Mereka tertawa bersama, suara mereka cukup pelan untuk tidak menarik perhatian orang lain, tapi cukup keras untuk Laras mendengar percakapan itu. Hatinya mencelos, namun ia mencoba tetap tenang dan tidak menunjukkan reaksi apa pun. Laras tahu bahwa bisikan-bisikan semacam ini akan selalu ada, tapi tidak pernah mudah untuk diabaikan.
Tak jauh dari sana, Maya dan Siska juga mendengar percakapan itu. Maya menukar pandangan cepat dengan Siska, sebuah isyarat yang tak perlu kata-kata. Mereka berdua tahu bahwa gosip ini bisa menjadi senjata yang ampuh untuk menekan Laras di masa mendatang.
"Lihatlah, Siska," bisik Maya dengan nada licik. "Gosip sudah mulai menyebar. Sepertinya kita tidak perlu repot-repot menciptakan cerita. Orang-orang sudah melakukannya untuk kita."
Siska tersenyum tipis. "Ya, tinggal bagaimana kita menggunakannya saja. Ini akan menjadi menarik."
Saat Laras berjalan menuju tempat duduk yang telah disiapkan, Siska mendekatinya. "Kau harus lebih sering tampil di acara-acara seperti ini, Laras. Orang-orang mulai bertanya-tanya siapa istri ketiga Adrian" ucapnya dengan nada manis namun ada sinis yang terselip di dalamnya.
"Aku akan mencoba," jawab Laras datar, tidak ingin memancing konfrontasi. "Aku hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri."
Siska tertawa kecil, lalu berbisik, "Jangan terlalu lama, Laras. Dunia ini tidak menunggu siapa pun, termasuk dirimu."
Laras hanya tersenyum tipis, menahan perasaan tidak nyaman yang semakin menguasai dirinya. Ia melanjutkan langkahnya menuju tempat yang telah ditentukan untuknya, mencoba mengabaikan bisikan-bisikan kecil di sekitarnya.
Laras berusaha menghindar dari keramaian, mencari pelarian sejenak di dekat meja prasmanan. Laras mendekati meja prasmanan, mencoba mencari sedikit ketenangan di tengah hiruk pikuk acara. Namun, Adrian tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Kau tampak cantik malam ini," ujar Adrian dengan nada yang terdengar formal, seolah memuji adalah bagian dari tugasnya.
"Terima kasih," jawab Laras, sedikit terkejut dengan kehadirannya. "Aku berharap bisa memberikan yang terbaik untukmu."
Adrian mengangguk, lalu menatap mata Laras dengan serius. "Ingat, malam ini penting bagi bisnis kita. Jangan melakukan hal yang bisa menimbulkan perhatian lebih."
Laras hanya bisa mengangguk lagi, merasa kecil di hadapan pria yang sudah menjadi suaminya selama setahun, namun tetap saja terasa asing. "Aku mengerti, Adrian."
Setelah Adrian pergi, Laras merasa semakin terisolasi di tengah keramaian itu. Ia memandang semua orang di sekitarnya, namun tidak ada yang benar-benar melihatnya. Seakan-akan dia hanyalah bayangan di antara kilauan lampu kristal dan gelas-gelas anggur yang berkilauan. Dalam kesunyian batinnya, Laras mulai merindukan hidup yang lebih sederhana, yang tidak dibebani oleh ambisi dan formalitas.
Saat malam semakin larut, acara berakhir dan para tamu mulai berpamitan. Laras berdiri di dekat pintu, menunggu saat yang tepat untuk keluar tanpa menarik perhatian. Ketika dia melangkah keluar dari ballroom, udara malam yang sejuk menyambutnya, memberikan sedikit rasa lega.
Di perjalanan pulang, Laras memandangi jalanan kota yang sepi dari balik jendela mobil. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya berapa lama lagi ia bisa bertahan dalam kehidupan ini. Meskipun ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya kepada siapa pun, Laras tahu bahwa dirinya perlahan-lahan mulai kehilangan arah.
