"Wanita itu--"
"Wanita itu adalah ibu anda, Nona," potong Dion tanpa memandang Bia yang duduk di sampingnya.Tiga puluh lima menit yang lalu, Bia menyerahkan diri secara suka rela. Bia memilih ikut bersama dengan Dion untuk pergi memenuhi panggilan dari ratu Sindari, Karina."Ya benar, seorang ibu yang berulang kali mengatakan telah menyesal karena telah melahirkanku," tegas Bia membalas. Masih ingat jelas ucapan Karina yang begitu melukai hatinya. Bia hanyalah aib sang ibu."Itu karena Nona yang selalu membantah perintah dari Nyonya."Balasan Dion membuat Bia melirik dan tersenyum kecut."Kamu benar-benar anjing yang patuh," sarkas Bia.Awalnya ingin berunding dengan Dion soal foto-fotonya yang tersebar. Namun, sepertinya Bia harus mengurungkannya.Lihat saja, sejak tadi Dion bahkan tidak memandang ke arahnya.Meski setiap kali bertemu mereka saling melempar tatapan dan ucapan dingin. Akan tetapi, Bia yakin di sudut hati mereka ... ada perasaan rindu, kerinduan dengan harapan mereka bisa seperti dulu lagi.Yah, walau Dion pernah mengatakan ... masa lalu itu hanya kenangan yang kekanak-kanakan. Tidak perlu diingat dengan perasaan."Tidak apa-apa, suatu hari nanti. Aku akan tahu apa yang membuat dia memilih untuk menjadi anjing patuh Sindari," bisik Bia dalam hati.Mata bulat itu pun terus mengekori Dion yang baru turun dari mobil. Mereka telah sampai dan sekarang, sudah saatnya Bia menyiapkan mental untuk menghadapi amukan sang ibu."Silakan Nona," ujar Dion yang telah membukakan pintu mobil.Bia pun turun dan berjalan angkuh ke dalam rumah megah yang tidak pernah bisa ia rasakan kehangatan keluarga di sana. Bahkan, sejak dulu hanya melihat gerbang rumah saja sudah membuat Bia kehilangan selera.Hm?Bia berhenti tanpa memutus pandangannya ke depan. Tanpa berkedip, memandang Karina yang sudah menunggunya di ruang tamu.Karina berdiri dengan tatapan penuh kebencian. Di tangan kiri, Karina sudah memegang beberapa lembar kertas yang mungkin sudah bisa Bia tebak apa itu."Apa kamu ingat?" ujar Bia pada Dion yang baru saja ingin melewatinya. "Sejak dulu, tidak pernah ada sambutan hangat dari wanita itu untukku," lanjutnya, kemudian kembali berjalan. Mengacuhkan Dion yang mengekori beberapa langkah di belakangnya.Meski kecewa mengisi hati. Namun jauh disudut hatinya, Bia tetap terpukau dengan Karina. Ibunya sudah hampir menginjak usia lima puluh tahun, tetapi wajahnya tetap terlihat berkharisma. Apalagi, gaya berpakaiannya yang selalu terlihat elegan. Padahal Karina meski hanya memakai gaun hitam yang sederhana.Semakin jarak terkikis, semakin tajam Karina menatap Bia. Potongan celana jeans dengan motif tersayat sobek di bagian paha, dipadukan dengan baju hitam ketat dengan tali spaghetti dan rambut yang terikat asal ... gaya busana itu, semakin memancing ketidaksukaan Karina pada Bia.Bagi Karina, wanita harus memakai pakaian elegan, rapi dan sopan. Bukan yang selama ini Bia kenakan, tidak selaras, vulgar bahkan bentuknya terkadang aneh."Apa ibu--"Plak!Tamparan keras Karina berikan untuk anak bungsunya. Ruangan yang hening semakin terasa mencekam. Bahkan Dion yang tidak mengira akan seperti itu pun hanya bisa membelalakan mata.Anak dan ibu di sana memang selalu beradu argumen, tetapi selama ini baik Karina ataupun Bia, mereka tidak pernah memakai kekerasan.Mungkin, kali ini kesalahan Bia sudah melewati batas? Atau mungkin, kesabaran Karina telah mencapai batasnya."Kamu benar-benar sudah tidak