Share

Putra Naga Pangeran Yang Terbuang
Putra Naga Pangeran Yang Terbuang
Penulis: Archie Romadhoni

Bab 1.1 | Ziarah

Burung-burung mulai kembali ke sarangnya. Suara-suara binatang malam mulai bersahutan menyambut kedatangan senja. Hal yang berbeda pada senja itu adalah ada seseorang sedang bersembunyi di antara semak belukar. Di kepalanya ada sepasang tanduk kecil, kulit tangannya bersisik, seluruh jemarinya memiliki cakar-cakar tajam, bonus di punggungnya sepasang sayap kecil seperti sayap kelelawar bergerak-gerak mengikuti pergerakan tubuhnya. Tubuhnya memang aneh, manusia tetapi nyaris semua badannya seperti binatang. Lelaki ini bernama Aryanaga.

Untuk kesekian kalinya dia mengendus. Dia bukan mencari makanan, melainkan mencium bahaya. Dia punya insting dan panca indera yang lebih tajam dari pada manusia pada umumnya. Panca inderanya lebih tajam. Matanya mampu melihat dalam kegelapan, telinganya bisa mendengar suara sekecil apapun dan suara-suara yang cukup jauh, nalurinya dalam mencium bahaya, juga lebih tajam.

Ketika ada sekumpulan burung-burung terbang, Aryanaga langsung mengetahui ada bahaya. Dia bergegas untuk lari, tetapi jangan dikira ia lari seperti manusia. Dia berlari menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya, mirip seekor cheetah yang sedang memburu mangsanya, tapi ia tak sekedar cheetah biasa. Cheetah yang ini bisa melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain.

Dari arah lain terdengar suara patahan ranting. Geraman-geraman mengerikan sepertinya tak bisa diredam oleh segala sesuatu yang menyerap bunyi di hutan ini. Kabut mulai turun, jarak pandang mulai terbatas, angin gunung yang tidak bersahabat mulai bangun dari tidurnya. Aryanaga mengandalkan instingnya saat pandangannya tertutup kabut. Matahari telah sempurna menghilang dari pandangan, menyisakan langit berawan berwarna jingga.

Gerak cepat Aryanaga terhenti. Sensor bahayanya difungsikan lagi, tapi kini lebih kuat dari sebelumnya. Sebagaimana para pemburu terlatih, dia harus mengetahui posisi musuh ataupun hewan buruannya. Ia mengatur napasnya, napas yang tenang akan membuat pikirannya juga tenang. Paru-parunya mulai penuh dengan udara yang basah. Suara burung hantu terdengar dari kejauhan, pertanda tak ada keributan, bahaya telah jauh. Satu lompatan salto di udara, Aryanaga langsung masuk ke dalam rerimbunan semak belukar, menyatu dengan alam sekali lagi.

Aryanaga kembali merangkak bersembunyi di antara pepohonan dan tanaman-tanaman semak yang berduri. Ia tak begitu peduli dengan duri-duri itu. Sisik-sisik di tubuhnya melindungi dirinya dari duri-duri tersebut. Kembali ia mengendus. Aman. Tak ada bau yang mencurigakan. Tetapi telinganya bergerak-gerak menangkap bunyi lirih. Ada sesuatu yang menarik tertangkap oleh indera pendengarannya. Suara gemericik air yang cukup deras. Air terjun!

Sebenarnya di bawah sana ada Danau Ranu Kumbolo. Bisa saja ia turun ke sana untuk minum, tetapi tidak untuk saat ini. Misinya lebih penting dari sekadar menikmati pemandangan di danau tersebut. Kakinya mulai bergerak lagi mencari sumber suara. Dari kejauhan sudah terasa hawa sejuk yang masuk ke dalam paru-parunya. Butiran-butiran air yang secara tak sengaja menerpa wajahnya menandakan ia sudah dekat dengan air terjun tersebut. Tak sulit ternyata untuk menemukan air terjun ini.

Air terjun ini berada di Lereng Semeru. Letaknya tersembunyi. Tak ada jalan setapak di sekitarnya. Artinya Aryanaga yang pertama kali menemukan air terjun ini. Namun, kalau dilihat-lihat air terjun ini tidak berasal dari sungai, melainkan keluar dari celah-celah bebatuan tebing. Alirannya tertampung, kemudian turun dengan deras. Suara binatang amphibi bersahut-sahutan gembira. Tentunya mereka sudah dari generasi ke generasi tinggal di sekitar air terjun.

