Memegangi dadanya sendiri, Gustav seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Mahesa. "Anak itu akan kau jadikan pewaris? Di mana akal sehatmu, Mahesa?""Aku sehat dan normal. Aku mengatakan ini dengan sungguh-sungguh. Papa tidak bisa ikut campur dengan keputusanku karena semua kekayaan yang akan kuwariskan pada Kenzie adalah milikku, tak ada sepeser pun milik Papa!" Mahesa menekan kembali ucapannya. "Papa harap kau berubah pikiran. Ketika menikah dan memiliki anak dengan Nessie, kau pun bisa mendapat pewaris dari wanita yang jelas asal-usulnya. Bukan seperti anak haram itu.""Sekali lagi Papa menyebut Kenzie anak haram, aku akan membatalkan pertunanganku dengan Nessie!" Ancaman yang keluar dari mulut Mahesa seketika berhasil membungkam Gustav. Gustav terdiam dengan dada yang naik-turun karena emosinya. "Ini yang terakhir kali. Aku tidak mau lagi mendengar Papa menjelek-jelekkan Kenzie. Terserah jika Papa tidak mau mengakui Kenzie sebagai cucu, tapi aku tidak akan membiarkan sia
"Om Mahesa papa aku?" ulang Kenzie. Mahesa mengangguk. Mengusap puncak kepala Kenzie. "Iya, sayang. Selama ini, Om belum berani mengatakannya. Dan sekarang, Om tidak bisa merahasiakannya lagi." Terkejut, mata Kenzie melebar menatap Mahesa. "Mulai sekarang, tolong jangan panggil Om Mahesa lagi. Panggil Papa saja. Papa sayang menyayangimu, Kenzie." Mahesa tersenyum, hendak memeluk Kenzie. Namun Mahesa terkejut saat Kenzie menolak pelukannya dengan mendorong dadanya. "Kenzie? Ada apa?""Kalau benar Om adalah Papaku, lalu kenapa Papa baru datang sekarang? Papa ke mana saja? Kenapa Papa tega tinggalkan aku dan Mama?"Mendadak Mahesa bingung ketika bocah itu memberondongnya dengan pertanyaan yang sulit untuk ia jawab. "Maaf, Papa … ""Papa jahat! Aku benci Papa! Papa tidak pernah sayang aku!" "Kenzie, tolong jangan marah! Papa bisa jelaskan."Terlambat, Kenzie lebih dulu membuka pintu dan turun dari mobil. Kaki kecilnya berlari menyusuri gang luas yang mengarah ke rumahnya. Helaan
"Tapi Mama minta maaf. Mama tidak bisa beritahukan apa alasannya," kata Riana yang masih menggenggam erat tangan Kenzie. "Menurut Mama, apa aku harus maafkan Om Mahesa?" Kenzie bertanya, mengangkat pandangannya pada Riana. "Itu tergantung padamu. Mama yakin kau sudah tahu apa pilihan yang tepat. Mama cuman mau bilang, coba kau ingat-ingat lagi, apa yang selama ini berusaha Om Mahesa lakukan padamu? Bagaimana dia memperlakukanmu. Dan coba tanyakan pada hatimu sendiri, apa yang harus kau putuskan." Setelah mengatakan itu, Riana mengusap kepala Kenzie, kemudian hendak bangkit dari duduknya dan bersiap untuk pergi. "Tunggu, Ma!" Namun, Kenzie segera menahan tangan Riana. Membuat Riana menoleh. "Iya, sayang? Kenapa?""Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Aku akan memaafkannya," ujar Kenzie. Selarik senyum yang sangat tipia pun tersungging di bibir Riana demi mendengar itu. *** Langkah Mahesa terasa berat saat berayun menuju kamar. Baru saja ia tiba di rumah setelah menganta
Saat berjalan menuju ruang tengah, Riana dikejutkan dengan keberadaan Mahesa yang sudah duduk di seberang Aram. "Mahesa? Sejak kapan dia datang?" gumam batin Riana. "Hai, Riana!" Mahesa melempar senyum. "Apa itu kopi untukku?" tanya Mahesa sambil melirik ke arah secangkir kopi di tangan Riana. "Enak saja. Itu kopi punyaku. Riana sengaja membuatkannya untuk calon suaminya. Benar 'kan, sayang?" Aram langsung menyela. Menerbitkan senyum yang amat manis pada Riana. "Emh … iya," jawab Riana, kemudian menaruh kopi itu di depan Aram. "Kau mau kopi juga?" kini matanya melirik pada Mahesa. "Tidak usah buatkan kopi! Dia lebih suka air kobokan," celetuk Aram. Mahesa mendelik sinis. "Air kobokan? Bukankah itu minuman favoritmu.""Tolong, hari ini saja jangan berdebat hanya karena secangkir kopi. Tunggu sebentar, aku akan buatkan satu lagi untuk Mahesa." Riana membalikan badan, hendak pergi ke dapur. "Tidak perlu, Riana. Aku sudah tidak berselera minum kopi. Lagipula aku sudah minum sebel
