“Astaga, apa yang terjadi?” Letha memekik tertahan sambil bangkit, tapi kesulitan karena tangan kokoh Jaden melingkar erat pada perutnya.
Perempuan itu baru saja membuka mata, dan hal yang pertama ia lihat adalah wajah tampan Jaden yang tertidur pulas. Refleks Aletha menunduk, melihat apa yang terjadi, dan mendapati jika dirinya dalam keadaan polos.
“Oh, apa ini?” gumam Letha benar-benar dibuat bingung. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut sambil berusaha mengingat apa yang terjadi.
“Tidak mungkin!” Letha membelalak, tak habis pikir dengan dirinya sendiri ketika semua potongan ingatan tentang kejadian semalam sudah terkumpul dan tersusun dengan rapi. “Astaga, kenapa aku bodoh sekali?”
Perempuan itu benar-benar merutuk diri sendiri. Tapi semua sudah terjadi, menyesal pun tak ada guna. Letha sadar akan hal itu, sehingga langkah yang diambil untuk sekarang adalah berusaha melepaskan diri dari belitan tangan Jaden dengan perlahan–berharap jika Jaden tidak terganggu dengan tindakannya.
Setelah berhasil terlepas, maka Letha pun lekas turun dari ranjang. Memunguti pakaian lalu memakainya.
“Aku harus segera pergi dari sini, sebelum pria itu bangun!” gumam Letha melirik ke arah Jaden yang masih tertidur.
Tanpa menunggu lama, setelah Letha menuliskan sebuah catatan pada memo yang disiapkan pihak hotel, ia pun bergegas pergi.
***
“Kau dari mana saja tadi malam? Jam segini baru pulang?”
Baru saja Letha menginjakkan kakinya di rumah, ia sudah mendapatkan cercaan dari Rafqi. Menunduk dalam, Letha yang tak bisa menjawab memilih diam. Sehingga membuat Rafqi mendengus kesal.
“Kau memang anak tidak berguna!” hardik Rafqi semakin menjadi. “Sejak kau lahir, kau hanya pembuat masalah! Seharusnya saat itu daddy meminta ibumu menggugurkan kandungannya saja, daripada mempertahankan anak pembawa sial sepertimu!”
“Maaf,” ucap Letha dengan suara lirih, nyaris tak terdengar. Sejak dulu, ia selalu disalahkan, bahkan dengan apa yang tidak Letha perbuat.
Rafqi mendengus kesal lalu membuang muka. “Sebagai hukuman, kau tinggallah di gudang dalam seminggu ini!”
“Tapi, Dad—”
“Jangan membantah, atau daddy tambah hukumanmu!” potong Rafqi membuat Letha merapat mulut.
“Baik,” ucap Letha sebelum dirinya pergi menuju gudang yang berada di belakang rumah.
Dengan langkah gontai, Letha berjalan melewati Rasya dan Risha yang tampak menatapnya dengan sinis. Letha sudah terbiasa dengan hal itu, dan memilih untuk mengabaikan, bahkan ketika mereka menyindirnya.
“Apa kau dihukum lagi?” tanya Rasya tak mendapatkan sahutan. “Ck! Dasar tuli. Aku bertanya, Letha!” pekiknya merasa jengkel, karena telah diabaikan.
Langkah Letha terhenti, lalu berbalik dan menatap kedua saudaranya secara bergantian. “Aku tahu kalian yang menjebakku. Sebenarnya apa yang membuat kalian begitu membenciku?”
“Woah, ternyata perempuan kampungan sepertimu pintar juga!” Dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada, Risha berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Letha. “Kau tanya kami kenapa membencimu? Tentu saja karena kau anak kampungan!” Risha menoyor Letha tanpa peringatan, membuat Letha yang sejak tadi menahan kesal pun menggeram.
“Kakak, aku tidak akan diam saja!” Letha yang terlalu muak karena kedua saudaranya sudah keterlaluan pun membalas.
Tentu saja Risha tidak terima. Lekas Risha menjambak ketika Letha akan berlalu menuju rumah bagian belakang. Sehingga langkah Letha terhenti dengan tubuh yang hampir melengking.
“Lepaskan aku, Kak!” Letha berusaha melepaskan diri, tapi percuma. Sebab Rasya yang semula diam, kini ikut-ikutan.
