“Kak Risha, kau juga di sini?” tanya Letha saat ia baru saja tiba.
“Tentu saja. Aku juga anaknya daddy, dan beliau mengatakan agar kita menunggu di sini,” jawab Risha cepat.
“Oh, begitu?” Dengan polosnya Letha percaya. Perempuan itu kemudian duduk di samping Risha.
“Agar tidak bosan menunggu, aku sengaja membawa makanan dari ballroom. Apa kau mau?” Risha mengambil sebuah cake coklat di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Letha, tapi Letha tak menerimanya begitu saja dan malah menatap kakaknya dengan dalam. Sehingga membuat Risha tersinggung.
“Apa kau pikir aku menaruh racun di dalamnya?” Risha mendengus kesal, lalu tanpa aba-aba ia memakan cake tersebut. “Lihat, jika aku menaruhnya, maka aku sudah mati sekarang!” Perempuan itu berbicara dengan mulut yang penuh.
Letha diam, memperhatikan, dan pada akhirnya merasa yakin jika Risha tak menaruh apapun di dalamnya. “Baiklah, terima kasih,” ucapnya seraya mengambil satu cake vanila.
Perempuan itu memakannya tanpa rasa curiga, sedangkan Risha dan Rasya tampak saling lirik sambil melempar senyum penuh arti. Entah apa maksudnya, tapi setelah memakan cake tersebut, mendadak Letha merasa tak nyaman.
“Kenapa daddy lama sekali?” Letha mengeluh saat tubuhnya semakin gelisah. Buliran keringat bahkan sudah muncul di keningnya–menandakan jika sebuah obat yang sejujurnya Risha simpan pada cake yang Letha makan tengah bekerja.
“Aku tidak tahu, tapi aku akan mencoba menghubunginya.” Rasya mengambil ponsel dari tasnya lalu berpura-pura menghubungi Rafqi.
“Oh, shit! Aku salah tanggap,” keluh Rasya setelah menyimpan ponselnya kembali.
“Apa maksudmu?” Dengan alami Risha ikut berakting dalam sandiwara yang Rasya mainkan.
“Daddy sudah menunggu kita di kamar. Sepertinya daddy kelelahan karena sebelumnya baru saja pulang dari luar kota!”
“Oh astaga, malang sekali beliau. Kalau begitu kita ke sana sekarang!” cetus Risha kemudian menoleh ke arah Letha yang tidak terlalu fokus karena efek obat yang dikonsumsinya mulai mengambil alih kesadarannya. “Letha, kau bisa berjalan sendiri?”
“Hemm,” sahut Letha sambil mengibas-ngibas tangan–berharap bisa mengurangi rasa gerah yang semakin menjadi.
“Kalau begitu ayo kita pergi!”
Dengan jalan yang sedikit sempoyongan, Letha mengikuti kedua saudaranya keluar dari tempat pesta menuju kamar yang dimaksud. Tapi kamar itu bukanlah kamar yang tengah ditempati oleh Rafqi. Melainkan kamar seorang pria yang memesan wanita penghibur lewat kenalan Risha, tanpa tahu identitas dari pria tersebut adalah Jaden–anak pertama dari keluarga Hazard!
“Letha, nikmatilah malam ini dengan bersenang-senang!” cetus Risha mendorong Letha untuk masuk ke sebuah kamar lalu menutupnya.
“Oh, indah sekali malam ini. Tidak hanya membuat perempuan kampungan itu menderita, tapi kita juga dapat uang!” Rasya berseloroh sambil tertawa puas tatkala pikirannya membayangkan apa yang akan dialami Letha di dalam sana.
Risha tersenyum miring lalu merangkul Rasya. “Sekarang kita bisa menikmati pesta dengan mencari seorang pria seperti yang mommy inginkan!”
Keduanya pergi dari sana menuju ballroom kembali, meninggalkan Letha yang kini tampak berusaha keluar dari kamar.
“Mau pergi ke mana, kau?” Suara berat yang terdengar sedikit serak itu terdengar datar dari belakang tubuh Letha.