Aryanga bisa mengerti kenapa tempat ini tak terjamah. Pertama, karena banyak binatang liar yang berada di sekitar tempat ini, sebut saja ular dan kalajengking. Dia sempat bertemu beberapa. Kedua, karena tak ada jalan yang mengarah ke tempat ini, sehingga orang-orang bisa tersesat. Terlebih lagi pepohonan yang ada di sekitarnya sangat rimbun, sehingga orang-orang dengan pendengaran tajam saja yang mampu mendengar suara air terjun ini.

Pemuda ini melompati satu demi satu bebatuan yang mengarah ke air terjun tersebut. Ia kehausan. Seharian ini kerongkongannya belum terbasahi oleh air sama sekali. Aktivitas berburu memang membutuhkan tenaga besar, tubuhnya tak bisa dikompromi untuk terus-menerus diforsir. Ia juga butuh istirahat sejenak, tentunya sambil tetap waspada.

Tak butuh bantuan tangan untuk menengadah. Aryanaga langsung meminum air terjun itu dari jatuhannya. Ia buka mulutnya lebar-lebar dan membiarkan butiran-butiran air itu masuk ke dalam mulutnya, untuk menyegarkan kerongkongannya. Siapa bilang naga tak butuh air?

Lagi-lagi indera pendengarannya menangkap bunyi. Dia langsung waspada begitu melihat seekor harimau sedang berjalan perlahan mendekati bibir sungai. Harimau itu sempat melihat ke arah Aryanaga, sebelum kemudian menjilati air sungai. Ia juga kehausan. Aryanaga melambai-lambaikan tangannya ke harimau itu, ia cukup senang melihat ada harimau di tempat ini. Artinya hutan di sekitar tempat ini masih asri. Pertanyaannya adalah seberapa jauh dirinya telah masuk ke dalam hutan?

Belum sempat ia menjawab pertanyaan itu terdengar suara lagi, kali ini dedaunan yang saling beradu. Dedaunan yang berbisik. Tak hanya itu. Suara langkah kaki juga terdengar, tetapi bukan langkah kaki biasa, melainkan langkah kaki berat dan bedebum. Sepasang sayap kecil di punggungnya bergerak-gerak seolah-olah benda itu seperti dua antena yang mengetahui pergerakan bahaya. Segera saja Aryanaga melompati aliran sungai lalu berpijak pada batu-batu yang ada di sekitarnya. Dia kembali berlari.

Serius? Tak ada istirahat?” gerutunya.

Pergerakannya tidak mengantarkan dia turun, tetapi terus menanjak ke atas. Tangan dan kakinya mencengkeram kuat bebatuan, tanah-tanah yang landai, pepohonan, apapun yang bisa dijamah maka ia akan gunakan sebagai tumpuan agar bisa bergerak lebih cepat.

Aryanaga berhenti ketika ia menemukan bagian hutan yang lain di Lereng Semeru. Hutan ini benar-benar lebat dan misterius. Nyaris tak ada satupun cahaya yang masuk ke dalamnya, apalagi malam ini adalah bulan mati. Menambah kesenangan bagi makhluk-makhluk kegelapan untuk menunjukkan taringnya. Aryanaga sama sekali tak menyukainya.

Di saat kegelapan turun seperti ini ia akan lebih banyak bertemu dengan makhluk-makhluk lain yang tidak pernah dilihat oleh manusia biasa. Aryanaga bisa melihat mereka, sorot mata mereka dari balik kegelapan, bisikan-bisikan dan desis suara mereka yang seperti ular, atau geraman-geraman makhluk-makhluk besar raksasa terdengar jelas. Tentu saja malam ini mereka tak malu-malu untuk bersuara, terlebih siapa juga manusia yang berani naik ke dalam daerah yang sangat dilarang untuk dimasuki.

Lereng Semeru memang sering dijadikan tempat untuk mendaki, hanya saja ada beberapa bagian yang tidak boleh dilewati atau malah bermalam di dalamnya. Bagian tersebut masih penuh dengan hutan-hutan rimba yang lebat, binatang-binatang buas, serta binatang-binatang yang tidak pernah diketahui sebelumya. Beberapa lipan raksasa juga terlihat dari sela-sela bebatuan. Tempat-tempat lembab juga tak hanya dihuni oleh mereka, beberapa ekor kalajengking serta ular terlihat berkelebat pergi saat Aryanaga melintas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status