Dua lawan satu, jelas Letha kalah. Perempuan itu hanya bisa menjerit, meminta tolong, hingga membuat Rafqi dan Geisha menghampiri.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” hardik Rafqi dengan kedua tangan yang bertolak pinggang, menatap ketiga anaknya dengan tajam.
“Letha yang lebih dulu, Dad!” Rasya dan Risha kompak menjauh lalu menunjuk Letha yang hanya bisa tersenyum miris. Perempuan itu seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya saat Rasya dan Risha sudah mengadu kepada Rafqi.
Meski bukan Letha yang memulai, tapi tak akan ada yang percaya padanya. Karena di mata keluarganya, Letha hanyalah biang masalah!
“Kau, berani-beraninya membuat keributan padahal baru saja membuat masalah, Letha!” hardik Rafqi. “Apa hukuman tinggal di gudang kurang untukmu?” sambungnya dengan nada tinggi.
Lekas Letha menggeleng. Baginya tinggal di gudang adalah hukuman terberat, sebab Letha tidak menyukai kegelapan. “Tidak, Pa, itu sudah cukup untukku ….”
“Lantas, kenapa kau masih saja membuat masalah?”
Kali ini Letha kembali diam, hingga membuat Rafqi mendengus kesal. Sementara Rasya dan Risha tampak cekikikan–merasa puas karena melihat Letha yang mendapatkan cercaan.
“Karena kau sudah membuat dua masalah, maka kau tinggallah di gudang hasil panen selama satu minggu!” cetus Rafqi dengan keputusannya yang mutlak.
Sontak Letha langsung menatap Rafqi tak percaya, sedangkan Rasya dan Risha semakin terbahak.
“Tapi, Pa—”
“Tidak ada yang boleh membantah keputusan papa. Lebih baik kau bersiap dan pergi ke gudang. Atau jika tidak mau, maka jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi!”
Mendapatkan ancaman seperti itu jelas membuat Letha menciut. Sebab ia tidak memiliki tempat tujuan dan punya siapa-siapa lagi.
“Baik, Dad,” ucap Letha pelan. Perempuan itu lekas ke kamarnya untuk mengambil beberapa baju dan keperluan lainnya selama tinggal di gudang panen–dimana gudang yang dikhususkan untuk menyimpan bahan-bahan hasil panen.
Iya, kebetulan keluarga Rafqi memiliki usaha dibidang pertanian, yang hasil panennya akan dikirim kepada perusahaan-perusahaan untuk diolah menjadi makanan premium.
“Syukurin kau!” cetus Rasya saat Letha melewatinya. Tapi tak digubris oleh Letha.
Pikiran Letha terlalu penuh hanya untuk meladeni tingkah kedua saudaranya. Lagipula, Letha merasa lelah, sebab tingkahnya tadi malam baru ia rasakan efeknya.
Setibanya di tempat tujuan, sudah ada beberapa pekerja yang menyambutnya.
“Nona, apa yang membuat Anda datang ke mari?” tanya salah satu pekerja bernama Liana–seorang wanita senja yang sudah lama bekerja dan tinggal bersama di sana bersama dengan suaminya.
Tak menjawab, Letha hanya tersenyum tipis. Tapi hal itu sudah menjadi jawaban bagi Liana. Sebab ini bukan pertama kalinya Letha dihukum di sana.
“Nona, Anda pasti lelah. Saya akan membawakan minum dulu untuk Anda.”
Saat Liana akan pergi, Letha lekas menahannya. “Bibi, tidak perlu. Jika daddy tahu—”
“Tidak, apa-apa, Nona. Tolong tunggu sebentar.”
Letha mendesah pelan, lalu memilih duduk di sebuah kursi kayu yang berada di depan sebuah rumah kecil.
Sejujurnya gudang panen itu terletak di sebuah pedesaan yang begitu asri. Sayangnya tempatnya terlalu jauh dari kampus tempat Letha kuliah. Dan yang lebih parah dari hukuman yang Letha terima adalah … ia harus ikut membantu pekerja di sana untuk mendapatkan uang saku!
Menatap lurus ke depan, tiba-tiba ingatan Letha kembali pada saat malam tadi. Saat dirinya dengan nakal menggoda Jaden.
“Oh astaga, aku berharap tidak bertemu lagi dengan pria itu …,” gumam Letha sambil menutup wajahnya yang tiba-tiba terasa panas.
