Dua bola mata Arini basah oleh air mata. Mendapati hal demikian, Abi segera meminta maaf."Maaf Dek, bukan gitu maksud ucapan Mas tadi."Arini tak menggubris, padahal sang suami tak henti mengecup punggung tangannya."Dari awal Arini sudah bilang, Mas ceraikan saja saya. Maka semua tidak akan seperti ini. Tentu Mama juga akan tetap sehat seperti dahulu. Tidak akan mengalami stroke. Semua karena Mas keras kepala, tetap meminta kembali pada Arini!"Wanita itu terus terisak, tangan mendorong tubuh Abi agar menjauh darinya, tapi lelaki itu dengan sekuat tenaga berusaha ingin menenangkan sang istri dalam pelukan."Tenang Arini, tenang."Abi tak lagi mengucap apapun, ia biarkan Arini menumpahkan air matanya tanpa jeda setelah berhasil memeluk wanita itu. Mungkin saat ini, hanya inilah yang bisa dia lakukan dalam meluapkan rasa sakit di dadanya. Beberapa menit, setelah Arini cukup tenang, barulah Abi melerai pelukan."Arini, dengarkan ucapan Mas ini. Mas tidak pernah menyesal dengan apa yan
Dalam keterkejutan, Arini melangkah masuk lebih jauh ke dalam ruang Ketua Yayasan."Silahkan duduk."Tak bicara, Arini masih diselimuti rasa tak percaya. Tidak mungkin ada manusia di dunia ini yang sangat mirip kecuali jika dua manusia itu adalah saudara kembar. Benarkah Mas Khalif memiliki kembaran?Arini menyingkirkan rasa penasarannya tatkala lelaki di hadapan mengajukan pertanyaan."Benar anda yang ingin mengisi tempat kosong sebagai guru di Yayasan ini?""Benar Pak?""Siapa nama anda?""Arini, Pak.""Oke, saya sudah memantau kinerja anda seharian ini. Dan buat saya tidak ada masalah. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu, dengan satu syarat, melengkapi data kepengajaran. Nanti kamu bisa minta formnya pada Mbak Ulya.""Baik, Pak.""Mengenai gaji, tiga bulan pertama masa training, gajimu lima ratus ribu perbulan. Setelah itu jika kamu dinyatakan lulus training, gajimu akan setara dengan karyawan lain yaitu satu juta perbulan."Arini menarik napas lega. Uang segitu walau tak seberapa, t
Sudah sedari tadi ibunda dokter Abi berusaha membangunkan perawat khusus yang bertugas menjaganya malam ini. Aneh, kemarin malam wanita itu bisa bergadang sampai subuh, tapi malam ini belum sampai jam sepuluh dia sudah tertidur tak sadarkan diri.Dengan susah payah akhirnya ibunda dokter Abi meraih air di atas nakas dengan usahanya sendiri. Tenggorokan teramat kering dirasa. Tapi dengan kekakuan tubuhnya, ia begitu kesulitan untuk meraih benda yang diinginkannya tersebut. Berharap sampai pada gelas yang ia maksud, namun melesat. Gelas itu justru terjatuh ke lantai. Pecah, bagai hatinya yang tak lagi berwujud semenjak kepergian anak tercinta.Suara pecahan itu membuat, sang perawat tersentak kaget. Ia segera membersihkan pecahan kaca berikut menanyakan apa yang dibutuhkan wanita paruh baya di hadapan.Ibunda dokter Abi menangis, dengan bibir dan mata sebelah kiri yang menurun. Ia bahkan kesulitan untuk sekadar mengeluarkan air matanya.Satu kata terucap kemudian, 'Ya Allah, kenapa ka
Arini sudah selesai menyiapkan sarapan, termasuk menyiapkan lauk untuk makan siang hari itu. Tepat pukul lima lewat tiga puluh menit, dia membangunkan Naina untuk melaksanakan shalat subuh. Sedang Abi baru saja tiba di rumah sehabis melaksanakan shalat subuh di mesjid terdekat.Arini menatap suaminya ragu-ragu. Ia ingin meminta tolong agar mengurus Naina masuk ke sekolah, tapi sedikit enggan."Ada yang mau kamu sampaikan, Arini?" tanya Abi sembari mendekati meja makan, dan duduk di salah satu kursi."Ini tentang Naina, Mas.""Naina kenapa?"Abi mencubit ikan lele yang digoreng Arini dengan dibumbui tepung. Lelaki itu tampak berselera."Arini nggak boleh membawa Naina kembali ke tempat bekerja. Mas bisa nggak ngurusin Naina masuk sekolah hari ini?"Abi tampak menarik napas. Ia merasa begitu bersalah pada sang istri. Bukankah urusan mencari rejeki, cukup menjadi tanggung jawabnya saja sebagai suami. Tapi, yang terjadi pada mereka, Arini bahkan harus ikut mencari kerja untuk mencukupi k
