Zaman dahulu kala, saat negeri ini masih berupa beberapa kerajaan yang terpisah, terdapat tiga kerajaan besar yang menjadi induk dari kerajaan-kerjaan kecil di sekitarnya. Gunada di barat, Erlangga di timur, dan Melodia di selatan. Ketiga kerajaan itu memimpin dengan bijak, tak ada satupun keluhan terdengar dari para warga yang ada dalam naungannya. Kabar akan kesejahteraan masing-masing pun terdengar oleh satu sama lain. Yang pertama membuka celah interaksi adalah adanya undangan dari Kerajaan Erlangga pada kedua kerajaan tersebut. Dari sana mereka beraliansi, membentuk sebuah tatanan yang menghasilkan lebih dari apa yang disebut kesejahteraan. Dan sejak saat itu, tiga kerajaan besar itu disebut Trikula.
Namun tak ada sejarah damai yang akan berlangsung selamanya. Percikan api konflik dimulai saat kebetulan Erlangga dan Gunada sama-sama mempunyai raja yang berusia muda. Tak seperti kedua kerajaan itu yang dipimpin seorang raja, Melodia selalu dipimpin seorang ratu, yang sialnya ada di generasi yang sama dengan kedua raja tadi. Yang selanjutnya terjadi adalah kisah opera sabun cinta segitiga yang membuat ikatan kuat dalam aliansi kerajaan itu menjadi longgar.
Ketiga pemeran cinta segitiga itu tahu persis siapa yang saling mencintai dan siapa yang menjadi titik di sudut ketiga. Raja Gunada, yang cintanya tak terbalas pada Ratu Melodia menentang hubungannya dengan Raja Erlangga dengan alasan ketidakseimbangan aliansi jika dua dari mereka membuat ikatan pernikahan yang otomatis akan meleburkan dua kerajaan. Kekacauan pun dimulai, kesejahteraan luntur, perang dingin berlangsung. Raja Gunada melarang semua yang ada di bawah kuasanya untuk berhubungan dengan dua kerajaan lain, termasuk dalam hal perdagangan, bala bantuan, sampai ke interaksi sosial. Beberapa kerajaan kecil dibawah Erlangga tak terima dengan itu dan pecahlah perang di beberapa wilayah.
Melihat kekacauan yang terjadi, beberapa orang bijak dari Trikula dan kerajaan kecil lainnya berkumpul dan mendiskusikan kelangsungan aliansi mereka. Bagi mereka, aliansi ini bukan sekedar bekerja sama dengan kerajaan tetangga, melainkan aliansi yang sudah mendarah daging di rakyat tiap kerajaan karena sudah terjalin sangat lama. Banyak sekali dari mereka yang hidup dan berkeluarga di kerajaan tetangganya. Akhirnya keputusan pun dibuat, orang-orang bijak itu mendesak Ratu Melodia dengan dua pilihan, yang pertama tidak akan ada pernikahan dengan Erlangga, yang kedua dia harus menurunkan takhtanya pada pewaris lain jika tetap bersikukuh dengan pernikahan itu. Dan akhirnya Sang Ratu mengambil pilihan kedua.
Dengan itu Raja Gunada tak punya alasan lain untuk macam-macam dengan aliansi. Wanita itu bukan lagi ratu yang memerintah kerajaan, melainkan hanya wanita biasa yang akan dinikahi oleh Raja Erlangga. Bukan mereda, kemarahannya malah semakin meninggi. Fakta bahwa wanita yang dia cintai rela membuang segalanya untuk pria lain benar-benar membuatnya frustrasi.
Para orang bijak tadi sadar akan hal itu dan memutuskan bersumpah untuk terus memonitor para petinggi kerajaan agar tak mengambil sikap yang akan merugikan aliansi kerajaan dan masyarakatnya. Raja Gunada tak lagi menerapkan larangannya, masyarakatnya kembali hidup bebas seperti sedia kala. Meski begitu, sejak saat itu sampai ke generasi selanjutnya, Gunada dianggap memiliki perangai yang tak bersahabat, terutama pada Erlangga.
“Apa kamu masih mendengarkan? Hei … halo …” Dio melambai-lambaikan tangan pada Lily yang duduk bersandar dengan mata yang setengahnya sudah tertutup. Butuh tiga kali panggilan sampai akhirnya Lily terperanjat dan membuka lebar matanya.
“Hah sudah selesai?” tanyanya sambil menguap tak tahu malu. Melihat itu Dio terkikik.