waras, Bia!" Lembaran berkas pun dihempaskan keras ke wajah Bia. "Kamu sungguh ingin merusak Sindari, hah?!"Bia bergeming, sama sekali tidak membuyarkan pandangannya dari Karina yang murka."Apa hanya itu yang bisa ibu pikirkan?"Plak!Satu tamparan lagi diterima Bia. Kali ini Bia menunduk, menatap foto-foto dirinya yang berserakan di lantai."Kalau kamu sungguh ingin merusak--""Ya, ibu benar. Aku sangat ingin melihat kehancuran dari satu-satunya hal yang sangat ibu banggakan," sela Bia dengan tegas. Kedua tangannya terkepal erat bersamaan dengan tatapan yang sama seperti Karina, tajam dan berani.Akhirnya, Karina yang selalu bersikap elegan pun murka dengan tingkah sang anak. Ini yang sejak dulu Bia tunggu, tetapi jujur saja tidak dengan cara ini."Jangan menangis!" seru Bia di hati. Menguatkan diri agar tidak terlihat rapuh di depan sang ibu.Karina mendengus sambil memalingkan wajah. "Kamu benar-benar bukan keturunanku!"Bia tersenyum miris. Lagi-lagi sang ibu mengatakan itu. Padahal sejak kecil, ia hanya menginginkan kasih sayang dan kehangatan dari seorang ibu. Bukan fasilitas dan kekuasaan dari seorang pemimpin Sindari."Bukankah foto-foto ini sudah cukup menjelaskan, kalau aku memang bukan keturuanmu?""Cukup, Bia."Suara bariton yang menggema membuat Bia menoleh ke tangga. Adnan Bastian Sindari turun sambil membenarkan kancing jasnya. Anak pertama sekaligus satu-satunya anak laki-laki dari Karina. Pun calon pewaris Sindari yang selalu dibanggakan Karina."Ah, apa anak kesayangan nyonya Karina juga ingin ikut menghukumku?" tanya Bia dengan nada sarkas.Adnan tersenyum seraya terus mendekati dua wanita yang sedang diselimuti amarah di sana. "Untuk apa aku menghukum adik sendiri?" balasnya.Jawaban yang membuat Bia mendengus dan tersenyum kecut. Lucu, sangat lucu ... sejak ia kecil, baru kali ini Adnan memanggilnya dengan sebutan adik."Adikku tersayang, kamu tidak mau memelukku, hm?" ujar Adnan yang justru mendapat delikan tajam dari dua wanita di depannya.Pria tiga puluh lima tahun itu tertawa renyah, seolah kemarahan keluarganya adalah hal yang sangat lucu baginya."Kamu baru saja sampai, kenapa tidak istirahat?" ucap Karina. Nada suara yang benar-benar berbeda ketika berbicara dengan Bia."Nah, bagaimana bisa aku istirahat." Adrian menoleh dan tersenyum pada sang ibu. "Sedangkan adik dan ibu tersayangku sedang bertengkar seperti ini.""Ck!" Bia berdecak, rasanya mual mendengar keramahtamahan antara anak dan ibu itu. "Kalau tidak ingin ada yang dibicarakan lagi, silakan lanjutkan reuni mengharukan kalian. Permisi," ejek Bia, kemudian berbalik pergi dari sana. Hatinya benar-benar muak melihat drama keluarga Sindari.Baru dua langkah, suara Adnan kembali menghentikan Bia."Kalau ini maumu, lakukanlah.""Adnan! Bicara apa kamu?" seru Karina langsung menyambar.Karina tahu apa yang sedang dibicarakan Adnan, bahkan Kepulangan sang kakak pun karena munculnya berita tentang Bia."Selama aku masih bernafas, tidak akan aku izinkan ada yang menyentuh pekerjaan menjijikkan itu!" lanjut Karina, sia-sia saja meredakan amarah. Ucapan Adnan kembali menyalakan api di hatinya."Hah, menjijikkan?" ulang Bia, tubuhnya kembali berbalik. Memandang Adnan dengan sinis. "Kamu dengar itu?" lanjutnya.Bia diam beberapa detik, lalu tertawa hambar. Ide gila Aretha terngiang di kepalanya."Aku akan menerima tawaranmu, Adnan," tutur Bia."Bia!" teriak Karina, tangan kanannya sudah melayang ingin menampar kembali putri bungsunya. Beruntung, Adnan