benar putri Bapak pernah mengalami pemerkosaan, harusnya setelah sadar dia merasakan kesakitan. Apa selama ini putri Bapak mengalami tanda-tanda seperti itu?"Buntu. Apa yang dikatakan oleh Arman memang benar. Selama ini putrinya terlihat baik-baik saja. Tidak pernah mengeluh kesakitan di bagian alat vitalnya. Pun cara jalannya juga biasa saja. Aina juga tidak terlihat murung seperti layaknya gadis yang habis diperkosa."Astaghfirullah, kenapa semuanya menjadi rumit begini?" batin Abi Hanif.Tanpa mereka sadari seseorang sudah berdiri di ambang pintu dan mendengar percakapan mereka."Jadi ini alasan Abi membatalkan pernikahan kami? Ternyata kalian menyembunyikan hal sepenting ini dariku?"Sontak Abi Hanif dan Umi Widuri menatap pemuda yang hampir menjadi menantunya itu."Apa yang sudah kamu dengar, Nak?""Semuanya, Bi! Jadi Aina pergi karena dia hamil? Katakan, Bi, apa itu semua benar?""Itu ....""Danis nggak habis pikir, Bi. Aina ... bisa melakukan hal itu. Kupikir dia gadis shalehah yang selalu terjaga. Kupikir dia akan menjaga kesuciannya untuk imam yang akan menikahinya. Ternyata harapanku terlalu tinggi ya, Bi?" Danis menunduk lesu. Pria mana yang tak kecewa jika gadis yang akan dinikahinya tiba-tiba menghilang dan alasan menghilangnya karena telah hamil. Danis sendiri sudah sangat yakin mencintai sosok Aina, putri seorang pemilik yayasan pendidikan. Tak hanya memiliki akhlak yang baik, Aina selama ini juga dikenal sebagai gadis yang cerdas. Penampilannya selalu tertutup karena takut apa yang dimiliki dilihat oleh laki-laki non mahram. Namun berita yang baru saja Danis dengar mematahkan sayah harapannya untuk membina rumah tangga bersama wanita yang akan membersamainya di dunia hingga menuju ke surga. "Danis pikir Aina berbeda dengan gadis-gadis di luaran sana yang tergoda gaya hidup bebas. Ternyata sikapnya yang lembut serta penampilannya hanya menutupi sifat aslinya
Abi Hanif merangsek ke depan dan menghalangi orang-orang yang hampir kalap tersebut. "Tunggu! Kalau ada masalah kita bicarakan baik-baik, jangan main hakim sendiri!" ucap Abi Hanif tenang. "Halah, dasar munafik! Nggak usah didengerin! Ayo bakar saja gedung ini! Jangan sampai kita mendapatkan azab karena dosa zina yang dilakukan oleh putri ketua yayasan ini! Ayo semuanya, kita bakar saja!" Seorang pria dengan wajah garang dan rambut agak gondrong memprovokasi warga. "Tunggu dulu! Apa untungnya bagi kalian kalau gedung ini dibakar? Apa kalian ingin putra-putri kalian berhenti sekolah?" Abi Hanif berbicara dengan sangat tenang. Tidak takut dengan semua kemarahan warga karena dia tahu ada seseorang yang sengaja memprovokasi mereka. Mendadak suasana yang semula riuh menjadi hening. Kemarahan yang semula membara perlahan padam mendengar pertanyaan dari Abi Hanif. "Siapa yang mau ikut saya ke dalam? Ayo kita bicarakan baik-baik." Abi Hanif menatap satu per satu pria di barisan paling de
Bik Esih tergopoh-gopoh membuka pintu karena bel pintu terus-terusan berbunyi dan terpaksa meninggalkan Aina sendirian di kamar dalam keadaan pingsan."Nyo-nyonya?" "Kenapa lama sekali, Bik? Di mana Aina?" Ummi Widuri Tempak gusar.Wanita berhijab itu tidak tenang sejak semalam. Bayangan wajah putri semata wayangnya terus emmbayang di pelupuk mata hingga terpaksa dia datang tanpa memberi tahu suaminya."Non Aina di atas, Nyonya." Sikap Bik Esih yang mencurigakan membuat Ummi Widuri segera berlari menuju kamar terdekat. Dia pikir putrinya akan memilih tinggal di lantai satu mengingat sedang hamil muda. Ternyata semua kamar di lantai satu kosong. Saking paniknya, dia sampai lupa menanyakan pada Bik Esih di mana kamar putrinya."Nyonya, Non Aina ada di kamar atas!" ucap Bik Esih yang tiba-tiba muncul dari dapur membawa baskom berisi air dan kain kecil.Tepat saat Ummi Widuri menapakkan kakinya di anak tangga pertama, seorang bidan masuk diiringi Mang Asep."Sayang, kamu kenapa, Nak?" U
Aina masih terbayang wajah pria yang membuat jantungnya berdetak ketika di pintu rumah sakit tadi. Gadis yang sebentar lagi akan menjadi ibu tunggal bagi anaknya itu meraba dada kirinya. Detak jantung Aina tak biasa. Rasa mual yang semula sering menyiksa, mendadak hilang. Bahkan dia menginginkan makan sesuatu hanya dengan mengingat aroma yang ditinggalkan pria tak dikenal itu."Mang Asep, nanti tolong berhenti di rumah makan seafood, ya. Tiba-tiba Aina ingin makan cumi krispi," ucap Aina."Siap, Non. Laksanakan!" jawab Mang Asep sembari menyetir. Bik Esih tersenyum karena akhirnya Aina mau minta makan setelah tiga bulan ini hampir tidak ada makanan yang benar-benar masuk ke lambungnya. Karena setiap kali mencoba makan, detik itu juga langsung dimuntahkan. Mobil berbelok ke sebuah restoran seafood. Aina turun ditemani Bik Esih. Entah dapat dorongan dari mana, Aina ingin sekali makan di tempat."Bik, Ai mau makan di sini. Bibik temenin Ai makan, ya?" Bik Esih mengangguk. Apapun yang
