“Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo masuk!” Mahesa mempersilakan Nessie masuk ke dalam mobilnya.Nessie tersenyum dan duduk di kursi belakang bersama pengasuh dan Andra.Tentu saja Nessie mendekap Andra di atas pangkuannya. Tak sedikit pun Nessie berniat memberikan Andra kepada pengasuh yang duduk di sampingnya.Mobil Mahesa lantas melaju meninggalkan lapas dan merambat di jalan raya.Seulas senyum tipis tersungging di bibir Riana. Sambil tangannya mendekap punggung Anna yang kini tertidur di atas pangkuan, Riana mendesah lega dalam hati.“Aku senang melihat Nessie dan Andra tersenyum sebahagia itu,” batin Riana.***“Ayo Pa! Lempar bolanya ke mari!” Kenzie berseru pada Mahesa yang berdiri cukup jauh di hadapannya.Sedangkan Kenzie sendiri duduk di atas pelampung bebek warna kuning dan mengangkat kedua tangannya ke atas, bersiap menyambut lemparan bola dari Mahesa.Saat ini ayah dan anak itu sedang bermain bola di dalam kolam renang. Sesekali tawa mereka akan terdengar sampai ke teling
“Riana, ada 10 loyang pizza yang harus kamu antarkan segera ke lima alamat berbeda, tapi dahulukan pesanan atas nama Tuan Mahesa,” titah sang manajer, ” beliau adalah pelanggan setia kita.”“Baik, Pak.”Dengan segera, Riana pun bersiap lalu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh atasannya itu Namun, begitu tiba di depan rumah mewah sang pelanggan setia, pelanggan terhormat itu tampak tak juga membuka pintu meski bell ditekan berulang kali.Ketika Riana melihat pintu yang sedikit terbuka, ia pun memutuskan untuk masuk saja ke dalam ruang tamu. "Permisi!" teriaknya.Sayangnya, tak ada sahutan.Mengingat perintah sang atasan, Riana tak ingin ambil resiko. Jadi, ia memutuskan untuk berteriak lebih kencang, "Permisi, Tuan Mahesa. Saya dari Pizza Delicious mau mengantarkan pesanan Anda." Lagi-lagi, tak ada sahutan."Jangan-jangan tidak ada siapapun di rumah ini?" gumam Riana bingung.Ia pun meletakkan kotak pizza di meja tamu dan hendak pergi.Namun, langkah Riana tiba-tiba terhenti saa
"Aku pulang," salam Rania lesu begitu masuk ke dalam rumahnya.Waktu sudah menunjukkan pukul 23:00 WIB. Namun, ia terkejut begitu melihat sang adik dan Ibu tampak khawatir di ambang pintu.Bahkan, gadis berusia 14 tahun itu sampai berlari menghampirinya. "Kak Riana dari mana saja? Aku dan Ibu khawatir pada kakak." "Apa yang terjadi, Ri?" Kini, Rita, sang ibu, yang bertanya melihat penampilan sang anak sedikit acak-acakan. Riana pun menahan tangis dan duduk di kursi.Ia berpikir bagaimana cara memberitahu sang ibu jika dipecat akibat dianggap tak becus mengantarkan pesanan lainnya. Padahal, saat itu Riana sedang dilecehkan oleh seorang lelaki brengsek. “Nak–”"Aku dipecat, Bu." Ibu dan adik Riana itu tampak terkejut dan saling melempar tatapan iba. "Memangnya, ada masalah apa di tempat kerja sampai kau dipecat?" tanya sang ibu. Riana menghela napas sebelum akhirnya berbohong, "Hanya masalah kecil, Bu." Namun, ia menghindari kontak mata dengan ibunya. "Tidak apa-apa, Nak,” ucap
"Tuan, kau akan ke mana? Kenapa kau membereskan pakaian ke dalam koper?" Malam ini, Leo baru saja akan menemui Mahesa untuk memberikannya undangan pernikahan dari salah satu kolega kerja mereka.Namun, kening Leo dibuat berkerut saat melihat Mahesa yang sedang memasukan beberapa pakaian ke dalam koper. Biasanya, Mahesa akan memberitahunya setiap ia akan pergi ke manapun. "Aku muak dengan perjodohan yang diatur ayahku. Selama dua pekan ke depan, aku mengambil cuti dan akan pergi ke Jepang. Biar saja mereka mencariku. Aku tidak peduli," jawab Mahesa sambil memasukan barang penting lainnya. "Lalu bagaimana dengan kantor?" "Pertanyaan konyol! Aku masih bisa mengatur perusahaan bahkan meskipun aku pergi selama satu bulan." "Jadi aku harus ikut?" Leo menunjuk dirinya sendiri. Kali ini gerakan tangan Mahesa terhenti. Mahesa berdiri seraya memicingkan mata ke arah Leo. "Harusnya kau sudah tahu tanpa bertanya. Cepat bersiap sebelum sore, atau aku akan memecatmu!" "Baik, Tuan." Ancama