segera menghentikan sang ibu.Melihat apa yang dilakukan Karina dan Adnan, Bia hanya bisa memberikan senyum tercantiknya. Senyum untuk menutupi rasa sesak di dada.Rasa hangat yang menjalar perih itu memang dari awal sudah menggoda dirinya. Jika saja Bia tidak bisa menguatkan hati, mungkin ia sudah menangis seperti anak kecil sejak tadi. Bia hanya berharap, ia bisa membenci Karina sepenuh hati.Karina pun menghentakkan tangan yang ditahan Adnan. "Kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi. Ingat itu!" murkanya, kemudian berbalik dan pergi meninggalkan putra putrinya.Bersambung ....Sudah pukul sebelas malam, Bia berjalan lelah menuju lift di sana. Membuka satu persatu benda yang membuat wajahnya tersembunyi seharian ini.Masuk ke dalam lift, tangan yang menggenggam topi dan masker itu menekan angka sepuluh. Lantai di mana apartemen Bia berada. Menyandarkan punggung, Bia menghembuskan napas sambil memandang langit lift.Merasakan ayunan kotak besi yang perlahan mulai naik. Bia teringat perasaan beberapa jam lalu, melihat toko SunnyDay dengan kepala matanya sendiri benar-benar membuat hatinya perih.Toko itu masih dalam perbaikan. Kerusakan yang cukup parah menurut Bia, sampai Aretha harus mengosongkan tokonya."Kenapa kamu memilih untuk diam?" gumam Bia.Tidak habis pikir, sejak dulu Aretha lebih memilih untuk menyembunyikan masalahnya sendiri. "Lalu, apa gunanya aku?" lanjut Bia berbisik dalam hati. "Bukankah kita berjanji untuk selalu bersama?"Ting! Denting lift bergema, tanda bahwa Bia sudah sampai pada lantai tujuan.Melangkah lunglai ke luar, melewati satu
Rumah besar nan cantik. Bia kembali menginjakkan kakinya ke sana. Berjalan dengan tatapan mengintimidasi, panas kesal di hatinya pun kian membesar. Tidak ada keinginan dari Bia untuk meredupkannya."Nona?""Jangan ikut campur," balas Bia ketus, melewati sekretaris sekaligus pengurus mansion Sindari.Pria itu terlihat cukup terkejut dengan kedatangan Bia yang tiba-tiba. Sudah pasti tidak ada yang mengira anak terusir itu akan datang secepat ini."Nona, saat ini bukan waktu yang--""Cukup. Aku tidak butuh saranmu!" potong Bia tanpa mengubah pandangan yang tertuju pada sebuah pintu kayu berukiran indah delapan meter di depannya.Melewati tempat yang menjadi kenangan atas pengusirannya dari rumah. Bia menggerutu sebal dalam hati, bahkan kepalanya tidak lelah memutar gambar-gambar kenangan kejam itu."Nona, Tuan--"Bia menghentikan kakinya tiba-tiba lalu menajamkan mata memandang pria yang juga ikut memandangnya. "Aku menghargai saranmu, tetapi aku datang ke sini bukan sebagai tamu yang ha
"Bi, apa Aretha tidak mengatakan padamu? SunnyDay dihancurkan oleh sekelompok orang tidak dikenal." Hah? Bia sontak menghentikan kaki-kakinya. Memandang lekat dua mata yang posisinya sedikit lebih tinggi. “Dihancurkan? Oleh siapa?" Bia menggeleng cepat. "Ah, maksudku, kapan kejadiannya?” tanyanya, kebingungan benar-benar sedang meneror hati dan pikirannya. “Kau ingat, malam saat kamu pindah ke apartemen? Selepas dari sana, aku mengantarkan dia kembali dan tokonya, sudah hancur berantakan.” Bia tergugu lemas. Apa ... ini, sungguhan? Bagaimana bisa ia baru mendengar hal mengejutkan ini sekarang? Kemarin Aretha mengunjunginya seolah tidak terjadi apapun, bahkan temannya itu malah menghiburnya. “Sahabat macam apa aku ini? Lagi-lagi hal buruk terjadi pada Aretha,” batin Bia. “Kamu, sudah menyelidikinya?” tanya Bia, kembali melangkahkan kakinya.
