Jakarta, Indonesia. 9 tahun lalu. Seorang pemuda tampan dengan setelan jeans berwarna biru dan dipadukan dengan kaus hitam polosnya yang berlengan pendek tampak keluar dari dalam rumah yang begitu besar. Dia membawa sebuah dokumen dengan map berwarna biru di tangannya, tampak dia berjalan dengan cepat dan membuka pintu mobilnya yang sudah terparkir di depan pintu utama rumahnya. Pria itu lalu masuk ke dalam mobil dan menyimpan dokumen penting itu di sebuah tas jinjing berwarna hitam. Yang dia letakkan di kursi sampingnya. Setelah itu, dia pun bersiap untuk melajukan mobilnya menuju suatu tempat yang harus segera dia datangi. Tanpa membuang waktu lagi, pria itu pun mulai menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya meninggalkan area rumah besarnya. Dengan kecepatan mobilnya yang cukup cepat, pria itu melihat fokus ke arah jalanan yang ada di depannya. Tampak sorot mata amber itu tidak ter-alihkan oleh apa pun yang ada di jalanan itu. Hingga 30 menit kemudian, pria itu memasuki sebuah
Erian yang diikuti oleh Erland dan Eric pun masuk ke ruang rapat, di ruangan yang begitu besar itu. Sudah berada 3 orang klien penting mereka yang akan melihat proyek kerja sama seperti apa yang akan pihak perusahaan Carlson Group tawari. Terlihat juga peserta rapat lainnya yang merupakan pegawai dari Carlson Group. Mereka semua berdiri saat melihat kedatangan Erian, tampak juga Erian yang menyapa klien pentingnya dan berjabat tangan dengan mereka. Setelah itu Erian duduk di kursi kebesarannya sedangkan Eric dan Erland duduk di samping kirinya. “Mulai meetingnya!” ucapnya dingin. Eric pun mengangguk, dia lalu melihat ke arah Arya yang berdiri di belakangnya. “Paman Arya, berikan dokumennya,” pintanya. “Dokumen apa, Tuan Muda?” tanya Arya dengan suaranya yang sengaja dia keraskan, sehingga mengundang perhatian dari para peserta rapat.Mendengar itu Eric tersentak, lebih tepatnya dia tidak mengerti kenapa Arya tiba-tiba mengatakan hal itu. “Paman apa yang kau katakan, dokumen kemari
“Berani sekali kau mengkhianatiku. Apa kau tidak menghormati kepercayaanku. Kau sama saja, kau memuakkan!” marahnya dan semakin mengencangkan cekikannya itu pada Arya. Tampak Arya yang berusaha dengan keras untuk melepaskan tangan Eric yang melingkar di lehernya. Namun rupanya, amarah membuat tenaga Eric bertambah berkali-kali lipat. Tatapan Eric sangat mengerikan saat ini, dari tatapannya itu dia seperti bisa menghancurkan apa pun dan membunuh siapa pun. “Berhentilah Eric!” seru Erland yang berdiri di belakang Eric. Namun sepertinya Eric tidak mendengarkan apa yang dikatakan Erland, lebih tepatnya dia tidak peduli. Justru kalau bisa, dia ingin membunuh orang-orang memuakkan ini. “Apa kau tidak mendengar apa yang papa katakan tadi? Aku dan Arya tidak bersalah, ini murni karena kebodohan dan kecerobohanmu, jadi lepaskan dia,” ucap Erland penuh penekanan. Eric sangat kesal, ketika mendengar nada suara seperti itu dari Erland, seakan-akan dialah penguasa di sini dan dirinya hannyalah
Eric tengah sibuk menandatangani dokumen-dokumen penting yang ada di meja kerjanya. Carlson Group memang perusahaan besar yang memiliki banyak cabang di seluruh penjuru dunia. Kantor pusat mereka berada di Amerika yang saat ini sudah dipegang oleh Erland Dalbert Carlson yang menjadi CEO di sana. Sedangkan Eric, Erian menempatkannya di cabang yang ada di Indonesia. Sebenarnya bukan Erian yang memilih cabang ini, melainkan Eric sendiri. Karena dia harus tetap berada di sini agar dia bisa mencari Arya Subagja untuk membalaskan dendamnya. Namun, meskipun begitu. Dia tetap tidak bisa membalaskan dendamnya karena waktu itu dia kesulitan mencari Arya. Dan di saat dia sudah menemukannya, dia tetap tidak bisa membalaskan dendamnya. Karena Arya sudah meninggal. Dan sekarang, dia mengetahui bahwa Arya memiliki seorang putri. Karena itulah, tidak ada pilihan lain baginya selain melampiaskan dendamnya itu kepada putri dari Arya Subagja. Tok tok! Ceklek! Pintu ruang kerja Eric terbuka setelah t