"Pertanyaanmu sangat konyol," cetus Mahesa. Membuang wajahnya dari Nessie. "Kau tidak bisa menjawabnya, 'kan? Oh, aku tahu. Jika Riana yang memelukmu, tentu saja kau tidak akan melepaskan tanganmu dan akan membiarkannya." "Nessie, jangan memancing emosiku! Aku sedang tidak ingin ribut." Mahesa mengacungkan satu telunjuknya di depan wajah Nessie. Namun, Nessie tidak merasa takut sama sekali dengan sorot tajam yang terpancar dari kedua bola mata Mahesa. "Kenapa kau selalu terlihat panik setiap kali aku membahas tentang Riana? Apa kau mencintainya?" tanya Nessie sambil berpangku tangan. Mengangkat dagunya di depan lelaki bertubuh jangkung itu. Mahesa terdiam sebentar, hanya mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh, sebelum akhirnya membuang napas kasar dan melempar stick billiard ke meja. "Terserah kau saja," ketus Mahesa, lalu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan itu. Nessie melebarkan mata. Wajahnya memerah karena tahu kalau Mahesa memiliki perasaan terhadap Riana. "Kau tidak
Seharusnya, hari ini Aram masih menikmati liburannya bersama Kenzie. Akan tetapi, entah mengapa Aram memutuskan untuk pulang kembali ke Jakarta. "Kau senang kita pulang hari ini?" sambil menyetir, Aram bertanya pada Kenzie yang duduk di sampingnya. "Iya, Om.""Sungguh? Apa yang membuatmu senang? Padahal awalnya, Om berpikir ingin memperpanjang liburan kita. Tapi karena seharian kemarin kau terlihat murung, jadi Om putuskan pulang sekarang.""Maaf, Om Aram. Kemarin, liburannya sangat menyenangkan. Tapi … aku kangen Mama.""Benarkah? Jadi, kau kangen mamamu?" Kenzie mengangguk. Aram tersenyum kecil. Sejurus kemudian, mobil Aram tiba di depan rumah Riana. Di teras rumah itu, terlihat Riana. Namun, wajah Aram langsung masam begitu melihat Mahesa juga ada di sana. "Mama!" Kenzie turun dari mobil dan menghambur memeluk Riana. "Loh, Kenzie? Kalian sudah pulang?" Riana terheran. Tapi wajahnya tampak senang. "Dia murung terus kemarin. Aku tidak tega melihatnya. Jadi, aku bawa dia pu
"Mana Aram? Katanya dia akan menjemputku, tapi aku sudah menunggu setengah jam di sini, dan mobil Aram belum juga datang." Riana bergumam gelisah. Berdiri di sisi jalan sembari matanya mencari-cari mobil Aram yang tak kunjung tiba.Di saat yang sama, mobil Mahesa keluar melewati gerbang restoran.Matanya menyipit melihat Riana yang masih berdiri di sekitar restoran itu. "Kupikir dia sudah pulang. Ternyata Riana masih ada di sini. Apa dia sedang menunggu angkutan umum?" Mahesa pun turun dari mobil dan menghampiri Riana."Ekhem!"Dehaman Mahesa mengejutkan Riana. Membuat wanita itu menoleh dengan wajah panik.Pasalnya, Riana takut Mahesa menegurnya akibat kopi yang dicampur garam tadi. "Apa kau sedang menunggu angkutan umum?""Tidak. Aku sedang menunggu Aram.""Oh, jadi calon suamimu yang akan menjemputmu?"Riana mengangguk. Melipat kedua tangannya di depan dada. "Tapi, mengapa dia belum datang? Padahal ini sudah lebih dari setengah jam." Mahesa mengetuk arloji yang melingkar di per
Mahesa benar-benar mengubah konsep restoran miliknya. Bahkan, iapun mengganti nama restoran itu dengan nama 'Kenson Restaurant'.Kening Riana berkerut melihat papan nama di gedung setinggi tiga lantai itu. "Kenson restaurant?" "Bagaimana menurutmu? Kenson restoran terdengar lebih menarik, bukan?" Riana terkejut saat tiba-tiba Mahesa muncul di belakangnya dan bertanya sambil berpangku tangan. "Ya, itu nama yang bagus.""Kau tidak mau bertanya mengapa aku memberikan nama Kenson untuk restoran ini?" Riana menggelengkan kepala. "Tidak. Ini restoranmu, kau bebas memberi nama apapun dan aku tak peduli dengan itu." Baru saja Riana akan melangkah masuk, namun Mahesa menahan tangannya. Membuat Riana menghembuskan napas kasar dan menoleh kembali pada sang boss tampan itu. "Sungguh, kau tidak mau tahu artinya? Sayang sekali, padahal aku sudah susah-susah memikirkan nama paling bagus untuk restoran ini.""Memangnya apa artinya?""Kenson artinya adalah Kenzie Anderson," jawab Mahesa, yang s