Share

Little Red Riding Hood

El menyeret sepasang kakinya yang telanjang dengan mata setengah terpejam ke ruang tengah. Ia merasa sesuatu yang asing dan lengket menempel di telapak kakinya. Detik itu juga El segera berjinjit. Sayang, karena kesadarannya belum kembali sepenuhnya, ia berdiri sempoyongan hingga tubuhnya mundur beberapa langkah. Kepalanya kemudian membentur pintu kamar.

            “Aaaw!!!” El mengusap kuncirannya yang hampir lepas itu kuat-kuat. Benturan itu membuat kepalanya lumayan sakit dan berhasil membuat nyawa El terkumpul sempurna. Saat matanya membulat penuh, mulut El juga menganga lebar. Di tengah terang benderang lampu, ia bisa melihat jelas dua cup mi instan yang berkuah kuning dan menjijikkan tergeletak di atas meja. Karpet bulu yang menjadi alas meja bergeser tak keruan. Sementara cushion sudah jatuh berserakan.

Lalu, ada … jejak-jejak kaki besar berwarna cokelat yang mengotori lantai kesayangannya. Lantai marmer yang dipilih oleh El sendiri tiga tahun lalu. Lantai yang harganya lebih mahal dari mobil Harlan. Lantai yang sekarang kotor karena….

El langsung mengangkat kakinya yang lengket dan menyadari kalau jejak telapak kaki itu adalah jejak kakinya sendiri. Kakinya yang menginjak ... tumpahan susu dari botol cokelat yang tergeletak pasrah di dekat jendela, di atas ... karpet bulu-bulu itu. Air cokelat menjijikkan itu mengalir seperti sungai hingga ke depan pintu kamar El.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarggghhhh!”

Pagi itu segera menjadi pagi terburuk selama El hidup di apartemen ini.

v

            Sudah hampir pukul enam pagi. Ruangan ini masih gelap dan sepi. Laki-laki aneh itu sepertinya belum bangun dan manajernya yang selalu tersenyum juga tidak tampak. Setelah terbangun malam tadi, Aby sama sekali tidak bisa tidur. Ia terus memandangi langit-langit dengan kedua telinga yang tersumbat headset. Membolak-balik tubuhnya tanpa henti sampai tadi. Sampai rasa pening dan lapar membuatnya terpaksa bangkit dari sofa paling empuk yang pernah didudukinya itu.

Aby mendesah berat saat ia tak menemukan apa pun di dalam lemari es yang jauh lebih tinggi darinya itu selain cokelat, roti, dan air putih. Buat apa kulkas sebesar ini kalau sebungkus mi instan pun tidak ada?

            Aby memijat tengkuknya sambil memikirkan benda apa yang bisa ia masukkan ke mulutnya untuk membuat rasa sakit dan berisik di perutnya itu menghilang. Tidak tidur semalaman dan tidak makan apa pun membuat tubuhnya mulai berontak. Setelah menenggak kandas air putih di dalam gelas kristal itu, ia lalu mengambil dompet dan menyambar jaket merahnya.

            Matanya langsung menyipit begitu ia keluar dan menginjakkan kakinya di pelataran apartemen itu. Cahaya matahari yang masih kekuningan hangat menerpa wajahnya. Aby buru-buru memasang capuchon jaket ke kepalanya. Aby tak begitu suka cahaya dan juga warna terang.

 Aby celingukan dan sadar kalau sepagi ini banyak sekali orang yang beraktivitas. Karwayan kantor yang berjalan tergesa-gesa dengan tumpukan dokumen di tangan kanan dan tas selempang yang dipasang asal-asalan nyaris menabraknya. Satpam yang masih setengah mengantuk di pos penjagaan tampak memandangi Aby penuh selidik, membuat Aby mempercepat langkahnya.