Eric langsung menoleh kepada Erland, setelah mendengar apa yang dikatakannya. 'Apa maksudnya, apa dia tahu tentang pernikahanku?’ batinnya. Erian menoleh kepada Erland. “Sesuatu yang mengejutkan?” tanyanya dengan keningnya yang berkerut. “Iya Pah, Eric ... dia sudah menikah,” jawab Erland. Mendengar itu, membuat Erian dan Liana sontak terkejut. Mereka langsung melihat kepada Eric dengan tatapan meminta penjelasan. “Eric, apa benar yang dikatakan Erland. Kau, sudah menikah?” tanya Erian. Eric hanya terdiam, tatapannya itu berubah menjadi tajam. Tampak kedua tangannya juga sudah terkepal. Dia sudah menduga ini, Erland pasti mengetahuinya. Lagi-lagi dia kalah, dan Erland berada tepat di depannya. “Eric, papamu bertanya. Apa benar kau sudah menikah?” tanya Liana. “Memangnya kalau sudah, kenapa?” tanya balik Eric, dari suaranya terdengar jelas bahwa dia tengah menahan amarah. “Kau! Kau menikah tanpa memberitahu kami! Apa yang kau pikirkan Eric?!” Suara Liana meninggi. Dia tidak meny
“Eric!”Sebuah suara keras menggelegar yang memanggilnya itu akhirnya bisa menyadarkan Eric dari amarahnya. Dia menghentikan aksi pemukulannya kepada Erland, dan melirik dengan tajam kepada asal suara itu.Nafas memburu keluar dari mulut Eric, dia lalu mengusap keringat yang berada di bawah matanya. Dan berdiri tegak menghadap papanya yang tadi memanggilnya.Plakk!Erian kembali menampar Eric dengan kerasnya, hingga wajah Eric terhempas ke samping. “Kau sudah keterlaluan, kau berani memukul kakakmu!” ucapnya dengan suara tinggi.Eric menyeka dengan ibu jarinya darah yang keluar dari sudut bibirnya, hasil dari tamparan papanya tadi. “Bukannya papa yang bilang, siapa yang lebih kuat dialah pemenangnya. Aku sudah membuat kakak babak belur. Bukankah itu artinya aku yang menang,” jawabnya dengan santai.Erian mengepalkan tangannya, ucapan Eric yang kurang ajar membuatnya benar-benar tidak bisa mengendalikan amarah. “Pulanglah, dan pikirkan kesalahanmu, papa akan memberikanmu satu kes
Alana tersentak dengan apa yang Eric katakan. Dia pun langsung melihat ke sekitarnya. Dan kembali terkejut setelah mengetahui bahwa ini bukanlah kamarnya.“I-ituuu, aku ... aku ....” Entah bagaimana Alana harus memberi alasan, tidak mungkin dia jujur kan kalau dirinya menyelinap masuk ke sini untuk mencari ponselnya.“Jangan bilang kau ke sini karena untuk menca –““Kau terluka?” tanya Alana yang memotong ucapan Eric, tampak tangannya itu juga menyentuh pipi Eric yang memerah dan memar akibat tamparan Erian.Deg!Eric yang memang masih membungkuk di hadapan Alana itu langsung diam membatu saat merasakan hangat tangan Alana yang menyentuh wajahnya. Pandangannya itu lalu fokus melihat mata Alana yang justru terus melihat ke arah lukanya.Grep!Eric memegang tangan Alana yang menyentuh wajahnya itu hingga membuat Alana terkejut.“Berani sekali kau memotong pembicaraanku, kau juga telah berani menyentuhku tanpa seizinku,” ucap Eric dengan dingin.Namun, sepertinya Alana tidak m
Eric terbangun dari tidurnya, tangannya itu terangkat dan menyentuh kedua matanya.Tuk!Eric terkejut saat merasakan sesuatu yang jatuh ke keningnya. Matanya itu kembali terbuka dan tersentak saat melihat kepala Alana yang ternyata menyentuh keningnya. Sepertinya tanpa sadar kepalanya itu jatuh dan akhirnya berada di kening Eric sekarang.“Dia masih ada di sini?” gumamnya.Eric lalu melihat jam dinding yang ada di kamarnya. “Pukul 4 subuh? Aku, aku tidur selama itu? Aku?”Eric seakan terkejut, karena dia bisa tidur sangat lama. Bahkan lebih dari 8 jam, sedangkan biasanya dia tidak pernah tidur dengan lama, paling lama dia hanya tidur 1 jam, karena dia memang tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Tapi saat ini, apa yang terjadi padanya.Eric lalu kembali melihat pada Alana yang wajahnya masih ada di kening Eric. “Apa semua ini karenanya? Tidak! Tidak mungkin ini karena gadis ini, ini pasti karena aku terlalu lelah, karena itulah aku bisa tidur dengan nyenyak. Iya, pasti karena i