Happy Reading*****Kegagalan meneguk indahnya malam pertama setelah sekian lama keduanya terpisah membuat Bunga begitu canggung saat ini. Walau berkali-kali Yusuf mengatakan tidak masalah, tetapi tetap saja perempuan itu merasa bersalah. Di saat sang suami sedang berada di puncak gairahnya terpaksa harus padam karena tamu bulanan Bunga datang lebih awal."Sini, Sayang," panggil Yusuf menepuk bagian pahanya."Mas, ih. Aku kan nggak bisa itu.""Tidak masalah. Walau tidak bisa masak kamu mau jauhi Mas, Yang.""Maaf, ya, Mas. Aku sudah membuatmu kecewa.""Tidak masalah, Sayang. Kita bisa mengulangnya di lain waktu. Mau jalan-jalan ke luar? Besok, kita pasti sibuk dan tidak memiliki kesempatan untuk berduaan.""Gimana bisa keluar kalau kuncinya saja dibawa Mama, Mas."Yusuf menepuk kening. Lupa jika seluruh keluarganya telah mengurung mereka di kamar tersebut. "Jadi, apa yang harus kita lakukan saat ini.""Nggak ada," jawab Bunga. Perempuan itu sengaja menjauhi sang suami. Duduk di sofa,
"Bapakmu itu panutan kami, jika sampai anak gadisnya hamil tanpa adanya suami sungguh sangat memalukan!""Betul itu! Untuk apa dia mengajarkan norma serta syariat pada anak-anak kami jika mendidik anaknya sendiri menjadi baik tidak bisa?" timpal salah satu tetangga yang malam itu berada di rumah Bunga dengan seluruh warga termasuk ketua RT.Berbondong-bondong para tetangga menyerang Bunga yang saat itu tengah hamil delapan bulan agar keluar dari desanya. Kehamilan anak guru gaji itu merupakan aib bagi warga desa yang masih menjunjung tinggi adat dan norma. Mereka bahkan tak segan menyeret Bunga beserta orang tuanya untuk segera meninggalkan desa--tempat kelahirannya--tanpa mau mendengar penjelasan sama sekali."Unda, cantik banget, sih. Mau ke mana?" tanya seorang bocah lima tahun yang membuat Bunga tersadar dari lamunan. Enam tahun berlalu dari kejadian buruk itu dan Bunga bersyukur karena mempertahankan Fatih saat dia dimaki banyak orang.Karena anaknya itu pula, sosok Bunga Anni
Segala macam pikiran berkecamuk pada diri Bunga. Sekian tahun tak berteu ternyata Yusuf sudah memiliki seorang istri. Bunga berjalan gontai ke arah pantry. Ia bahkan hampir menabrak salah satu karyawan butik."Maaf ... maaf," kata Bunga menyadari kekeliruannya."Tidak apa-apa, Mbak." Salah satu karyawan butik itupun berlalu pergi meninggalkan Bunga yang masih bengong. Mengusap kasar wajahnya, Bunga mencoba mendoktrin pikirannya supaya tetap fokus dalam bekerja. Sudah selama ini tidak bertemu dengan lelaki itu, tentu saja semua sudah berubah. Wajar jika dia sudah menikah. Begitulah pemikiran yang ditanamkan si perempuan untuk menyikapi lelaki yang ditemuinya tadi.Baru menyelesaikan kopi yang dibuat untuknya, Bunga mendapat pesan dari Shaqina agar segera ke ruangannya. Ibu satu anak itupun menghela napas sebelum masuk. Dia meletakkan beberapa cangkir kopi yang dibuat tadi di meja.Hanya saja, tangan Bunga gemetar tatkala melihat cincin yang tersemat di jari manis lelaki yang ditem
Pagi-pagi sekali, Bunga sudah disibukkan dengan Fatih. Bocah kecil yang belum genap berumur lima tahun itu ribut sejak sebuah untuk menyiapkan keperluan sekolahnya. Fatih sangat antusias memulai harinya yang baru."Nda, nanti berangkatnya naik apa?" tanya Fatih."Naik motor, Sayang." Bunga mengambil tas dan memanggil ibunya untuk berangkat."Memangnya Unda sudah beli?" Fatih bahkan sampai mendongak dan memiringkan kepala untuk mendengar jawaban Bunga.Mencubit pelan pipi balita gembul itu, Bunga pun menjawab, "Sudah, dong. Memangnya Fatih nggak tahu? Motornya, kan, kemarin sore dianter sama pihak dealer."Si kecil menggelengkan kepala. "Nenek kok nggak ngasih tahu Fatih kalau Unda beli motor?" Menatap pada neneknya yang sudah rapi dengan gamis batik baru."Fatih kemarin tidur pas motornya datang. Udah, yuk berangkat. Semakin banyak pertanyaan, Bundamu akan semakin lama berangkat kerjanya."Mengangguk patuh, si kecil pun mengikuti langkah bunda dan neneknya ke luar rumah. Selama perjal
