Share

Bab 7

Penulis: Meep
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-21 06:05:02

Di ruang rapat kantor hukum , cuma meja panjang sama kursi-kursi yang keliatan. Bima duduk paling ujung, mukanya serius kayak lagi nyusun rencananya. Di sekelilingnya ada pengacara dan anak buahnya.

"Mantap banget infonya, Bim,"kata si pengacara, sambil ngelirik-lirik kertas. "Sekarang kita harus merencanakan langkah awal untuk mengatasi keluarga Wijaya."

Bima mengangguk. "Yang pertama, kita hancurin dulu bisnis mereka. Kalau duitnya habis, mereka pasti kalang kabut."

Rafi, si ahli komputer yang dari tadi diem aja, tiba-tiba nyambung, "Gimana kalau kita retas sistem mereka? Kita sebarin gosip bohong biar klien-kliennya kabur semua."

"Bima mengerutkan kening. "Rafi, lo yakin bisa ngelabuin sistem keamanan mereka?"

"Tenang aja, bos," jawab Rafi dengan percaya diri. "Saya udah punya beberapa trik."

Bima mengetuk-ngetuk meja dengan jari, matanya fokus pada tumpukan dokumen di depannya. "Kita mulai dari bisnis utamanya, Adrian. Kalau kita bisa buktiin ada yang enggak beres di perusahaan-perusahaan itu, mereka pasti panik. Kita bikin mereka mundur selangkah demi selangkah."

Pengacara mengangguk, pulpennya menari-nari di atas kertas. "Oke, kita mulai audit internal. Cari semua bukti yang bisa kita temukan. Dan Rafi, pastikan serangan digital kita tepat sasaran. Kita harus bikin mereka kalang kabut."

Rafi menyeringai, "Tenang aja, Bos. Saya udah siapkan beberapa skenario. Dijamin mereka bakal kewalahan ngurusin masalah ini."

Bima mengangguk. "Oke, kita mulai besok. Tapi ingat, kita harus hati-hati. Keluarga Wijaya pasti punya banyak mata-mata."

Pengacara nyautin, sambil tersenyum penuh arti, "Kita harus pintar-pintar juga, ya. Jangan sampai ketahuan kalau ini ulah kita. Bikin mereka mikir kalau masalahnya dari dalam perusahaan mereka sendiri."

Sembari menatap ke luar jendela, Bima memikirkan konsekuensi dari rencananya. Dia tahu bahwa tindakannya akan membawa banyak kerusakan, tapi dia yakin ini adalah satu-satunya cara untuk membalaskan penderitaan kakanya."

Di kantor Bima, suasana kerja keras masih berlangsung. Setelah rapat dengan pengacara dan bawahannya, Bima kembali ke ruang kerjanya, di mana dia duduk di depan komputer, memeriksa hasil dari serangan digital yang baru dilakukan.

Rafi mengetuk pintu sebelum masuk, membawa laptop dan beberapa berkas. “Bos, kami sudah berhasil mengacaukan beberapa sistem bisnis mereka. Klien-klien besar mulai mengeluh, dan beberapa kontrak mulai dibatalkan.”

Bima mengangguk, tetapi ekspresinya tetap serius. “Bagus. Ini baru permulaan. Kita harus terus memantau situasi dan menyiapkan langkah berikutnya.”

Rafi mengeluarkan dokumen dari tasnya dan menyerahkannya pada Bima. “Ini adalah laporan terbaru tentang transaksi keuangan Adrian. Kami menemukan beberapa transaksi mencurigakan yang bisa jadi petunjuk penting.”

Bima menerima dokumen itu dan mulai memeriksa. “Ini bisa jadi senjata utama kita. Jika kita bisa mengungkapkan keterlibatan Adrian dalam aktivitas ilegal secara publik, itu akan memberi tekanan besar pada keluarganya.”

Rafi menambahkan, “Kami juga sudah memulai pengumpulan bukti tentang kegiatan ilegal Maya dan Siska. Ada beberapa dokumen yang bisa menjadi bukti kuat.”

Bima menatap dokumen-dokumen itu dengan teliti. “Baik. Kita harus merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati. Semua ini harus berjalan dengan rapi agar kita tidak menarik perhatian.”

Sementara itu di rumah mewah Adrian, tiap hari terasa hampa dan sepi. Ketegangan dan kesepian udah jadi sahabat setianya Laras. Setiap kali dia coba hubungi Bima, rasanya kayak nelpon artis yang sangat sibuk.

Saat sore hari, Laras duduk di sofa ruang tamu, ngeliatin keluar jendela. Hujan rintik-rintik menambah suasana jadi semakin murung. Pikirannya kalut. Dia pengen banget punya teman cerita soal perasaan nggak enaknya ini, tapi gimana? Maya sama Siska itu kayak duri dalam daging. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka tuh nyelekit banget. Laras menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata. "Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak bisa terus kayak gini," gumamnya dalam hati.