Sontak Letha berbalik dan mendapati seorang pria tinggi tegap dengan wajah tampan tengah berdiri, menatap Letha.
Matanya yang hitam kelam menatap Letha dengan tajam.
Glek!
Untuk beberapa saat, Letha terkesiap dengan hal itu. Tapi kemudian obat yang tanpa sengaja Letha makan kembali mengambil alih kesadarannya, terlebih ketika pandangan Letha jatuh pada dada bidang Jaden yang terekspos–tampak seksi dan membuat gairah Letha semakin menjadi.
“Tuan ….” Suara Letha lembut, memanggil pria yang tak ia kenali dengan manja.
Perlahan dengan gerakan yang gelisah, Letha mendekat lalu berhenti tepat di depan Jaden. Letha lantas menaruh kedua tangannya pada kedua pundak Jaden yang kokoh lalu berjinjit.
Cup!
Tanpa peringatan, Letha langsung mencium Jaden. Memainkannya dengan gerakan yang tak beraturan karena ini merupakan hal pertama baginya. Letha, hanya mengikuti naluri dan keinginannya untuk mendapat kepuasan.
Namun, hal itu justru mengundang murka Jaden. Dengan kasar, Jaden yang semula diam langsung mendorong Letha hingga membuat Letha mundur dan punggungnya menghantam daun pintu dengan keras.
“Berani-beraninya kau menciumku!” hardik Jaden menatap Letha dengan nyalang.
“Ssst ….” Untuk beberapa saat Letha meringis–merasakan sakit pada punggungnya. Tapi seolah tak jera dengan perlakuan kasar Jaden, Letha kembali menegakkan tubuh lalu melangkah mendekat.
“Tuan, kenapa kau mendorongku?”
Senyum menggoda Letha tampilkan di wajahnya yang imut. Sehingga tampak menggemaskan, meski Jaden sama sekali tidak terpengaruh.
Pria itu masih menatap Letha dengan tajam, lalu menyunggingkan senyum miring. “Tentu saja karena kau lancang! Sebelumnya, aku sudah meminta untuk tidak berciuman.”
Letha menyerngit, merasa tak ingat dengan hal itu. Sementara Jaden sendiri mengira jika Letha adalah wanita yang ia pesan dari seorang mucikari untuk memuaskan kebutuhan biologisnya.
Iya, ketika Jaden merasa kepalanya penuh, maka pria itu akan meminta anak buahnya untuk memesankan seorang wanita bayaran. Tentu dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi, termasuk … tidak berciuman.
Jaden hanya akan meminta ‘teman malamnya’ untuk melayani dan membuatnya tiba di puncak tanpa permainan panas!
Tidak mempedulikan teman malamnya yang membutuhkan ‘balasan’ karena Jaden sudah membayarnya mahal.
Namun kini, di hadapannya berdiri seorang wanita muda yang menatap Jaden dengan nakal. Menggodanya, bahkan berani menciumnya!
“Apa yang kau katakan, Tuan? Sebaiknya sekarang kita lakukan, aku sudah tidak tahan.” Malam ini, Letha kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Perempuan itu benar-benar bersikap semaunya untuk mencapai kepuasan dengan menyerang Jaden. Dan anehnya, Jaden yang semula menolak, justru mulai ikut hanyut dalam permainan.
“Aku tidak tahu Max memesanmu di mana, tapi kau berbeda,” ucap Jaden ketika Letha menyentuh lembut dadanya, hingga mengantarkan sebuah getaran pada dirinya.
“Kenapa kau begitu banyak bicara, Tuan? Aku tidak menyukainya,” balas Letha kemudian kembali melumat bibir Jaden dengan gerakan tak beraturan.
“Jadi kau lebih menyukai aksi?” Jaden menyeringai, menatap Letha dengan penuh hasrat. Pria itu membasahi bibir, sebelum akhirnya membalas serangan Letha.“Ciumanmu buruk sekali. Aku akan mengajarimu dengan cara yang benar ….” Jaden tak lagi peduli dengan prinsipnya yang tak ingin berciuman. Pria itu bahkan kini ‘Mengajari’ Letha cara berciuman yang benar. Sehingga membuat Letha mabuk kepayang.
