Arini dan Naina sudah berada di dalam kios telpon umum. Sang ibu akan menepati janjinya kemarin untuk menelpon papa. Meski berat Arini menguatkan diri untuk menekan beberapa nomor telpon Abi.
[Hallo ....]
Degup jantung Arini menyentak kuat tatkala suara yang dahulu begitu ia candui, kini terdengar kembali di telinga. Sejenak tenggorokannya tercekat.
[Mas ....]
Dua bola mata Arini seketika basah. Sedang di seberang tak ada jawaban.
[Mas ....]
[Arini? Kaukah itu?]
Sebulir air mata luruh di kedua pipi Arini. Sungguh ia tak kuasa jika harus berbicara kembali dengan Abi.
[Kaukah itu Arini? Jawab Arini.]
Seketika Arini menutup telpon. Ia menekan dada dengan kuat. Bagaimana mungkin Abi masih mengenali suaranya? Hal ini benar-benar membuat Arini lemah.
Ia kuatkan diri untuk melangkah keluar dari ruangan kecil yang dibayarnya untuk menelpon tadi. Sang anak yang menanti di luar tampak bersemangat.
"Diangkat Ma telponnya?"
Naina bangkit mendekati sang ibu. Arini hanya menghela napas berat. Tidak ada jalan lain selain berbohong.
"Nggak diangkat, Nak."
"Yah, padahal Naina pengen banget bicara sama Papa, Ma," rengek Naina setengah menangis. Arini mencoba menenangkan bocah itu.
"Lain kali kita mencoba menelpon lagi ya, Nak. Udah, udah. Sekarang sebagai gantinya, Mama beli kamu es krim. Gimana?"
Meski tak bersemangat, Naina mengikuti juga langkah ibunya. Setelah membeli es krim, tujuan Arini pagi ini adalah mengunjungi rumah wanita yang selama ini sudah banyak berjasa untuknya.
Dulu, saat memutuskan pergi dari rumah Abi, Arini tak membawa banyak uang selain dua ratus ribu yang ia simpan-simpan selama dua bulan menjadi istri Abi. Arini memutuskan untuk menetap di Surabaya, sebab dalam ingatan tak mungkin suaminya akan mencari ke kota itu.
Bersyukur Arini masih punya ibu yang selalu menemani kemanapun ia pergi. Demi Arini, sang ibu menjual rumah peninggalan suaminya dan memilih menyewa sebuah kontrakan pada salah satu kecamatan di kota Surabaya.
Tapi umur memang menjadi rahasia Allah, setahun menemani sang anak. Ibunda Arini mengembuskan napas terakhirnya setelah berjuang melawan penyakit Asma.
Tak sampai di situ perjuangan yang harus dilalui Arini hingga ia bisa seperti saat ini, setelah melahirkan Naina. Arini terpaksa kehilangan pekerjaannya sebagai kasir di salah satu arena permainan anak. Sebab mereka membutuhkan tenaga secepat mungkin sedang Arini untuk selalu stand by.
Sedang Arini tentu harus menemani anak setidaknya untuk seminggu pertama.
Beberapa kali ia melamar pekerjaan pada beberapa tempat, tapi tak ada satupun yang menerima. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Raden Ayu Zumarya melalui sebuah tragedi. Arini telah menyelamatkan putra dari wanita berdarah ningrat tersebut dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Karena merasa begitu berjasa, Raden Ayu menawarkan pekerjaan untuk Arini sebagai guru di PAUD yang dia kelola. Dari wanita itu Arini tahu, bahwa tidak semua yang berdarah biru memiliki sifat angkuh seperti ibu mertuanya.
Raden Ayu bahkan berusaha menjodohkan Arini dengan sepupu suaminya yang juga memiliki keturunan ningrat.
Hari ini adalah hari bahagia untuk adik kandung Raden Ayu. Dia akan dipersunting oleh seorang dokter dari Jakarta. Arini diundang untuk meramaikan acara tersebut.
Bergegas Arini dan putrinya menuju rumah Raden Ayu. Sampai di sana, mereka disambut hangat oleh seluruh anggota rumah. Meski tak semua menyukainya, namun tersebab Raden Ayu sangat menghormati, yang lain pun ikut menghargai.
Arini turun membantu mempersiapkan hiasan di atas meja pengantin. Sedang Naina bermain bersama anak salah satu kerabat Raden Ayu di taman belakang.