Ibunda dokter Abi menyemburkan air dari mulutnya tatkala terapis memintanya meminum air sebanyak 50 ml. Padahal tindakan ini sudah genap dilakukan selama emapt hari berturut-turut. Ini adalah salah satu terapi yang sedang dilakukan untuk pemulihan kemampuan bicara dan menelan wanita tersebut.Dua bola mata ibunda dokter Abi kembali basah oleh cairan."Tidak apa-apa, Bu. Jangan dipaksakan. Terapi untuk kasus stroke seperti yang Ibu alami memang tidak berlangsung cepat. Harus sabar, yang penting terus optimis bahwa Ibu pasti akan sembuh. Dan kembali bisa melakukan segalanya seperti dahulu."Ibunda dokter Abi mengangguk, Anya mengambil tissue dan menyapu mata ibunya.Perawat jaga memasuki ruangan, ia tak lain adalah Gio yang bertugas hendak mengganti cairan infus. Di saat itu pula ibunda Abi berbicara pada Anya meski dengan tersendat-sendat."Ca-ri, Abi, Nya. Ma-ma ing-in ber-te-mu me-re-ka."Anya terperanjat mendengar ucapan tersebut. Tapi ia tak mungkin melawan sebab tahu perlawanan ha
Sudah jam enam sore, akhirnya Arini bebas. Sedari tadi Khalid memerintahkannya beserta satu orang staf lain untuk lembur menjaga Saga. Dan baru lima menit yang lalu saat langit sudah kemerah-merahan barulah lelaki itu datang menjemput."Ini uang untuk kerja kalian hari ini.""Terima kasih, Pak."Arini dan temannya menjawab bersamaan, lalu mereka mengangkat langkah keluar dari pekarangan sekolah. Dengan memendam perasaan tak enak, dia menanti bemo atau apapun agar bisa sampai ke rumah.Pikirannya kacau, apa yang harus dikatakan nanti pada Abi. Sedang yang lelaki itu tahu, jam kerjanya hanya sampai pukul empat sore.Arini menarik napas berat. Ia melambai ke arah rekan kerjanya yang sudah dijemput suami. "Arini ...."Suara teriakan dari belakang membuat pandangan Arini tertoleh. Pak Khalid? Ada apa lagi?Arini kembali dilanda rasa khawatir."Arini apa kamu buru-buru?"Arini melirik jam di tangan."Emangnya kenapa Pak?""Saya minta tolong sekali lagi. Kebetulan cuma ada kamu yang tersisa
"Saya ingin mengundurkan diri, Pak."Dua bola Maya Khalid membelalak."Kenapa berhenti, kamu tersinggung soal kemarin?""Nggak Pak, sama sekali bukan sebab kemarin. Ini masalah suami Pak. Suami saya berencana membangun usaha, tapi jika saya juga bekerja, maka anak kami tidak ada tempat untuk saya titipkan."Khalid berpikir sejenak, tapi dia tak mungkin mengubah peraturan untuk memperbolehkan guru membawa anak ke sekolah. Tentu jika ia mengijinkan Arini, akan banyak tenaga pengajar lain yang berlaku demikian.Khalid menarik napas."Oke, jika itu yang kamu inginkan. Silahkan. Tapi tidak ada pesangon karena kamu hanya bekerja dua hari.""Tidak apa, Pak. Terima kasih untuk kesempatan terbaik ini. Permisi Pak."Arini membalikkan badan. Lalu dengan cepat dia kembali ke rumah. Sementara masih di ruangannya, Khalid tampak menghubungi seseorang.[Hallo, Din][Hallo, Mas Khalid.][Arini mengundurkan dirinya, Din][Mengundurkan diri? Kenapa, Mas?][Dia bilang suaminya mau membuka usaha.][Usaha
"Mas Khalif?"Lelaki di hadapan Arini menyunggingkan selarik senyuman."Bisa kita bicara?"Arini menghela napas, lalu memberi kesempatan untuk lelaki itu berbicara dengannya.*"Jadi sudah lima belas hari koma?"Khalif bertanya tak percaya."Iya, Mas.""Saya memang tak tahu banyak tentang dunia kedokteran, tapi saya yakin Abi pasti akan segera bangun."Arini menyambut perkataan itu dengan senyuman."Mas tahu darimana jika Mas Abi masuk rumah sakit?""Adinda yang ngabari.""Dinda?""Iya benar. Oya, mumpung sudah di sini, boleh nggak ketemu Naina?"Arini terdiam sejenak, sebenarnya ia ingin memperjelas dari mana Dinda bisa tahu jika Abi masuk rumah sakit, tapi ajakan Khalif untuk menemui Naina membuat keinginan itu sedikit teredam.Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah Naina. Masih ada lima belas menit lagi sebelum pulang, Khalif mengajak Arini duduk menikmati ketoprak yang ada di depan pekarangan sekolah."Mbak Dinda kok bisa tahu ya jika Mas Abi dirawat?"Akhirnya ada j