"Hati-hati!"Suara bariton dari pria bertubuh tegap itu masuk ke rungi Aina. Spontan ia segera menegakkan tubuhnya karena merasakan sentuhan dari seorang pria tak dikenal. "Terima kasih," ujar Aina lalu membungkuk sekejap dan memilih pergi tanpa menoleh lagi. Sementara pria yang barusan menolongnya menatap kepergian Aina dan kedua tangannya yang masih di udara bergantian. Ada getaran aneh yang menjalar di sekujur tubuh pria itu. Malam hari Aina tampak gelisah dalam tidurnya. Bayangan seorang pria yang menggendong bayi mungil hadir dalam mimpinya. Lalu pria tersebut tersenyum pada Aina."Astaghfirullah!" Aina terbangun. "Ternyata aku mimpi," gumam Aina.Memikirkan apa yang ada dalam mimpinya barusan membuat jantung Aina berdetak kencang. Bayi dan pria itu, kenapa seperti nyata? Aina menatap jam dinding, ternyata waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Gegas Aina bangun dan ke kamar mandi. Tak berselang lama gadis itu keluar dengan wajah yang sudah segar.Aina berdiri di atas sajadah. Me
"Siapkan operasi, sekarang!" perintah dokter. "Baik, Dok."Aina yang mendengar hanya bisa pasrah. Tak peduli apapun caranya, yang penting bayi dan kandungannya bisa lahir dengan selamat. Sembari berdoa dalam hati, ia memasrahkan urusannya ini pada Allah. "Keluarga Nyonya Ainun!" Seorang perawat memanggil.Mang Asep dan Bik Esih segera mendekat. "Kami, Sus. Apa bayinya sudah lahir?" tanya Bik Esih dengan tatapan cemas."Belum. Bayinya terlilit tali pusat dan membutuhkan tindakan operasi. Kami butuh persetujuan dari pihak keluarga. Apa suaminya sudah datang?" tanya perawat itu.Bik Esih dan suaminya saling pandang. Mereka menelan ludahnya yang sama-sama terasa susah. Bik Esih meminta pendapat suamiya memalui tatapan mata."Suaminya sedang di luar negeri, Sus. Tidak memungkinkan untuk datang sekarang," ucap Mang Asep beralasan. Tidak mungkin dia mengatakan kalau Aina belum menikah. Karena itu akan membuat citra Aina yang berhijab menjadi buruk."Kalau begitu, apakah Bapak dan Ibu ini o
Aina tersenyum menatap wajah Bintang, putranya yang tengah terlelap. Ada perasaan asing yangvtak bisa digambarkan. Jemari lentik wanita itu terulur untuk mengelus pipi putranya yang sudah terlihat gembil. "Terima kasih sudah hadir dalam hidup Mama, Sayang. Selamanya kamu akan menjadi bintang dalam hidup Mama," gumam Aina. Aina kembali tersenyum. Wajah Bintang memang tidak mirip dengan Aina. Hidungnya sangat mancung dengan mata tajam. Bahkan di usianya yang baru 3 tahun, alisnya sudah tumbuh lebat dan indah. Bibirnya bocah itu berwarna merah alami. Sekilas memang mirip anak-anak Korea. Bintang mengoletkan tubuhnya merasa terusik dengan perlakuan Aina. Buku matanya yang panjang mengibas-ngibas hingga mata berwarna hazl itu terbuka."Mama?" Suara khas anak kecil membuyarkan lamunan Aina. "Eh, bintangnya Mama. Kok bangun? Kamu terganggu ya, Nak?" Aina mengangkat tubuh Bintang yang terasa agak berat dan memangkunya."Haus, Mama," ucap Bintang serak. Aina mengulurkan tangannya dan mera
"Sayang, kamu nggak papa, Nak?" Aina segera membawa pergi Bintang. Meninggalkan seorang pria asing yang hanya bisa diam terpaku melihat kepergian Aina sambil menggendong putranya."Mama, itu tadi papanya Bintang, ya?" tanya Bintang polos.Aina menghentikan langkahnya. Lalu menatap mata jernih Bintang yang berkaca-kaca. Ada rasa nyeri tiba-tiba menyeruak dalam dada Aina. Hal yang paling ditakutkan Aina adalah ketika Bintang membahas papanya. "Bukan, Sayang. Papanya Bintang kan sudah di surga. Itu tadi hanya orang asing yang ngaku-ngaku jadi papa Bintang. Lain kali kalau ada orang asing yang tidak dikenal ngajakin Bintang, tolak aja ya, Sayang. Takutnya kalau orang itu mau menculik Bintang."Bocah kecil itu mengangguk. Bintang memang cerdas. Bahkan cara dia bicara dan memahami perkataan Mamanya melebihi usianya. Akhirnya, Aina membawa Bintang pulang padahal mereka baru datang. Rencananya untuk bermain terpaksa dia urungkan karena kedatangan pria asing yang entah siapa namanya itu."Say