"Dasar anak pembantu! Pergi kamu, nggak pantas kamu bermain sama kami!"
Tangisan anak perempuan di taman belakang membuat gerak tangan Arini terhenti, dia berlari ke sumber kegaduhan.
Begitu terhenyak saat melihat Naina dikerumuni anak-anak perempuan lain yang kelihatan begitu berkelas. Perkataan-perkataan buruk terus tertuju pada anaknya. Segera dia mendekat untuk melerai.
"Ada apa ini, kenapa kalian berkata buruk untuk anak saya?"
"Kami berkata apa adanya. Lihat pakaiannya, sangat tidak sepadan dengan kami. Dia harusnya ada di dapur membantu pelayan membersihkan rumah. Jangan bermain di sini, aku jadi jijik ke taman."
Astaghfirullah.
Arini menahan emosinya mendengar ucapan tak beadap anak di hadapan. Ia tak ingin menjawab, apalagi bertindak kasar pada anak kecil tersebut. Wanita itu menarik sang buah hati menjauh dari taman. Semua yang hadir hanya menyaksikan, tanpa berusaha melerai. Seolah apa yang diucapkan anak perempuan tadi memang sangat pantas ditujukan untuk Naina.
"Kamu nggak papa, Sayang?"
Naina mengangguk.
"Tapi Naina takut, Ma."
"Maaf ya, Mama pikir mereka akan bersikap baik sama kamu. Kalau seperti ini jadinya, lebih baik kita pulang saja."
Naina mengangguk.
Arini segera mencari keberadaan Raden Ayu atau suaminya, dia berniat untuk pamit dengan alasan apapun. Asal tidak lagi berada di rumah itu.
Setelah mengelilingi rumah yang cukup luas. Akhirnya Arini berhasil menemukan Raden Ayu di teras. Tampak selain wanita tersebut, beberapa kerabat sepertinya juga sedang menanti. Mungkin menanti kedatangan pihak pengkhitbah sesaat lagi akan sampai.
Arini ragu berpamitan tapi tak ada salahnya mencoba.
"Maaf Mbak, saya mau pamit pulang."
Raden Ayu seketika menoleh.
"Lo kok cepat banget? Tunggulah sebentar lagi, calon Wirda udah mau sampai."
Arini tak menjawab.
"Mbak mohon tunggulah sebentar lagi."
Merasa tak enak dengan permohonan itu, Arini kembali mengiyakan.
"Baik, Mbak. Yasudah, tapi saya ke belakang saja ya Mbak."
"Lo nunggu di sini aja. Jangan di belakang."
"Jangan Mbak, nggak pantas saya ada diantara Mbak dan keluarga."
"Yah, nggak papa Arini."
Arini tak dapat menolak, lengannya dikunci dengan kuat oleh Raden Ayu. Tak lama, beberapa mobil mewah mulai berdatangan.
Raden Ayu dan beberapa kerabat meneruskan langkah sampai ke pintu pagar yang sudah terbuka lebar. Di tempat itu mereka menunggu tamu calon suami adiknya menuruni mobil untuk kemudian memasuki rumah.
Tak ketinggalan Arini juga ikut dalam rombongan penerima tamu. Ia menggenggam jemari sang anak. Entah kenapa, detak jantung Arini mendadak berpacu kencang. Memorinya kembali dilempar ke masa-masa silam. Saat dimana Abi dan beberapa keluar datang melamar.
Penglihatan Arini kabur tertutup air mata. Tapi beberapa detik kemudian, rasa sedih yang ia alami seketika berganti keterkejutan.
Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat lelaki yang turun dari mobil paling depan, tak lain adalah Abiyana nya. Suami yang sudah ia tinggalkan tujuh tahun yang lalu.
Arini segera menyembunyikan wajah di balik punggung Raden Ayu. Perlahan ia bergerak menjauh sembari menarik tangan Naina masuk ke dalam rumah.
"Ma, kenapa kita masuk? Padahal Naina pengen lihat lelaki yang tadi berjalan paling depan, yang pakai baju batik lengan panjang itu, Ma. Naina seperti mengenal lelaki itu."
Arini merasa dadanya bergerumuh hebat. Apakah ini yang dikatakan kontak batin antara ayah dan anak? Naina tak pernah sekalipun melihat rupa papanya, tapi kenapa dia seperti mengenal lelaki itu?
"Kita ke dalam sebentar ya, Nak. Mama sakit perut."
"Ma, jangan tinggalin Naina lagi. Naina takut diejek sama anak-anak yang tadi."
