Mag-log inJalan pegunungan yang mereka lewati terjal dan sulit dilalui. Ditambah lagi kuda itu menanggung dua orang, tak lama kemudian kecepatannya pun menurun.Andini tampak cemas, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tak ada pengejar. Sementara pandangan Abimana jatuh pada sebuah batu nisan tak jauh di depan. Dia tersenyum samar dan berkata, "Kita sudah sampai di perbatasan Lembah Raja Obat. Tenang saja, para pembunuh itu nggak akan berani mengejar lebih jauh."Mengikuti arah pandangnya, Andini melihat tulisan "Lembah Raja Obat" di batu itu. Seketika hatinya merasa lega.Di bawah sinar bulan, dia memandang jalan di depan. "Di depan sana itu Lembah Raja Obat?""Mm."Suara Abimana yang rendah terdengar dari atas kepalanya. "Jalan terus 100 meter lagi, kita akan keluar dari hutan. Di sana akan ada beberapa pohon bunga persik. Meski sekarang bukan musimnya, di sekitar lembah itu, bunga persik selalu mekar sepanjang tahun.""Di bawah pohon ketiga, ada batu sebesar kepalan tangan. Di bawah
Malam itu tidak ada angin, tetapi dedaunan di hutan berdesir lembut. Andini terkejut, kemudian menurunkan suaranya dan berkata, "Jangan-jangan ada binatang buas di hutan?""Nggak mungkin." Abimana sudah berdiri sambil mencabut pedangnya, kemudian melangkah ke depan Andini, menariknya berdiri dan melindunginya di belakang. "Di sekitar Lembah Raja Obat, nggak ada makhluk hidup yang berani mendekat."Kalau bukan binatang buas, berarti ... pasti para pembunuh!Tiba-tiba terdengar suara tajam yang menembus udara. Beberapa anak panah meluncur dari dalam hutan dan menyerang mereka berdua.Abimana segera menarik Andini ke belakang, lalu mengayunkan pedangnya dan menangkis anak panah itu. Namun belum sempat berdiri tegak, belasan orang berpakaian hitam menerobos keluar dari balik pepohonan.Abimana menurunkan pandangan matanya, wajahnya menegang dan mengumpat pelan, "Sepanjang jalan nggak ada pasukan pengejar, rupanya mereka sudah menunggu di sini seperti pemburu menunggu mangsanya!"Dari kelom
Kresna jelas sempat mengucapkan sesuatu padanya.Tiba-tiba, suara Abimana terdengar. "Mungkin ... Ayah akan dipenjara."Mendengar itu, Andini tercengang. "Dipenjara?"Hanya itu?Abimana mengangguk mantap. "Benar. Si Gumar itu nggak benar-benar melihatmu. Bagaimana dia bisa memastikan kalau yang ada di dalam kereta itu kamu? Kalau dia nggak bisa memastikan, bagaimana mungkin Ayah bisa dijatuhi hukuman? Hal-hal lain pun nggak akan menyeret nama Keluarga Adipati."Bagaimanapun juga, nama Andini bahkan tak tercatat di silsilah Keluarga Biantara.Dulu Andini selalu menganggap Abimana hanyalah seorang pria kasar yang tidak bisa dipercaya ucapannya. Namun kali ini, setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu masuk akal. Anehnya, dia memercayainya sepenuhnya.Akhirnya, hati yang selama ini terus diliputi kecemasan perlahan tenang. "Kalau begitu, syukurlah."Dia menghela napas panjang, sudut bibirnya terangkat, menampilkan senyuman tipis yang bahkan tidak dia sadari sendiri.Abimana
Dua ekor kuda itu berlari tanpa henti selama sehari semalam. Akhirnya, mereka berhenti di sebuah kota kecil.Setelah Abimana mengatur tempat menginap untuk Andini, dia pergi mencari kandang kuda untuk menukar tunggangan mereka. Saat dia kembali ke penginapan, langit sudah sepenuhnya gelap.Awalnya dia mengira, setelah menempuh perjalanan sepanjang hari, Andini pasti sudah beristirahat. Namun, ternyata pintu kamarnya terbuka lebar, cahaya lilin menyala lembut di dalam, seolah-olah sedang menunggu seseorang.Melihat cahaya temaram yang menyorot keluar dari balik pintu itu, Abimana mengepalkan tangannya sebentar, menenangkan emosinya, lalu melangkah masuk."Kenapa belum tidur?" Suaranya rendah, berusaha terdengar biasa saja, seolah-olah tak ada yang terjadi.Andini sedang duduk di depan meja kecil berbentuk persegi. Di atasnya terhidang dua lauk dan satu mangkuk sup. Melihat Abimana datang, ekspresinya datar. "Aku menunggumu makan."Abimana mengangguk, lalu masuk ke kamar dan duduk. Makan
Dia ... tidak tahu pasti apa yang sedang dia rasakan saat ini. Yang dia tahu hanyalah hatinya terasa sangat berat, begitu berat hingga seolah-olah tenggelam ke dasar bumi.Entah sudah berapa lama waktu berlalu, akhirnya kereta kuda berhenti di sebuah hutan kecil.Begitu Andini menyingkap tirai kereta, dia langsung mendengar suara Laras. "Nona!"Tampak Laras berlari tergesa-gesa menghampirinya. Dia mengenakan pakaian yang biasa dipakai Andini sehari-hari, dengan gaya rambut yang juga dibuat serupa. Wajahnya penuh kekhawatiran dan cemas.Melihat penampilannya seperti itu, Andini langsung merasa khawatir. "Kamu berdandan seperti ini untuk menyamar jadi aku? Kamu mau mengalihkan pasukan?"Laras mengangguk kuat-kuat. "Guru bilang hanya dengan cara ini, hamba bisa melindungi Nona dengan lebih baik!""Nggak boleh!" Tanpa berpikir panjang, Andini langsung menolak. Dia tahu betul, Arifa juga memakai pakaiannya tadi, menyamar sebagai dirinya. Arifa menahan Pasukan Pengawal Istana agar dia bisa m
Melihat situasi itu, Gumar segera berteriak, "Hentikan kereta kuda itu! Cepat!"Dalam sekejap, beberapa Pasukan Pengawal Istana berlari datang. Jumlah mereka jauh melebihi pihak Kresna. Dalam waktu singkat, mereka sudah membentuk pengepungan ketat, menekan dari segala arah. Namun, mereka tidak langsung maju untuk menyerang.Kedua belah pihak mendadak terjebak dalam kebuntuan. Kresna dan orang-orangnya menjadikan kereta kuda sebagai pusat perlindungan, berhadapan dengan Pasukan Pengawal Istana. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, aura dan semangat tempur dari pihak Kresna sama sekali tidak kalah.Gumar yang sebelumnya sempat beradu pedang dengan Kresna tampak tenang di luar. Namun, hanya dia yang tahu bahwa pergelangan tangannya kini nyaris mati rasa karena sakit.Dia pernah mendengar bahwa Kresna di masa mudanya adalah seorang jenderal pemberani yang tak terkalahkan. Namun, sejak masuk ke pemerintahan, sikapnya tampak rendah hati dan penuh kehati-hatian, membuat Keluarga Adipati mero