Hari-hari setelah acara amal berlangsung dengan penuh ketegangan bagi Laras, suasana rumah terasa semakin menekan dengan adanya bisikan-bisikan baru yang datang dari luar.
Laras merasakan perubahan yang signifikan dalam cara Maya dan Siska memperlakukannya. Setiap hari, mereka tampak semakin berusaha membuat hidupnya menjadi lebih sulit.
Saat pagi hari, Laras sedang menyiapkan sarapan, Maya dan Siska duduk di meja makan, sudah siap dengan topik yang akan dibahas.
"Selamat pagi, Laras," sapa Maya dengan senyum tipis yang tidak benar-benar mencapai matanya. "Aku dengar Adrian akan mengadakan pertemuan bisnis penting minggu ini."
"Ya, aku tahu," jawab Laras sambil mengaduk teh. "Dia bilang itu untuk membahas perkembangan terbaru."
Siska melirik Laras dengan tatapan dingin. "Kau tahu, Laras, kadang-kadang aku merasa kau harus lebih aktif di acara-acara sosial. Mungkin bisa membantu hubungan suamimu dengan para pengusaha."
Laras berusaha tetap tenang. "Aku akan melakukan yang terbaik. Tapi, kadang aku merasa tidak tahu apa yang diharapkan dari aku."
Maya tersenyum sinis. "Mungkin karena kau berasal dari desa, jadi belum terbiasa dengan gaya hidup ini. Kami semua di sini sudah menjalani kehidupan ini jauh lebih lama daripada kau."
Siska menambahkan dengan nada sarkastis, "Ya, dan tampaknya peranmu di sini hanyalah untuk mengisi posisi yang kurang penting. Aku yakin Adrian lebih memerlukan seseorang yang bisa benar-benar mendukungnya."
Laras merasakan kemarahan menggebu di dadanya, tapi ia berusaha menahan diri. "Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk keluarga ini."
Setelah sarapan, Laras pergi ke ruang kerjanya untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Setiap sudut rumah terasa seperti mengawasinya, dan setiap suara tampaknya memiliki makna tersembunyi. Ia berusaha fokus, tetapi pikirannya terus kembali pada komentar yang didengarnya.
Setelah malam hari Laras turun untuk menyiapkan makan malam, Makan malam kali ini terasa lebih menegangkan daripada biasanya. Maya tampak sibuk membaca koran bisnis sambil sesekali melirik Laras dengan nada penuh arti.
"Hii, Laras," sapa Maya dengan nada yang sinis, seolah sedang menyindir Laras. "Aku mendengar bahwa ada beberapa proyek baru yang sedang dikerjakan oleh Adrian."
"Ya, dia memang sedang fokus pada beberapa proyek besar," jawab Laras, mencoba tetap sopan. "Aku yakin semua akan berjalan lancar."
Siska menatap Laras dengan tatapan tajam, sambil menyendokkan makanan ke piringnya. "Semoga saja, Laras. Kami tentu tidak ingin ada masalah, apalagi dengan proyek-proyek penting ini."
Laras merasakan tekanan di dadanya, tetapi dia mencoba untuk tidak menunjukkan betapa sulitnya situasi tersebut. "Aku juga berharap semuanya berjalan dengan baik."
Setelah makan malam, Laras menuju ke ruang kerja Adrian untuk mengantarkan makanan karena Adrian sangat sibuk dengan kerjaanya. Di sana, dia melihat Adrian sedang berbicara di telepon dengan nada serius. Ketika Adrian selesai, ia menatap Laras dengan perhatian yang sepertinya tidak sepenuhnya hadir.
"Apakah ada yang bisa aku bantu, Adrian?" tanya Laras.
Adrian menghela napas. "Aku baru saja menerima beberapa laporan dari proyek yang memerlukan perhatian khusus. Aku harus pergi ke kantor untuk mengatasi beberapa masalah. Tapi aku ingin memastikan semuanya berjalan baik di sini."