Ketika Adrian masuk ke ruang tamu, Laras langsung berdiri. "Ad, bisa kita ngobrol bentar? Penting." Suaranya terdengar agak gemetar. Adrian ngelirik jam tangannya, tapi akhirnya dia ngangguk. "Oke, apa yang mau kamu omongin?"

Laras duduk di sofa, matanya berkaca-kaca. Dia berusaha keras untuk menahan air matanya. "Aku... Aku merasa semakin sulit untuk berhubungan dengan Bima. Dia sepertinya semakin jauh dariku, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.”

Adrian menghela napas panjang. "Mungkin dia lagi sibuk nyiapin ujian akhir. Anak kuliahan kan emang sering kayak gitu. Kamu sabar ya, sebentar lagi pasti dia lebih punya waktu buat kamu."

Laras mengangguk pelan, tapi dia tahu dalam hati bahwa masalahnya tidak sesederhana itu.

Di markas rahasia mereka, Bima bersama anak buahnya ngumpul. Wajah mereka serius, matanya berkilau penuh ambisi. "Serangan pertama udah berhasil, tapi ini baru permulaan," kata Bima, suaranya dingin. "Kita harus bikin keluarga Wijaya makin sengsara."

Dimas, anak buahnya yang paling dipercaya, nyeletuk, "Tapi gimana kalau mereka nyadar kalau ini semua ada yang ngatur?"

Bima menyeringai. "Tenang aja. Kita udah siap buat itu. Semua harus keliatan alami, kayak kebetulan aja. Nggak ada satupun yang boleh nyambungin titik-titiknya ke kita."

Laras sendiri ngerasa kayak tenggelam di lautan masalah. Setiap hari, bebannya makin berat. Jadi istri ketiga, terus Bima juga makin nggak ada waktu buat dia... rasanya dia sendirian banget. Di tengah kekacauan ini, Bima jadi satu-satunya harapan yang dia pegang tetapi mala dia tidak ada kabar sama sekali.

Di saat Laras pergi ke meja makan disana ada , Maya sama Siska lagi-lagi ngeluarin kata-kata pedesnya. "Laras, aku dengar Bima lagi sibuk banget ya? Pasti susah buat kamu ya, harus nyesuain diri sama kehidupan baru ini," kata Maya sambil nyengir sinis. Siska ikut nimbrung, "Iya, hidup di sini memang nggak semudah yang kamu bayangkan. Semoga kamu bisa cepet nyaman."

Laras cuma bisa senyum masam. Dalam hati, dia ngerasa kayak lagi diinjak-injak. Kata-kata mereka kayak pisau yang nusuk hatinya. Dia bener-bener capek, pengen kabur dari semua ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Putri dari Desa   Bab 28

    Langit pagi di pelabuhan tampak mendung, seolah alam mengetahui bahwa pertempuran akan segera terjadi. Suara deru ombak bercampur dengan suara langkah kaki yang tergesa-gesa, membuat suasana semakin tegang. Di antara deretan kontainer yang menjulang, Bima, Adrian, Reza, dan tim mereka berdiri dengan penuh kewaspadaan.Bima merapatkan jaket hitamnya, tatapannya lurus ke depan. "Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menghancurkan Tanaka sebelum dia sempat menyerang lagi."Adrian, berdiri di samping Bima, menghela napas panjang. Meskipun matanya penuh kelelahan, semangat bertarungnya masih menyala. "Kita harus berhati-hati. Tanaka pasti sudah mempersiapkan pertahanan yang kuat."Reza dan Yusuf memimpin persiapan lapangan. Reza, dengan pengalaman taktisnya, membagi tim menjadi beberapa kelompok kecil. Yusuf, di sisi lain, memantau jaringan komunikasi untuk memastikan bahwa tidak ada kejutan dari pihak Tanaka."Tim satu dan dua akan menyusup dari sisi utara," kata Reza sambil menunjukk

  • Putri dari Desa   Bab 27

    Malam masih sunyi, tapi ketegangan meliputi suasana markas Bima. Adrian tengah duduk di meja besar yang penuh dengan peta dan dokumen. Di depannya, Bima berdiri dengan tangan terlipat, matanya tajam memandangi rencana yang sudah mereka buat untuk menyerang Mr. Tanaka. Setelah insiden pengkhianatan Darto, semua orang semakin berhati-hati."Semua sudah siap," ujar Bima, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. "Kita hanya tinggal menunggu waktu yang tepat."Adrian mengangguk, meskipun ekspresinya sedikit tegang. "Tapi kita tidak bisa santai. Tanaka pasti sedang menyusun balasan."Sementara mereka berdiskusi, beberapa karakter pendukung yang relevan mulai berdatangan. Ada Yusuf, ahli teknologi yang membantu Bima dan Adrian dalam mengawasi komunikasi digital Mr. Tanaka. Yusuf sudah berada di belakang layar sejak awal, namun keahliannya menjadi semakin vital setelah pengkhianatan Darto. Di samping Yusuf, ada Reza, pemimpin tim lapangan yang mengatur orang-orang Bima untuk serangan langsung

