[Nona kecil, kau mau kabur ke mana?]
“Siapa dia?” gumam Letha dengan kening yang mengkerut setelah membaca pesan dari nomor yang tak dikenal. “Mungkin orang iseng!”
Perempuan itu kemudian menaruh ponselnya di atas ranjang lalu melangkah menuju kamar mandi. Tubuhnya lelah setelah seharian membantu di kebun. Dan berharap malam ini bisa tidur nyaman meski bukan di kamar biasanya.
Tapi ketika Letha akan rebahan, ponselnya kembali bergetar, dan nomor yang tak dikenal tadi kembali mengirimnya pesan.
[Beraninya kau mengabaikanku setelah malam itu menggodaku dengan nakal!]
Wajah Letha pucat seketika. Bayangan malam itu kembali menari-nari di kepalanya. “Apa mungkin dia—”
“Oh, astaga!” Letha memekik secara refleks ketika ponselnya tiba-tiba berdering, dan menampilkan nomor tak dikenal tadi menelponnya. “Apakah benar ini dia?”
Letha tampak ragu, dan berniat mengabaikan. Tapi orang yang menghubungi tak menyerah.
[Jika kau tidak menerima panggilanku, aku akan masuk ke kamarmu sekarang juga!]
Mata Letha hampir keluar begitu membaca ancaman yang ia terima. Lalu tidak lama ponselnya kembali berdering, hingga pada akhirnya ancaman tersebut berhasil membuat Letha menerima panggilan.
“Halo?”
“Malam, Nona kecil?” Suara berat Jaden membuat bulu kuduk Letha berdiri.
Perempuan itu menelan ludah susah payah. “Si-siapa ini?” tanyanya tergagap.
“Jangan berpura-pura. Setelah menggodaku, kau pikir bisa lepas dariku. Hemm?”
Tubuh Letha lemas, tenggorokannya tercekat. Ia tidak menyangka jika Jaden bisa menemukannya.
“Maaf, tapi sepertinya Anda salah sambung.” Letha berusaha mengelak, tanpa tahu jika pria yang sedang dihadapinya adalah pria berbahaya yang tak mudah dibohongi. Setelahnya Letha memilih menutup panggilan lalu mematikan ponselnya.
“Oh astaga, apa benar dia pria yang malam itu?”
Tidur Letha tak tenang. Ia gelisah, bahkan setelah pagi tiba, dan ia berangkat menggunakan bus untuk tiba di kampus.
“Hei, Letha!” Japer menyapa dengan senyumnya yang menawan. Tapi kemudian lelaki itu tampak mengerutkan kening. “Ada apa dengan lingkaran hitam di wajahmu? Kau terlihat kurang tidur!” tambahnya.
Refleks Letha menunduk–menyembunyikan wajahnya yang tampak tak segar, sebab tadi malam tidak bisa tidur.
“Sepertinya kau begadang!” Jasper tak menyerah, ia kembali mengajak Letha berbicara.
“Hemm, kau benar.”
“Kau seharusnya jangan terlalu sering begadang. Itu tidak baik untukmu!”
“Ya, aku hanya sesekali,” balas Letha masih tak berani menampakkan wajah.
“Aku harap kau bisa menjaga diri dengan baik. Karena jika kau sakit, aku akan sedih!”
Tak terlalu menanggapi gombalan Jasper, Letha memilih izin untuk ke toilet sebentar–demi menghindar.
“Wajahku memang terlihat pucat.” Saat di toilet, Letha menatap pantulan dirinya di cermin, lalu mencuci muka agar terlihat lebih segar.
Tapi sepertinya itu tak berhasil, sebab ketika ia akan keluar, Letha malah bertemu dengan kedua saudaranya.
“Waah, lihat, siapa dia!”
“Tentu saja dia anak yang terbuang!”
Risha dan Rasya tampak cekikikan. “Bagaimana rasanya tinggal di tempat kumuh dan jorok?”
“Kakak, tentu saja dia akan merasa nyaman. Karena bagaimanapun, dia memang pantas tinggal di sana!”
“Kau benar!”
Letha tak menanggapi, dan memilih berlalu. Tapi Risha langsung menghadang.
“Hei, mau ke mana kau?”
Mendesah pelan, Letha kemudian menatap Risha dengan jengah. “Itu bukan urusanmu!”
“Kau, berani sekali!” Risha tak terima dan langsung mendaratkan tamparan. Hingga membuat pipi Letha panas.
Refleks Letha menyentuh pipinya yang perih. “Kakak, kenapa kau selalu mengganggu?”
“Karena aku menyukainya!” Risha menjawab dengan enteng.
Tersenyum miris, Letha memilih untuk tak meladeni. Dan beruntungnya kedua saudaranya tak memperpanjang.