Laras mengangguk. "Aku akan menjaga semuanya di rumah. Jika ada yang perlu ditangani, aku akan segera memberitahumu."
Adrian tersenyum tipis, lalu bergegas keluar. Laras merasa sedikit terabaikan, tapi dia tahu tugasnya di rumah harus tetap dijalankan dengan baik.
Selama hari itu, Laras mencoba untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga dan merawat berbagai kebutuhan rumah, namun hatinya dipenuhi dengan beban yang semakin berat. Dia terus mengirim uang untuk mendukung Bima, meskipun setiap kali dia melakukannya, rasanya seperti ada beban tambahan di pundaknya. Mengirim uang untuk Bima membuat Laras merasa seperti dia hidup hanya untuk orang lain, tanpa ruang untuk kebahagiaan atau kenyamanan pribadi.
Langit pagi di pelabuhan tampak mendung, seolah alam mengetahui bahwa pertempuran akan segera terjadi. Suara deru ombak bercampur dengan suara langkah kaki yang tergesa-gesa, membuat suasana semakin tegang. Di antara deretan kontainer yang menjulang, Bima, Adrian, Reza, dan tim mereka berdiri dengan penuh kewaspadaan.Bima merapatkan jaket hitamnya, tatapannya lurus ke depan. "Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menghancurkan Tanaka sebelum dia sempat menyerang lagi."Adrian, berdiri di samping Bima, menghela napas panjang. Meskipun matanya penuh kelelahan, semangat bertarungnya masih menyala. "Kita harus berhati-hati. Tanaka pasti sudah mempersiapkan pertahanan yang kuat."Reza dan Yusuf memimpin persiapan lapangan. Reza, dengan pengalaman taktisnya, membagi tim menjadi beberapa kelompok kecil. Yusuf, di sisi lain, memantau jaringan komunikasi untuk memastikan bahwa tidak ada kejutan dari pihak Tanaka."Tim satu dan dua akan menyusup dari sisi utara," kata Reza sambil menunjukk
Malam masih sunyi, tapi ketegangan meliputi suasana markas Bima. Adrian tengah duduk di meja besar yang penuh dengan peta dan dokumen. Di depannya, Bima berdiri dengan tangan terlipat, matanya tajam memandangi rencana yang sudah mereka buat untuk menyerang Mr. Tanaka. Setelah insiden pengkhianatan Darto, semua orang semakin berhati-hati."Semua sudah siap," ujar Bima, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. "Kita hanya tinggal menunggu waktu yang tepat."Adrian mengangguk, meskipun ekspresinya sedikit tegang. "Tapi kita tidak bisa santai. Tanaka pasti sedang menyusun balasan."Sementara mereka berdiskusi, beberapa karakter pendukung yang relevan mulai berdatangan. Ada Yusuf, ahli teknologi yang membantu Bima dan Adrian dalam mengawasi komunikasi digital Mr. Tanaka. Yusuf sudah berada di belakang layar sejak awal, namun keahliannya menjadi semakin vital setelah pengkhianatan Darto. Di samping Yusuf, ada Reza, pemimpin tim lapangan yang mengatur orang-orang Bima untuk serangan langsung
Bima duduk di ruangannya, memeriksa berkas-berkas rahasia yang berkaitan dengan rencana serangan mereka terhadap Mr. Tanaka. Semuanya terlihat sempurna di atas kertas, tetapi perasaan gelisah terus merayap dalam dirinya. Ada sesuatu yang salah—terlalu banyak kebetulan yang tak bisa ia abaikan. Serangan balik Tanaka datang terlalu cepat, seolah-olah dia sudah tahu rencana mereka.Bima memandang Adrian yang berada di seberang meja. "Aku merasa ada yang bocor," katanya pelan, tapi tegas.Adrian menatapnya dalam diam, menyadari betapa seriusnya situasi ini. "Kau pikir ada pengkhianat di tim kita?" tanya Adrian akhirnya."Lebih dari itu," jawab Bima dengan suara rendah. "Aku yakin seseorang telah menjual kita ke Tanaka."Penyelidikan segera dimulai. Bima menginstruksikan beberapa orang kepercayaannya untuk menyelidiki tiap anggota tim. Dia tahu betul bahwa siapa pun yang berkhianat pada mereka harus ditemukan sebelum lebih banyak kerusakan terjadi. Adrian ikut serta, menginterogasi beberap
