Share

2. Menelpon Papa

Arini dan Naina sudah berada di dalam kios telpon umum. Sang ibu akan menepati janjinya kemarin untuk menelpon papa. Meski berat Arini menguatkan diri untuk menekan beberapa nomor telpon Abi.

[Hallo ....]

Degup jantung Arini menyentak kuat tatkala suara yang dahulu begitu ia candui, kini terdengar kembali di telinga. Sejenak tenggorokannya tercekat.

[Mas ....]

Dua bola mata Arini seketika basah. Sedang di seberang tak ada jawaban.

[Mas ....]

[Arini? Kaukah itu?]

Sebulir air mata luruh di kedua pipi Arini. Sungguh ia tak kuasa jika harus berbicara kembali dengan Abi.

[Kaukah itu Arini? Jawab Arini.]

Seketika Arini menutup telpon. Ia menekan dada dengan kuat. Bagaimana mungkin Abi masih mengenali suaranya? Hal ini benar-benar membuat Arini lemah.

Ia kuatkan diri untuk melangkah keluar dari ruangan kecil yang dibayarnya untuk menelpon tadi. Sang anak yang menanti di luar tampak bersemangat.

"Diangkat Ma telponnya?"

Naina bangkit mendekati sang ibu. Arini hanya menghela napas berat. Tidak ada jalan lain selain berbohong. 

"Nggak diangkat, Nak."

"Yah, padahal Naina pengen banget bicara sama Papa, Ma," rengek Naina setengah menangis. Arini mencoba menenangkan bocah itu.

"Lain kali kita mencoba menelpon lagi ya, Nak. Udah, udah. Sekarang sebagai gantinya, Mama beli kamu es krim. Gimana?"

Meski tak bersemangat, Naina mengikuti juga langkah ibunya. Setelah membeli es krim, tujuan Arini pagi ini adalah mengunjungi rumah wanita yang selama ini sudah banyak berjasa untuknya. 

Dulu, saat memutuskan pergi dari rumah Abi, Arini tak membawa banyak uang selain dua ratus ribu yang ia simpan-simpan selama dua bulan menjadi istri Abi. Arini memutuskan untuk menetap di Surabaya, sebab dalam ingatan tak mungkin suaminya akan mencari ke kota itu.

Bersyukur Arini masih punya ibu yang selalu menemani kemanapun ia pergi. Demi Arini, sang ibu menjual rumah peninggalan suaminya dan memilih menyewa sebuah kontrakan pada salah satu kecamatan di kota Surabaya.

Tapi umur memang menjadi rahasia Allah, setahun menemani sang anak. Ibunda Arini mengembuskan napas terakhirnya setelah berjuang melawan penyakit Asma.

Tak sampai di situ perjuangan yang harus dilalui Arini hingga ia bisa seperti saat ini, setelah melahirkan Naina. Arini terpaksa kehilangan pekerjaannya sebagai kasir di salah satu arena permainan anak. Sebab mereka membutuhkan tenaga secepat mungkin sedang Arini untuk selalu stand by. 

Sedang Arini tentu harus menemani anak setidaknya untuk seminggu pertama.

Beberapa kali ia melamar pekerjaan pada beberapa tempat, tapi tak ada satupun yang menerima. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Raden Ayu Zumarya melalui sebuah tragedi. Arini telah menyelamatkan putra dari wanita berdarah ningrat tersebut dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

Karena merasa begitu berjasa, Raden Ayu menawarkan pekerjaan untuk Arini sebagai guru di PAUD yang dia kelola. Dari wanita itu Arini tahu, bahwa tidak semua yang berdarah biru memiliki sifat angkuh seperti ibu mertuanya. 

Raden Ayu bahkan berusaha menjodohkan Arini dengan sepupu suaminya yang juga memiliki keturunan ningrat.

Hari ini adalah hari bahagia untuk adik kandung Raden Ayu. Dia akan dipersunting oleh seorang dokter dari Jakarta. Arini diundang untuk meramaikan acara tersebut.