‘Ceroboh!’ maki Riana pada dirinya sendiri. Kenapa ia tidak membuang alat test kehamilan itu ke tempat lain? Sekarang, ibunya sudah menemukan benda itu dan pasti juga sudah melihat dua garis merah yang tertera di sana. "Riana, ibu sedang bertanya padamu! Benda ini punyamu, 'kan?" tanya Rita kembali. Ditunjukkannya alat test kehamilan yang dimaksud.Riana masih bergeming di tempatnya berdiri, hingga membuat Rita geram."Jawab!" bentaknya."I-iya, Bu. Alat itu punyaku," jawab Riana seraya menundukan wajah. Seketika itu juga, Rita langsung syok dan memegangi dadanya sendiri. "Hhh ... Riana." "Ibu!" Yasmin yang sejak tadi bersembunyi di dalam kamar karena takut melihat ibunya memarahi kakaknya, kini langsung menghampiri Rita saat tahu Rita mendadak lemas dan hampir jatuh terduduk di lantai. "Ibu, maafkan aku Bu. Aku tidak jujur pada Ibu," panik Riana.Dibantunya sang ibu duduk di kursi. Riana juga segera berlutut di depan kaki ibunya dan memohon maaf. Ia pun menangis."Selama men
"Aku harus pergi ke mana? Aku tidak punya tujuan untuk tinggal," ucap Riana sambil melangkah tak tentu arah sembari mengangkat tas berisi pakaian miliknya. Langkah Riana terasa berat. Matanya memanas membayangkan saat ibunya mengusirnya. TIN!Seorang pemilik mobil membunyikan klakson dengan keras karena merasa Riana menghalangi laju mobilnya. "Hei! Minggir! Kau pikir ini jalan nenek moyangmu!""Maaf." Begitu Riana menyingkir, mobil itu pun melaju kencang melewati dirinya. "Aku harus cari tempat tinggal. Tapi aku juga tidak punya uang untuk membayar kontrakan. Apa aku harus tinggal di kolong jembatan?" gumam Riana dalam hati. Namun, Riana merasa ragu saat membayangkannya. Mendadak perutnya terasa mual. Terik matahari juga membuat kepala Riana terasa pusing. Menundukkan pandangan, Riana terbelalak kaget saat melihat sedikit darah yang luruh dari jalan lahirnya. "Ya Tuhan! Bayiku!" Namun, detik selanjutnya tali tas itu pun lepas dari genggaman Riana, kemudian jatuh ke aspal be
Sungguh Aram merasa iba. Riana tampak sedih dan tidak berdaya. "Apa kau mau menceritakannya padaku?" tanya Aram.Tangis Riana yang sedari ditahannya itu pun tumpah. Tak ada kata lagi yang keluar dari mulut gadis itu, hanya isakan yang terdengar dan bahunya yang bergetar akibat tangisnya. Sedikit ragu, Aram menggerakan satu tangannya dan mengusap pelan punggung Riana. "Menangislah kalau itu bisa membuatmu lebih tenang. Aku akan sabar menunggumu bercerita." Setelah puas menguras air matanya, Riana lalu mengusap pipinya yang basah dengan tangannya dan menatap pada Aram yang sejak tadi menatapnya. "Aku hamil dan tidak mau menggugurkan kandunganku ... " Riana menceritakan semuanya pada Aram. Termasuk dengan saat dimana dirinya diperkosa oleh Mahesa. Meski awalnya Riana merasa ragu bercerita pada dokter muda itu, namun sikap Aram membuat Riana merasa bahwa lelaki itu berniat baik padanya. "Sekarang aku tidak tahu harus tinggal di mana. Aku tidak punya tujuan. Bahkan aku pun tidak pu
"Mama pulang!" suara Riana terdengar menggema di ruang tengah. "Kenzie? Mama pulang, sayang!" Riana mulai memanggil nama putranya yang sudah berusia lima tahun itu. "Kenzie?" Namun, alisnya mengernyit saat sang anak tak juga datang dan menyahut panggilannya. "Ke mana dia?" Panik, Riana yang baru saja menghempaskan pantatnya di kursi karena lelah habis pulang kerja, akhirnya bangkit berdiri dan melangkah menuju kamar Kenzie. Saat membuka pintu, Riana dibuat terkejut dengan suara teriakan yang memaksanya menutup telinga dengan kedua telapak tangan. "Surprise! Happy birthday Mama! Happy birthday Mama!" Ternyata, Aram dan Kenzie sengaja bersembunyi demi memberi sebuah kejutan ulang tahun untuknya. Riana terharu, manik matanya sampai berkaca-baca. Tak terlukiskan rasa bahagia yang membuncah di dalam dadanya. "Selamat ulang tahun, Mama!" Kenzie menghampirinya sambil memeluk erat kaki Riana. "Terima kasih, sayang." Riana berjongkok dan memeluk Kenzie sambil mengecupi puncak kepala