Sedikit gemetar, tangan Bunga mulai memencet tombol mesin EDC di depannya. Perempuan itu masih sangat hafal dengan pin yang disebutkan sang pemilik kartu. Suara print out dari mesin kecil itu keluar. Bunga melirik putranya yang tersenyum begitu bahagia ketika dia telah membayar biaya sekolah dengan mudah.Namun, senyum Bunga luntur ketika mengingat seseorang yang memberikan kartu tersebut. Apalagi ketika nominal pembayaran tersebut keluar. Cukup banyak untuk ukuran kebutuhannya sebagai seorang perempuan yang hidup sendiri."Kartu ATM siapa yang kamu berikan pada petugas tadi, Nduk? Kenapa Ibu nggak pernah melihatnya," tanya perempuan paruh baya di sebelah Bunga."Nanti, Bunga akan cerita, Bu. Sekarang, kita pulang karena aku harus kerja. Ada pelanggan butik yang harus aku temui. Dia sangat cerewet sekali. Kasihan jika Shaqina sendirian menghadapinya." Mereka bergegas kembali ke parkiran ketika semua syarat-syarat pendaftaran sekolah sudah diselesaikan. Sesampainya di rumah, Bunga la
Di sisi lain, perempuan Kamila menuju ruangan Purnama.Dia pun masuk, tanpa mengetuk pintu."Papa sudah hubungi Rudy untuk menyelediki masalah yang Mama katakan di telpon tadi, kan?" tanya Kamila tanpa mengucap salam."Mama itu kurang kerjaan banget, sih. Lagian kenapa mesti menghubungi Rudy untuk masalah sepele seperti ini. Memang rekening siapa yang mau Mama retas?""Anakmu, Mama curiga. Sejak kejadian itu," kata Kamila. Pandangannya lurus ke depan, mengenang kejadian enam tahun silam. "Curiga kenapa? Yusuf tidak berbuat macam-macam bahkan berselingkuh dari istrinya saja tidak pernah. Lalu, kenapa Mama mencurigai rekeningnya?" Purnama masih kekeh untuk tidak mengabulkan permintaan sang istri. Menyuruh Rudy untuk meretas rekening seseorang, terlalu beresiko baginya. Jika menyangkut konsumen yang menunggak payment di perusahaan, mungkin Purnama bisa melakukannya. Akan tetapi, ini rekening pribadi seseorang, meskipun milik anaknya sendiri."Papa tidak akan mengerti. Pokoknya, kalau
Pagi-pagi sekali, Bunga sudah menyiapkan bekal untuk Fatih, sedangkan ibunya tengah menyapu. Si kecil sendiri, tengah mandi saat ini.Fatih terbiasa melakukan semua hal sendirian sejak berumur empat tahun. Bocah itu begitu pengertian melihat orang tua serta neneknya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing setiap hari. Hal itu kini cukup meringankan bundanya.Setengah jam kemudian, Fatih keluar dengan dandanan yang sudah rapi. "Unda, aku sudah siap berangkat ke sekolah." Bocah itu memutar-mutar badannya memperlihatkan seragam serta tas baru yang kemarin diberikan pihak sekolah.Bunga memperhatikan si kecil dengan sangat detail, dari ujung kaki hingga kepala. Namun, ketika matanya menatap dasi, seketika tawa menguar."Unda kenapa ketawa?" Mata Fatih menyipit. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Bukannya berhenti, Bunga malah mengeraskan tawa. Fatih mulai mengerucutkan bibir dengan kaki menghentak-hentak. Bunga pun menyadari kesalahannya dan sebisa mungkin menghentikan tawa. "Say
Irsan mendelik mendengar perintah Yusuf. Belum juga hilang rasa terkejut dan kekepoannya, tangan sang sahabat sudah lebih dulu menghapus rekaman CCTV pada jam tersebut. "Kamu kenapa, Suf?" Irsan mulai panik melihat butiran keringat yang bermunculan di wajah sahabatnya. "Ambilkan obatku, San," suruh lelaki dengan kulit kuning langsat. Yusuf menunjuk jas yang tadi dilepas dan ditaruh di sofa.Tanpa banyak pertanyaan, Irsan dengan cepat mengambil Jaz hitam dan merogoh setiap sakunya demi menemukan obat yang dibutuhkan. "San, cepat sedikit," ucap Yusuf. Suaranya terdengar lemah, bergetar seakan seluruh tenaganya habis.Memberikan obat yang dibutuhkan, Irsan mengambilkan sahabatnya air putih. "Apa masih sering terjadi seperti ini?""Sudah lama tidak terjadi, tapi ada satu kondisi yang tidak bisa aku prediksi." Yusuf merebahkan tubuhnya pada sofa dibantu Irsan. "Tolong jangan katakan apa pun jika Papa dan Mama bertanya." Perlahan kesadaran Yusuf menghilang, matanya mulai terpejam. Irsan