Seratus tahun sebelum Rajendra Sanjaya menjadi penguasa Nagri Jaya Dwipa …
"Sanatana keparat! Hari ini jangan sebut aku Badiran Wasesa, jika tak mampu mengirim nyawamu ke Neraka!"
Badiran Wasesa meludah darah ke tanah. Hantaman lawan yang terlambat dihindari menimbulkan luka dalam yang tidak ringan. Tokoh sesat itu menatap bengis pada sosok serba putih, Sanatana.
Yang ditatap berdiri tenang-tenang saja. "Nyawaku mungkin memang akan jatuh ke dalam lubang neraka, Badiran Wasesa. Tapi tidak hari ini, dan tidak di tanganmu."
“Cuih!” Badiran Wasesa meludah lagi. "Jangan terlalu jumawa, Sanatana keparat!"
Sanatana tersenyum samar. "Terimalah kenyataan kalau Partai Tengkorak Hitam tidak akan pernah terwujud di dunia persilatan, Badiran Wasesa. Setelah kematianmu sesaat lagi, sisa-sisa tokoh golongan hitam yang berhasil lolos dariku akan tercerai berai, dan segera partai sesat yang kau cita-citakan akan terlupakan dari sejarah."
Mendengar perkataan orang itu, darah Badiran Wasesa menggelegak. "Sanatana jahanam! Hari ini biarlah aku bertindak jadi malaikat maut bagimu!"
Setelah berkata demikian, Badiran Wasesa membuka kedua kakinya, menyiapkan kuda-kuda. Tangan kanannya diangkat ke atas dengan bagian telapak terbuka, sedangkan tangan kirinya didorong ke depan, seolah-olah mencengkeram. Dari kesepuluh jari tangan Badiran Wasesa tiba-tiba mencuat keluar kuku hitam yang panjang.
"Ajian Tangan Setan dari Neraka," lirih Sanata saat mengenali ilmu yang sedang dikerahkan musuh bebuyutannya.
"Ternyata benar kabar yang beredar kalau ia sudah berhasil menguasai ilmu jahat itu."
Tawa Badiran Wasesa membahana ke seantero puncak Gunung Bakaraya, gunung paling tinggi di Nagri Jaya Dwipa, yang ternyata ditakdirkan untuk jadi medan perangnya dengan sang musuh bebuyutan.
"Terimalah kematianmu, Sanatana!"
Sosok Badiran Wasesa lalu melesat bagai dilemparkan ke arah Sanatana. Kedua tangannya dengan kuku-kuku hitam panjang dan setajam pisau lurus ke depan, siap untuk mencabik-cabik sosok lawan.
Sanatana sudah maklum kalau Ajian Tangan Setan dari Neraka yang sedang menyerangnya adalah jenis ajian beracun. Sedikit saja lawan tergores kuku hitam itu, seketika sosoknya akan membusuk dan tinggal tulang belulang.
Saat cakaran Badiran Wasesa menyasar dada dan perutnya, Sanatana melompat mundur menuju pepohonan. Dengan bijak, tokoh silat golongan putih yang kerap dijuluki Dewa Jubah Putih itu menghindari diri dari bersentuhan dengan kuku-kuku Badiran Wasesa.
Sreet! Sreet! Sreet!
Seketika kulit-kulit pohon yang terkena cakaran Badiran Wasesa mengelupas layu, sebelum keseluruh bagian pohon berubah lapuk dan meranggas mati seketika itu juga.
"Kau tidak bisa menghindar selamanya dariku, Sanatana!" seru Badiran Wasesa lalu tertawa gelak.
"Siapa bilang aku akan menghindar selamanya, Badiran Wasesa?!"
Setelah balas berseru, Sanatana meniup dengan mulutnya. Selarik sinar putih berkiblat menuju Badiran Wasesa, makin lama sinar itu makin melebar, seolah kain yang dibentangkan. Gerakannya bergulung-gulung.
"Ajian Selimut Dewa!" teriak Badiran Wasesa saat mengenali serangan yang dilancarkan lawan.