  • Putri dari Desa   Bab 26

    Bima duduk di ruangannya, memeriksa berkas-berkas rahasia yang berkaitan dengan rencana serangan mereka terhadap Mr. Tanaka. Semuanya terlihat sempurna di atas kertas, tetapi perasaan gelisah terus merayap dalam dirinya. Ada sesuatu yang salah—terlalu banyak kebetulan yang tak bisa ia abaikan. Serangan balik Tanaka datang terlalu cepat, seolah-olah dia sudah tahu rencana mereka.Bima memandang Adrian yang berada di seberang meja. "Aku merasa ada yang bocor," katanya pelan, tapi tegas.Adrian menatapnya dalam diam, menyadari betapa seriusnya situasi ini. "Kau pikir ada pengkhianat di tim kita?" tanya Adrian akhirnya."Lebih dari itu," jawab Bima dengan suara rendah. "Aku yakin seseorang telah menjual kita ke Tanaka."Penyelidikan segera dimulai. Bima menginstruksikan beberapa orang kepercayaannya untuk menyelidiki tiap anggota tim. Dia tahu betul bahwa siapa pun yang berkhianat pada mereka harus ditemukan sebelum lebih banyak kerusakan terjadi. Adrian ikut serta, menginterogasi beberap

  • Putri dari Desa   Bab 25

    Ruangan itu dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh. Namun, suasana di dalamnya jauh dari hangat. Di seberang meja, Bima duduk tegak, tatapannya tajam, mengamati Adrian yang sibuk membolak-balik dokumen di hadapannya. Mereka sekarang adalah sekutu tak terduga, bersatu oleh tujuan yang sama—menghancurkan Mr. Tanaka.Adrian meletakkan dokumen itu, menghela napas berat. "Aku sudah mempelajari semua ini," katanya, suaranya rendah. "Mr. Tanaka bukan orang yang mudah dihadapi. Dia punya jaringan yang luas dan kuat. Kita butuh strategi yang lebih matang."Bima menatap Adrian tanpa ekspresi, matanya meneliti setiap gerakan pria yang kini menjadi sekutunya. "Aku sudah tahu itu. Aku tidak perlu kau menjelaskan betapa berbahayanya dia."Adrian terdiam sejenak, menyadari bahwa Bima memang sudah lama mempersiapkan ini. “Baiklah, apa rencanamu?” tanyanya, menyadari bahwa taktik terbaik saat ini adalah membiarkan Bima memimpin.Bima mencondongkan tubuh ke depan, membuka map di hadapannya. "Kita serang

  • Putri dari Desa   Bab 24

    Suasana di rumah Adrian terasa semakin suram. Ketegangan menumpuk seiring waktu, terutama setelah serangkaian serangan yang mengguncang kerajaan bisnis keluarga Wijaya. Adrian, yang dulu tampak tak tergoyahkan, kini terlihat rapuh. Hari itu, Adrian akhirnya mengetahui kebenaran yang menghancurkannya: Bima, adik iparnya sendiri, adalah dalang di balik semua serangan.Adrian duduk di ruang kerjanya, tangannya bergetar saat memegang laporan terakhir yang diantarkan oleh orang kepercayaannya. "Bima..." gumamnya lirih, suaranya serak.Langkah kaki terdengar dari luar pintu. Bima masuk dengan tenang, tanpa ekspresi, dan duduk di kursi di seberang Adrian. Mereka saling menatap, ketegangan memenuhi ruangan.“Aku tahu kau akan segera mengetahuinya,” kata Bima tanpa basa-basi. “Aku sudah menunggu waktu ini.”Adrian terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Amarahnya bergolak, namun juga ada rasa keterkejutan yang sulit dijelaskan. “Kenapa? Kenapa kau lakukan ini?” tanya Adrian, suaranya be

  • Putri dari Desa   Bab 23

    Di kantor, Adrian terus menerima telepon dari rekan-rekannya. Suara marah dan penuh kekecewaan datang dari berbagai pihak. Beberapa mitra bisnisnya memutuskan hubungan, investor menarik diri, dan kontrak-kontrak besar dibatalkan."Kami tidak bisa melanjutkan kerja sama ini, Adrian. Reputasimu sudah rusak. Ini akan menghancurkan kita juga."Adrian membanting teleponnya ke meja, wajahnya merah karena marah dan frustrasi. Semua yang dia bangun selama bertahun-tahun kini hancur dalam sekejap.Di sudut ruangan, Maya berdiri dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan suaminya dengan tatapan datar. "Ini sudah di luar kendali, Adrian. Kau harus melakukan sesuatu."Adrian mendongak, menatap Maya dengan mata yang penuh amarah. "Kau pikir aku tidak mencoba? Setiap hari aku mencoba memperbaiki ini, tapi serangannya datang dari segala arah. Aku bahkan tidak tahu siapa yang ada di balik semua ini."Maya mendekat, tatapannya tajam. "Kau perlu bertindak cepat, Adrian. Jika tidak, aku tidak akan iku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status