"Kamu nunggu di depan kamar mandi ini. Jangan kemana-mana, mereka nggak akan kemari."
Naina mengangguk dan menunggu di depan kamar mandi seperti perintah sang ibu. Sedang Arini, dia kebingungan. Hatinya dipenuhi dengan pertanyaan, apakah suaminya yang hari ini akan menikahi Raden Adinda, adiknya Raden Ayu?
Ya Allah, kenapa bisa seperti ini?
Sedang di luar, Naina melihat lelaki berpakaian parlente tadi beserta seluruh tamu memasuki ruangan tengah rumah Raden Ayu.
Naima mengendap di balik tembok. Dia hanya ingin melihat lelaki itu, entah kenapa rasanya begitu ingin duduk di sebelah lelaki tersebut seperti beberapa bocah berpakaian bagus itu.
Naina tak sadar, tubuhnya semakin terlihat jelas. Dan ternyata Abi tak sengaja melihat Naina. Ia mengambangkan tangan menyuruh Naina mendekat.
"Sudah, dia bukan bagian dari keluarga ini," jawab salah satu keluarga Raden Adinda. Tapi segera disanggah oleh Raden Ayu sendiri.
"Tidak apa-apa, kemari Naina. Jangan di sana sendirian."
Dengan perasaan gembira Naina berjalan mendekat. Sungguh tak dia duga, Abipun menggeser tubuh hingga Naina bisa duduk di sebelah kirinya. Sedang anak-anak yang lain di sebelah kanan.
"Sepertinya gelar dokter Anak memang sangat pantas di sandang sama Mas Abi. Buktinya semua anak-anak pada nempel," canda suami Raden Ayu. Semua ikut tersenyum. Termasuk Naina. Ia tak ingin membuang kesempatan.
Duduk di samping lelaki itu membuat ia seolah merasa duduk di samping papanya. Naina memeluk pinggang Abi, membuat lelaki itu terperanjat dan menoleh ke arah bocah tersebut.
"Namamu siapa?"
"Naina Om, Mama saya namanya Arini. Papa saya namanya Abiyasa."
Abi terhenyak mendengar penuturan bocah di hadapannya. Sesuatu ia rasakan menusuk dada dengan kuat. Ia terus memandangi Naina dari ujung rambut hingga telapak kaki.
Abi menarik napas lalu ia mengelus pucuk kepala. Semenjak kepergian Arini, Abi memang selalu mengelus kepala tiap bocah yang berada di dekatnya.
Perhatiannya teralihkan saat MC mulai membuka acara.
"Baik, untuk mempersingkat waktu, bagaimana kalau langsung saja kita mulai acara kita pada hari ini?"
"Baik, silahkan."
Keluarga pihak calon mempelai pria menjawab serempak.
Acara sakral itupun dimulai.
Sedang di kamar mandi, Arini merasa dirinya sudah terlalu lama di dalam. Bagaimana kabar Naina. Arini menyudahi duduk merenung. Ia segera keluar dan begitu terhenyak saat mendapati Naina sudah tak ada lagi di depan pintu kamar mandi.
"Naina, kemana kamu, Nak?"
***
Bersambung.
Ada yang deg-degan nggak baca part ini?
Yuk bantu saya dengan cara follow, subsrcribe, koment dan tekan tombol love ya.
Terima kasih.
Utamakan baca Al-Quran.