Segera saja Badiran Wasesa menghindar dari tergulung sinar putih lebar itu. Selama ini tak ada tokoh silat yang berhasil menyelamatkan diri kalau sudah tergulung di dalam sinar putih itu, sosoknya akan langsung hangus menjadi abu. Begitu dahsyatnya Ajian Selimut Dewa milik Sanatana itu.
"Jangan pikir ilmu rendahan macam itu bisa melukaiku, Sanatana!" ejek Badiran Wasesa setelah selamat dari Ajian Selimut Dewa milik Sanatana.
Tokoh sesat itu lalu menerjang ke depan dengan cakaran yang bergerak acak. Sanatana sempat dibuat repot menyelamatkan diri dari Ajian Tangan Setan dari Neraka yang dilancarkan bertubi-tubi oleh Badiran Wasesa.
Sreeet!
Jubah putih yang dikenakan Sanatana robek besar di bagian punggung. Tokoh sakti ini serta merta mementalkan diri hingga melambung tinggi di udara, menjauhi Badiran Wasesa yang masih menyerang dengan hebat.
Di udara, Sanatana membuat gerakan jumpalitan dan dengan segera menanggalkan jubahnya yang sedang berubah menjadi kain lapuk, sebelum racun Ajian Cakaran Setan dari Neraka menjalar ke seluruh pakaiannya.
Dengan mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya dan dipusatkan ke telapak tangan kanan yang mengepal, Sanatana mulai merapal Ajian Suci Darah Bulan sambil menunggangi udara, menghindar dari cakaran Badiran Wasesa yang ganas.
Saat kakinya sudah kembali menapak tanah, Ajian Suci Darah Bulan sudah siaga di tangan Sanatana.
Sadar kalau lawannya hendak melancarkan serangan balasan, Badiran Wasesa tidak mau berlaku konyol. Sejenak dia berhenti menyerang dan menangkupkan kedua telapak tangan yang bercakar tajam. Perlahan tangan itu berubah menjadi merah serupa nyala api.
Badiran Wasesa ternyata sedang mempersiapkan Pukulan Bola-bola Iblis. Makin lama, bola api di dalam tangan Badiran Wasesa kian membesar. Saat bola api itu sudah sampai pada ukuran penuhnya, Badiran Wasesa mendorong kedua tangannya ke depan.
"Mampuslah kau, Sanatana!"
Seketika bola api itu melesat menuju ke arah Sanatana yang berdiri sigap dan siaga.
Saat bola-bola api yang diluncurkan Badiran Wasesa sudah sampai di pertengahan jarak, Sanatana memukulkan tangan kanannya yang mengepal ke udara.
Selarik sinar putih redup melesat tajam dari tangan Sanatana dan menghantam bola api besar itu.
BUUMMM!
Ledakan mahadahsyat menggelegar di puncak Gunung Bakaraya. Bumi bagai dilanda lindu. Sanatana terlempar ke belakang, menabrak batang-batang pohon sementara sosok Badiran Wasesa terjajar beberapa tindak sebelum jatuh bergulingan.
Tanah berhamburan di udara dan suara laksana guruh mengikuti kemudian. Gunung Bakaraya bergetar hebat, seolah sedang digoncangkan tangan gaib mahakuat.
Sanatana yang terluka di dalam berusaha menyelamatkan diri saat pohon-pohon mulai tercerabut tumbang, akar-akar pohon besar itu terjungkal ke atas. Di pihak lain, Badiran Wasesa yang sesak dadanya meneruskan bergulingan mencari selamat saat tanah di sekitarnya terasa bergerak dan rengkah.
Sejenak abu tebal yang disebabkan ledakan dahsyat itu menutupi pandangan. Saat luruhan tanah dan abu itu lenyap, pemandangan puncak Gunung Bakaraya tidak sama lagi seperti sebelumnya. Puncaknya nyaris rata. Tanah rengkah di banyak tempat dan pohon-pohon bertumbangan.
Gunung Bakaraya kehilangan puncaknya.