Apartemen yang asing. Seorang laki-laki berambut pirang yang asing. Jalanan yang asing. Aby butuh waktu hampir dua puluh menit untuk menemukan sebuah swalayan 24 jam di ujung jalan. Setelah membeli dua cup mi instan dan sebotol besar susu cokelat, ia segera kembali ke apartemen El. 282828. Harlan memberi tahu password itu padanya kemarin sore.

Setelah menuang air panas pada dua cup mi instan, Aby lalu meletakkannya di atas meja, mengambil botol susu, membukanya dengan cepat, dan meneguk seperempat isinya hanya dalam waktu beberapa detik saja. Aby kemudian membuka tirai dan membuang padangannya dari lantai lima itu ke bawah. Ke jalanan yang mulai ramai dilewati oleh orang-orang.

Wajah Aby yang datar dan dingin sempat membentuk senyuman beberapa detik saat melihat laki-laki bertopi hitam hampir menabrak tiang listrik karena sibuk bermain ponsel. Segerombolan anak sekolah berseragam putih abu-abu kemudian melintas. Mereka terlihat mengobrol seru, saling dorong, kemudian tertawa. Aby menarik napas panjang. Kapan terakhir kali Aby pergi ke sekolah? Mungkin setahun yang lalu, saat awal tahun ajaran. Itu hanya satu bulan sejak Aby masuk SMA. Aby tidak punya teman-teman yang bisa membuatnya tertawa sekeras itu. Selain duduk sendirian di pojok kelas dengan teman-teman yang selalu menganggapnya aneh, guru-guru dan pelajaran yang tak disukai, Aby tidak punya ingatan lain tentang sekolah. Baginya, sekolah hanyalah tempat orang tua menitipkan anak-anak karena mereka tidak punya waktu untuk mengurusnya sendiri. Aby tidak membenci sekolah. Tapi, tidak harus pergi ke sekolah membuat Aby merasa lebih baik.

Aby hendak berbalik ke meja untuk memastikan minya sudah cukup lunak untuk dimakan. Aroma bumbu sudah menyebar hampir ke seluruh ruangan dan memaksa sel-sel di kepala Aby untuk bergerak lebih cepat menyantapnya. Gadis itu baru saja mengalihkan pandangannya ke meja saat ia menangkap sosok yang terlihat begitu familier di bawah sana. Seorang wanita berblazer cokelat muda yang tampak mondar-mandir seperti seseorang yang takut tertangkap basah ada di tempat itu. Kalau saja wanita itu tidak melihat ke jendela tempat Aby berdiri dan menemukan matanya, Aby mungkin tak akan seterkejut ini. Sepersekian detik, dan itu sudah cukup bagi Aby untuk menyadari kalau wanita itu adalah ... Joanna.

“Mama…” desis Aby tertahan. Kecurigaan Aby bertambah saat wanita itu buru-buru menunduk dan melangkah dengan cepat, menghilang dari pandangan Aby. Seperti kesetanan, Aby sudah tak sempat berpikir tentang apa pun lagi. Ia tak peduli dengan botol susu yang terjatuh di bawah kakinya. Ia juga tidak peduli lagi dengan mi yang mengembang dua kali lipat dari ukuran sebelumnya. Aby segera mengambil ponsel dan berlari keluar, masih dengan tubuh berbalut jaket merah yang belum sempat dilepasnya.

Dengan slipper putih, kaki kecilnya berlari. Melewati gerbang dan tatapan curiga satpam. Aby langsung menuju jalan kecil di sisi kanan apartemen. Jalanan itu ramai. Napasnya tersengal, membuat dadanya naik turun. Aby berhenti, memegangi lututnya, celingukan, dan memanjangkan lehernya ke sana-sini. Sayangnya, ia tetap tak menemukan sosok itu.

Dalam keadaan panik dan kebingungan, hal terakhir yang bisa ia lakukan adalah menekan tombol dua di ponsel. Tombol panggilan cepat mamanya. Lima kali ia mencoba panggilan itu, tapi tak ada suara mamanya di sana. Hanya operator yang semakin meyakinkan Aby kalau yang ia lihat tadi memang mamanya. Tapi, bagaimana bisa wanita itu ada di sini? Bukankah seminggu setelah mengantarkan Aby ke Rumah Cinta, mamanya sudah berangkat ke Selandia Baru bersama Philip? Aby percaya itu. Ia bahkan melihat paspor dan tiket pesawat itu dengan mata kepalanya sendiri. Lantas, apa yang baru ia lihat tadi?