“Kamu sama sekali tidak mendengarnya, iya kan?” Dio bersandar ke balkon, menghela napas lelah menatap gadis yang sedang mengucek-ngucek kedua matanya. Bukan jawaban yang ia dapat, melainkan suara keruyuk dari perut gadis itu yang masuk gendang telinganya. Alis Dio mengernyit, sadar bahwa mereka telah berbincang melebihi waktu sarapan. Mereka pun berpindah ke tempat rahasia mereka, salah satu sudut labirin mawar yang selalu mereka kunjungi ketika makan.
“Jadi, bagaimana kelanjutannya?”
“Hm?” Dio yang sedang mengunyah makanannya menoleh.
“Cerita itu. Apa yang terjadi setelah Raja Gunada itu patah hati?” Lily melontarkan pertanyaan itu dengan mata bulatnya yang berbinar penasaran sambil mengunyah roti isi yang dibawa Dio. Dio agak terkejut mendengarnya. Tak disangka gadis itu ternyata memperhatikan saat dia bercerita. Dengan berat hati Dio mengatakan bahwa cerita yang ia dengar tentang Trikula di masa lalu hanya sampai di situ.
“Ketiga kerajaan yang disebut Trikula itu tetap berdiri meski zaman terus berubah. Meski skalanya mengecil, orang-orang yang menjadi pengikut Trikula itu tetap setia dan memilih hidup berdampingan dengan mereka. Saat negeri ini berubah menjadi republik, sistem kerajaan dihapuskan dan namun penerus Trkula dan kelompoknya masih tetap ada. Mereka berubah menjadi keluarga besar atau kelaurga bangsawan yang dihormati dan memiliki hak istimewa dari pemerintah. Orang-orang bijak yang menjadi pengawas saat masa kerajaan dulu pun tetap ada dan mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan hukum serta administrasi bagi Trikula. Mereka disebut serikat.”
Lily menggaruk pipinya yang gatal dengan tangan kiri. “Jadi intinya orang-orang kaya ini memang keturunan raja.” Dio mengendikkan alis tanda setuju.
“Kalau kau? Keturunan raja-raja itu atau pengikutnya?”
Dio diam dan tampak merenung sejenak sebelum menjawab, “bukan keduanya. Aku hanya orang biasa yang dipungut keluarga ini, lalu bekerja dan mengabdi pada Tuan Erlangga.”
Pembicaraan mereka disela oleh bunyi ponsel Dio yang ternyata menampilkan masuknya pesan singkat. Itu dari Adelin, isinya seketika membuat alis Dio mengernyit dalam.
“Sembunyikan Nona Lily.”
Sebuah helaan napas keluar dari bibir seorang gadis cantik yang kemudian membentuk uap tipis yang dengan cepat berbaur dengan udara dingin pagi hari. Pandangan gadis itu sayu tak tentu arah, padahal di depannya ada bunga-bunga cantik yang sangat ia sukai. Taman di halaman belakang vila memang salah satu tempat favoritnya, tapi kini dia sepenuhnya mengabaikan pemandangan itu. perlahan hidungnya kembali ia gunakan untuk menghirup dan meresapi aroma embun pagi hari di sana. Seketika dia mengingat salah satu catatan ibunya yang tertulis di dalam jurnal, lalu sambil menerka-nerka dia bergumam. “Aroma embun pagi hari di taman, ya. Apa aroma ayah memang seperti ini?” Dalam hati dia melanjutkan, “rasanya aku lebih suka aroma hutan pinus dari kejauhan.” Namun ternyata ucapan hatinya itu malah membuatnya kembali teringat pada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Dan helaan napas kembali terdengar. “Aw!” Sebuah suara tak jauh dari sana mengalihkan perhatian si gadis yang cepat-cepat menghampi
Perlahan tapi pasti, Dio mulai mendapatkan kembali keceriannya. Kekhawatiran yang selalu muncul di wajah Rosa cukup untuk membuatnya membuang kekakuan yang dia ciptakan sendiri. Dio sadar tidak ada yang bisa dia perbuat tentang kejadian masa lalu seberapa pun menyakitkannya itu. Jadi kini dia mencoba untuk setidaknya menujukkan senyum cerianya pada hal terpenting yang Arga dan Lily tinggalkan, Rosa Erlangga. Ketika Dio mulai menatap kembali sekitarnya dengan pikiran tenang, dia akhirnya melihat orang-orang yang sudah lama melewati semua rintangan sulit dengannya. Lemon, Yogi, tiga pendekar, Paman Yoga, Dia menyesal menjauhi mereka ketika masa-masa sulit baru saja terjadi. Dan Dio tak bisa menahan rasa haru di dadanya ketika dia menyadari bahwa keluarganya itu selalu melakukan yang terbaik ketika dirinya malah dengan egois terhanyut dalam kesedihan. “Senang melihatmu akhirnya kembali,” ucap Yogi diiringi senyum ketika melihat Dio yang mulai berekspresi. Dio sedikit terkekeh menangga