“Kamu mau berbicara banyak tentang apa saja yang terjadi di sini ‘kan? Dan tentang skandalmu itu ... aku ingin membantumu membersihkan namamu kembali,” ujar Vian, kemudian menarik sebuah pintu besi.Menoleh ke sekeliling, memastikan keadaan aman sebelum dirinya masuk. Vian pun membawa Bia ke salah satu ruangan yang hanya diisi dengan tangga-tangga.“Kemari.” Vian memposisikan Bia membelakangi tangga. “Sekarang katakan, apa yang mau kamu bicarakan?”Bia membuka masker hidung beruangnya. Mengatur napas yang terengah karena menyesuaikan langkah besar Vian.“Skandalku, apa kamu mendengar sesuatu dari Deri atau yang lain tentang itu?” ucap Bia memulai interogasinya.“Maksudmu?” tanya Vian kurang mengerti. Semua orang di kota ini tentu tahu tentang skandal Bia.“Ah, maksudku ... mendengar bagaimana mereka menyelesaikan skandalku.” Bia mengusap kasar wajahnya. Terlalu banyak yang ingin di dengar, sampai bingung untuk mengutarakannya.Vian diam dengan kening yang dikerutkan. Ia berpikir, baga
Bibir tebal yang tersorot matahari itu terliat semakin padat. Kulit putih bersih dan bulu mata yang tumbuh dengan pas, membuat manik sehitam malam itu terlihat semakin tegas. Kenzie Alexander Riley menatap tajam ke luar gedung. Kedua tangannya saling bertautan di belakang punggung. “Hebat sekali wanita itu. Sindari memang selalu pandai membuat rugi orang lain,” ujar Kenzie. Rahangnya mengeras, tidak suka dengan laporan yang dikirimkan sekretarisnya satu jam lalu.“Dia hanya melakukan yang dia bisa, untuk melindungi dirinya,” sahut Noah, kemudian duduk di atas armrest sofa gelap di sana.Kenzie berbalik dan memandang tidak suka pada sahabat yang tersenyum cerah kepadanya. “Akhir-akhir ini kamu dan Deri sering membelanya?” sindirnya, kemudian berjalan kembali dan duduk di kursi kerja. “Wanita itu telah menguras kantongku, kamu seharusnya cemas. Jika uangku menipis, maka uang jajanmu juga menipis.”“Hei, tidak bisakah kamu melupakan uang saat kita sedang berdiskusi? Atau setidaknya jang
"Aku tidak bisa diam saja. Ar, maaf. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menjadi wanita polos dan baik hati!" Aretha terdiam memandang Bia yang terlihat menahan emosi. Ada alasan mengapa wanita itu ingin Bia menjadi karakter yang berbeda. Selama ini Bia selalu menantang langsung siapapun yang membuatnya tidak senang. Sikap keras kepala dan berani Bia bahkan membuat Karina murka. Aretha tidak ingin karir Bia hancur seperti yang lalu. Bekerja di mana pun, Bia akan dipecat hanya dalam hitungan hari. Mungkin memang benar, darah itu lebih kental daripada air dan mungkin Bia sendiri tidak sadar, bahwa sifatnya benar-benar sama dengan para Sindari yang lain. Apalagi saat ini, sahabatnya itu bekerja di tempat yang akan selalu dipantau oleh mata sosial. Kesalahan sedikit saja akan langsung mengundang banyak pro dan kontra. Namun, sejak awal Bia sudah berusaha keras menjaga citra dirinya ... tetapi tetap saja, kejadian seperti ini terus muncul seolah Bia memang salah. Bia tidak seharusnya