Tapi sepertinya harapan Letha tidak akan pernah terwujud. Sebab pria itu tak terima, dirinya ditinggalkan begitu saja dengan sepucuk surat yang memintanya untuk melupakan kejadian tadi malam.
“Melupakan?” Jaden tersenyum miring sambil meremas surat yang Letha tuliskan untuknya. “Setiap desahmu bahkan masih kuingat,” sambungnya merasa harga dirinya ternodai, sebab biasanya ia yang meninggalkan partner ranjangnya.“Max!” panggil Jaden kepada tangan kanan-nya yang sejak tadi berdiri di belakang.“Iya, Tuan,” sahut Max sigap.
“Cari tahu tentang wanita yang sudah menghabiskan malam denganku,” titahnya tanpa menoleh. Tatapannya tetap lurus ke depan–menatap ke luar jendela besar yang menampilkan sibuknya hiruk pikuk kota. “Saya ingin mendapatkan semuanya kurang dari satu jam!” sambungnya.
“Baik, Tuan.” Tanpa menunggu lama, Max langsung bergerak cepat.
“Ke mana pun kau pergi, aku akan menemukanmu ….”
“Jangan berdekatan dengan pria lain, jika tidak ingin saya makan!”Sebuah peringatan Letha dapatkan saat ia bersiap turun dari mobil. Pergerakan Letha yang berniat membuka pun terhenti. Perempuan itu kemudian menoleh, lalu menunduk ketika tatapan penuh intimidasi didapatkan dari Jaden. “Maksud Anda, pria siapa? Saya tidak pernah berdekatan dengan pria manapun,” elaknya. Satu alis Jaden langsung terangkat, kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya. “Jasper Hazard. Saya tahu dia sedang mendekatimu,” bisiknya.Letha membelalak, sedikit melirik ke arah Jaden yang masih mempertahankan posisinya. “Ja-jasper … adik Anda?”“Hemm.” Jaden menegakkan tubuhnya kembali. “Dia pria berbahaya, kau harus menjauhinya!”“Tapi saya rasa … jika dibanding dengan Anda, maka lebih bahaya Anda.”Air wajah Jaden langsung berubah, terlebih setelah mendengar penuturan Letha selanjutnya.“Dia hanya menyapa, dan sekali menemani saya saat di pesta malam itu. Tidak seperti Anda—” Ucapan Letha terpotong, sebab Jaden
“Kenapa reaksimu berlebihan seperti itu?”Satu alis Jaden terangkat saat melihat reaksi Letha yang berlebihan. “I-itu karena ….” Letha tak sanggup melanjutkan ucapannya, sebab takut jika Jaden tersinggung.Jaden tersenyum miring. “Kau tak percaya karena saya memiliki wajah yang tampan?” Dengan wajahnya yang lugu, Letha mengangguk. “Iya.” “Artinya kau mengakui jika saya memang tampan!” Jaden begitu percaya diri, sebab wajahnya memang tampan. Letha langsung menunduk malu, menyembunyikan rona merah di pipinya.“Seorang Jaden Hazard memang tampan. Dan hanya kau yang mengetahui ketampananku, sebab seperti yang kau tahu jika orang-orang mengatakan jika aku memiliki wajah yang buruk!” Perlahan Letha menegakkan kepala, lalu mendongak agar bisa melihat wajah Jaden dengan jelas. “Jadi, Anda benar-benar Jaden Hazard?” tanya Letha memastikan. “Ck! Kau memang gadis keras kepala.” Jaden berdecak sambil menyentil kening Letha. “Ssstthhh ….” Letha meringis sambil mengusap dahinya. “Kenapa And
“Anda ingin membawa saya ke mana?” Letha bingung saat Jaden memaksanya masuk ke mobil. “Kau akan mengetahuinya setelah kita tiba!” Pria itu kemudian ikut masuk, lalu meminta Max menjalankan mobil.Tiba di tempat tujuan, Jaden meminta Letha mengikutinya.“Tuan ….” Letha dibuat terkesima saat memasuki sebuah rumah megah nan mewah. “Hemm?” Jaden berhenti melangkah lalu berbalik.“A-apa ini rumah Anda?”“Tentu saja. Untuk apa saya membawamu ke rumah orang?” Letha hanya meringis, lalu kembali mengikuti Jaden yang menaiki undakan anak tangga.“Tuan,” panggil Letha kembali, membuat Jaden berhenti dan menoleh.“Tidak hanya ketika sedang bercinta, tapi saat seperti ini saja kau banyak bicara.”Bibir Letha langsung terkatup dan kembali mengikuti Jaden yang membawanya ke salah satu kamar.“Masuklah!” tegur Jaden saat Letha tak mengikutinya masuk. “Tapi untuk apa Anda meminta saya masuk?” “Untuk mengulang kejadian malam itu,” jawab Jaden tenang, tapi berhasil membuat wajah Letha merah.“Tuan