“Tuan, coba sentuh yang ini.” Di sela tengah desah yang keluar dari mulutnya, Letha menuntun tangan Jaden untuk menyentuh area terlarangnya.
Tak menolak, Jaden benar-benar menurut–seolah terhipnotis oleh kecantikan dan kepolosan yang Letha tampilkan. Hingga tanpa sadar mereka semakin terbuai dan menghabiskan malam dengan saling memberi dan menerima kepuasaan.
“Ini luar biasa ….”
“Jangan berdekatan dengan pria lain, jika tidak ingin saya makan!”Sebuah peringatan Letha dapatkan saat ia bersiap turun dari mobil. Pergerakan Letha yang berniat membuka pun terhenti. Perempuan itu kemudian menoleh, lalu menunduk ketika tatapan penuh intimidasi didapatkan dari Jaden. “Maksud Anda, pria siapa? Saya tidak pernah berdekatan dengan pria manapun,” elaknya. Satu alis Jaden langsung terangkat, kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya. “Jasper Hazard. Saya tahu dia sedang mendekatimu,” bisiknya.Letha membelalak, sedikit melirik ke arah Jaden yang masih mempertahankan posisinya. “Ja-jasper … adik Anda?”“Hemm.” Jaden menegakkan tubuhnya kembali. “Dia pria berbahaya, kau harus menjauhinya!”“Tapi saya rasa … jika dibanding dengan Anda, maka lebih bahaya Anda.”Air wajah Jaden langsung berubah, terlebih setelah mendengar penuturan Letha selanjutnya.“Dia hanya menyapa, dan sekali menemani saya saat di pesta malam itu. Tidak seperti Anda—” Ucapan Letha terpotong, sebab Jaden
“Kenapa reaksimu berlebihan seperti itu?”Satu alis Jaden terangkat saat melihat reaksi Letha yang berlebihan. “I-itu karena ….” Letha tak sanggup melanjutkan ucapannya, sebab takut jika Jaden tersinggung.Jaden tersenyum miring. “Kau tak percaya karena saya memiliki wajah yang tampan?” Dengan wajahnya yang lugu, Letha mengangguk. “Iya.” “Artinya kau mengakui jika saya memang tampan!” Jaden begitu percaya diri, sebab wajahnya memang tampan. Letha langsung menunduk malu, menyembunyikan rona merah di pipinya.“Seorang Jaden Hazard memang tampan. Dan hanya kau yang mengetahui ketampananku, sebab seperti yang kau tahu jika orang-orang mengatakan jika aku memiliki wajah yang buruk!” Perlahan Letha menegakkan kepala, lalu mendongak agar bisa melihat wajah Jaden dengan jelas. “Jadi, Anda benar-benar Jaden Hazard?” tanya Letha memastikan. “Ck! Kau memang gadis keras kepala.” Jaden berdecak sambil menyentil kening Letha. “Ssstthhh ….” Letha meringis sambil mengusap dahinya. “Kenapa And
“Anda ingin membawa saya ke mana?” Letha bingung saat Jaden memaksanya masuk ke mobil. “Kau akan mengetahuinya setelah kita tiba!” Pria itu kemudian ikut masuk, lalu meminta Max menjalankan mobil.Tiba di tempat tujuan, Jaden meminta Letha mengikutinya.“Tuan ….” Letha dibuat terkesima saat memasuki sebuah rumah megah nan mewah. “Hemm?” Jaden berhenti melangkah lalu berbalik.“A-apa ini rumah Anda?”“Tentu saja. Untuk apa saya membawamu ke rumah orang?” Letha hanya meringis, lalu kembali mengikuti Jaden yang menaiki undakan anak tangga.“Tuan,” panggil Letha kembali, membuat Jaden berhenti dan menoleh.“Tidak hanya ketika sedang bercinta, tapi saat seperti ini saja kau banyak bicara.”Bibir Letha langsung terkatup dan kembali mengikuti Jaden yang membawanya ke salah satu kamar.“Masuklah!” tegur Jaden saat Letha tak mengikutinya masuk. “Tapi untuk apa Anda meminta saya masuk?” “Untuk mengulang kejadian malam itu,” jawab Jaden tenang, tapi berhasil membuat wajah Letha merah.“Tuan
