Share

Chapter 4 : Tidak Dengan Cara Ini.

"Wanita itu--"

"Wanita itu adalah ibu anda, Nona," potong Dion tanpa memandang Bia yang duduk di sampingnya.

Tiga puluh lima menit yang lalu, Bia menyerahkan diri secara suka rela. Bia memilih ikut bersama dengan Dion untuk pergi memenuhi panggilan dari ratu Sindari, Karina.

"Ya benar, seorang ibu yang berulang kali mengatakan telah menyesal karena telah melahirkanku," tegas Bia membalas. Masih ingat jelas ucapan Karina yang begitu melukai hatinya. Bia hanyalah aib sang ibu.

"Itu karena Nona yang selalu membantah perintah dari Nyonya."

Balasan Dion membuat Bia melirik dan tersenyum kecut.

"Kamu benar-benar anjing yang patuh," sarkas Bia.

Awalnya ingin berunding dengan Dion soal foto-fotonya yang tersebar. Namun, sepertinya Bia harus mengurungkannya.

Lihat saja, sejak tadi Dion bahkan tidak memandang ke arahnya.

Meski setiap kali bertemu mereka saling melempar tatapan dan ucapan dingin. Akan tetapi, Bia yakin di sudut hati mereka ... ada perasaan rindu, kerinduan dengan harapan mereka bisa seperti dulu lagi.

Yah, walau Dion pernah mengatakan ... masa lalu itu hanya kenangan yang kekanak-kanakan. Tidak perlu diingat dengan perasaan.

"Tidak apa-apa, suatu hari nanti. Aku akan tahu apa yang membuat dia memilih untuk menjadi anjing patuh Sindari," bisik Bia dalam hati.

Mata bulat itu pun terus mengekori Dion yang baru turun dari mobil. Mereka telah sampai dan sekarang, sudah saatnya Bia menyiapkan mental untuk menghadapi amukan sang ibu.

"Silakan Nona," ujar Dion yang telah membukakan pintu mobil.

Bia pun turun dan berjalan angkuh ke dalam rumah megah yang tidak pernah bisa ia rasakan kehangatan keluarga di sana. Bahkan, sejak dulu hanya melihat gerbang rumah saja sudah membuat Bia kehilangan selera.

Hm?

Bia berhenti tanpa memutus pandangannya ke depan. Tanpa berkedip, memandang Karina yang sudah menunggunya di ruang tamu.

Karina berdiri dengan tatapan penuh kebencian. Di tangan kiri, Karina sudah memegang beberapa lembar kertas yang mungkin sudah bisa Bia tebak apa itu.

"Apa kamu ingat?" ujar Bia pada Dion yang baru saja ingin melewatinya. "Sejak dulu, tidak pernah ada sambutan hangat dari wanita itu untukku," lanjutnya, kemudian kembali berjalan. Mengacuhkan Dion yang mengekori beberapa langkah di belakangnya.

Meski kecewa mengisi hati. Namun jauh disudut hatinya, Bia tetap terpukau dengan Karina. Ibunya sudah hampir menginjak usia lima puluh tahun, tetapi wajahnya tetap terlihat berkharisma. Apalagi, gaya berpakaiannya yang selalu terlihat elegan. Padahal Karina meski hanya memakai gaun hitam yang sederhana.

Semakin jarak terkikis, semakin tajam Karina menatap Bia. Potongan celana jeans dengan motif tersayat sobek di bagian paha, dipadukan dengan baju hitam ketat dengan tali spaghetti dan rambut yang terikat asal ... gaya busana itu, semakin memancing ketidaksukaan Karina pada Bia.

Bagi Karina, wanita harus memakai pakaian elegan, rapi dan sopan. Bukan yang selama ini Bia kenakan, tidak selaras, vulgar bahkan bentuknya terkadang aneh.

"Apa ibu--"

Plak!

Tamparan keras Karina berikan untuk anak bungsunya. Ruangan yang hening semakin terasa mencekam. Bahkan Dion yang tidak mengira akan seperti itu pun hanya bisa membelalakan mata.

Anak dan ibu di sana memang selalu beradu argumen, tetapi selama ini baik Karina ataupun Bia, mereka tidak pernah memakai kekerasan.

Mungkin, kali ini kesalahan Bia sudah melewati batas? Atau mungkin, kesabaran Karina telah mencapai batasnya.

"Kamu benar-benar sudah tidak waras, Bia!" Lembaran berkas pun dihempaskan keras ke wajah Bia. "Kamu sungguh ingin merusak Sindari, hah?!"

Bia bergeming, sama sekali tidak membuyarkan pandangannya dari Karina yang murka.

"Apa hanya itu yang bisa ibu pikirkan?"

Plak!