“Aku benar-benar lelah,” keluh Letha melangkah dengan gontai menuju gerbang kampus. “Ibu, rasanya aku ingin menyusulmu saja.”
Pandangan Letha tak fokus. Pikirannya terlalu penuh, hingga tak sadar jika dirinya melangkah ke tengah jalan.
Tiiiin!
Klakson dari kendaraan yang hampir menabraknya membuat Letha tersadar. Perempuan itu menoleh, dan hampir pasrah, sebab jarak antara mobil dan dirinya begitu dekat.
Tapi tiba-tiba ada seseorang yang menarik tangannya, hingga membuat Letha tersungkur dan berakhir dalam pelukan orang itu.
“Kau gila!” sentak orang itu.
Letha tak langsung menyahut. Lututnya lemas, dan hampir tak bisa menopang tubuhnya sendiri, andai orang yang menolongnya tidak menahan. Dan tanpa terasa cairan bening mulai tergenang di pelupuk mata.
Jaden–orang yang menolong Letha–mengerutkan kening. Perlahan ia menunduk ketika merasakan kemeja yang dikenakannya basah.
“Kau menangis?”
“Tidak, aku sedang menjerit!” jawab Letha disela isak tangisnya.
“Ck! Bisa-bisanya kau bercanda setelah berniat bunuh diri!”
“Siapa yang mau bunuh diri?” Letha menjauh, lalu mendongak untuk melihat siapa yang menolongnya. Tapi kemudian ia menganga saat tahu yang menolongnya adalah Jaden. “Ka-kau …?”
“Ada apa denganku?” tanya Jaden dengan datar.
Letha menggeleng, lalu mundur. Tapi Jaden menahan pinggangnya.
“Mau ke mana, hemm?”
“Ak-aku—”
“Sudah saya katakan, kau tidak akan saya lepaskan.” Jaden menunduk, lalu berbisik tepat di telinga Letha. Hingga membuat Letha menelan ludahnya susah payah. Sementara Jaden tersenyum miring.
“Jangan berdekatan dengan pria lain, jika tidak ingin saya makan!”Sebuah peringatan Letha dapatkan saat ia bersiap turun dari mobil. Pergerakan Letha yang berniat membuka pun terhenti. Perempuan itu kemudian menoleh, lalu menunduk ketika tatapan penuh intimidasi didapatkan dari Jaden. “Maksud Anda, pria siapa? Saya tidak pernah berdekatan dengan pria manapun,” elaknya. Satu alis Jaden langsung terangkat, kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya. “Jasper Hazard. Saya tahu dia sedang mendekatimu,” bisiknya.Letha membelalak, sedikit melirik ke arah Jaden yang masih mempertahankan posisinya. “Ja-jasper … adik Anda?”“Hemm.” Jaden menegakkan tubuhnya kembali. “Dia pria berbahaya, kau harus menjauhinya!”“Tapi saya rasa … jika dibanding dengan Anda, maka lebih bahaya Anda.”Air wajah Jaden langsung berubah, terlebih setelah mendengar penuturan Letha selanjutnya.“Dia hanya menyapa, dan sekali menemani saya saat di pesta malam itu. Tidak seperti Anda—” Ucapan Letha terpotong, sebab Jaden
“Kenapa reaksimu berlebihan seperti itu?”Satu alis Jaden terangkat saat melihat reaksi Letha yang berlebihan. “I-itu karena ….” Letha tak sanggup melanjutkan ucapannya, sebab takut jika Jaden tersinggung.Jaden tersenyum miring. “Kau tak percaya karena saya memiliki wajah yang tampan?” Dengan wajahnya yang lugu, Letha mengangguk. “Iya.” “Artinya kau mengakui jika saya memang tampan!” Jaden begitu percaya diri, sebab wajahnya memang tampan. Letha langsung menunduk malu, menyembunyikan rona merah di pipinya.“Seorang Jaden Hazard memang tampan. Dan hanya kau yang mengetahui ketampananku, sebab seperti yang kau tahu jika orang-orang mengatakan jika aku memiliki wajah yang buruk!” Perlahan Letha menegakkan kepala, lalu mendongak agar bisa melihat wajah Jaden dengan jelas. “Jadi, Anda benar-benar Jaden Hazard?” tanya Letha memastikan. “Ck! Kau memang gadis keras kepala.” Jaden berdecak sambil menyentil kening Letha. “Ssstthhh ….” Letha meringis sambil mengusap dahinya. “Kenapa And