Dengan perasaan penasaran yang tak menentu, setengah jam setelah ia memasukkan lagi ponsel itu ke dalam saku jaketnya, ia masih berputar-putar di jalanan sekitar apartemen. Sampai Aby merasa lututnya sakit sekali, barulah ia memutuskan untuk duduk di bangku halte di pinggir jalan.

Matahari mulai tinggi. Kejadian itu benar-benar membuat Aby tidak sempat berpikir tentang apa pun selain mamanya. Jaket yang lumayan tebal itu bahkan masih menempel di tubuhnya dan capuchon itu masih menutupi kepala dan sebagian wajahnya.

Aby menunduk kemudian berdecak. Ia pasti sudah hilang akal tadi. Setelah berlari-lari kesetanan dari lantai lima, sekarang ia bahkan baru sadar kalau ia sudah kehilangan slipper sebelah kanan yang tadi dipakainya. Kaki kanannya menghitam, kotor oleh debu.

Sebenarnya apa yang sedang dilakukan wanita itu padanya? Setelah memutuskan untuk meninggalkan Aby, apa sekarang mamanya sedang mencoba bermain kucing-kucingan? Untuk apa ia muncul lagi di depan mata Aby setelah memutuskan memilih orang lain yang bukan dirinya? Apa mamanya sedang pamer pada Aby kalau hidupnya sekarang sudah lebih baik? Apa mamanya sedang berusaha menunjukkan pada Aby bahwa ketiadaannya membuat hidupnya lebih bahagia?

v

            “Aku kan sudah bilang kamu jangan keluar! Ngapain lagi kamu cari-cari Aby? Kalau tadi Aby menemukan kamu, semua bisa gawat. Kamu tahu itu, kan?” Laki-laki berkacamata dengan rambut klimis itu tampak berkacak pinggang di depan BMW merahnya. Ia tampak sangat marah, sementara wanita di depannya tertunduk dengan mata merah dan wajah pucat.

            “Aku cuman mastiin, apa Aby benar-benar sudah sampai ke rumah El.”

            Laki-laki itu mendengus. “Sekali lagi kamu berbuat ceroboh seperti ini, kamu tahu apa yang akan terjadi, Anna,” ancamnya dengan suara pelan yang tetap terdengar menakutkan. Joanna tidak menyahut lagi. Tangannya kemudian bergerak pelan membuka pintu mobil. Ia masih sempat mengitarkan pandangannya selama beberapa detik sebelum duduk di jok belakang. Ia tidak tahu apakah keputusannya ini sudah benar.

v

            “Aaaah ... telat lagi,” gumamnya sambil menatap sekantong plastik berisi roti dan susu di tangan. Ia celingukan dan langsung kecewa saat tak menemukan dua bocah gelandangan yang tadi duduk di emperan toko. Toko itu sudah buka dan mereka pasti diusir oleh pemiliknya.

            Cowok tinggi berseragam SMA itu langsung memutar tubuhnya. Sudah hampir pukul sembilan. Kalau tetap nekat pergi ke sekolah, ia pasti akan diusir oleh satpam. Ini adalah kali kelima ia terlambat oleh sebab yang sama.

            “Bang Askar!” Seorang bocah dengan pakaian kumal dan ukulele di tangan melambai padanya. Cowok dengan badge nama bertuliskan ‘ASKAR DZAKWAN’ di dada kirinya itu segera menoleh, balas melambai, kemudian tersenyum lebar. “Telat lagi?”

            Askar mengangguk sambil mengacak pelan kepala plontos Gana. “Udah sarapan?” Askar mengacungkan kantong plastik tadi dan langsung disambut anggukan cepat Gana.