Sanatana berdiri tercengang memperhatikan keadaan di puncak gunung. Longsor dahsyat akibat beradunya dua tenaga dalam hebat telah membuat kehancuran abadi di puncak gunung itu.
Sanatana yang sedang teralihkan titik fokus dalam pikirannya, tidak menyadari akan datangnya serangan.
Wuut!
Bukk!
Sosok Sanatana terlempar ke udara setelah tendangan bertenaga dalam yang dilancarkan Badiran Wasesa secara diam-diam menghantam punggungnya.
"Badiran Wasesa makhluk pengecut!"
Sanatana mendamprat marah. Darah kental mengalir di sudut mulutnya. Luka dalam akibat bentrokan sebelumnya belum hilang, kini dia sudah diberi luka dalam tambahan.
Badiran Wasesa tertawa gelak-gelak. "Kali ini mampuslah!" teriaknya sambil mendorong kedua tangan ke depan untuk melepaskan pukulan Bola-bola Iblis kembali.
Bola-bola api besar kini melesat keluar dari tangan Badiran Wasesa, bergerak cepat menuju Sanatana.
"Hari ini, biar kukubur jasad dan semua kejahatan dalam hatimu di Bakaraya ini, Badiran Wasesa sesat!"
Tidak memedulikan luka dalamnya yang parah, Sanatana merapal Ajian Darah Bulan sekali lagi, kali ini dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Jika tadi dia melancarkan ajian itu dengan cara memukulkan kepalan tangan ke udara, kini Sanatana melakukannya dengan cara sedikit berbeda.
Dengan telapak terbuka, tangan kanan Sanatana seolah sedang membelah udara, bergerak cepat dari bawah ke atas.
Selarik sinar putih pipih dan panjang melesat keluar memgikuti arah gerak tangan kanan Sanatana. Sinar putih lengkung laksana bulan sabit itu meluru deras menuju dua bola api yang melesat kencang di udara.
"Pukulan Pedang Bulan!" pekik Badiran Wasesa dengan kuduk merinding.
Tokoh sesat itu terkesiap menyaksikan bagaimana sinar putih pipih itu membuyarkan arah lesatan dua bola api miliknya, yang semula bergerak lurus menuju Sanatana kini malah melenceng jauh setelah dilewati sinar putih pipih tersebut.
"Matilah!" seru Sanatana.
Sreet!
BUUMMM!
BUUMMM!
Lolong Badiran Wasesa terdengar mengerikan saat sosoknya terbelah dua oleh sinar putih pipih itu, dari kepala hingga kaki. Angin pukulan melempar dua bagian tubuh Badiran Wasesa saling menjauh. Satu ke arah Selatan dan yang lainnya menuju Utara, sebelum jatuh jauh menuju kaki gunung.
Sanatana terbanting keras ke tanah akibat ledakan hebat dua bola api yang dilepaskan Badiran Wasesa. Ia memang berhasil membuyarkan arah lesatan bola-bola api itu, tapi tidak sepenuhnya mampu menyapu bersih pukulan mematikan tersebut.
Tokoh silat golongan putih itu menggeletak di tanah, sosoknya tertutup abu ledakan. Untuk beberapa saat lamanya, dia terlihat bagaikan mati, sampai jari-jarinya tampak bergerak-gerak perlahan.