Bergegas Arini dan putrinya menuju rumah Raden Ayu. Sampai di sana, mereka disambut hangat oleh seluruh anggota rumah. Meski tak semua menyukainya, namun tersebab Raden Ayu sangat menghormati, yang lain pun ikut menghargai.

Arini turun membantu mempersiapkan hiasan di atas meja pengantin. Sedang Naina bermain bersama anak salah satu kerabat Raden Ayu di taman belakang.

"Dasar anak pembantu! Pergi kamu, nggak pantas kamu bermain sama kami!"

Tangisan anak perempuan di taman belakang membuat gerak tangan Arini terhenti, dia berlari ke sumber kegaduhan.

Begitu terhenyak saat melihat Naina dikerumuni anak-anak perempuan lain yang kelihatan begitu berkelas. Perkataan-perkataan buruk terus tertuju pada anaknya. Segera dia mendekat untuk melerai.

"Ada apa ini, kenapa kalian berkata buruk untuk anak saya?"

"Kami berkata apa adanya. Lihat pakaiannya, sangat tidak sepadan dengan kami. Dia harusnya ada di dapur membantu pelayan membersihkan rumah. Jangan bermain di sini, aku jadi jijik ke taman."

Astaghfirullah. 

Arini menahan emosinya mendengar ucapan tak beadap anak di hadapan. Ia tak ingin menjawab, apalagi bertindak kasar pada anak kecil tersebut. Wanita itu menarik sang buah hati menjauh dari taman. Semua yang hadir hanya menyaksikan, tanpa berusaha melerai. Seolah apa yang diucapkan anak perempuan tadi memang sangat pantas ditujukan untuk Naina.

"Kamu nggak papa, Sayang?"

Naina mengangguk.

"Tapi Naina takut, Ma."

"Maaf ya, Mama pikir mereka akan bersikap baik sama kamu. Kalau seperti ini jadinya, lebih baik kita pulang saja."

Naina mengangguk.

Arini segera mencari keberadaan Raden Ayu atau suaminya, dia berniat untuk pamit dengan alasan apapun. Asal tidak lagi berada di rumah itu.

Setelah mengelilingi rumah yang cukup luas. Akhirnya Arini berhasil menemukan Raden Ayu di teras. Tampak selain wanita tersebut, beberapa kerabat sepertinya juga sedang menanti. Mungkin menanti kedatangan pihak pengkhitbah sesaat lagi akan sampai. 

Arini ragu berpamitan tapi tak ada salahnya mencoba.

"Maaf Mbak, saya mau pamit pulang."

Raden Ayu seketika menoleh.

"Lo kok cepat banget? Tunggulah sebentar lagi, calon Wirda udah mau sampai."

Arini tak menjawab.

"Mbak mohon tunggulah sebentar lagi."

Merasa tak enak dengan permohonan itu, Arini kembali mengiyakan.

"Baik, Mbak. Yasudah, tapi saya ke belakang saja ya Mbak."

"Lo nunggu di sini aja. Jangan di belakang."

"Jangan Mbak, nggak pantas saya ada diantara Mbak dan keluarga."

"Yah, nggak papa Arini."

Arini tak dapat menolak, lengannya dikunci dengan kuat oleh Raden Ayu. Tak lama, beberapa mobil mewah mulai berdatangan. 

Raden Ayu dan beberapa kerabat meneruskan langkah sampai ke pintu pagar yang sudah terbuka lebar. Di tempat itu mereka menunggu tamu calon suami adiknya menuruni mobil untuk kemudian memasuki rumah.

Tak ketinggalan Arini juga ikut dalam rombongan penerima tamu. Ia menggenggam jemari sang anak. Entah kenapa, detak jantung Arini mendadak berpacu kencang. Memorinya kembali dilempar ke masa-masa silam. Saat dimana Abi dan beberapa keluar datang melamar.

Penglihatan Arini kabur tertutup air mata. Tapi beberapa detik kemudian, rasa sedih yang ia alami seketika berganti keterkejutan.

Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat lelaki yang turun dari mobil paling depan, tak lain adalah Abiyana nya. Suami yang sudah ia tinggalkan tujuh tahun yang lalu.