“Anda ingin membawa saya ke mana?” Letha bingung saat Jaden memaksanya masuk ke mobil. “Kau akan mengetahuinya setelah kita tiba!” Pria itu kemudian ikut masuk, lalu meminta Max menjalankan mobil.Tiba di tempat tujuan, Jaden meminta Letha mengikutinya.“Tuan ….” Letha dibuat terkesima saat memasuki sebuah rumah megah nan mewah. “Hemm?” Jaden berhenti melangkah lalu berbalik.“A-apa ini rumah Anda?”“Tentu saja. Untuk apa saya membawamu ke rumah orang?” Letha hanya meringis, lalu kembali mengikuti Jaden yang menaiki undakan anak tangga.“Tuan,” panggil Letha kembali, membuat Jaden berhenti dan menoleh.“Tidak hanya ketika sedang bercinta, tapi saat seperti ini saja kau banyak bicara.”Bibir Letha langsung terkatup dan kembali mengikuti Jaden yang membawanya ke salah satu kamar.“Masuklah!” tegur Jaden saat Letha tak mengikutinya masuk. “Tapi untuk apa Anda meminta saya masuk?” “Untuk mengulang kejadian malam itu,” jawab Jaden tenang, tapi berhasil membuat wajah Letha merah.“Tuan
[Nona kecil, kau mau kabur ke mana?]“Siapa dia?” gumam Letha dengan kening yang mengkerut setelah membaca pesan dari nomor yang tak dikenal. “Mungkin orang iseng!”Perempuan itu kemudian menaruh ponselnya di atas ranjang lalu melangkah menuju kamar mandi. Tubuhnya lelah setelah seharian membantu di kebun. Dan berharap malam ini bisa tidur nyaman meski bukan di kamar biasanya. Tapi ketika Letha akan rebahan, ponselnya kembali bergetar, dan nomor yang tak dikenal tadi kembali mengirimnya pesan.[Beraninya kau mengabaikanku setelah malam itu menggodaku dengan nakal!] Wajah Letha pucat seketika. Bayangan malam itu kembali menari-nari di kepalanya. “Apa mungkin dia—”“Oh, astaga!” Letha memekik secara refleks ketika ponselnya tiba-tiba berdering, dan menampilkan nomor tak dikenal tadi menelponnya. “Apakah benar ini dia?”Letha tampak ragu, dan berniat mengabaikan. Tapi orang yang menghubungi tak menyerah.[Jika kau tidak menerima panggilanku, aku akan masuk ke kamarmu sekarang juga!]M
“Astaga, apa yang terjadi?” Letha memekik tertahan sambil bangkit, tapi kesulitan karena tangan kokoh Jaden melingkar erat pada perutnya. Perempuan itu baru saja membuka mata, dan hal yang pertama ia lihat adalah wajah tampan Jaden yang tertidur pulas. Refleks Aletha menunduk, melihat apa yang terjadi, dan mendapati jika dirinya dalam keadaan polos. “Oh, apa ini?” gumam Letha benar-benar dibuat bingung. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut sambil berusaha mengingat apa yang terjadi. “Tidak mungkin!” Letha membelalak, tak habis pikir dengan dirinya sendiri ketika semua potongan ingatan tentang kejadian semalam sudah terkumpul dan tersusun dengan rapi. “Astaga, kenapa aku bodoh sekali?” Perempuan itu benar-benar merutuk diri sendiri. Tapi semua sudah terjadi, menyesal pun tak ada guna. Letha sadar akan hal itu, sehingga langkah yang diambil untuk sekarang adalah berusaha melepaskan diri dari belitan tangan Jaden dengan perlahan–berharap jika Jaden tidak terganggu dengan tindakannya.
“Kak Risha, kau juga di sini?” tanya Letha saat ia baru saja tiba.“Tentu saja. Aku juga anaknya daddy, dan beliau mengatakan agar kita menunggu di sini,” jawab Risha cepat. “Oh, begitu?” Dengan polosnya Letha percaya. Perempuan itu kemudian duduk di samping Risha. “Agar tidak bosan menunggu, aku sengaja membawa makanan dari ballroom. Apa kau mau?” Risha mengambil sebuah cake coklat di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Letha, tapi Letha tak menerimanya begitu saja dan malah menatap kakaknya dengan dalam. Sehingga membuat Risha tersinggung. “Apa kau pikir aku menaruh racun di dalamnya?” Risha mendengus kesal, lalu tanpa aba-aba ia memakan cake tersebut. “Lihat, jika aku menaruhnya, maka aku sudah mati sekarang!” Perempuan itu berbicara dengan mulut yang penuh. Letha diam, memperhatikan, dan pada akhirnya merasa yakin jika Risha tak menaruh apapun di dalamnya. “Baiklah, terima kasih,” ucapnya seraya mengambil satu cake vanila.Perempuan itu memakannya tanpa rasa curiga, sedangk