***
- Berlanjut ke Bab 2 -
Tersebutlah seorang bocah ajaib, putra perawan suci bernama Dasimah yang mengandung tanpa berhubungan badan dengan sebarang lelaki. Dasimah diasingkan selama masa mengandungnya yang singkat dan ajaib. Persalinannya lancar, atau demikianlah yang Dasimah yakini. Ia tidak sepenuhnya sadar selama masa persalinannya.Setelah mengandung selama tak lebih dari tujuh hari, Dasimah menjadi ibu bagi seorang putra yang mengenalkan dirinya sebagai Arya Tarachandra, ia mengaku sebagai putra titisan. Untuk mengetahui bagaimana Dasimah sampai bisa jadi perawan terpilih, kita akan berkunjung ke suatu hari bersejarah dalam hidup Dasimah, Sri Wedari, dan Arya Tarachandra sendiri ....Hari itu hujan rintik-rintik sedang mengguyur Dukuh Telagasari. Gerimis ini sudah berlangsung sejak pagi, dan tidak kunjung berubah menjadi hujan lebat hingga sore menjelang. Di beranda gubuk mereka, Dasimah sudah tidak bisa lagi menahan diri lebih lama. Tidak ada apa pun di dapur mereka ya
Di gubuknya, Sri Wedari tidak bisa duduk tenang lagi. Hari sudah sepenuhnya gelap, namun Dasimah tak kunjung pulang dari mencari umbi-umbian, padahal hujan sudah berhenti sejak senja turun. Wanita tua itu hilang sabar. Cemasnya sudah sampai ubun-ubun.Tidak menunggu lama, diraihnya obor dari tiang beranda gubuknya dan pergi tergesa-gesa. Sri Wedari tidak cukup berani untuk masuk hutan sendirian di tengah gelap malam begini rupa. Jadi ia memaksa beberapa pemuda dukuh untuk mengawaninya mencari Dasimah."Gila, tengah malam buta begini hendak ke hutan. Apa tidak bisa menunggu sampai esok pagi saja?""Ibunya Dasimah memang sudah gila sejak dulu.""Iya, kalau dia waras, pasti sudah sejak lama dia membiarkan salah satu dari kita mengawini Dasimah. Jadi mereka berdua tidak perlu pontang-panting setengah mati bekerja menghidupi diri.""Jangan-jangan Sri Wedari memang tidak mau Dasimah kawin dan dia ditinggal membusuk sendiria
Pada sisi Barat kaki Bukit Raya, terdapat sebuah telaga kecil berair jernih. Dari atasnya, air terjun setinggi pohon jati mencurah pelan dan lamat-lamat, menimbulkan bunyi gemericik sepanjang waktu. Suasana terasa sejuk bahkan di kala matahari sedang ganas-ganasnya. Ke sanalah Sri Wedari membawa Dasimah, konon untuk menjalani hukumannya.Hari itu juga, sebuah gubuk kecil dibangun warga dukuh di dekat telaga, atas keinginan Sri Wedari. Untuk permintaannya itu, Sri Wedari akan membayar dengan bekerja tanpa upah di sawah warga yang membantunya membuatkan gubuk pengasingan buat Dasimah.“Mengapa harus di sana, Sri Wedari? Dasimah akan menjalani hukuman di tempat biasa!” protes kepala dukuh saat Sri Wedari mengutarakan keinginannya.“Maksudmu, di kaki bukit sebelah Utara yang jauhnya hampir setengah harian perjalanan dari gubukku?” Sri Wedari melotot garang. “Di mana hati nuranimu, Jamitro! Kau buta tidak m
Dasimah yakin dirinya tidak salah mendengar. Sosok orang tua serba putih yang memperkenalkan dirinya sebagai Sanatana itu memberi tahu bahwa dirinyalah yang kini menumpang hidup di rahimnya. Terdengar begitu sulit untuk diterima akal sehat.“Apa aku sedang bermimpi?” Dasimah berkata lirih seolah bertanya pada dirinya sendiri.Jelmaan Sanatana itu tersenyum lagi. “Tidak, Cah Ayu. Kau tidak sedang bermimpi," jawabnya.“Saat ini aku memang belum nyata. Kau melihatku sebagai penjelmaan diriku sebelum menitis ke dalam rahimmu.”“Aku tidak mengerti, Ki ....”"Pada saatnya nanti kau akan mengerti dengan sendirinya, Cah Ayu. Sekarang, dengarkan aku baik-baik.”Dasimah berhenti bersuara. Seolah ada kuasa tak terlihat yang membungkam mulutnya dan membuat telinganya kian awas, saat sosok jelmaan di depannya bersabda.“Seratus tahun yang lalu, a
