"Wajahmu pucat, apa tidak sebaiknya kau istirahat saja?" Jaden menatap Letha dengan khawatir. "Tidak, aku akan tetap kuliah." Letha bersikeras."Tapi sepertinya kau sakit. Sebaiknya kita ke rumah sakit saja," ujar Jaden kemudian mendekat, lalu menempelkan telapak tangannya di kening Letha--mengecek suhu tubuh perempuan itu."Aku baik-baik saja," ujar Letha menyingkirkan tangan Jaden dari keningnya.Jaden mendesah, lalu menganggu--sebab memang yang ia rasakan jika suhu tubuh Letha normal."Ya sudah, jika kau tetap ingin kuliah. Tapi jika terjadi sesuatu, beritahu aku." "Iya, aku akan memberitahumu," balas Letha kemudian ia merasakan sebuah pelukan hangat dari Jaden."Kau harus tetap sehat." Letha tersenyum dalam pelukan Jaden, lalu membalas pelukan pria itu. "Kenapa begitu?" "Karena jika kau sakit, saya juga akan ikut sakit!"Perempuan itu langsung terkekeh, lalu secara refleks mendaratkan pukulan pelan di dada Jaden. "Berlebihan sekali Anda ini!" Jaden ikut tertawa tanpa melepa
"Oh, lihat siapa yang datang!"Jaden baru saja menginjakan kakinya di kediaman keluarga Hazard ketika ia mendapatkan sambutan hangat dari Jasper. "Ibu, ayah. Kakak sudah tiba!" Jasper kembali berseru, sehingga tak lama dari itu Hazard dan istrinya menghampiri."Jaden, akhirnya kau datang!" Hazard begitu senang, sebab Jaden jarang sekali berkunjung. Tangannya bergerak menepuk pundak Jaden beberapa kali sambil menatap anak sulungnya dengan bangga. Sementara yang ditatap tampak biasa saja."Kau terlihat lebih tampan dari sebelumnya." Elisa--istri Hazard ikut menyambut."Kalian berlebihan," balas Jaden dengan datar, hingga membuat Hazard mendesah pelan. "Ya sudah, lebih baik kita makan. Perut ayah sudah keroncongan!" cetus Hazard mencoba mencairkan suasana yang sempat tegang. Sehingga kini mereka sudah berkumpul di ruang makan."Jaden, makanlah, ibu sengaja memasak spesial untukmu." Elisa begitu perhatian, tapi sikap Jaden tak menunjukan jika pria itu merasa tersentuh. Sehingga membu
"Aku harus sadar diri, dan jangan semakin terlena oleh perhatian yang Tuan Jaden berikan padaku." Letha melangkah dengan gontai menuju kelasnya. Tapi lagi-lagi langkahnya harus terhenti karena Jasper sudah menunggunya di sana. "Pagi, Letha," sapa Jasper ramah seperti biasa, seolah kemarin mereka tak terlibat perdebatan. Letha mendesah, menghentikan langkah, lalu mencoba memaksakan senyum. "Pagi juga," balas Letha mencoba bersikap seperti biasa, tapi sulit. Ucapan Jasper kemarin terlalu melukai perasaannya. "Letha, bisa kita bicara sebentar?" Jasper menatap Letha dengan pernuh permohonan, tapi Letha dengan segera menggeleng."Maaf, Jasper. Tapi aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun." "Letha ...." Jasper berusaha membujuk, tapi Letha tetap pada keinginannya untuk tak berbicara dengan Jasper.Pria itu kemudian mendesah pelan atas penolakan yang ia terima. "Baiklah, untuk saat ini mungkin lebih baik kita tidak bicara dulu. Tapi setelah kau merasa lebih baik, ak
"Siapa yang mengetuk pintu? Berisik sekali!" Jaden merasa terganggu saat mendengar ketukan pintu di luar sana. Pria itu masih mengantuk, sebab tadi malam tak bisa tidur. Bukan karena tidak nyaman tidur bersama Letha, tapi karena ia harus mati-matian menahan hasratnya yang menggebu ketika melihat bagaimana polosnya wajah Letha saat tertidur. "Mungkin Bibi Liana," sahut Letha dengan suara serak khas bangun tidur. Oh, suara yang begitu seksi, dan langsung membangkitkan gairah Jaden! "Aku akan melihatnya dulu," sambut Letha berniat bangkit, tapi Jaden langsung menahan. "Tidak, jangan pergi!" Jaden menarik Letha ke dalam pelukannya. "Tapi, Dad---" "Sebentar, biarkan aku memelukmu." Letha diam, membiarkan Jaden memeluknya. Tapi beberapa saat menunggu, Jaden tak juga melepaskan. "Dad, lepaskan. Ini sudah lebih dari sepuluh menit!" "Kalau begitu beri saya waktu lima menit lagi." "Tidak, aku akan terlambat jika terus seperti ini!" Jaden mendengus, lalu dengan terpaksa
"Tadi, bukankah kau mengatakan tidak bisa menjemput? Tapi kenapa sekarang tiba-tiba saja sudah ada di sini?"Letha menatap Jaden yang tengah melepaskan mantelnya dengan penuh tanya. Sementara pria yang ditatap tampak santai menggantungkan mantel pada paku yang tertancap di belakang pintu."Memang saya memiliki urusan, jadi tidak mungkin sempat untuk menjemputmu." Jaden menjelaskan sambil berjalan menghampiri Letha yang duduk bersila di atas karpet. Kemudian pria itu ikut duduk di belakang Letha sambil melanjutkan, "Kebetulan saat pulang saya lewat ke mari, jadi memilih menginap di sini.""Menginap?" Letha membelalak, lalu menoleh sambil menatap Jaden dengan tak percaya. "Kau akan menginap di sini, Dad?"Melihat reaksi Letha lantas membuat Jaden terkekeh. Pria itu sengaja meniup mata Letha yang terbuka dengan sempurna, sehingga si empunya mengerjap. "Dad!" seru Letha secara refleks melayangkan pukulan pada dada pria itu."Hhaha ...." Jaden kembali tertawa, lalu berdeham setelahnya. "
"Berapa uang yang kakakku berikan untukmu?" Letha meremas tas selempang yang ada di pangkuannya saat ia mendapatkan pertanyaan menyakitkan dari Jasper. Perempuan itu kemudian menunduk, tak mengatakan apapun. "Letha, jawab pertanyaanku." Jasper yang duduk di samping Letha lantas mendesak. Sebab tadi perempuan itu tak memiliki pilihan. "Jasper---" "Aku akan memberikan lebih dari yang kakakku bayar, asal kau berhenti dengan pekerjaanmu," potong Jasper saat Letha akan menjelaskan. Perempuan itu diam, hatinya semakin sakit setelah mendengar ucapan Jasper. Bahkan air mata yang mendesak turun tak bisa Letha tahan. "Apa aku terlihat seperti wanita yang suka menjual diri, Jasper?" Pertanyaan itu meluncur dari Letha bersamaan dengan tatapan penuh luka ia berikan kepada Jasper. Kali ini Jasper yang diam. Pria itu tertegun, sebab sebelumnya Letha tak pernah menampilkan tatapan seperti itu. "Letha, maaf. Aku tidak bermaksud." "Tidak, kau tidak perlu meminta maaf." Letha me