Arini berjalan ke arah dimana suara hanya bersumber dari tempat itu. Begitu terhenyak saat melihat pemandangan dimana putrinya duduk di samping sang papa yang akan melangsungkan lamaran pada seorang wanita. Arini menekan dada yang tiba-tiba terasa sakit. Dua netranya basah. Ada rindu dan keinginan untuk menumpahkan segala kegalauan diri selama ini. Juga ada cemburu yang bersiap menguasai diri. Serta yang paling tidak dia harapkan, ada kecewa yang semakin menusuk dada."Aku akan mendoakan kebaikan untuk niatmu ini, Mas. Tapi sebelum pernikahan itu terjadi, kita harus bertemu. Kamu belum menjatuhkan talak untukku."Arini membalikkan badan hendak pergi, tapi gerakannya yang cepat berhasil membuat ia menabrak sesuatu."Astaghfirullah, maaf saya tak sengaja."Arini memandangi sosok yang baru saja ia tabrak itu. Seorang lelaki. Raden Mas Arshakalif. Dia adalah adik sepupu suami Raden Ayu yang tempo hari terus saja digodain sebagai calon ayah Naina."Maaf Mas, saya tidak sengaja."Arini men
"Arini?"Dua bola mata Abi menatap Arini lekat."Arini?"Abi mengulang panggilan, seolah tak percaya wanita yang dia cari selama bertahun-tahun kini ada di hadapannya. Tangan lelaki itu hampir saja menyentuh lengan Arini, tapi tiba-tiba ...Bruuukkk!"Astaghfirullah, Abi ... Mamamu!"Abi terhenyak, ia segera membalikkan tubuh dan begitu terkejut saat mendapati mamanya jatuh tersungkur ke lantai. Ia abaikan Arini dan berlari menolong sang ibu. Hati Arini terasa sakit. Air mata kembali mengambang di kedua pelupuk. Ia memandangi lelaki itu yang terlihat begitu khawatir akan ibunya. Ia ingin berlari, tapi ikut khawatir pada perempuan yang masih berhak ia panggil ibu mertua itu. Arini berdiri mematung di tempatnya. Sedang di kejauhan ..."Mama kenapa, Ma?"Wanita paruh baya di hadapan Abi memegang dadanya kuat. Melihat hal itu sang anak semakin kalut. "Tolong ambilkan obat di dalam tas Mama, Tante," pinta Abi pada wanita yang berjongkok di sisinya. Wanita itu segera mengambil dan menyer
Arini tahu akan ada dua pilihan jika mereka kembali membuka ruang untuk bicara, terluka dan tersakiti. Dua pilihan yang tak akan pernah berpihak padanya. Tapi ucapan Abi selanjutnya membuat hati wanita itu luluh."Mas mohon Dek, Mas rindu sama kamu."Perkataan itu, membuat Arini mengerjap berkali-bali. Ia berusaha mengusir sekian banyak air mata yang hendak mendesak keluar. Baru mendengar satu kali saja kata rindu dari mulut Abi, hatinya sudah patah ara. Bagaimana jika yang lain."Arini ...."Abi mendorong pintu lebih lebar. Dua netranya kini berhasil menatap Arini lekat. Sungguh, wanita itu juga dapat menyaksikan bulir bening yang membasahi mata lelaki di hadapannya, dan itu benar-benar membuat hati Arini perih."Mas sangat bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama tak saling mengetahui kabar, kini kita kembali bertemu, Arini."Arini membuang wajah."Katakan kenapa kamu pergi, Dek? Kamu membenci suamimu ini? Kamu membenci pria brengsek yang tega menyuruh seorang istri menggugurkan kandu
Mengenai permintaan Abi, Arini sudah beristikharah. Kini hanya menunggu kepastian dari Allah. Ketika pagi menyapa, seperti biasa Arini sudah siap memasak, beres rumah dan mencuci pakaian. Tepat pukul enam dia membangunkan Naina, dan mengajak putrinya itu untuk bersiap-siap ke sekolah.Sekolah Naina hanya berjarak 1 kilometer dari rumah, biasa mereka menaiki ojek agar dapat sampai ke tempat tersebut. Meski terlihat tenang, sebenarnya Arini berkali-kali mengecek ke luar rumah. Dia teringat akan kata-kata Abi semalam untuk datang menemui Naina pagi ini.Bukan serupa pengharapan, mungkin keingintahuan. Benarkah lelaki itu akan menepati ucapannya?Arini pasrah, saat mendapati jam sudah menunjukkan pukul tujuh tapi tak ada satu manusiapun yang sampai ke rumahnya."Yuk Nak, kita pergi."Arini mengajak sang buah hati. Tapi, kedatangan sebuah mobil membuat degup tak biasa menyentak jantung Arini."Mobil siapa itu, Ma?"Arini menatap lekat, ia tak bisa menandai mobil siapa yang kini terparkir