[Nona kecil, kau mau kabur ke mana?]“Siapa dia?” gumam Letha dengan kening yang mengkerut setelah membaca pesan dari nomor yang tak dikenal. “Mungkin orang iseng!”Perempuan itu kemudian menaruh ponselnya di atas ranjang lalu melangkah menuju kamar mandi. Tubuhnya lelah setelah seharian membantu di kebun. Dan berharap malam ini bisa tidur nyaman meski bukan di kamar biasanya. Tapi ketika Letha akan rebahan, ponselnya kembali bergetar, dan nomor yang tak dikenal tadi kembali mengirimnya pesan.[Beraninya kau mengabaikanku setelah malam itu menggodaku dengan nakal!] Wajah Letha pucat seketika. Bayangan malam itu kembali menari-nari di kepalanya. “Apa mungkin dia—”“Oh, astaga!” Letha memekik secara refleks ketika ponselnya tiba-tiba berdering, dan menampilkan nomor tak dikenal tadi menelponnya. “Apakah benar ini dia?”Letha tampak ragu, dan berniat mengabaikan. Tapi orang yang menghubungi tak menyerah.[Jika kau tidak menerima panggilanku, aku akan masuk ke kamarmu sekarang juga!]M
“Astaga, apa yang terjadi?” Letha memekik tertahan sambil bangkit, tapi kesulitan karena tangan kokoh Jaden melingkar erat pada perutnya. Perempuan itu baru saja membuka mata, dan hal yang pertama ia lihat adalah wajah tampan Jaden yang tertidur pulas. Refleks Aletha menunduk, melihat apa yang terjadi, dan mendapati jika dirinya dalam keadaan polos. “Oh, apa ini?” gumam Letha benar-benar dibuat bingung. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut sambil berusaha mengingat apa yang terjadi. “Tidak mungkin!” Letha membelalak, tak habis pikir dengan dirinya sendiri ketika semua potongan ingatan tentang kejadian semalam sudah terkumpul dan tersusun dengan rapi. “Astaga, kenapa aku bodoh sekali?” Perempuan itu benar-benar merutuk diri sendiri. Tapi semua sudah terjadi, menyesal pun tak ada guna. Letha sadar akan hal itu, sehingga langkah yang diambil untuk sekarang adalah berusaha melepaskan diri dari belitan tangan Jaden dengan perlahan–berharap jika Jaden tidak terganggu dengan tindakannya.
“Kak Risha, kau juga di sini?” tanya Letha saat ia baru saja tiba.“Tentu saja. Aku juga anaknya daddy, dan beliau mengatakan agar kita menunggu di sini,” jawab Risha cepat. “Oh, begitu?” Dengan polosnya Letha percaya. Perempuan itu kemudian duduk di samping Risha. “Agar tidak bosan menunggu, aku sengaja membawa makanan dari ballroom. Apa kau mau?” Risha mengambil sebuah cake coklat di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Letha, tapi Letha tak menerimanya begitu saja dan malah menatap kakaknya dengan dalam. Sehingga membuat Risha tersinggung. “Apa kau pikir aku menaruh racun di dalamnya?” Risha mendengus kesal, lalu tanpa aba-aba ia memakan cake tersebut. “Lihat, jika aku menaruhnya, maka aku sudah mati sekarang!” Perempuan itu berbicara dengan mulut yang penuh. Letha diam, memperhatikan, dan pada akhirnya merasa yakin jika Risha tak menaruh apapun di dalamnya. “Baiklah, terima kasih,” ucapnya seraya mengambil satu cake vanila.Perempuan itu memakannya tanpa rasa curiga, sedangk