            “Udah. Hari ini emak masak,” jawabnya sambil tersenyum. “Gana ngamen dulu ya, Bang!” pamitnya. “Nanti sore jangan lupa datang!”

            Askar mengangguk sambil mengacungkan jempol pada Gana. Anak berusia sepuluh tahun itu bukan satu-satunya pengamen dan anak jalanan yang dikenal Askar. Di sekitar sekolah yang kebetulan dekat dengan lampu merah, Askar sangat mudah menjumpai mereka. Ada yang sedang mengamen, berjualan asongan, sampai mengemis. Askar bukannya tidak peduli pada mereka, tapi mengembalikan mereka semua ke sekolah bukanlah hal yang mudah. Selain masalah biaya, semangat mereka untuk belajar sepertinya sudah hilang sejak lama, sejak mereka semua menghirup debu dan panasnya jalanan. Bagi mereka, hidup ini hanya tentang uang. Dan, saat ini, hanya jalanan yang bisa memberikan mereka makan, bukan sekolah.

            Setahun sejak Askar pindah dari Medan ke Jakarta, kehidupan jalananlah yang terasa paling menarik baginya. Berawal dari kamera butut, alat yang ia pakai untuk mengabadikan wajah-wajah legam berdebu, Askar berkenalan dengan mereka. Gana yang ibunya lumpuh, Dinda yang mati-matian membiayai adiknya sekolah, sampai Akil yang berambisi untuk jadi kaya tanpa harus sekolah.

Kalau saja Askar punya banyak uang, ia pasti akan menyekolahkan dan memberi mereka makan. Tapi, untuk saat ini, yang bisa dilakukannya hanyalah datang ke gubuk bobrok di kampung pinggir kota, mengajak mereka bercerita, mengajari membaca, bermain, dan menjadikan mereka model untuk foto-fotonya. Sesekali membawakan mereka makanan kalau Askar baru mendapat bayaran dari memotret. Sesederhana apa pun, bagi Askar semua itu adalah penghilang lukanya. Setidaknya, selain nenek, ia masih punya banyak teman yang ia pedulikan dan peduli padanya.

Askar celingukan sambil memikirkan tempat mana yang bisa ia tuju sampai jam sekolah selesai. Ia tidak mungkin pulang ke rumah. Neneknya akan marah jika tahu cucu tunggalnya itu terlambat akibat membelikan makanan untuk gelandangan yang tertidur di depan ruko. Sebenarnya, Askar bisa saja pergi hunting foto, tapi kameranya ada di rumah. Membawa kamera ke sekolah adalah hal paling mustahil. Selain peraturan sekolah yang tidak membenarkan siswa membawa barang-barang yang tidak berhubungan dengan pelajaran (di sekolah Askar tidak ada ekstrakurikuler fotografi), nenek juga melarangnya.

Askar kemudian berjalan pelan sambil berpikir apakah ia bisa ikut Gana mengamen. Lalu, sepasang matanya menemukan warna merah mencolok pada halte bus di depannya. Seorang gadis dengan sebelah kaki telanjang yang sedang menatap kosong ke jalanan.

Askar berdiri dua meter dari halte. Gadis itu tampak tak terusik saat Askar terus memerhatikannya tanpa henti. Entah karena jarak mereka yang terlalu jauh atau gadis itu terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga tidak sadar ada seseorang yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.

Kedua ujung bibir Askar tertarik ke samping perlahan. Ia sudah berdiri, persis di depan gadis itu. Gadis yang sama sekali belum menyadari kehadirannya.

Dari jarak sedekat ini, Askar benar-benar dapat menggambarkan gadis itu dengan mudah. Wajah tirus pucat. Rambut hitam sebahu yang tertutup capuchon merah. Hidung kecil dan sepasang mata yang bening. Seorang gadis yang terlihat sama persis seperti seorang tokoh dalam dongeng yang pernah dibacanya.

Little Red Riding Hood?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status