Share

Putri Yang Kau Suruh Gugurkan
Putri Yang Kau Suruh Gugurkan
Penulis: Wahyuni SST

1. Gagal Aborsi

"Ma, Papa aku itu orangnya gimana, sih?"

Naina bertanya dengan wajah serius? Terhitung minggu ini dia sudah bertanya sosok sang ayah hampir setiap malam. Tapi tetap saja pertanyaan itu lagi yang dia ajukan pada ibunya.

Arini yang sedang sibuk menyelesaikan cerpen untuk mengisi rubrik pada sebuah majalah remaja, terpaksa menghentikan kegiatannya lalu memfokuskan diri pada sang buah hati.

"Papa kamu itu orangnya tampan, baik, taat ibadah dan sayang sama ibunya."

Jika empat malam kemarin Naina terlihat tidak lagi mengajukan pertanyaan. Tapi kali, dia masih duduk sembari berpikir.

"Ada apa lagi, Sayang?" 

Arini kembali bertanya, sebab melihat raut wajah Naina yang menyiratkan ketidakpuasan.

"Memangnya selain tampan, baik, taat ibadah dan sayang sama ibunya, Papa nggak punya ciri khas lain ya, Ma?"

Dua netra Arini mendelik sedang bibirnya berusaha mengulum senyum.

"Misalnya, Papa itu punya tubuh yang tinggi, kulitnya sawo matang, rambutnya lurus, terus apalagi Ma?"

"Emm, semua yang Naina sebutkan itu sudah benar, Nak."

"Em begitu ya Ma, terus Papa kerja apa sih, Ma?"

Arini terhenyak sejenak, pertanyaan sang anak seperti melambung angannya jauh ke masa silam.

"Papa kamu itu seorang dokter. Dokter Spesialis Anak."

"Wah, pekerjaan Papa keren banget ya, Ma? Aku mau donk Ma, sesekali ketemu sama Papa."

Arini mengusap pelan kepala anaknya.

"Nanti ya, jika sudah waktunya, Mama pasti akan bawa kamu ketemu sama Papa."

Wajah Naina tampak merengut. Jika tahun-tahun kemarin Naina masih bisa menurut, sepertinya kali ini tidak. Usia sang anak yang semakin dewasa membuat jiwanya semakin kritis.

"Ma, kalau nggak bisa ketemu, Naina mau sekali aja ditelpon. Naina pengen dengar suaranya aja, Ma."

"Yaudah, besok kita coba ke telpon umum untuk menelpon Papamu, ya."

"Benaran, Ma? Asyik aku mau langsung tidur ya, Ma. Biar cepat-cepat bisa bicara sama Papa."

Naina menarik selimut lalu membaca doa. Tak berapa lama, bocah itu sudah terlelap ke alam mimpi. Meninggalkan sang ibu dengan seribu pikiran berkecamuk di jiwa. Bertahun-tahun Arini pergi meninggalkan suami tercinta. 

Sudah siapkah jika dia menelpon memberi kabar?

*

Tujuh tahun yang lalu, Arini pernah dipersunting seorang lelaki. Lelaki sempurna yang berdarah biru. Pernikahan mereka, tentunya tidak direstui oleh keluarga besar sang suami. Arini yang hanya anak seorang petani lulusan sarjana ekonomi tentu tak sepadan dengan gelar ningrat yang melekat pada diri suaminya.

Nama lelaki itu Raden Mas Abiyasa Wirahaditenaya.

Dia seorang dokter. Dan Arini bekerja di klinik keluarga mereka sebagai tenaga administrasi. Seluruh keluarga, mulai dari ayah, Abang dan kakak bahkan sampai iparan Abi berprofesi sebagai dokter.

Hanya lelaki itu seorang yang tidak mendengar kata orang tuanya dengan tetap menikahi Arini. 

Pernikahan sederhana, dari keluarga Abi yang hadir hanya kakak beserta sang suami. Tak ada mama ataupun papa mertua. Tapi lelaki itu dan Arini tetap melalui hari-hari mereka dengan saling menguatkan dan memberi semangat.

Dua bulan pertama yang begitu indah. Arini merasa begitu dicintai dan sangat mencintai. Sebelum kabar itu datang menghampiri. 

Ibunda Dokter Abi, masuk ke rumah sakit karena penyakit jantungnya kambuh. Abi terpaksa meninggalkan Arini demi menjenguk ibunda tercinta. 

Selama beberapa hari ditinggal, Arini mengalami apa yang biasa dialami oleh perempuan umumnya setelah menikah. Mual dan muntah di pagi hari. Wanita itu mencoba memeriksa melalui sebuah alat test kehamilan. 

Dan ia begitu bahagia saat mendapati dua garis biru pada alat tersebut.

Seminggu lamanya Abi menjaga sang ibu di rumah sakit. Akhirnya dimalam ke delapan, lelaki itu pulang menjenguk Arini.

Wajah Abi tampak kusut dan menyiratkan kegelisahan. Arini menyambut tanpa bertanya apapun. Ia lakukan banyak hal agar membuat sang suami nyaman dan bahagia. Hingga setelahnya, wanita itu memberanikan diri menanyakan kabar sang ibu serta mengabaikan apa yang ingin dikatakan perihal kehamilan.

"Mama gimana kabarnya, Mas?"

"Mama masih lemah, kondisi jantungnya masih belum stabil."

"Bismillah, yakin Mas bahwa Allah akan segera memberi kesembuhan untuk Mama."

Abi kembali menatap Arini. Sorot matanya menyiratkan rasa bersalah teramat dalam.

"Dek, Mama minta satu hal pada Mas."