Abi turun dari mobil, ia memutuskan untuk tidak langsung kembali. Lelaki itu duduk di kios kecil pinggiran jalan. Memesan kopi panas sekadar mengusir rasa sakit yang tiba-tiba memenuhi dada.Semenjak kecil, Abi memang terbiasa dimanja oleh orang tuanya. Setelah sepuluh tahun kelahiran sang kakak, barulah Abi kecil hadir di rahim sang mama. Hal itu membuat dia tidak hanya dimanja oleh mama ataupun papa, tapi juga oleh kakak perempuan dan kakak lelakinya.Abi anak penurut, semua keinginan keluarganya hampir tidak ada yang ia tolak untuk dilakukan. Hanya soal cinta, itupun Abi terpaksa harus diam-diam menikahi Arini. Demi menjaga perasaan sang ibu.Nikah bawah tangan, awalnya Arini menolak keinginan tersebut. Tapi karena kegigihan Abi, juga janji yang diucapkan lelaki itu, Arini luruh. "Nikah tanpa restu itu berat, Nduk. Ibu takut kamu akan menderita setelahnya."Itu adalah perkataan ibunda Arini yang tidak hanya diucapkan di hadapan sang anak gadis, juga di hadapan Abi. Selaku lelaki y
"Naina ... Om ini adalah."Abi menghentikan ucapannya dan menatap Arini. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa tak siap. Dari pertama bertemu sampai detik ini, Naina begitu menyayangiya. Bagaimana jika gadis kecil itu tahu apa yang sudah terjadi tujuh tahun silam, akankah Naina membencinya?"Katakanlah, Mas."Abi menarik napas."Naina, Om ini adalah Papamu, Nak."Dua bola mata Naina membelalak tak percaya."Papa?""Iya, Sayang. Ini Papa.""Ma, benar apa yang dikatakan Om Abi?"Naina kini menatap Arini. Benar sedang mencari pembenaran."Iya, Sayang. Om Abi itu Papa kamu."Naina kembali menatap Abi. Lelaki itu tak lagi mengulur waktu, dengan segera ia membawa sang anak dalam dekapan. Air mata mengalir begitu saja dari kedua pelupuk mata.Sedang di samping mereka, Arini ikut menyeka dua pipinya. Tak pernah sekalipun dalam tujuh tahun ini, Arini membayangkan akan bertemu kembali dengan Abi. Dan yang tidak pula ada dalam angannya, akan ada rasa seperti ini bila mereka bertemu."Maafkan Papa, N
"Saya minta Mas Khalif dan Mas Abi pulang, ini sudah magrib. Saya tidak mau didatangi orang satu kampung hanya karena Mas sekalian berdebat di sini! Dengan sangat memohon, saya minta agar semuanya pulang!"Abi tampak menghela napas. Jujur ia berjanji tidak akan beranjak sebelum Khalif yang terlebih dahulu meninggalkan rumah Arini. Tapi permintaan khusus yang ditujukan Arini padanya, membuat sang lelaki tak ada pilihan lain."Arini mohon, Mas Abi."Abi dengan berat mengiyakan permintaan Arini. Ia memasuki kembali mobil lalu menghilang dari pandangan.Selepas kepergian Abi,"Saya tidak paham kenapa ada lelaki seperti suamimu itu!""Maksud Mas?""Harusnya kalau dia mencintaimu, dia bertahan meski dunia membencinya."Arini terdiam."Sekarang dia seperti memakan buah simalakama, memilihmu akan menyakiti hati orang yang dia sayangi. Memilih Dinda akan menyakitimu dan Naina. Harusnya jika dia mau bertahan, dari dulu dia sudah bersikeras!"Arini merasa dadanya tertusuk kuat. Benar apa yang d
Degup Jantung Arini menyentak saat mendengar permintaan Abi. Sungguh dia ingin secara tegas menolak permintaan lelaki itu. Namun lagi-lagi, pertanyaan Naina berikutnya membuat hati wanita itu kembali terenyuh."Ma, bisa nggak ya Allah menghentikan waktu?"Arini mendelik, dia membawa Naina dalam pangkuan."Tentu bisa jika Allah sudah berhendak, Nak. Tapi kenapa Naina pengen Allah menghentikan waktu?"Gadis kecil di hadapan Arini tersenyum malu."Soalnya Naina takut kalau udah malam, Papa bakalan pergi lagi, Ma?"Pandangan Arini kembali terlempar pada Abi. Ada yang membuat dadanya terasa nyeri. Ya Allah, bagaimana jika nanti mereka benar akan berpisah? "Papa nggak akan tinggalin kamu, Nak. Malam ini kita akan menginap di hotel. Iyakan, Ma?"Arini menarik napas berat saat Abi melempar pertanyaannya. Mengapa situasi selalu tak berpihak pada. Arini terpaksa mengiyakan demi kebahagiaan Naina."Iya, Sayang.""Hore asyik."Naina bersorak gembira, demikian dengan Abi. Lelaki itupun diam-diam