Dio menghela napas mencoba menenangkan dirinya. Dia kini duduk di perpustakaan bersama Rosa. Listrik vila itu masih belum menyala jadi mereka hanya diterangi sebuah lentera. “Maaf,” ucap Dio lemah. Rosa menatap pria di depannya dengan prihatin. Hal yang membuatnya frustrasi adalah dia tak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa sedikit meringankan beban yang dipikul pria itu. Rosa pernah menanyakan tentang Dio pada Paman Lemonnya, juga pada Bibi Monika, Bibi Silvi dan Paman Yogi yang selalu mendampinginya sejak bayi, tapi jawaban mereka semua sama, katanya Dio selalu merasa bersalah atas wafatnya orang tua Rosa. Mereka bilang Dio yang dulu tidak seperti ini. Dia memang orang yang serba bisa seperti sekarang, tapi dulu dia lebih santai dan ceria. Ketika Rosa bertanya lebih lanjut, mereka selalu menolak untuk bercerita, katanya tidak enak pada Dio. Jadi satu-satunya sumber di mana Rosa bisa mengetahui banyak hal tentang Dio adalah catatan yang ada di dalam jurnal ibunya. “Haruskah kau
Malam itu Dio bermimpi tentang masa lalu, ketika dia hanya seorang anak kecil yang bermain sendirian di dekat makam ibunya. Dia selalu memetik bunga-bunga liar dan menaburkannya di atas makam ibunya, sambil menceritakan banyak hal seolah ibunya bisa mendengar semua yang dia katakan. Suatu hari, ketika dia baru selesai memetik bunga, seorang anak tiba-tiba datang dan terjatuh tak jauh darinya. Dia langsung menghampirinya dan membantunya berdiri. “Hehe, terima kasih,” ucap anak itu. Dio kecil langsung berpikir dia anak yang ceria dan tampak sangat cerah di matanya. “Siapa namamu?” tanya anak itu sambil menelengkan wajah. Dio kecil dengan gugup menjawab, “Dio … va.” Anak itu langsung berbinar, tak lama ada orang lain datang ke sana dan anak itu berkata dengan lantang, “Ayah, Ibu, lihat! Ini Dio! Dia membantuku saat jatuh!” Dio kecil tersentak, anak itu hanya menyebut setengah dari namanya. Tapi karena dia menyebutkannya dengan sangat riang, Dio kecil tak keberatan dengan panggilan b
Seorang pria dengan rambut hitam lurus panjang memasuki sebuah perpustakaan yang remang-remang. Dia perlahan berjalan menghampiri satu-satunya cahaya dari lentera yang ada di ujung lain ruangan itu. Seorang gadis tampak masih sibuk memperhatikan halaman demi halaman di depannya. Tubuhnya yang menghalangi cahaya lentera menghasilkan siluet wanita cantik di dinding perpustakaan itu. Pria yang datang itu tersenyum. Setelah ada di sisi si gadis, dia mendeham untuk menarik perhatiannya. “Ah!” si gadis tampak terkejut, dia cepat-cepat memasang tampang memelas, “beri aku waktu sebentar lagi …“ dia mengatupkan tangan di depan dada, tapi pria itu memalingkan muka, berusaha untuk tak terpengaruh bujuk rayu manis yang dia keluarkan. “Ini sudah malam. Kau bisa kembali lagi besok,” ucapnya tegas. Dia lalu merapikan beberapa buku yang terbuka di depan si gadis. “Ehh?” si gadis tampak tak terima, tapi akhirnya dia menurut juga. Dia menutup buku yang di pegangnya, sebuah jurnal merah muda yang di