Bergegas, Sri Wedari turun dari dipan tempatnya tidur. Dengan tersaruk-saruk, wanita tua itu berusaha keluar dari gubuk. Suluh yang menyala kecil di tiang gubuknya bahkan tak mampu menerangi diri sendiri.Berdiri di tepi gubuknya, Sri Wedari mendongak langit. Rawung ternyata sudah menelan bulan seluruhnya. Yang tersisa hanya cincin samar di gelapnya langit.“Usir Rawung itu!”“Usir!”“Usir!”Teriakan warga makin riuh. Kentongan dipukul kian ribut. Bebunyian segala macam benda meningkahi di sela-sela keributan itu. Sri Wedari meraba-raba dan menemukan kentongan miliknya sendiri. Sejenak kemudian, ia mulai mengikuti warga dukuh lainnya untuk bersama-sama mengusir Rawung, dan memaksa raksasa marah itu memuntahkan kembali bulan yang sudah ditelannya.Warga dukuh percaya, Rawung takut pada ribut kentongan dan bubunyian. Jadi, Sri Wedari mulai ikut berteriak di sela-sela hajarannya pad
Perempuan itu kembali mencoba untuk meraih dan mengangkat bayinya, saat tiba-tiba si bayi mulai menendang-nendang pasungan Dasimah. Gerakan menendang-nendang si bayi pada pasungan seolah disengaja. Dasimah kembali dibuat tak percaya jika tidak menyaksikan sendiri. Tendangan si bayi sepertinya memiliki tenaga tambahan. Pada satu ketika, setelah kaki kecilnya menendang beberapa kali, kunci pasungan Dasimah tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terbelalak besar. Tak menunggu, segera disingkirkannya pasangan kayu pasungan sebelah atas agar ia bisa membebaskan kakinya. Dasimah merasa merdeka. Ia lega karena baru saja terlepas dari pasungan yang membelenggunya selama tujuh hari itu. Dasimah mengusap-usap kedua kakinya yang selama tujuh hari ini dipaksa terjulur kaku. Ia lega karena tidak merasakan sebarang sakit pada sepsang kakinya. Matanya lalu bersitatap dengan mata si bayi. Terbayang di kepala Dasimah akan kejadian malam pertama ia dipasung di gubuk, ketika sosok je
Nagri Jaya Dwipa, Delapan Tahun Sebelumnya .... Saat ini adalah hari pertama bulan ketiga di Nagri Jaya Dwipa. Gerimis tipis menyelimuti setiap sudut istana yang menjadi pusat pemerintahan nagri itu. Musim penghujan memang sedang melanda seluruh penjuru. Di balairung istana Diraja Nagri Jaya Dwipa, Raja Rajendra Sanjaya terlihat murung. “Panggil Lopita Zora dan suruh dia menghadapku segera!” Raja Rajendra Sanjaya yang tampak gelisah dan kurang tidur, memberi perintah pada pengawalnya. Yang diperintah segera saja mencari orang bernama Lopita Zora. Sosok molek seorang wanita muncul tak lama kemudian di balirung istana. Raja itu segera saja berucap, “Kupikir kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu ke sini, Lopita Zora. Wanita cantik molek yang dipanggil Lopita Zora, tersenyum penuh misteri. Dengan gerakan menggoda, ia mengibaskan sejumput rambut yang menutupi wajahnya. “Paduka, apakah ada kaitannya dengan aura wajahm
Dengan demikian, seluruh warga Dukuh Telagasari pun gempar mendengar pengumuman tersebut. Para orang tua berlari ke sana kemari, memanggil serta mencari anak laki-laki mereka yang telah berusia tujuh belas tahun atau lebih. Rata-rata mereka sedang bekerja di sawah, atau pun sedang mencari pakan untuk ternak. Perintahnya sudah jelas, agar para pemuda itu menghentikan kegiatan dan segera menghadap Patih Jayaprana. Dalam sekejap, lapangan tempat Jayaprana berada telah dipenuhi oleh puluhan pemuda yang akan menjadi calon prajurit Nagri Jaya Dwipa nantinya. Pandangan sang patih dengan tajam menyapu seluruh kerumunan pemuda di hadapannya. “Masih ada satu orang lagi yang belum datang! Segera ca