[Nona kecil, kau mau kabur ke mana?]“Siapa dia?” gumam Letha dengan kening yang mengkerut setelah membaca pesan dari nomor yang tak dikenal. “Mungkin orang iseng!”Perempuan itu kemudian menaruh ponselnya di atas ranjang lalu melangkah menuju kamar mandi. Tubuhnya lelah setelah seharian membantu di kebun. Dan berharap malam ini bisa tidur nyaman meski bukan di kamar biasanya. Tapi ketika Letha akan rebahan, ponselnya kembali bergetar, dan nomor yang tak dikenal tadi kembali mengirimnya pesan.[Beraninya kau mengabaikanku setelah malam itu menggodaku dengan nakal!] Wajah Letha pucat seketika. Bayangan malam itu kembali menari-nari di kepalanya. “Apa mungkin dia—”“Oh, astaga!” Letha memekik secara refleks ketika ponselnya tiba-tiba berdering, dan menampilkan nomor tak dikenal tadi menelponnya. “Apakah benar ini dia?”Letha tampak ragu, dan berniat mengabaikan. Tapi orang yang menghubungi tak menyerah.[Jika kau tidak menerima panggilanku, aku akan masuk ke kamarmu sekarang juga!]M
“Astaga, apa yang terjadi?” Letha memekik tertahan sambil bangkit, tapi kesulitan karena tangan kokoh Jaden melingkar erat pada perutnya. Perempuan itu baru saja membuka mata, dan hal yang pertama ia lihat adalah wajah tampan Jaden yang tertidur pulas. Refleks Aletha menunduk, melihat apa yang terjadi, dan mendapati jika dirinya dalam keadaan polos. “Oh, apa ini?” gumam Letha benar-benar dibuat bingung. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut sambil berusaha mengingat apa yang terjadi. “Tidak mungkin!” Letha membelalak, tak habis pikir dengan dirinya sendiri ketika semua potongan ingatan tentang kejadian semalam sudah terkumpul dan tersusun dengan rapi. “Astaga, kenapa aku bodoh sekali?” Perempuan itu benar-benar merutuk diri sendiri. Tapi semua sudah terjadi, menyesal pun tak ada guna. Letha sadar akan hal itu, sehingga langkah yang diambil untuk sekarang adalah berusaha melepaskan diri dari belitan tangan Jaden dengan perlahan–berharap jika Jaden tidak terganggu dengan tindakannya.
“Kak Risha, kau juga di sini?” tanya Letha saat ia baru saja tiba.“Tentu saja. Aku juga anaknya daddy, dan beliau mengatakan agar kita menunggu di sini,” jawab Risha cepat. “Oh, begitu?” Dengan polosnya Letha percaya. Perempuan itu kemudian duduk di samping Risha. “Agar tidak bosan menunggu, aku sengaja membawa makanan dari ballroom. Apa kau mau?” Risha mengambil sebuah cake coklat di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Letha, tapi Letha tak menerimanya begitu saja dan malah menatap kakaknya dengan dalam. Sehingga membuat Risha tersinggung. “Apa kau pikir aku menaruh racun di dalamnya?” Risha mendengus kesal, lalu tanpa aba-aba ia memakan cake tersebut. “Lihat, jika aku menaruhnya, maka aku sudah mati sekarang!” Perempuan itu berbicara dengan mulut yang penuh. Letha diam, memperhatikan, dan pada akhirnya merasa yakin jika Risha tak menaruh apapun di dalamnya. “Baiklah, terima kasih,” ucapnya seraya mengambil satu cake vanila.Perempuan itu memakannya tanpa rasa curiga, sedangk