Satu tamparan lagi diterima Bia. Kali ini Bia menunduk, menatap foto-foto dirinya yang berserakan di lantai.

"Kalau kamu sungguh ingin merusak--"

"Ya, ibu benar. Aku sangat ingin melihat kehancuran dari satu-satunya hal yang sangat ibu banggakan," sela Bia dengan tegas. Kedua tangannya terkepal erat bersamaan dengan tatapan yang sama seperti Karina, tajam dan berani.

Akhirnya, Karina yang selalu bersikap elegan pun murka dengan tingkah sang anak. Ini yang sejak dulu Bia tunggu, tetapi jujur saja tidak dengan cara ini.

"Jangan menangis!" seru Bia di hati. Menguatkan diri agar tidak terlihat rapuh di depan sang ibu.

Karina mendengus sambil memalingkan wajah. "Kamu benar-benar bukan keturunanku!"

Bia tersenyum miris. Lagi-lagi sang ibu mengatakan itu. Padahal sejak kecil, ia hanya menginginkan kasih sayang dan kehangatan dari seorang ibu. Bukan fasilitas dan kekuasaan dari seorang pemimpin Sindari.

"Bukankah foto-foto ini sudah cukup menjelaskan, kalau aku memang bukan keturuanmu?"

"Cukup, Bia."

Suara bariton yang menggema membuat Bia menoleh ke tangga. Adnan Bastian Sindari turun sambil membenarkan kancing jasnya. Anak pertama sekaligus satu-satunya anak laki-laki dari Karina. Pun calon pewaris Sindari yang selalu dibanggakan Karina.

"Ah, apa anak kesayangan nyonya Karina juga ingin ikut menghukumku?" tanya Bia dengan nada sarkas.

Adnan tersenyum seraya terus mendekati dua wanita yang sedang diselimuti amarah di sana. "Untuk apa aku menghukum adik sendiri?" balasnya.

Jawaban yang membuat Bia mendengus dan tersenyum kecut. Lucu, sangat lucu ... sejak ia kecil, baru kali ini Adnan memanggilnya dengan sebutan adik.

"Adikku tersayang, kamu tidak mau memelukku, hm?" ujar Adnan yang justru mendapat delikan tajam dari dua wanita di depannya.

Pria tiga puluh lima tahun itu tertawa renyah, seolah kemarahan keluarganya adalah hal yang sangat lucu baginya.

"Kamu baru saja sampai, kenapa tidak istirahat?" ucap Karina. Nada suara yang benar-benar berbeda ketika berbicara dengan Bia.

"Nah, bagaimana bisa aku istirahat." Adrian menoleh dan tersenyum pada sang ibu. "Sedangkan adik dan ibu tersayangku sedang bertengkar seperti ini."

"Ck!" Bia berdecak, rasanya mual mendengar keramahtamahan antara anak dan ibu itu. "Kalau tidak ingin ada yang dibicarakan lagi, silakan lanjutkan reuni mengharukan kalian. Permisi," ejek Bia, kemudian berbalik pergi dari sana. Hatinya benar-benar muak melihat drama keluarga Sindari.

Baru dua langkah, suara Adnan kembali menghentikan Bia.

"Kalau ini maumu, lakukanlah."

"Adnan! Bicara apa kamu?" seru Karina langsung menyambar.

Karina tahu apa yang sedang dibicarakan Adnan, bahkan Kepulangan sang kakak pun karena munculnya berita tentang Bia.

"Selama aku masih bernafas, tidak akan aku izinkan ada yang menyentuh pekerjaan menjijikkan itu!" lanjut Karina, sia-sia saja meredakan amarah. Ucapan Adnan kembali menyalakan api di hatinya.

"Hah, menjijikkan?" ulang Bia, tubuhnya kembali berbalik. Memandang Adnan dengan sinis. "Kamu dengar itu?" lanjutnya.

Bia diam beberapa detik, lalu tertawa hambar. Ide gila Aretha terngiang di kepalanya.

"Aku akan menerima tawaranmu, Adnan," tutur Bia.

"Bia!" teriak Karina, tangan kanannya sudah melayang ingin menampar kembali putri bungsunya. Beruntung, Adnan segera menghentikan sang ibu.

Melihat apa yang dilakukan Karina dan Adnan, Bia hanya bisa memberikan senyum tercantiknya. Senyum untuk menutupi rasa sesak di dada.

Rasa hangat yang menjalar perih itu memang dari awal sudah menggoda dirinya. Jika saja Bia tidak bisa menguatkan hati, mungkin ia sudah menangis seperti anak kecil sejak tadi. Bia hanya berharap, ia bisa membenci Karina sepenuh hati.

Karina pun menghentakkan tangan yang ditahan Adnan. "Kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi. Ingat itu!" murkanya, kemudian berbalik dan pergi meninggalkan putra putrinya.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status