Entah kenapa perasaan Arini disergap ketakutan. Tapi ia mencoba tegar.

"Katakan Mas, Mama minta apa pada kita?"

Abi menarik napas dalam. Wajahnya menunduk.

"Mama minta agar Mas menceraikan kamu."

Saat itu Arini benar-benar tercengang. Tangisnya pecah di tengah malam buta. Hati wanita itu benar-benar hancur. Abi dengan segera memeluk.

"Maaf jika Mas menyampaikan hal ini padamu, tapi Mas tak dapat menanggungnya seorang diri."

Arini semakin terisak, membuat tubuh sang suami bersimpuh di kakinya. Abi terus meminta maaf atas pengakuan tersebut.

"Mas hanya ingin berbakti pada Mama, Dek. Apalagi setelah melihat kondisi Mama sekarang. Seandainya jika ini menjadi permintaan Mama yang terakhir, rasanya Mas akan sangat menyesal jika tidak dapat menuruti permintaan tersebut."

Bijaksanakah seorang lelaki menceraikan istri demi berbakti kepada ibunya?

Seluruh tubuh Arini kehilangan keseimbangan. Jantungnya melemah. Sungguh ia tak ingin berpisah, terlebih setelah buah hati bukti cinta mereka kini sudah tersemai di dalam rahim.

"Jangan bercerai, Mas. Aku hamil."

Abi tercekat. Bukan reaksi kebahagiaan yang pada umumnya terjadi pada seorang suami. Tapi lebih pada keterkejutan.

"Kamu hamil?"

"Iya, Mas. Aku hamil. Mas tidak bahagiakah?"

Abi tersenyum, senyum yang begitu ia paksakan.

"Bahagia. Sangat bahagia."

Abi kembali memeluk sang istri. Ia begitu menyesal sudah hampir mengiyakan keinginan ibunya untuk berpisah.

"Mas akan coba menyampaikan berita ini pada Mama, semoga Mama bahagia dan akhirnya menerima pernikahan kita."

Arini mencoba membesarkan hati. Sebagai seorang istri, ia hanya ingin tetap bersama suami, apalagi setelah ada benih dalam rahimnya.

Arini kembali melepas sang suami untuk menjenguk ibunda tercinta. Setiap detik, wanita itu terus melangitkan doa. Agar ibu mertua terbuka hati dan mau menerimanya beserta calon cucu.

Malam berganti. Sang suami akhirnya pulang, ia menangkap raut wajah Abi jauh dari kata rileks. Arini tak yakin jika yang akan disampaikan sesaat lagi adalah berita bahagia. 

Bisakah ia meminta agar suaminya tidak berkata apapun malam ini. Sebab ia ingin melepas rindu sudah tak bertemu selama dua hari?

Tapi ternyata, tanpa diminta, Abi sudah terlebih dahulu menyampaikan permintaan sang ibu.

"Ibu minta kamu menggugurkan kandunganmu, Dek."

Arini terhenyak, ini benar-benar tak pernah ada dalam bayangan.

"Menggugurkan kandungan, Mas?"

Abi berlutut, bahkan ia mencium kaki Arini sebagai permohonan maaf seorang suami. 

Lelaki yang harusnya bertanggung jawab atas buah cinta yang hadir dari sebuah pernikahan suci kini justru ingin melenyapkan bayi itu dari muka bumi.

Ya Allah, bahkan Allah Maha Pemurah, tidak sampai tiga bulan, Dia sudah menghidupkan karunia indah dalam rahim Arini. Tapi dengan tak berperasaan ibu mertua meminta agar menantu mengugurkan kandungannya?

Arini terdiam dengan air mata yang terus mengalir.

Atas apapun, haruskah ia menuruti kemauan ibu mertua? Akankah setelah ini beliau mau menerimanya sebagai menantu?

Dua malam yang berat kembali dilalui Arini tanpa suami di sisi. Abi tak pulang sebab kabarnya sang ibu semakin kritis. Arini terus merenung, berpikir sembari berusaha mengambil sebuah keputusan yang bijaksana.

Pagi itu, pagi ketiga setelah Abi memintanya menggugurkan kandungan. Arini mengirimkan sebuah pesan.

"Aku akan memenuhi permintaan Mama, Mas. Aku akan menggugurkan kandungan ini."

Tak ada balasan, bahkan setelah menunggu sekian jam. Dengan berat, akhirnya Arini melangkahkan kaki menuju klinik yang diinformasikan sang suami malam itu. Cukup lama duduk dengan berbagai pertimbangan muncul.

Air mata Arini kembali berderai, mengingat calon bayi yang seharusnya lahir ke dunia justru sesaat lagi hanya tinggal asa.

Belum lagi berbagai informasi tentang bahaya setelah aborsi. Wanita biasanya akan mengalami keluhan nyeri atau kram perut, mual, lemas, dan perdarahan ringan selama beberapa hari.

Pada kondisi tertentu, tindakan aborsi dapat menimbulkan masalah kesehatan serius dalam waktu beberapa hari hingga sekitar 4 minggu setelahnya. Aborsi juga dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan hebat, infeksi, gangguan kesuburan, masalah psikologis, endometriosis, kanker rahim, kerusakan panggul, bahka angka kematian pun sangat besar.

Nyali Arini ciut. Ya Allah, demi apapun aku tak mungkin menggugurkan kandungan ini. Jika Mas Abi merasa begitu ingin menuruti kemauan orang tuanya, jika ibu mertua memang tak inginkan kehadiranku dan anak ini, baiklah aku akan pergi.

***

Bersambung

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa follow, subscribe, koment dan tekan tombol love ya.

Utamakan baca Al-Quran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status