Ruangan itu dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh. Namun, suasana di dalamnya jauh dari hangat. Di seberang meja, Bima duduk tegak, tatapannya tajam, mengamati Adrian yang sibuk membolak-balik dokumen di hadapannya. Mereka sekarang adalah sekutu tak terduga, bersatu oleh tujuan yang sama—menghancurkan Mr. Tanaka.Adrian meletakkan dokumen itu, menghela napas berat. "Aku sudah mempelajari semua ini," katanya, suaranya rendah. "Mr. Tanaka bukan orang yang mudah dihadapi. Dia punya jaringan yang luas dan kuat. Kita butuh strategi yang lebih matang."Bima menatap Adrian tanpa ekspresi, matanya meneliti setiap gerakan pria yang kini menjadi sekutunya. "Aku sudah tahu itu. Aku tidak perlu kau menjelaskan betapa berbahayanya dia."Adrian terdiam sejenak, menyadari bahwa Bima memang sudah lama mempersiapkan ini. “Baiklah, apa rencanamu?” tanyanya, menyadari bahwa taktik terbaik saat ini adalah membiarkan Bima memimpin.Bima mencondongkan tubuh ke depan, membuka map di hadapannya. "Kita serang
Suasana di rumah Adrian terasa semakin suram. Ketegangan menumpuk seiring waktu, terutama setelah serangkaian serangan yang mengguncang kerajaan bisnis keluarga Wijaya. Adrian, yang dulu tampak tak tergoyahkan, kini terlihat rapuh. Hari itu, Adrian akhirnya mengetahui kebenaran yang menghancurkannya: Bima, adik iparnya sendiri, adalah dalang di balik semua serangan.Adrian duduk di ruang kerjanya, tangannya bergetar saat memegang laporan terakhir yang diantarkan oleh orang kepercayaannya. "Bima..." gumamnya lirih, suaranya serak.Langkah kaki terdengar dari luar pintu. Bima masuk dengan tenang, tanpa ekspresi, dan duduk di kursi di seberang Adrian. Mereka saling menatap, ketegangan memenuhi ruangan.“Aku tahu kau akan segera mengetahuinya,” kata Bima tanpa basa-basi. “Aku sudah menunggu waktu ini.”Adrian terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Amarahnya bergolak, namun juga ada rasa keterkejutan yang sulit dijelaskan. “Kenapa? Kenapa kau lakukan ini?” tanya Adrian, suaranya be
Di kantor, Adrian terus menerima telepon dari rekan-rekannya. Suara marah dan penuh kekecewaan datang dari berbagai pihak. Beberapa mitra bisnisnya memutuskan hubungan, investor menarik diri, dan kontrak-kontrak besar dibatalkan."Kami tidak bisa melanjutkan kerja sama ini, Adrian. Reputasimu sudah rusak. Ini akan menghancurkan kita juga."Adrian membanting teleponnya ke meja, wajahnya merah karena marah dan frustrasi. Semua yang dia bangun selama bertahun-tahun kini hancur dalam sekejap.Di sudut ruangan, Maya berdiri dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan suaminya dengan tatapan datar. "Ini sudah di luar kendali, Adrian. Kau harus melakukan sesuatu."Adrian mendongak, menatap Maya dengan mata yang penuh amarah. "Kau pikir aku tidak mencoba? Setiap hari aku mencoba memperbaiki ini, tapi serangannya datang dari segala arah. Aku bahkan tidak tahu siapa yang ada di balik semua ini."Maya mendekat, tatapannya tajam. "Kau perlu bertindak cepat, Adrian. Jika tidak, aku tidak akan iku