Mata Dio terpejam dan tubuhnya terikat di sebuah kursi. Perlahan kesadarannya kembali, membuatnya terbatuk beberapa kali dan membuat darah muncul di sudut bibirnya. Ketika matanya terbuka, pandangannya menangkap sebuah tempat yang asing, ruangan dengan dinding abu tua, meja panjang berwarna coklat dan beberapa kursi. Matanya memicing mencoba memperjelas siapa yang sedang duduk di sana. Ada tiga orang, dua di antaranya terikat, namun yang satu bisa bergerak dengan leluasa. Setelah dia mampu melihat dengan jelas, kekhawatiran menyerangnya karena di hadapannya ada seorang Morgan Gunada yang sedang menatapnya. Dio lalu melihat orang di sebelah kanannya yang terikat, itu adalah Lemon. Sedangkan di sebelah kirinya dia melihat Irgan. Dio mendadak diserang amarah ketika melihat pria itu. Kedua orang itu perlahan mulai sadar. Lemon dan Irgan terlihat sama bingungnya dengan dirinya. Dio mulai berpikir apa yang sebenarnya terjadi? Terakhir yang dia ingat sebelum dia terbangun di ruangan itu ada
Hari berganti, tak terasa kandungan Lily sudah berusia tujuh bulan. Sesuai tradisi, di usia kandungan itu selalu ada acara pemberkatan di mana para kepala keluarga akan datang dan menyampaikan doanya untuk sang bayi yang masih dalam kandungan. Arga sudah mempersiapkan acara pemberkatan itu, dan sama seperti pernikahannya, acara itu akan diadakan secara sederhana, hanya orang-orang tertentu saja yang diundang. Lily merasa sedih karena banyak orang yang disayanginya tidak bisa hadir, di antaranya Paman Yoga dan Yogi sedang di luar negeri mengurusi pekerjaan dan Nyonya Melodia yang kesehatannya sedang memburuk. Lemon, dengan pekerjaannya yang selalu mengintai di balik bayangan, juga ada di mansion Erlangga. Dia punya firasat yang tak enak tentang acara itu, jadi dia berniat untuk mengamankan acara itu diam-diam. Ketika acara digelar, semua tampak berjalan lancar. Doa-doa dipanjatkan satu per satu oleh para kepala keluarga di hadapan Lily dan Arga yang menjadi tuan rumah sekaligus orang
Suatu pagi, sebuah kiriman datang ke kediaman utama Melodia. Evan yang menerima kiriman itu. Di dalamnya ada sebuah peti dan tiga buah surat. Surat-surat itu masing-masing bertuliskan nama penerimanya. Evan membuka amplop surat yang bertuliskan namanya dan tampak terkejut dengan yang ia baca. Dia lalu cepat-cepat menemui ibunya. Isi surat Elva pada Evan adalah: “maaf tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Mulai sekarang Melodia adalah tanggung jawabmu.” Nyonya Melodia yang membaca surat miliknya tak kuasa menahan tangis, putri yang selalu ia harapkan untuk kembali menjadi putri kecilnya itu akhirnya memutuskan untuk pergi dan tak kembali. Tapi tak apa, pikirnya. Jika dia bisa menemukan kebahagiaan di tempat yang lain, maka itu tak masalah. Nyonya Melodia lalu menatap satu surat yang tersisa. Di amplopnya bertuliskan nama Lily Erlangga. Ketika surat itu sampai di tangan Lily, matanya berkaca-kaca. Nyonya Melodia dan Evan yang mengantarkannya juga memberikan sebuah peti berisi b
Sebuah biola dimainkan dengan lembut, mengalunkan nada-nada sendu yang mengalir ke setiap rudut ruang kosong dimana hanya ada seorang gadis yang sedang memainkannya, dan sebuah piano tua di belakangnya. Rambut bergelombang coklatnya yang panjang sesekali melambai ringan diterpa angin yang juga menyingkap tirai-tirai transparan yang menjadi pembatas ruang itu dan taman di dekatnya. Taman itu mungkin bukan lagi sebuah taman, karena satu-satunya tanaman indah yang ada di sana hanya setangkai bunga lily yang mencuat di tengah-tengah rumput liar yang dibiarkan merajalela. Semak liar telah memenuhi setengah taman itu, sedangkan di sudut paling jauh dari ruangan ada pohon besar yang sudah nyaris mati di makan benalu. Mata sang gadis menyapu taman yang hancur dengan tatapan kosong, sekosong nada-nada yang dia alunkan. Mengalun, tapi hampa. Saat matanya menangkap citra satu-satunya bunga di taman itu, tangannya berhenti. Ketika sebuah kehampaan tiba-tiba berhenti dan hilang, maka apalagi yang