Arini segera menyembunyikan wajah di balik punggung Raden Ayu. Perlahan ia bergerak menjauh sembari menarik tangan Naina masuk ke dalam rumah. 

"Ma, kenapa kita masuk? Padahal Naina pengen lihat lelaki yang tadi berjalan paling depan, yang pakai baju batik lengan panjang itu, Ma. Naina seperti mengenal lelaki itu."

Arini merasa dadanya bergerumuh hebat. Apakah ini yang dikatakan kontak batin antara ayah dan anak? Naina tak pernah sekalipun melihat rupa papanya, tapi kenapa dia seperti mengenal lelaki itu?

"Kita ke dalam sebentar ya, Nak. Mama sakit perut."

"Ma, jangan tinggalin Naina lagi. Naina takut diejek sama anak-anak yang tadi."

"Kamu nunggu di depan kamar mandi ini. Jangan kemana-mana, mereka nggak akan kemari."

Naina mengangguk dan menunggu di depan kamar mandi seperti perintah sang ibu. Sedang Arini, dia kebingungan. Hatinya dipenuhi dengan pertanyaan, apakah suaminya yang hari ini akan menikahi Raden Adinda, adiknya Raden Ayu?

Ya Allah, kenapa bisa seperti ini?

Sedang di luar, Naina melihat lelaki berpakaian parlente tadi beserta seluruh tamu memasuki ruangan tengah rumah Raden Ayu.

Naima mengendap di balik tembok. Dia hanya ingin melihat lelaki itu, entah kenapa rasanya begitu ingin duduk di sebelah lelaki tersebut seperti beberapa bocah berpakaian bagus itu.

Naina tak sadar, tubuhnya semakin terlihat jelas. Dan ternyata Abi tak sengaja melihat Naina. Ia mengambangkan tangan menyuruh Naina mendekat.

"Sudah, dia bukan bagian dari keluarga ini," jawab salah satu keluarga Raden Adinda. Tapi segera disanggah oleh Raden Ayu sendiri.

"Tidak apa-apa, kemari Naina. Jangan di sana sendirian."

Dengan perasaan gembira Naina berjalan mendekat. Sungguh tak dia duga, Abipun menggeser tubuh hingga Naina bisa duduk di sebelah kirinya. Sedang anak-anak yang lain di sebelah kanan.

"Sepertinya gelar dokter Anak memang sangat pantas di sandang sama Mas Abi. Buktinya semua anak-anak pada nempel," canda suami Raden Ayu. Semua ikut tersenyum. Termasuk Naina. Ia tak ingin membuang kesempatan.

Duduk di samping lelaki itu membuat ia seolah merasa duduk di samping papanya. Naina memeluk pinggang Abi, membuat lelaki itu terperanjat dan menoleh ke arah bocah tersebut.

"Namamu siapa?"

"Naina Om, Mama saya namanya Arini. Papa saya namanya Abiyasa."

Abi terhenyak mendengar penuturan bocah di hadapannya. Sesuatu ia rasakan menusuk dada dengan kuat. Ia terus memandangi Naina dari ujung rambut hingga telapak kaki. 

Abi menarik napas lalu ia mengelus pucuk kepala. Semenjak kepergian Arini, Abi memang selalu mengelus kepala tiap bocah yang berada di dekatnya.

Perhatiannya teralihkan saat MC mulai membuka acara.

"Baik, untuk mempersingkat waktu, bagaimana kalau langsung saja kita mulai acara kita pada hari ini?"

"Baik, silahkan."

Keluarga pihak calon mempelai pria menjawab serempak.

Acara sakral itupun dimulai. 

Sedang di kamar mandi, Arini merasa dirinya sudah terlalu lama di dalam. Bagaimana kabar Naina. Arini menyudahi duduk merenung. Ia segera keluar dan begitu terhenyak saat mendapati Naina sudah tak ada lagi di depan pintu kamar mandi.

"Naina, kemana kamu, Nak?"

***

Bersambung.

Ada yang deg-degan nggak baca part ini?

Yuk bantu saya dengan cara follow, subsrcribe, koment dan tekan tombol love ya.

Terima kasih.

Utamakan baca Al-Quran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status